tag:blogger.com,1999:blog-16487241353689450872024-03-13T00:01:28.254-07:00~Jejak Kehidupan~Irfanhttp://www.blogger.com/profile/11124897184131221658noreply@blogger.comBlogger251125tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-80113275683759738312012-01-20T22:51:00.000-08:002012-01-20T22:52:59.798-08:00Kongres Rakyat Papua III Tetap DigelarJAYAPURA –Ketua Panitia Pelaksana Kongres Papua III, Selpius Bobii, didampingi beberapa tokoh adat dan tokoh pemuda Papua menyatakan kongres Papua III tetap akan digelar di Jayapura, Papua, sejak tanggal 16-19 Oktober 2011.<br /><br />“Kongres Papua III akan tetap digelar sesuai rencana. Tadi pagi kami hanya menggelar doa pembukaan bersama-sama di lapangan terbuka. Secara resmi akan dimulai besok (red: hari ini),” urainya. <span class="fullpost"><br /><br />Menurut Bobii, awalnya panitia berniat menggelar kongres digedung tertutup, namun karena ijin pemakaian gedung yang tak kunjung jelas, sehingga panitia memilih menggelar dilapangan terbuka. <br /><br />“Kami tidak mendapat ijin menggunakan Auditorium Uncen, karena itu kami akan tetap buat di Lapangan terbuka. Tempat tidak menjadi kendala untuk kami,” katanya.Sekitar 12.000 ribu massa rakyat Papua dari berbagai wilayah di tanah Papua telah berkumpul di Jayapura. Mereka dari perwakilan tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh agama.<br /><br />“Rakyat Papua Barat dari Sorong sampai Samarai telah datang. Perwakilan 273 suku di tanah Papua juga telah hadir untuk berpartisipasi. Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi agenda rakyat,” tegas Bobii. <br /><br />Bobii melanjutkan, bahwa Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM di Jakarta telah memberikan ijin resmi agar kongres ini bisa diselenggarakan. “Surat ijin dari Menko Polhukam telah kami kantongi, artinya kami telah mendapat ijin resmi dari pemerintah pusat di Jakarta.” <br /><br />Sementara itu Asisten Koordinator Bidang Otsus pada Kementerian Polhukam, Brigjen TNI Sumardi ketika dihubungi media mengatakan bahwa yang berhak memberikan ijin penyelenggaraan kongres adalah aparat kepolisian setempat. <br /><br />“Kami tidak punya hak memberikan ijin penyelenggaraan kongres ini. Panitia kongres ke Jakarta bukan meminta ijin, tetapi meminta Presiden atau Menko Polhukam menjadi keynote speaker. Karena Presiden maupun Menko Polhukam sedang sibuk, apalagi ini kegiataan bukan level nasional tapi level lokal, maka kami menyarankan agar Dirjen Otonomi Daerah yang membuka acara, itupun tergantung ijin dari Mendagri,” jelasnya. <br /><br />Lanjut Sumardi, setelah dikonfirmasi ke Jayapura, sepertinya tidak ada kesiapan dari panitia. “Dirjen tidak datang ke Jayapura membuka kongres ini karena tidak ada kesiapan dari panitia setempat, karena itu kami membatalkan keberangkatannya ke Jayapura.” <br /><br />Sumardi juga meminta rakyat Papua tidak salah persepsi, Dirjen Otda tidak hadir bukan karena ketidakmauan pemerintah pusat, tapi karena agenda kongres yang persiapannya tidak begitu matang. Kongres Papua III sendiri sebagai kelanjutan dari Kongres Papua II tahun 2000 yang juga membahas tentang aspirasi murni dan hak-hak dasar orang asli Papua. <br /><br />Kongres Papua III juga nantinya menyoroti tentang masalah yang sudah dan sedang terjadi di Papua. Sekaligus melalui Kongres tersebut merumuskan pembangunan di Papua yang lebih tepat dan terarah sehingga rakyat Papua diharapkan dapat mengemukakan gagasan dan pandangan mereka tentang Pembangunan Tanah Papua pada masa yang akan datang. (oktovianus pogau)<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-71008477000030247852012-01-20T22:44:00.002-08:002012-01-20T22:47:32.144-08:00TNI/Polri Telah Bertindak Brutal!<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhg9Rjm2OKRntNuqJBrEzLKMhswHshKOrK4lE1vDzwVqUsOvAh3R4qe-rXBRo7z71AueZV93NgWzcMUh_TL3jTvuKzmo-v8VWCVP4nm25J37DqXNWEimBL5q_5GAczfGMxTozSvKOV_PIkS/s1600/12.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhg9Rjm2OKRntNuqJBrEzLKMhswHshKOrK4lE1vDzwVqUsOvAh3R4qe-rXBRo7z71AueZV93NgWzcMUh_TL3jTvuKzmo-v8VWCVP4nm25J37DqXNWEimBL5q_5GAczfGMxTozSvKOV_PIkS/s320/12.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5699973049906872114" border="0" /></a><br /><span style="font-style:italic;">Laporan: Oktovianus Pogau</span> <span style="font-weight:bold;"><br /><br />RABU 19 OKTOBER 2011, SEKITAR PUKUL 15.30 WIT</span>, sekitar 3.100 aparat gabungan dari TNI dan Polri bersenjata lengkap membubarkan secara paksa Kongres Rakyat Papua (KRP) III yang sedang berlangsung di Lapangan Santo Zakheus, Padang Bulan, Abepura.<br /><br />Mereka mengeluarkan tembakan secara bertubi-tubi ke udara, termasuk ke arah peserta kongres. Bertindak secara brutal dan ganas tanpa sedikitpun kompromi. <span class="fullpost"><br /><br />Saya bersama seorang rekan wartawan tepat berada 20 meter dari arah tembakan. Kami melihat ribuan aparat TNI dan Polri tumpah ruah ke jalan-jalan raya. Mereka terus mengeluarkan tembakan ke atas sambil menakut-nakuti peserta kongres yang sedang berada di sekitar jalan Yakonde, tepat di jalan masuk ke lapangan kongres.<br /><br />Pintu pagar ukuran empat meter, dan tinggi tiga meter yang menjadi batas antara peserta kongres dan aparat didobrak secara paksa. Mereka memukul mundur sekitar 100an anggota Penjaga Tanah Papua (PETAPA) yang sedang berjaga-jaga dipintu gerbang tersebut.<br /><br />Ratusan anggota PETAPA yang mengamankan jalannya kongres ditangkap. Mereka dipukul pakai pentongan. Ditendang dengan sepatu laras. Dan bahkan ada yang dipopor dengan senjata laras panjang jenis M16 dan AK47.<br /><br />“Kalian ini yang dibilang polisi Papua kha. Maju kalau berani. Ayo maju sudah,” teriak salah anggota Brimob yang menggenakan seragam hitam dan menggendong senjata laras panjang.<br />Aparat berhamburan masuk ke tempat kongres sambil teriak “Bubarkan....bubarkan...bubarkan segera. Mereka telah melakukan tindakan makar dan melawan negara. Bubarkan mereka sekarang juga.” Saking emosinya, bahkan ada aparat yang melompat pagar untuk masuk ke lapangan.<br /><br />PETAPA dan pasukan Koteka tak punya kekuataan untuk menghalau, apalagi melawan. Memang sejak pukul 08.00 WIT aparat telah bersiaga sebelum peserta kongres ada di lapangan.<br /><br />Ada 5 mobil bercuda yang diparkir tak jauh dari arena kongres. 2 mobil bercuda milik aparat TNI, sedangkan 3 mobil lagi milik polisi. Sedangkan truck milik polisi ada 7 buah, TNI 3 buah, diparkir tak jauh dari arena kongres, tepat di depan SMP Santo Paulus. Dan ada lagi yang diparkir tepat di belakang Korem 172/PWY.<br /><br />Aparat juga dengan leluasa terus menangkap. Yang ditangkap termasuk anak-anak sekolah dan ibu-ibu yang saat itu hanya sedang menyaksikan jalannya kongres.<br /><br />Karena sangat ketakutan, saya bersama rekan wartawan tadi lari dan bersembunyi di salah satu warung makan terdekat. Diluar masih terus dihujani tembakan. Kami bersembunyi tepat dipertigaan jalan masuk ke lapangan tempat kongres, dan jalan yang menghubungkan ke arah Abe-Waena.<br /><br />Penyisiran juga dilakukan sampai ke biara-biara pastor, dan asrama frater-frater yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari Lapangan. Kampus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Fajar Timur yang jaraknya kurang lebih 50 meter juga menjadi sasaran amukan aparat.<br /><br /><br />“Jangan ada yang keluar dari rumah. Tetap berada di dalam rumah,” teriak beberapa aparat TNI sambil mengarahkan tembakan keatas, juga ke arah rumah-rumah pastor, dan bahkan ke kaca-kaca biara, cerita salah satu Pater yang enggan disebutkan namanya.<br /><br />Ketika saya mengunjungi lokasi biara Fransisikan sore hari, sempat menemukan beberapa songsongan peluru aparat yang mengenai tembok rumah. Dan bahkan ada peluru aparat jenis SSI yang masuk sampai ke kamar-kamar tidur.<br /><br />“Karena sangat ketakukan kami bersembunyi di dalam kamar. Puluhan aparat hampir dua jam lamanya terus mondar-mandir di depan kami,” kata Frater Adrianus Tuturu, salah satu saksi mata yang menyaksikan kebegisan aparat TNI dan Polri disekitar kampus.<br /><br /><br />Melihat aparat TNI dan Polri semakin brutal, peserta kongres yang berada di lapangan semakin panik. Semua berusaha lari menyelamatkan diri. Ada yang melarikan diri ke arah kiri lapangan, tepat di Asrama Taboria. Daerah ini hampir 50 meter bersebelahan dengan kampus Universitas Cenderawasih, Abepura.<br /><br />Ada juga yang melarikan diri ke sebelah kanan tak jauh dari markas Korem 172/PWY. Dan paling banyak melarikan diri ke arah atas, tepatnya di Kampus Sekolah Theologi dan Filsafat Fajar Timur, termasuk biara keuskupan Jayapura, derah missi, Gereja Katholik.<br />Kurang lebih sekitar 300 peserta kongres berhasil diringkus. Mereka ditangkap secara paksa. Setelah ditangkap mereka terus dipukul pakai pakai popor senjata. Peserta kongres yang ditangkap dikumpul ditengah-tengah lapangan. Mereka diperlakukan sangat tidak manusiawi.<br /><br /><br />Presiden dan Perdana Menteri pemerintahan transisi, Forkorus Yoboisembut dan Edison Waromi juga ikut ditangkap saat berusaha melarikan diri.<br /><br />“Kamu ini yang mau menjadi presiden Papua kha. Coba lindung wargamu yang sedang kami tangkap,” cerca beberapa anggota TNI/Polri terhadap Presiden Papua terpilih.<br /><br />Sebelum digiring ke Mapolda Papua, hampir dua jam lamanya peserta kongres yang ditangkap mengalami penyiksaan hebat. Baju dan celana panjang mereka disuruh buka. Kemudian mereka disuruh tiarap diatas lapangan sambil dicerca berbagai pernyataan.<br /><br />“Papua tidak mungkin merdeka. Kalian jangan bermimpi. Forkorus tidak akan membebaskan kalian,” ucap salah satu anggota Polisi yang berpakaian preman cerita Yustinus Ukago, salah satu peserta kongres yang ikut diringkus dan disuruh tiarap di lapangan.<br /><br />Ukago juga bercerita ketika aparat memaksa mereka keluar dari asrama-asrama frater. “Kami dikeluarkan secara paksa. Mereka masuk sampai di kamar-kamar tidur. Hanya frater yang menggunakan jubah yang tak digiring ke lapangan,” katanya.<br /><br />Seluruh lapangan dikelilingi aparat TNI dan Polri bersenjata lengkap. Tampak juga aparat intelijen menggunakan seragam preman.<br /><br />Semua mengendong senjata jenis laras panjang. Beberapa lagi memegang pistol revolver. Lain halnya dengan peserta kongres yang sedang berdiri 20 meter dari tempat kongres berlangsung. Tepatnya di Jalan Yakonden, depan SMP Santo Paulus.<br /><br />Ketika mendengar bunyi tembakan beruntun secara membabi-buta mereka berhamburan menyelamatkan diri. Ada yang bersembunyi di warung-warung makan terdekat. Ada yang bersembunyi di got-got. Dan bahkan ada yang tiarap dan sembunyi di hutan-hutan terdekat.<br /><br />Tembakan masih terus dilakukan oleh aparat TNI dan Polri secara tak manusiawi. Teriakan dan bentakan dari aparat untuk menakut-nakuti warga terus diperdengarkan.<br /><br />Arus kendaraan dari arah Sentani menuju Jayapura terhenti total. Begitu juga dengan yang dari arah Jayapura menuju sentani. Melihat massa berhamburan di jalan-jalan semakin banyak orang yang panik dan melarikan diri. Tembakan masih terus terdengar sana-sini.<br /><br />Semua yang ditangkap digiring secara paksa ke mobil polisi yang diparkir tak jauh dari lapangan tempat kegiatan berlangsung.<br />Mereka terus ditendang dengan sepatu laras. Bahkan ada yang berdarah-darah. Mereka diperlakukan secara kasar dan sangat tak manusiawi hinggsa sampai di Mapolda di Jayapura.<br /><br />Keesokannya, Kamis (20/20/2011) sekitar 300 peserta kongres yang ditangkap dibebaskan oleh pihak aparat.<br /><br />Polda Papua menetapkan lima orang tersangka, dan dikenakan pasal makar. Mereka adalah Forkorus Yaboisembut, Edison Gladius Waromi, August Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut, dan Gat Wenda, dan Selpius Bobii. Dari lima tersangka empat orang dikenakan Pasal 110 Ayat (1) KUHP dan Pasal 106 KUHP dan Pasal 160 KUHP. Sementara satu orangnya lagi (Gat Wenda) dikenakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 karena terbukti membawa senjata tajam.<br /><br />Kapolresta Jayapura, AKBP Imam Setiawan, S.Ik mengatakan kepada media bahwa tak ada korban nyawa dalam peristiwa itu. Bahkan menurutnya aparat bertindak dengan baik-baik, dan tak melakukan penembakan terhadap warga sipil. Namun berbeda dengan fakta di lapangan.<br /><br />Pagi harinya, Kamis (20/10) ada tiga mayat ditemukan dibelakang Korem 172/PWY, sekitar 50 meter dari lapangan tempat kongres berlangsung. Ketiganya adalah Daniel Kadepa (25) mahasiswa STIH Umel Mandiri, Jayapura. Maxsasa Yesi (35), anggota PETAPA dari Kampung Sabron. Dan Yacob Samonsabra (53) anggota PETAPA dari kampung Waibron.<br />Menurut Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Matius Murib, aparat memang melaukan tembakan secara membabi-buta.<br /><br />“Seharusnya aparat menggunakan pendekatan dialog. Sampai saat ini korban meninggal ada enam orang,” katanya kepada Wartawan. “Kami sedang lakukan identifikasi korban-korban tersebut, dan akan kami kabarkan,” katanya.<br /><br />Benny Giay, Tokoh Agama di Papua menyayangkan tindakan tak proposional yang dilakukan aparat TNI dan Polri. Menurutnya yang harus ditangkap adalah panitia dan orang yang punya gagasan pemerintah transisi.<br /><br />“Tidak semua rakyat Papua Papua punya keinginan membentuk pemerintahan transisi,” kata Benny seperti di kutip koran Kompas.<br /><br />Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab terhadap nyawa ketiga warga sipil, dan ratusan korban luka-luka dalam aksi membubar paksakan kongres ini. Pendekatan keamanan yang dipakai justru semakin pertebal nasionalisme orang Papua untuk meminta keluar dari negara Indonesia. (*) <br /><br /><span style="font-weight: bold;">*Laporan ini dibiayai oleh YAYASAN PANTAU di Jakarta</span><br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-11287269119396835932011-10-04T18:14:00.004-07:002011-10-06T06:58:23.842-07:00Politik devide et impera Dalam Pembentukan MRP Papua Barat?<i>Oleh Oktovianus Pogau*</i><br />
<i> </i>
<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGk0HwaOm2A_AhW5nVUbKehwyxp_tS2KaYt53F8Bzpc7386dLAc5H-2GHxVB6Wocmn8qT_aLLAwbZn24zGhDgRLepm814CBAqOF_7THmFmqOp3VJy8b776mt621tUlIX8_XmpsKxTFSFG9/s1600/Kantor+MRP%25281%2529.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGk0HwaOm2A_AhW5nVUbKehwyxp_tS2KaYt53F8Bzpc7386dLAc5H-2GHxVB6Wocmn8qT_aLLAwbZn24zGhDgRLepm814CBAqOF_7THmFmqOp3VJy8b776mt621tUlIX8_XmpsKxTFSFG9/s320/Kantor+MRP%25281%2529.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Kantor Majelis Rakyat Papua. @Doc Google</i></td></tr>
</tbody></table>
<i>Tak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang Otsus yang menyatakan Majelis Rakyat Papua (MRP) bisa dibagi menjadi dua, tapi jika pemerintah pusat bersama segelintir orang Papua berusaha membagi lembaga ini jadi dua, mereka adalah kelompok yang selama ini berusaha kacaukan situasi di tanah Papua.
<b> </b></i><br />
<br />
<b>PADA</b> tanggal 12 April 2011, pukul 10.30 WIT, bertempat di Aula Sasana Krida, Kantor Gubernur Papua, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi telah melantik 73 anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), baik yang berasal dari Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat.
<br />
<br />
<span class="fullpost">Pelantikan di hari itu berjalan dengan lancar. Tampak hadir Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu, Gubernur Provinsi Papua Barat Abraham Octovianus Ataruri, serta beberapa Bupati asal Papua maupun Papua Barat.<span class="fullpost">
</span><br />
<br />
<span class="fullpost">Hanya dua orang anggota terpilih yang tak dilantik –Agus Alue Alue dari unsur Agama, dan Hana Hikoyabi dari unsur Perempuan. Agus Alua yang pada periode 2005-2010 menjabat ketua MRP tak dilantik karena tiga hari sebelum upacara pelantikan, ia lebih dulu meninggal dunia, tapi sebelumnya juga sudah ada kabar dari Jakarta bahwa ia tidak akan dilantik karena dinilai bermasalah. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Lain halnya dengan Hana Hikoyabi, yang pada periode sebelumnya telah menjabat sebagai Wakil Ketua II MRP. Ia tidak dilantik karena Mendagri dalam surat tertulis menyatakan bahwa Hana Hikoyabi tidak setia terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ia juga dicurigai melakukan tindakan makar yang mengancam keutuhaan Negara Indonesia.(Media Indonesia, 9 Mei 2011) </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Berikutnya, dua minggu setelah pelantikan seluruh anggota MRP, rapat pleno pemilihan struktur pimpinan MRP digelar. Dari setiap unsur, baik Adat, Agama dan Perempuan mengajukan dua nama calon untuk dipilih menjadi Ketua, Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II. Enam orang dari Provinsi Papua Barat, dan enam orang dari Provinsi Papua. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dari 12 calon nama tersebut, melalui voting, Dorkas Dwaramuri dari unsur Perempuan, yang juga dari wilayah pemilihan Papua Barat terpilih menjadi Ketua dengan mengantongi 48 suara, disusul Pdt. Herman Saud dari unsur Agama menjadi Wakil Ketua I dengan mengantongi 29 suara, dan disusul Timotius Murib dari unsur Adat menjadi Wakil Ketua II dengan mengantongi 28 suara. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Setelah semua proses dalam pembentukan MRP –pemilihan anggota, struktur pimpinan, juga pembentukan kelompok kerja (Pokja)– telah dilakukan, maka lembaga MRP siap bekerja sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP).<b> </b></span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Beberapa Anggota MRP asal Papua Barat “Ngambek”</b> </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Tapi yang membuat kaget seluruh masyarakat Papua, satu bulan setelah pelantikan unsur pimpinan, dan dua bulan setelah pelantikan seluruh anggota MRP, beberapa anggota asal Provinsi Papua Barat, yang juga telah ikut dilantik memilih membentuk sendiri Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, yang berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua Barat, Manokwari. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dari 33 anggota MRP asal Papua Barat itu, hanya enam anggota yang memilih tetap bertahan di Papua, dan tetap berada di bawah payung MRP, salah satunya Ketua MRP terpilih Dorkas Dwaramuri. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dari pertemuaan ke pertemuan terus dilakukan di Manokwari, Papua Barat. Juga menggelar pertemuaan baik secara tertutup, maupun terbuka dengan Gubernur Abraham O Ataruri. Akhirnya terpilih Vitalis Yumte dari unsur Agama menjadi Ketua Definitf dengan 22 suara, Anike T.H Sabami dari unsur Perempuan sebagai Wakil Ketua I dengan jumlah 21 suara, dan Zainal Abidin Bay dari unsur Adat menjadi Wakil Ketua II dengan jumlah 20 suara. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Pada tanggal 15 Juni 2011, pukul 10.00 WIT, bertempat di Ruang Rapat Kantor Gubernur Papua Barat, acara pelantikan dilangsungkan. Mereka dilantik untuk yang kedua kalinya oleh Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham O Ataruri mewakili Mendagri Gamawan Fauzi. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Saat dilangsungkan acara pelantikan tersebut, hanya 17 anggota MRP terpilih asal Papua Barat yang hadir dari jumlah keseluruhaan 33 orang anggota, artinya 16 orang anggota MRP terpilih tak hadir dalam acara pelantikan tersebut. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Ketidakhadiran mereka dengan alasan bahwa pada keputusan rapat pleno MRP pada tanggal 27 Mei lalu di Jayapura, Papua, telah ditetapkan dan disepakai oleh 73 anggota MRP asal Papua juga Papua Barat, bahwa hanya ada satu MRP, satu tata tertib, tiga ketua terpilih dan dua sekertariat masing-masing di Papua dan Papua Barat. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Ketua MRP terpilih, Dorkas Dwaramuri yang juga berasal dari Papua Barat mengatakan bahwa Pelantikan MRP Papua Barat oleh Gubernur Papua Barat, Abraham O Ataruri dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Pasalnya, pelantikan itu hanya didasarkan pada surat keputusan Menteri yang kedudukannya jauh lebih rendah dari sebuah Undang-Undang. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">“Adanya perpecahan MRP menjadi dua, bukan kemauan baik semua anggota, tetapi hanya ambisi pribadi dari ketiga anggota yang kini menjadi pimpinan MRP Papua Barat. Mereka harus ingat, MRP bukan perorangan, tetapi MRP ada karena kepentingan seluruh rakyat Papua,” katanya kepada wartawan beberapa saat lalu di Jayapura. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Komentar terkait penolakan pembentukan MRP Papua Barat juga datang dari tokoh masyarakat adat di tanah Papua, kali ini melalui Sekertaris Umum Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Manokwari, Zeth Rumbobiar. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">
Ia menyatakan MRP merupakan lembaga representatif kultural orang asli Papua, karena itu orang asli Papua yang berhak menentukan, juga meminta pembentukan MRP di Papua Barat. Jika orang asli Papua tak menghendaki, tentu tak bisa kita paksakan. Ia menilai jika tetap dipaksakan, maka tentu dapat menimbulkan konflik internal antara orang Papua sendiri, karena telah jelas-jelas bertentangan dengan amanat UU Otsus. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">“Jangan ada kepentingan lain di MRP, selain kepentingan rakyat adat Papua. Jadi, sebelum membentuk MRP Papua Barat, sebaiknya tanyakan apakah rakyat setuju atau tidak," kata Zeth seperti di kutip Koran Kompas di Jakarta.
<b> </b></span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>MRP Dipolitisir Bram-Katjong Untuk Pilkada</b> </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Cikal bakal pembentukan MRP Papua Barat bermula ketika tiga orang anggota MRP terpilih asal Papua Barat –Vitalis Yumte. Anike T.H Sabami dan Zainal Abidin Bay– menghadap Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham O Ataruri di Manokwari pada awal Juni lalu. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dalam pertemuan itu berlangsung pembicaraan mengenai rencana pembentukan MRP Papua Barat yang akan berkedudukan di Manokwari. Padalah, mereka telah bersepakat di Jayapura untuk hanya memiliki satu anggota MRP, tapi dua sekertariat. Berikutnya, beberapa anggota MRP asal Papua Barat yang masih di Jayapura juga menyusul ke Manokwari dan bergabung dengan tiga anggota yang telah lebih dulu datang. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Saat yang bersamaan ketika MRP Papua dibentuk di Papua, tahap pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Papua Barat sedang berlangsung. Salah satu ketentuan utama yang ada dalam amanat UU Otsus, juga merupakan tugas utama MRP menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam pasal ke-36 adalah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRP, diimana mereka adalah harus orang asli Papua. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Jimmy D Ijie, anggota DPR Papua Barat mengatakan, keputusan membentuk MRP Papua Barat tidak tepat. Dia melihat adanya kesan anggota MRP dari wilayah Papua Barat tidak independen, dan mendapat intervensi pihak legislatif. Campur tangan itu terkait dengan upaya memuluskan jalan salah satu kandidat, terkait persyaratan pasangan calon. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Salah satu kandidat yang dimaksud oleh Jimmy D Ijie adalah pasangan Abraham O Ataruri-Rahimin Katjong. Sesuai ketentuan UU Otsus, juga PP No. 54/2004 calon wakil gubernur, Katjong tidak berhak menyalonkan diri karena beliau bukan orang asli Papua seperti ketentuan dalam UU Otsus. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Artinya, jika MRP Papua yang memberikan pertimbangan dan persetujuan pada keempat bakal calon dalam Pilkada Papua Barat, tentu Bram -Katjong tak akan lolos verifikasi, juga bisa terancam tak bias diikutkan dalam pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Papua Barat. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Caranya agar Bram-Katjong bisa ikut dalam Pilkada Papua Barat, juga lolos dalam tahapan pertimbangan dan persetujuan MRP, maka Abraham Ataruri dengan segala “kekuasaan” mendesak anggota MRP asal Papua Barat, dan memerintahkan membentuk MRP baru di Papua Barat, yang tujuannya agar dapat meloloskan dia dalam bursa pemilihan kepala daerah nanti. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Usaha pasangan Bram-Katjong terbukti berhasil. Pada tanggal 17 Juni 2011, pukul 10.00 WIT, dua hari setelah acara pelantikan, pimpinan MRP Papua Barat akhirnya merestui empat pasang bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan KPUD Papua Barat untuk maju dan mengikuti pemilihan kepala daerah 20 Juli 2011 mendatang, termasuk Bram-Katjong yang dinilai bermasalah oleh masyarakat Papua. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Keluarnya rekomendasi MRP tersebut tergolong sangat singkat, yakni hanya sehari setelah KPUD menyerahkan nama-nama bakal calon yang maju pada pemilu kada tersebut. Padahal, berdasarkan tata tertib yang dibuat MRP sendiri, proses penentuan keaslian orang Papua bagi calon kepala daerah dilakukan selama seminggu. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Beberapa kesalahan yang dilakukan oleh MRP Papua Barat semakin memperlihatkan bahwa pembentukan MRP di Papua Barat adalah untuk kepentingan Bram-Katjong dalam Pilkada Papua Barat. Padahal kita tahu, bahwa MRP dibentuka untuk memperjuangkan kepentingan orang asli Papua, bukan segelintir orang.
<b> </b></span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>MRP Papua Barat Ilegal</b> </span><br />
<br />
<span class="fullpost">
Banyak pihak menyatakan pembentukan MRP Papua Barat adalah illegal. Ia tak punya dasar hukum yang jelas, karena dalam Undang-Undang Otsus, pada pasal ke 19 menjelaskan bahwa Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat hanya memiliki satu MRP, dan berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Gubernur Provinsi Papua, Dr. Barnabas Suebu, SH mengatakan jika sampai Mendagri kemudian melantik MRP Papua Barat, maka itu bukan menyangkut masalah Menteri Dalam Negeri, tetapi ini menyangkut masalah keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
</span><br />
</span><br />
<div style="text-align: right;">
</div>
<span class="fullpost"><br />
<span class="fullpost">Kalau MRP mau jadi dua, 73 anggota MRP yang dilantik harus kembali menanyakan kepada konstituennya, apakah itu yang rakyat Papua kehendaki? Karena mereka adalah wakil yang mewakili kepentingan seluruh rakyat Papua.
</span><br />
</span><br />
<blockquote>
<span style="font-size: large;"><b><span class="fullpost"><span class="fullpost">“Ini kembali kepada rasa tanggung jawab dari semua anggota MRP terhadap masa depan dan kelanjutan hidup, keutuhan dari penduduk asli Papua, dari keturunan kepada keturunan berikutnya,"</span></span></b></span></blockquote>
<span class="fullpost"><span class="fullpost">tegas Suebu seperti dikutip Koran Cenderwasih Pos di Jayapura. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">MRP Papua Barat juga dinyatakan illegal karena dilihat dari banyak aspek, terutama tuntutan orang asli Papua yang ada di Provinsi Papua Barat. Apakah mereke menghendaki dibentuknya MRP baru, jika tidak, tentu pemerintah pusat, juga pemerintah Provinsi tak bisa memaksakan kehendaknya. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Ferdinanda Ibo Yatipai, selaku Ketua Solidaritas Perempuan Papua dan juga mantan anggota DPD RI, mengatakan, rakyat memberi mosi tidak percaya kepada 33 anggota MRP yang dipilih dari wilayah Papua Barat. Upaya anggota MRP membentuk MRP Papua Barat adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak jelas tujuannya, sebab dasar pembentukan MRP adalah kesatuan kultur, sehingga tak bisa dibagi-bagi atas dasar wilayah. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">
Dia mengingatkan, MRP seharusnya memberi perlindungan dan keberpihakan kepada orang asli Papua. Dan seharusnya mereka membentuk sekretariat di tiap daerah, bukan malah membentuk MRP baru. Jika sampai terbentuk, itu berarti MRP illegal. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Kepentingan segelintir kelompok –Mendagri, Gubernur Provinsi Papua Barat, ketiga Pimpinan terpilih –telah mengorbankan seluruh rakyat Papua. Mulai dari kerja-kerja MRP terpilih yang tidak berjalan optimal, hingga menghabiskan waktu untuk berdebat apakah MRP Papua Barat illegal atau tidak. Ini merupakan trik yang dipakai pemerintah pusat untuk buat situasi di tanah Papua tak kondusif.
<b> </b></span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Politik devide et impera di Papua</b> </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Melalui pembentukan MRP Papua Barat, beberapa elit birokrasi bersama pemerintah pusat sedang melakukan poltik devide et impera –politik mengaduh domba orang asli Papua– di Papua maupun Papua Barat. Tujuaannya, agar pemerintah pusat dengan mudah dapat menguasai tanah Papua, juga melihat konflik terus tumbuh. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Poltik devide et impera merupakan sebuah cara yang dipakai oleh kolonial Hindia Belanda saat hampir tiga setengah abad lamanya menjajah masyarakat Indonesia. Cara ini dipakai agar tak ada persatuan antara masyarakat lokal Indonesia, juga pejabat Indonesia pada masa itu. Belanda takut, jika ada persatuaan dari masyarakat bersama para pejabat Indonesia, tentu mereka akan bangkit dan melakukan perlawanan. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Cara yang dipakai Hindia Belanda untuk masyarakat Indonesia pada zaman tersebut, itu pula yang sedang dipakai pemerintah pusat di tanah Papua. Mereka berkompromi dengan beberapa pejabat lokal di tanah Papua yang punya jabatan, kedudukan bahkan uang, dan mereka bersama-sama melakukan penjajahan, juga membuat struktur, tatanan sosial, dan kehidupan orang asli Papua berantakan. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Jika kita mengamati, dengan pembentukan MRP Papua Barat ini, pemerintah pusat justru menciptakan konflik internal antar orang Papua sendiri. Dampaknya tentu berbahaya bagi kehidupan orang asli Papua. Dan kadang pemerintah pusat datang layaknya “malaikat” yang akan menyelesaikan segala masalah di Papua, padahal mereka adalah aktor di balik masalah tersebut. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Jika orang Papua telah menganggap pembentukan, juga kehadiran MRP Papua Barat adalah ilegal, maka pemerintah pusat harus segera membubarkan lembaga ini. MRP merupakan lembaga kultral orang asli Papua yang di dalamnya terdapat perwakilan Adat, Perempuan juga Agama, bukan lembaga politik, apalagi digunakan untuk menjawab kepentingan Bram-Katjong. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Lembaga ini dibentuk untuk menegakan harkat, martabat, juga identitas kepapuaan di tanah air Papua, bukan lembaga “murahan” yang dengan mudah diipakai siapa saja untuk membuat kehancuran hidup masyarakat asli Papua.
<b> </b></span><br />
<br />
<span class="fullpost"><b>Bubarkan MRP Papua Barat</b> </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Sesuai tuntutan orang asli Papua, maka embirio MRP Papua Barat yang telah dibentuk oleh Mendagri, Gubernur Provinsi Papua, dan ketiga pimpinan terpilih harus segera dibubarkan. Jika tidak, maka dampaknya akan berbahaya bagi keberlangsungan hidup orang asli Papua, bahkan keutuhan Negara Indonesia sendiri seperti yang disampaikan Gubernur Papua. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Ketua DPR Provinsi Papua Drs John Ibo MM beberapa waktu lalu menyatakan bahwa DPRP merencanakan akan membahasnya dengan MRP yang sah guna membubarkan MRP Papua Barat. Selanjutnya, DPR segera melakukan paripurna-paripurna istimewa guna memutuskan pembubaran DPRP. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Dia juga mengatakan, pihaknya akan meminta agenda-agenda sidang DPRP sementara ditunda guna membahas tentang pertimbangan membubarkan MRP, serta segera membuka sidang Non APBD untuk memberikan kesempatan kepada Fraksi- Fraksi DPRP guna memberikan pertimbangan pembubaran MRP. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Pemerintah pusat, juga Mendagri yang membuat keputusan secara sepihak perlu ketahui, bahwa dari segi filosofi orang asli Papua, di mana sudah jelas tertuang dalam Undang-Undang Otsus No. 21 tahun 2001, bahwa MRP dibentuk sebagai lembaga kultur masyarakat asli Papua dalam hal ini pembetukan MRP bukan berdasarkan wilayah administrasi, namun lebih sebagai lembaga adat yang satu di Tanah Papua yang dulu disebut Irian Jaya. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Artinya, walau pemerintah pusat dengan semaunya membagi banyak Provinsi di tanah Papua, tapi perlu diketahui, bahwa MRP adalah tetap satu. Ia bertujuan mengakomodir semua kepentingan, tuntutan, juga harapan seantoro masyarakat asli Papua, yang berasal dari Rumpun Melanesia. </span><br />
<br />
<span class="fullpost">Akhir tulisan ini mengutip satu pepatah lama, “lebih baik mencegah, dari pada mengobati”. Artinya, semua belum terlambat. Masyarakat Papua tetap menanti tindakan tegas dari Pemerintah Pusat, minimal membuarkan MRP Papua Barat sesuai tuntutan seluruh masyarakat Papua saat ini. <b>(OKTOVIANUS POGAU)</b>
</span>
</span>Unknownnoreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-67048965321366133962011-08-26T23:54:00.003-07:002011-10-05T01:09:36.743-07:00Menjelaskan Hasil KTT ILWP; Rakyat Papua Barat Harus Tetap Berjuang<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRokopaOFcqS-bMDTPgrlpVfWvGx-UGf-rCaHC2nHhBM8WMyn2-MgRJ3CL5wz6lwo_PfU_clzvR5NGfe-lwFTO0V4LuHOkaVeskrVEjUVro6JTpPbi6N0tAlFYaEGVbSYQqP25TatZF1BG/s1600/unjuk+rasa+knpb.jpg" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="" border="0" height="316" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5645432075097800898" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgRokopaOFcqS-bMDTPgrlpVfWvGx-UGf-rCaHC2nHhBM8WMyn2-MgRJ3CL5wz6lwo_PfU_clzvR5NGfe-lwFTO0V4LuHOkaVeskrVEjUVro6JTpPbi6N0tAlFYaEGVbSYQqP25TatZF1BG/s400/unjuk+rasa+knpb.jpg" style="float: left; height: 158px; margin: 0pt 10px 10px 0pt; width: 200px;" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Demo Referendum Rakyat PB @Google</i></td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-weight: bold;">Oleh Oktovianus Pogau<span style="font-style: italic;"></span></span>
<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">PADA</span> Sabtu 20 Agustus, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) telah resmi mengumumkan hasil Konfrensi Tingkat Tingggi (KTT) International Lawyers for West Papua (ILWP) yang telah berlangsung di Universitas Oxford, Inggris, pada 02 Agustus lalu. Dalam seminar internasional itu, sekitar 250 undangan hadir dan ikut berikan dukungan. Mereka antara lain; pengacara-pengacara internasional, anggota International Parliamentarian for West Papua (IPWP), aktivis hak asasi manusia, wartawan, warga Papua Barat (baca: Papua dan Papua Barat) diluar negeri, dan (menurut keterangan Benny Wenda) Walikota Oxford ikut hadir dan membuka acara tersebut (Bintang Papua, 22 Agustus 2011). <span class="fullpost">
<br />
<br />Sebelumnya, menjelang akan diumumkannya hasil KTT ILWP, Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjend Erfi Triassunu dalam koran bintang Papua 20 Agustus menyatakan (1) hasil KTT ILWP di Oxford, Inggris tidak jelas, (2) hasil KTT ILWP yang tak kunjung diumumkan membuat tensi konflik di Papua Barat semakin meningkat (3) mengajak masyarakat Papua Barat untuk tidak terpengaruh pada hasil KTT tersebut. Saya kira komentar yang cukup menarik untuk dikritisi (baca: dibantah). Pertanyaannya, hasil apa yang menurut Pangdam tidak jelas? Apa hubungan KNPB dengan konflik di Papua Barat? Atau apakah Pangdam punya bukti keterlibatan KNPB dalam berbagai konflik di Papua Barat? Atau TNI punya kepentingan lain dibalik konflik-konflik di Papua Barat? Saya curiga konflik-konflik tersebut dipelihara, dan justru didalangi oleh militer.
<br />
<br />Tulisan ini saya buat untuk menjawab komentar Pangdam yang penuh propoganda. Saya bisa katakan komentar tersebut menyesatkan, dan juga membuat rakyat Papua Barat semakin bingung. Selain itu, tulisan ini bermaksud menjelaskan hasil KTT secara rinci kepada rakyat Papua Barat, bahwa perjuangan kita masih belum selesai, dan kita harus terus berjuang sampai cita-cita luhur kita tercapai.
<br />
<br />Sebelum detik-detik akan dibacakan hasil KTT ILWP, Pemimpin Kemerdekaan Bangsa Papua Barat di Inggris, Benny Wenda telah menjelaskan via phone kepada rakyat Papua Barat yang memadati lapangan Taman Makam pemimpin besar bangsa Papua Barat, Theys Hiyo Elluay, bahwa hasil KTT ILWP akan diumukan resmi melalui sebuah panggung politik, dan dihadiri rakyat Papua Barat. Artinya, setelah KTT ILWP, belum pernah ada yang mengumumkan hasil tersebut, termasuk kepada wartawan sekalipun. Saya mengajak kita untuk mengamati secara cermat Hasil KTTP ILWP tersebut, dan saya akan berusaha menjelaskan setiap bagian secara rinci.
<br />
<br />Point pertama; kami telah mendengar sekarang atas situasi yang paling buruk dan serius di Papua Barat. Sejak 19 Desember 1961 –18 hari setelah deklarasi kemerdekaan Papua Barat dengan lagu hai tanahku Papua, burung mambruk sebagai lambang Negara, bintang kejora sebagai bendera Negara, Sorong sampai Samarai sebagai wilayah Negara Papua Barat, dan juga dibentuk pemerintahan oleh 70 orang terdidik Papua Barat yang disebut Komite Nasional Papua (KNP)–Indonesia telah masuk secara ilegal dengan tujuaan menggagalkan berdirinya Negara Papua Barat dan membunuh semua warga sipil di Papua Barat yang dianggap pro terhadap kemerdekaan, juga terhadap Belanda (Don Flassy, 2003).
<br />
<br />Sudah banyak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Indonesia terhadap warga sipil sejak mereka menginjakan kaki di Bumi Cendrawasih. Wajah Indonesia dimata rakyat adalah pembunuh nyawa jutaan warga sipil tak berdosa. Kalau mau dihitung, sampai saat ini sudah hampir puluhan kali operasi militer diberlangsungkan –termasuk semenjak setelah reformasi, dan bahkan era Otonomi Khusus sekalipun– dengan sasaran warga sipil yang “dicurigai” sebagai anggota atau simpatisan Organisasi Papua Mereka (OPM) (Imparsial, 2011). Lembaga hak asasi manusia tingkat internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch (HRW) dan Tapol sering melansir kejahatan-kejahatan tersebut, dan meminta pertanggung jawaban pemerintah Indonesia.
<br />
<br />Ada yang menyebut jumlah korban berkisar 1 juta, ada lagi yang menyebutkan 2 juta, bahkan ada juga yang menyatakan hanya berkisar 100.000 orang saja (Yakobus Dumupa, 2008). Terlepas dari berapa jumlahnya, tapi yang perlu kita tahu adalah militer Indonesia telah, dan memang pernah bahkan sedang melakukan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat. Situasi memprihatinkan diatas, juga kejahatan kemanusia seperti inilah yang telah didengar oleh dunia internasional, terutama pasca konfrensi di Oxford, Inggris lalu. Artinya, masyarakat Internasional tentu akan memberikan dukungan setelah mendengar penderitaan dan situasi paling buruk yang terjadi di Papua Barat sejak Indonesia masuk secara ilegal. Indonesia tidak bisa menutupi kebobrokan mereka di mata masyarakat Internasional, terutama terkait kejahatan kemanusiaan.
<br />
<br />Point Kedua; akar masalah Papua Barat terletak pada hak penentuan nasib sendiri (PEPERA 1969). Setelah Indonesia masuk secara illegal, dan membunuh jutaan warga sipil yang dianggap pro kemerdekaan, juga berhasil “mengusir” Belanda, Amerika Serikat melalui duta besar mereka di PBB, Elswort Bunker mengajukan satu proposal penyelesaian masalah Papua Barat (Jhon Saltford, 2006). Ini yang diterjemahkan dalam sebuah perjanjian yang disebut dengan “New York Agreement 1962”. Di dalamnya disepakati bahwa seluruh rakyat Papua Barat akan menentukan nasib mereka sendiri, apakah ingin ikut dengan Indonesia, atau merdeka sebagai sebuah bangsa.
<br />
<br />Lagi-lagi Indonesia melalui kekuatan aparat militer melakukan pengkondisian wilayah Papua Barat, juga melakukan teror, intimidasi, dan bahkan membunuh siapapun warga Papua Barat yang inginkan kemerdekaan. Ada beberapa point yang dilanggar Indonesia, dan inipula yang menjadi akar konflik di Papua Barat. Pertama, aturan one man, one vote tidak dilaksanakan. Indonesia dengan segala “kelicikan” hanya memilih 1025 orang dari 800.000 jumlah penduduk Papua Barat, juga non-Papua untuk ikut dalam PEPERA (P.J Drooglever, 2005). Dan mereka dikarantina selama dua bulan. Mereka diancam dibunuh, termasuk keluarga mereka jika tak memilih ikut dengan Indonesia. Kedua; pada saat Indonesia mempersiapkan PEPERA, diplomat asing, wartawan, bahkan utusan khusus PBB dilarang masuk, dan bahkan kunjungan mereka dipersulit. Indonesia tentu tidak mau kedok mereka diketahui masyarakat Internasional. Ketiga; dalam PEPERA tersebut Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat. Hasilnya memang Indonesia menang telak. Fokus persoalan ini juga yang menjadi sorotan saat konfrensi di Inggris. Dan saat ini masyarakat internasional telah tahu bahwa PEPERA adalah rekayasa, juga manipulasi pemerintah Indonesia untuk merebut tanah Papua Barat secara paksa.
<br />
<br />Point Ketiga; oleh karena itu kami kembali mendeklarasikan pengacara internasional Papua Barat secara khusus bahwa orang Papua Barat memiliki hak mendasar untuk menentukan nasib sendiri dibawah hukum internasional dan bahwa hak ini masih ada dan belum dilakukan. Pengacara-pengacara internasional untuk Papua Barat yang tergabung dalam ILWP diketuai Melinda Janki, dengan salah satu anggota Jennifer Robinson –pengacara utama Julian Assanges, pendiri situs Wikileaks– adalah untuk menggugat Negara Indonesia secara hukum terkait masalah PEPERA 1969 yang memang penuh rekayasa dan manipulasi.
<br />
<br />Konfrensi yang berlangsung pada 02 Agustus lalu juga telah memperlihatkan semangat, juga tekad mereka dalam membantu penyelesaian masalah Papua Barat secara hukum ditingkat mahkamah internasional. ILWP tidak akan menggugat Indonesia di PBB, tetapi Negara Vanuatu yang akan menjadi semacam kendaraan untuk ILWP bernaung, dan menggugat pemerintah Indonesia. Dalam aturan, memang sebuah lembaga atau organisasi tak bisa menggugat Negara. Komentar beberapa pengamat hukum internasional di Indonesia yang menyatakan ILWP atau OPM tak bisa gugat Indonesia di mahkamah internasional memang benar, tetapi sekali lagi saya ingin jelaskan, Negara Vanuatu yang akan mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke Mahkamah Internasional.
<br />
<br />Yang menjadi cita-cita dan tujuan utama perjuangan rakyat Papua Barat adalah menyatakan kepada dunia internasional, termasuk Indonesia bahwa rakyat Papua Barat memunyai hak untuk menentukan nasib sendiri seperti yang tertera dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, juga Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang berbunyi “Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, social, dan budaya mereka”. Indonesia adalah salah satu anggota PBB, dan harus mematuhi ketetapan yang dibuat oleh PBB. Dalam konfrensi di Oxford, Inggris, hak rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri tentu menjadi bahan pembicaraan yang cukup serius.
<br />
<br />Point keempat; kami menyerukan kepada semua Negara untuk bertindak pada tingkatan yang lebih tinggi dan mendesak kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menuntut agar orang-orang Papua Barat diberikan kesempatan yang benar untuk menentukan nasib sendiri. Setelah konfrensi di Oxford, Inggris, pada 02 Agustus lalu, tentu perhatian dunia internasional terhadap Papua Barat akan berbeda. Papua Barat akan dianggap sebagai wilayah koloni (jajahan) Negara Indonesia yang tentu harus diberikan dukungan agar dapat melepaskan diri. Jika Indonesia beranggapan Papua Barat bukan daerah koloni, kenapa sampai saat ini tidak ada kemajuan yang signifikan di tanah Papua Barat? Kenapa hak-hak hidup orang asli Papua tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh? Kenapa masih banyak operasi militer yang dilakukan untuk membunuh setiap warga sipil di Papua Barat. Saya kira pertanyaan-pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab pemerintah Indonesia.
<br />
<br />Melihat keempat point KTT ILWP diatas, tentu telah sedikit memberikan harapan kepada rakyat Papua Barat, bahwa perjuangan kita selama ini tidak sia-sia. Bukan berarti, setelah KTT ILWP, masalah Papua Barat akan terselesaikan dengan secepatnya. Rakyat Papua Barat bersama media nasional saat ini (baca: KNPB) perlu bekerja lebih keras, juga meyakinkan dunia internasional tentang penderitaan rakyat Papua Barat. Dan terus menyatakan kepada pemerintah Indonesia, bahwa Papua Barat bukan bagian dari NKRI. Dengan catatan singkat ini saya berharap Pangdam XVII/Cenderawasih bisa mendapatkan gambaran pasti, bahwa hasil KTT ILWP telah memberikan hasil yang pasti bagi kemajuan perjuangan rakyat Papua Barat.
<br />
<br />Pemerintah Indonesia harus mengakui, bahwa sudah tidak mampu, tidak bisa, dan bahkan telah gagal total membangun Papua Barat. Kenapa harus gagal, karena pemerintah Indonesia membangun Papua Barat lebih menggunakan pendekatan keamanan (baca: moncong senjata) dari pada membangun SDM. Mengutip pernyataan Ali Murtopo, orang kepercayaan Suharto saat Papua Barat akan dipaksa berintegrasi “Jika orang Papua Barat mau merdeka, pergi saja ke bulan dan buat Negara disana. Atau mengemis ke Amerika Serikat agar orang Papua Barat dipindahkan ke pulau Hawai. Kami (Indonesia) hanya butuh tanah dan sumber daya alam kalian. Kami sama sekali tidak butuh manusianya” (Socrates Sofyan Yoman, 2007). Pernyataan Ali Murtopo ini memperlihatkan betapa kejam dan jahatanya pemerintah Indonesia terhadap warga Papua Barat, pemilik negeri cendrawasih yang telah dikaruniakan Tuhan. Untuk rakyat Papua Barat, kita harus tetap dan terus berjuang. <span style="font-weight: bold;">Kita harus mengakhiri!!!</span>
<br /><span style="font-weight: bold;">
<br />Tulisan ini telah dimuat di Koran Harian Bintang Papua, 26 Agustus 2011</span>
</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-79966406675045557052011-08-22T20:33:00.004-07:002011-08-22T20:44:56.068-07:0066 Tahun Indonesia Merdeka, Bagaimana Dengan Papua?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBrzLs32CdG2Wu_pbUXc9IiTleo3Mhyphenhyphenxyw4LhNgfZ6w8NpSFr9IjRmrsksSHrRfvPrP1gVlABbZ-OpYi8GthMGb2UCKXkuCPi10NqZgWhRCRsV26uOdaTIf-dHy_ea_BLvT1pWW14ihL8h/s1600/PPBRT.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 266px; height: 211px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBrzLs32CdG2Wu_pbUXc9IiTleo3Mhyphenhyphenxyw4LhNgfZ6w8NpSFr9IjRmrsksSHrRfvPrP1gVlABbZ-OpYi8GthMGb2UCKXkuCPi10NqZgWhRCRsV26uOdaTIf-dHy_ea_BLvT1pWW14ihL8h/s320/PPBRT.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5643892055406172562" /></a> Oleh : Oktovianus Pogau*
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">PADA</span> 17 Agustus 2011 lalu, hampir sebagian besar rakyat Indonesia merayakaan kemerdekaan negara mereka. Kalau mau jujur, sebenarnya Indonesia belum bisa disebut negara merdeka. Masih banyak rakyat lain yang merasa ‘dijajah’, terutama rakyat Papua. Saya menulis ini sebagai kado ulang tahun untuk negara penjajah –Negara Indonesia. <span class="fullpost">
<br />
<br />Arti kemerdekaan yang sesungguhnya ialah semua warga negara merasa diperlakukan secara adil, benar serta hak-hak hidup mereka diperhatikan secara sungguh-sungguh. Tapi yang memprihatinkan, sampai saat ini negara sengaja tidak berlaku adil dan benar terhadap seluruh rakyat, terutama bagi rakyat Papua. Negara perlakukan mereka sebagai kelas nomor dua. Kelas yang hak-haknya tak patut dihargai.
<br />
<br />Hampir tiga setengah abad lamanya Negara Indonesia dijajah. Ia dijajah oleh beberapa negara besar yang ada di Eropa –Inggris, Portugis, Spayol, Jepang dan Belanda yang paling lama. Pemerintah Inggris mulai menguasai Indonesia sejak tahun 1811 pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles (TSR) sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia. Ketika TSR berkuasa sejak 17 September 1811, ia telah menempuh beberapa langkah yang dipertimbangkan, baik dibidang ekonomi, sosial, dan budaya (Jan Aritonang, 2004)
<br />
<br />Penyerahan kembali wilayah Indonesia yang dikuasai Inggris dilaksanakan pada tahun 1816 dalam suatu penandatanganan perjanjian. Pemerintah Inggris diwakili oleh John Fendall, sedangkan pihak dari Belanda diwakili oleh Van Der Cappelen. Sejak tahun 1816, berakhirlah kekuasaan Inggris di Indonesia. Kembali belandai menjajah Indonesia. Mereka paling lama, tahun 1602 sampai tahun 1942. Kemudian Jepang. Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
<br />
<br />Yang namanya penjajah jelas akan tidak berlaku adil pada yang dijajah. Hal itu juga yang dirasakan oleh rakyat Indonesia pada masa penjajahaan. Mereka sering diperlakukan tidak adil, wanitanya diperkosa, bahkan banyak dari antara mereka yang dibunuh. Dibanding beberapa negara besar di Asia, Indonesia adalah salah satu negara yang dijajah paling lama. Coba bayangkan, dijajah hampir tiga setegah abad lamanya.
<br />
<br />Indonesia meraih kemerdekaan berkat pertolongan negara adidaya, yakni; Amerika Serikat. Setelah sebelas hari Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan delapana hari di Nagasaki, kemerdekaan negara Indonesia akhirnya terwujud.
<br />Artinya, Indonesia tidak berjuang secara susah payah untuk mendapatkan kemerdekaan, tetapi kemerdekaan negara Indonesia adalah kado berharga dan tak ternilai harganya yang diberikan secara tidak langsung oleh negara Amerika Serikat.
<br />
<br />Senjata nuklir "Little Boy" dijatuhkan di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, diikuti dengan pada tanggal 9 Agustus 1945, dijatuhkan bom nuklir "Fat Man" diatas Nagasaki. Kedua tanggal tersebut adalah satu-satunya serangan nuklir yang pernah terjadi di dunia. John Hersey dalam laporan tentang Hiroshima memparkan tentang semua peristiwa kelam itu.
<br />
<br />Saat itu mata dunia tertuju kepada tragedi bersejarah di Jepang. Amerika Serikat diklaim sebagai negara yang jahat dan biadab. Mereka memusnahkan semua yang ada di Hirosima. Mata negara penjajah di dunia juga sedang tertuju kepada Hiroshima. Bahkan beberapa negara yang sedang menjajah justru melepaskan daerah jajahaan mereka untuk merdeka. Indonesia adalah salah satu contoh negara jajahaan Jepang yang mendapatkan kemerdekaan.
<br />
<br />Pada tanggal 17 Agustus 1945 negara Indonesia memproklamirkan kemerdekaan mereka dari Jepang. Sebelumnya Jepan telah menandatangi surat menyerah. Dunia internasional mengakui kemerdekaan itu. Seantoro rakyat Indonesia, kecuali Papua juga turut bangga dengan kemerdekaan itu. Babak perjuangan untuk meraih kemerdekaan telah dilewati, sekarang bagaimana mengisi kemerdekaan itu. Pergumulan paling berat adalah mengisi sebuah kemerdekaan yang telah diperoleh Negara Indonesia.
<br />
<br />Soekarno sebagai sang proklamtor menjadi presiden. Hatta menjadi wakil. Mereka memimpin dengan cukup bijak. Walau beberapa isu penting tentang kedekataan Soekarno dengan agen intelejen Amerika sering nampak. Banyak peristiwa penting yang dilewati. Selama 20 Tahun Soekarno memimpin.
<br />
<br />Tahun 1966 kekuasaan Soekarno tumbang. Surat perintah sebelas maret digunakan oleh Soeharto untuk memimpin Indonesia. Partai Komunis saat itu dituduh sebagai separatis yang akan mengganggu keamanan negara. Mayor Jenderal Soeharto menjadi otak untuk penumpasaan itu. Keberhasilaannya membawanya menjadi orang nomor satu. Selama 32 Tahun memimpin dengan Otoriter akhirnya Soeharto tumbang. Mahasiswa bersama rakyat Indonesia mengakhiri kediktatoran Soeharto. Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.
<br />
<br />Habibi memimpin hanya dua bulan tujuh hari . Setelah itu pemilu ulang di lakukan, Abdurhaman Wahid terpilih. Gus Dur tak bertahan lama. MPR mendesak Gus Dur untuk mundur. Megawati mengantikannya. Pemilu berikutnya juga di langsungkan, SBY akhirnya terpilh, hingga yang berikut lagi tetap terpilih. Hampir enam orang yang telah memimpin negeri ini. lima di antaranya pria, dan seorang wanita. Tidak semua memperhatikan persoalan yang terjadi di Papua dengan cermat dan bijak, hanya Gus Dur seorang diri yang dianggap sedikit peka dan peduli terhad persoalan di Papua.
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">Penjajahan di Papua
<br /></span>
<br />Saat negara Indonesia diproklamirkan, Papua tidak turut didalamnya. Sabang (Ache) sampai Amboina (Ambon) saat itu menjadi wilayah negara Indonesia. Sumpah palapa, sumpah pemuda dan beberapa sumpah pemuda Indonesia yang lain tidak pernah ada keterwakilan Papua. Ini menandakan bahwa Papua bukanlah bagian dari negara Indonesia.
<br />
<br />Pada 1 Mei 1961 oleh intelektual Papua yang tergabung dalam Nieuw Guinea Raad pernah mendeklarasikan kemerdekaan Papua. Saat itu lagu “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan, lambang burung mambruk diperlihatkan, juga bendera bintang kejora dikibarkan dan membentuk pemerintahan sendiri. Tri komando rakyat, salah satunya berbunyi bubarkan negara boneka buataan Belanda, Indonesia juga pernah mayakini bahwa Papua adalah sebuah Negara (P.J Drooglever, 2005).
<br />
<br />Tahun 1969 atas usulan Elswot Bungker, akhirnya penentuaan pendapat rakyat diberlangsungkan. Saat itu usulannya satu orang Papua memberikan satu suaranya, bukan beberapa orang Papua mewakili seluruh rakyat Papua, tetapi pemerintah Indonesia berlaku tidak adil, mereka menunjuk 1025 orang Papua untuk memberikan suara mereka mewakili 800.000 orang Papua (Jhon Saltford, 2006).
<br />
<br />UNTEA, badan khusus PBB yang ditugaskan untuk memantau perkembangan di Papua juga tak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah Indonesia menekan semua gerak-gerik mereka. Ruang demokrasi ditutup rapat. Mereka tidak menghargai hak setiap orang untuk berpendapat, termasuk utusan PBB sendiri. Hasil pepera akhirnya memutuskan bahwa rakyat Papua ikut dengan negara Indonesia. Mereka yang memberikan suaranya mewakili rakyat Papua adalah orang-orang pilihan pemerintah Indonesia. Mereka diancam akan dibunuh jika memilih ikut Papua. Mereka memilih dibawah tekanan.
<br />
<br />Setelah Papua integrasi ke dalam negara Indonesia secara sepihak banyak problem yang terjadi. Misalnya, militer mencurigai masih banyak orang Papua menghendaki kemerdekaannya sendiri. Mereka dikejar, diinterogasi bahkan banyak dari antara mereka yang dibunuh. Pelanggaran HAM oleh aparat militer sering terjadi di Papua. Semua berlangsung atas nama kepentingan negara. Orang Papua dianggap tidak penting untuk hidup. Pemerintah lebih mementingkan kekayaan alam orang Papua dari pada manusianya. PT Freeport Indonesia menjadi lahan yang paling menguntungkan bagi pemerintah Indonesia.
<br />
<br />Pertumbuhaan penduduk Papua tak nampak. Program keluarga berencana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, hal itu hanyalah akal-akalan untuk menekan penduduk asli Papua. Transmigrasi terus diberlangsungkan di Papua. Orang Papua sungguh tidak berdaya. Orang Papua memang betul-betul di buat tidak berdaya. UU Otsus hanyalah bentuk penjajahaan baru. Pemerintah Indonesia menaruh kecurigaan yang besar terhadap rakyat Papua, dampaknya Otsus tidak diimplementasikan secara baik dan konsekuen.
<br />
<br />Uang Otsus hanya di nikmati oleh pejabat Papua dan pemerintah Jakarta.
<br />Peraturan daerah khusus yang di buat oleh pemerintah daerah untuk menjaga hak-hak adat masyarakat lokal juga selalu dicurigai. Pemerintah selalu beralasan untuk tidak menyetujui Perdasi maupun Perdasus seperti itu. Rakyat Papua dianggap manusia yang tidak berguna dan tidak perlu dididik.
<br />
<br />Rakyat kecil yang seharusnya menikmati dana Otsus tetap terpinggirkan. Betul-betul dibuat tidak berdaya. Pemekaraan malah menimbulkan penyakit baru. Banyak uang Otsus dialokasikan untuk membuka daerah pemekaran. akhirnya lebih banyak uang Otsus dinikmati oleh birokrasi pemerintah dan aparat negara. Rakyat Papua masih tetap di jajah. Dijajah oleh sistem yang tidak memihak. Sepertinya keadilaan tidak pernah ada untuk rakyat Papua. Penjajahaan itu membuat orang Papua sebagai kaum lemah yang sungguh tak berdaya.
<br />
<br />Maka pantaslah jika rakyat Papua menuntut hak mereka untuk memisahkan diri, arti lain menuntut merdeka. Semua rakyat Papua, termasuk pejabat-pejabat birkorasi pemerintah sudah muak dengan pemerintah pusat yang tidak pernah menghargai rakyat Papua sebagai manusia beradab. Pemerintah Indonesia merdeka, berarti rakyat Papua juga harus merdeka. Semua orang, termasuk rakyat Papua juga berhak menentukan nasib sendiri. Tidak ada seseorang-pun yang bisa menghalangi hak setiap orang. Negara di dunia manapun mengakui hak-hak itu.
<br />
<br />Pemerintah Indonesia perlu membuka diri dan merefleksikan kembali kegagalan mereka dalam membangun Papua. Menyadari bahwa tidak siap memimpin sebuah daerah yang di sebut Papua. Ini juga sudah menunjukan kedwasaan mereka sebagai negara demokrasi. Dunia sedang menanti sikap pemerintah Indonesia.
<br />
<br />Kemarin lalu negara Indonesia senang karena telah merdeka. Tetapi bagaimana dengan rakyat Papua yang saat ini sedang dijajah, dan merasa benar-benar belum merdeka. Semoga pemerintah Indonesia sadar akan ketidakmampuaan itu. Hanya satu kebutuhan rakyat Papua saat ini; bebas dari penjajahan Indonesia. Selamat ulang tahun. Selamat bersenang-senang untuk rakyat Indonesia. Untuk rakyat Papua, terus berjuang, sampai harapan dan cita-cita kita tercapai. Kita harus mengakhiri!!!
<br />
<br /><span style="font-style:italic;">*Penulis adalah Sekjend Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia, tinggal di Jakarta.
<br />
<br />
<br /><span style="font-style:italic;">
<br />Tulisan ini telah dimuat di koran harian bintang papua, edisi 20 Agustus 2011</span>
<br /></span></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-85496044430431586372011-08-17T01:50:00.007-07:002011-08-17T02:09:53.527-07:00Menguji Kebenaran Komentar Menhan; Propoganda dan Tidak Benar<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoQtivp-1ZO3FEOLkzN7HbiOxrhS-aUy0zV-SKwwCbN-P0EFJc5dkx6uYzv2zyjnhDqoV1MecGgyT8g2bYKnILYkeQ5zUc-qWLsJ6XtZ48Ub0gJnShlWJ-QeyQTnzg_MOUu0fMPUiqKJUm/s1600/246964_1932948977291_1649288730_1948975_4329617_n.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 359px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoQtivp-1ZO3FEOLkzN7HbiOxrhS-aUy0zV-SKwwCbN-P0EFJc5dkx6uYzv2zyjnhDqoV1MecGgyT8g2bYKnILYkeQ5zUc-qWLsJ6XtZ48Ub0gJnShlWJ-QeyQTnzg_MOUu0fMPUiqKJUm/s400/246964_1932948977291_1649288730_1948975_4329617_n.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5641745639698120322" /></a> <span style="font-style:italic;">Oleh Oktovianus Pogau*</span>
<br />
<br />Menarik simak komentar Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yugiantoro dalam <span style="font-style:italic;">detik.com</span> dan <span style="font-style:italic;">Cyber News</span> pada 13 Agustus lalu menyangkut situasi di tanah Papua. Komentarnya, pertama; ada indikasi dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua (termasuk Papua Barat) telah digunakan untuk mendukung kegiataan separatis. Ia mengacu pada laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengatakan sejumlah dana mengendap dan tak terpakai (http://www.detiknews.com/ read/2011/08/13/181122/ 1703121/10/menhan-indikasikan- dana-otsus-papua- diselewengkan-untuk-makar). Kedua; perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memisahkan diri dari Indonesia hanya di dukung segelintir orang Papua, dan karena itu tak begitu berbahaya bagi keutuhan Negara Indonesia (http://suaramerdeka.com/v1/ index.php/read/news/2011/08/ 13/93559/Usulan-Referendum- OPM-Tak-Didukung-Mayoritas- Rakyat-Papua).<span class="fullpost">
<br />
<br />Komentar tersebut berkaitan dengan situasi Papua –terutama situasi politik– yang semakin masif disuarakan dari kampung-kampung hingga kota-kota, bahkan sampai di dunia Internasional. Pada 02 Agustus, di Oxford, Inggris berlangsung Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) dengan tema “Jalan Menuju Kemerdekaan Papua Barat”. Konfrensi ini di prakarsai oleh International Lawyers for West Papua (ILWP) yang diketuai Melinda Janki, pengacara Internasional dari Guyana, Amerika Serikat dan Benny Wenda pemimpin kemerdekaan Papua di Inggris. ILWP sendiri merupakan lembaga yang menghimpun 64 pengacara tingkat internasional dan akan menggungat sah dan tidaknya PEPERA 1969 di Makahmah Internasional secara hukum melalui Negara Vanuatu. Jennifer Robinson, pengacara Julian Assanges pendiri situs Wikileaks termasuk dalam anggota ILWP (http://www.ilwp.org/index. php?option=com_content&view= article&id=33:west-papua-the- road-to-freedom-2nd-august- 2011-oxford-uk&catid=5:news& Itemid=9).
<br />
<br />Untuk mendukung KTT ILWP di Oxford, Inggris secara serentak masyarakat Papua yang dikordinir Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melakukan aksi demonstrasi damai. Dua isu utama yang disuarakan; mendukung KTT ILWP dan menuntut referendum di tanah Papua.
<br />
<br />Di Jayapura dipusatkan di Lingkaran, Abepura. Hampir 5.000 massa ikut dalam kelompok ini. Di Wamena massa berkumpul sejak pagi hari di lapangan Sinapuk dengan jumlah kurang lebih 3.000. Di Manokwari berlangsung dari Kampus Universitas Negeri Papua (UNIPA) hingga Kantor Dewan Adat Papua (DAP). Di Sorong berlangsung di kantor DAP setempat. Di Yahukimo berlangsung di kantor DPRD setempat. Di Nabire dilangsungkan kegiatan doa di Taman Gizi. Di Timika dilaksanakan di lapangan Timika Indah. Dan Merauke sendiri dibatalkan karena sehari sebelumnya telah ada sweeping oleh aparat kepolisian –berujung pada penangkapan beberapa aktivis KNPB Wilayah Merauke.
<br />
<br />KNPB Konsulat Indonesia di Jawa dan Bali melakukan aksi yang sama. Massa yang sebagian besar mahasiswa Papua mulai long march dari Bundaran Hotel Indonesia hingga Istana Negara. Dan sempat terjadi insiden penangkapan seorang aktivis pro demokrasi Indonesia atas nama Surya Anta dari Partai Pembebasan Rakyat (PPR) oleh aparat kepolisian setempat (http://maxlaneonline.com/ 2011/08/05/908/). Di Wilayah Indonesia tengah –Manado dan Makassar – juga dilangsungkan aksi doa bersama oleh mahasiswa Papua. Semua aksi massa dengan tujuan memberikan dukungan terhadap KTT ILWP, juga menuntut referendum di tanah Papua.
<br />
<br />Sebalum Menhan berkomenter soal Papua pasca KTT ILWP, ada beberapa pejabat Negara yang telah lebih dulu berkomentar. Mulai dari politisi di Senayan –Priyo Budi Santoso, T.B Hasanuddin, Tantowi Yahya– para peneliti –Ikrar Nusa Bahkti, Dewi Fortunar Anwar dan Muridan Widjojo –juga aktivis hak asasi manusia –Haris Ashar, Poengky Indarty, Al Araf, Matius Murib, Olga Hamadi– dan bahkan beberapa petinggi Negara di tubuh militer seperti Hendropriyono (Mantan Kepala BIN), Budi Susilo (Gubernur Lemhanas), dan bahkan sampai Letjend (Purn) Bambang Darmono, juga organisasi mahasiswa di Indonesia, salah satunya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). GMNI melakukan aksi di Bandung, dan melakukan long march ke Kantor DPRD setempat untuk meminta pemerintah pusat serius terhadap Papua, tetapi menolak referendum di tanah Papua (http://tv.liputan6.com/main/ read/6/1061282/0/gmni-tolak- intervensi-asing-di-papua).
<br />
<br />Kita kembali lagi pada komentar Menhan yang bisa saya katakan penuh provokasi, juga tak pantasi disampaikan diatas. Saya berusaha menganalisis dari sudut pandang orang Papua, juga aktivis yang selama ini pro pada kemerdekaan Papua.
<br />
<br />Tidak benar, dan sangat rancuh jika dikatakan kegiataan separatis didanai oleh dana Otsus. Apa buktinya? Bagaimana separatis bisa dapat akses untuk menikmati dana Otsus? Sejauh mana kinerja intelijen dalam membuktikannya? Ataukah ini sebuah bahasa provokasi dari Menhan melihat ketuhan Negara Indonesia yang diambang kehancuran? Dan kalau mau dicermati, BPK juga tak menyatakan bahwa ada indikasi digunakan untuk separatis. Kita semua tahu persis, sejak Otsus diundang-undangkan pada tahun 2001, memang porsi dana untuk Papua semakin meningkat –kurang lebih 28 trilIun hingga tahun 2011 (http://www.detiknews.com/ read/2011/08/13/181122/ 1703121/10/menhan-indikasikan- dana-otsus-papua- diselewengkan-untuk-makar? 9922032). Pejabat-pejabat Papua bersama pemerintah pusat yang selama ini memegang kendali dana tersebut. Mulai dari perencanaan anggaran, mencairkan, hingga sampai menggunakannya, bahkan mereka sama-sama (mungkin) ikut menikmati
<br />
<br />Kalau dikatakan kegiataan seperatis didanai oleh dana Otsus adalah hal yang sama sekali tidak benar, dan kontradiktif dengan fakta yang terjadi selama ini. Tentu ini menimbulkan banyak pertanyaan besar dikalangan rakyat Papua, terutama orang asli Papua sendiri. Panglima OPM di Puncak Jaya Goliat Tabuni tidak pernah tahu apa itu dana Otsus, bahkan berapa jumlah yang diberikan pemerintah pusat untuk rakyat Papua. Lambert Pekiki, Panglima OPM Wilayah perbatasan juga tak pernah tahu ada dana Otsus, apalagi menikmatinya, juga termasuk “meminta jatah” pada pemerintah pusat, juga pemerintah daerah. Apalagi Benny Wenda di Inggris, tidak mungkin “menikmati” dana Otsus, atau menggunakan dana Otsus dalam membiayai kampanye-kampanye dia selama di Inggris, termasuk membiayai KTT ILWP Oxford lalu.
<br />
<br />Saya justru menduga, komentar Menhan sebenarnya ditujukan pada pejabat-pejabat di Papua –mulai dari Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, juga kepala-kepala dinas baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten, bahkan mungkin saja termasuk Wakil Rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Kita semua tahu, yang selama ini bersentuhan langsung dengan Otsus Papua adalah pejabat-pejabat diatas. Jika memang benar komentar Menhan merujuk pada pejabat-pejabat di Papua, pertanyaan kritis yang harus dijawab, apakah Menhan (baca;Jakarta) selama ini kategorikan pejabat-pejabat di Papua sebagai separatis? Bagaimana seorang separatis bisa mendukung penjajahan Indonesia atas orang Papua? Bagimana Menhan dapat membuktikan bahwa mereka memang, dan adalah separatis? Atau Menhan anggap mereka sebagai musuh negara selain OPM? Kalau begitu, bukankah mereka juga harus “ditumpas” seperti OPM?
<br />
<br />Masih menyangkut komentar Menhan yang menyatakan hanya sebagian kecil orang Papua yang dukung kemerdekaan Papua. Ini agak rancuh juga jika dikaitkan dengan fakta rill di lapangan saat ini. Bayangkan saja, dalam sehari secara serentak di seluruh tanah Papua, Jawa dan Bali, bahkan sampai di Sulawesi diperkirakan 20.000 massa orang Papua menyampaikan sikap mendukung KTT ILWP yang tujuannya tidak lain mendukung kemerdekaan Papua, dan meminta referendum segera dilakukan di tanah Papua yang tentu berujung pada kemerdekaan (http://knpbsentanidotorg. wordpress.com/2011/08/03/knpb_ soronghundreds-of-papuans-in- sorong-supports-ktti-by-ilwp- in-london-uk/). Apakah fakta ini tak bisa membenarkan, bahwa hampir sebagian besar rakyat Papua di tanah Papua, dan juga yang sedang berada di luar Papua menginginkan kemerdekaan dari Negara Indonesia? Ataukah, komentar Menhan dikarenakan laporan intelijen yang tak akurat? Atau bisa saja intelijen bekerja, tapi secara tak professional? Atau jangan-jangan Menhan ingin menyelamatkan wajah pemerintah Indonesia, juga dirinya dimata dunia internasional, dan masyarakat Indonesia pada khususnya.
<br />
<br />Kalau mau dilihat kebelakang, bukan di tanggal 02 Agustus saja rakyat Papua melakukan aksi demonstrasi menuntut referendum, tapi ia sudah dilangsungkan berungkali sejak tahun 1969, dan lebih masif lagi setelah memasuki era reformasi. Saya sendiri tak pernah menyaksikan aksi massa dalam jumlah besar yang meminta dana Otsus ditambah, meminta pembangunan infrastruktur diutamakan, atau meminta perlakukan khusus Negara terhadap orang Papua dalam bingka NKRI. Kisruh soal Pilkada yang terjadi di Puncak, Papua, dengan menewaskan belasan orang Papua, tak bisa menjadi ukuran menilai orang Papua pada umumnya mendukung Otsus, juga mendukung kebijakan pemerintah di tanah Papua. KNPB sendiri yakin ada pihak-pihak yang berusaha mengacaukan situasi Papua, terutama untuk gagalkan aksi demo damai yang akan digelar sebagian besar rakyat Papua saat itu. Pemerintah Indonesia harusi akui telah gagal membangun Papua sejak masuk dan lakukan invasi sejak 1 Mei 1963. Kurang tepat, bahkan saya bisa katakan salah jika mengatakan yang mendukung kemerdekaan Papua adalah hanya segelintir orang saja.
<br />
<br />Apalah arti sebuah jabatan Menteri Pertahanan, jika tak dapat menyampaikan fakta yang terjadi di tanah Papua secara tepat dan akurat. Mungkin saja akan ada banyak orang mencemoh cara-cara diplomasi yang tak elegan, juga tak professional yang ditunjukan Menhan secara pribadi, dan pemerintah Indonesia pada umumnya, terutama terkait situasi Papua, juga tuntutan orang Papua yang dari waktu ke waktu semakin nampak ke permukaan.
<br />
<br />Semangat perlawanan yang dilakukan rakyat Papua melalui wadah KNPB, juga DAP, dan gerakan-gerakan pemuda, bahkan TPN dan OPM akan dan terus dilakukan. Pemerintah tentu harus mengakui telah gagal (baca: tak mampu) urus tanah Papua, dan juga harus bijak “menghadapi” carai-cara perlawanan yang dilakukan orang Papua secara elegan, manusiawi, dan juga bermartabat. Negara akan dianggap “kalah” dalam pertarungan jika hadapi tuntutan rakyat Papua dengan cara-cara militeristik, juga propaganda murahan lewat media massa, salah satunya seperti yang telah tunjukan oleh Menhan Republik Indonesia, Purnomo Yugiantoro.
<br />
<br /><span style="font-style:italic;">*Penulis Sekjend Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia, tinggal di Jakarta.</span>
<br /><span style="font-weight:bold;">
<br />Tulisan ini telah dimuat di Harian Bintang Papua,Edisi 16 Agustus 2011.</span>
<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-88558765384409748642011-08-11T21:48:00.003-07:002011-08-12T03:31:49.770-07:00Militer di Puncak Jaya dan Dialog Bermartabat<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9-jXhyphenhyphenrBfvw0RTuAtJXdjWvkg7Oki6qaFiLqkg_w7yzKQbOKcHmaXt5IB7w5R72UgUqa_J8c9bNczr-w3mfVivEBBZWEpD7d4Bupz8WGlrN1B8m0hyaVOdGkZOexVvXRHqQNhKC-aosfY/s1600/MIliter.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 152px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9-jXhyphenhyphenrBfvw0RTuAtJXdjWvkg7Oki6qaFiLqkg_w7yzKQbOKcHmaXt5IB7w5R72UgUqa_J8c9bNczr-w3mfVivEBBZWEpD7d4Bupz8WGlrN1B8m0hyaVOdGkZOexVvXRHqQNhKC-aosfY/s200/MIliter.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5639829737157347378" /></a> <span style="font-style:italic;">Oleh Oktovianus Pogau*</span>
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">KEBERADAAN</span> aparat militer TNI AD –dari Batalyon Infateri (Yonif) 753/Arga Vira Tama (AVT) Nabire dan Batalyon Infateri (Yonif) 751/Berdiri Sendiri Sentani– di Distrik Tingginanmbut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua telah meresahkan warga setempat.
<br />
<br />Pasalnya, kehadiran mereka dengan jumlah yang cukup banyak membuat masyarakat setempat tak aman hidup, bahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari sekalipun. <span style="font-style:italic;">(The Jakarta Globe, 12 Juli, 2011).</span> <span class="fullpost">
<br />
<br />Samuel P Huntington (2003) dalam buku “Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil” mengatakan militer profesional adalah mereka yang mampu jalankan tugas negara dengan sebaik-baiknya, tanpa korbankan warga sipil –termasuk membuat mereka takut untuk hidup.
<br />
<br />Aktivis hak asasi manusia (HAM) melaporkan bahwa militer selalu mengintai setiap aktivitas warga sipil di wilayah tersebut. Bahkan, secara terang-terangan ada yang dituding sebagai anggota separatis.
<br />
<br />Wartawan dan aktivis HAM juga tidak luput dari pengawasan. Bahkan, beberapa aktivis HAM lebih memilih keluar dari Puncak Jaya karena merasa sangat terancam.
<br /><span style="font-weight:bold;">
<br />Korban Warga Sipil</span>
<br />
<br />Kontak senjata antar militer dan orang tak dikenal sudah berlangsung lama. Dalam beberapa kali, militer juga menembak warga sipil –padahal mereka tak tahu menahu tentang aktivitas kelompok separatis.
<br />
<br />Rumah-rumah penduduk sipil sering jadi sasaran operasi. Stigma separatis terus legalkan aparat militer untuk bertindak semena-menanya. Padahal, stigma tersebut tak bisa dibuktikan kebenarannya.
<br />
<br />Akibatnya, banyak warga sipil setempat lebih memilih mengungsi ke wilayah diluar Puncak Jaya.
<br />
<br />Peristiwa terhangat, pada 12 Juli, pukul 06.00 WIT lalu, terjadi lagi kontak senjata antar militer dan orang tak dikenal. Tanpa sebab, dilaporkan militer mendatangi warga sipil di setiap rumah, dan menembak yang dicurigai sebagai separatis.
<br />
<br />Warga sipil yang menjadi korban adalah Ny. Dekimira (50 tahun), seorang Ibu terkena tembakan pada kaki sebelah kanan, Anak kandungnya Jitoban Wenda (4 tahun), juga terkena tembak pada kaki sebelah kiri. Dua anak lainnya tetangga Dekimira, Dekimin Wenda (4 tahun), dan Dimison Wenda (8 tahun), keduanya terkena peluru pada kaki bagian kiri.
<br />
<br />Setelah kejadian, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Panglima Mayjen TNI Erfi Triasunu kepada media di Jayapura membenarkan peristiwa tersebut. Ia menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM) berada dibalik aksi-aksi tersebut.
<br />
<br />Jika benar pelakunya OPM, maka kenapa aparat militer tidak melakukan pengejaran hingga menangkap, dan juga dapat meminta pertanggung jawaban?
<br />
<br />Selama ini aparat menuding OPM berada dibalik serangkaian kasus, tapi tak bisa membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, yang sering ditangkap dan disiksa adalah warga sipil –kasus dua orang petani, Tunaliwor Kiwo dan Kindeman Gire yang disiksa dan hampir dibunuh oleh militer Indonesia adalah sebuah fakta yang tak bisa terelahkan.
<br /><span style="font-weight:bold;">
<br />Konfrensi Perdamaian Papu</span>a
<br />
<br />Situasi di Puncak Jaya sangat kontras dengan pernyataan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto, di Jayapura pada 5 Juli lalu saat membuka Konfrensi Perdamaian Papua (KPP).
<br />
<br />Dalam sambutan ia menyatakan pentingnya menciptakan Papua sebagai tanah damai, dan tekad pemerintah dalam melakukan komunikasi konstruktif dalam menyelesaikan tiap masalah di Papua.
<br />
<br />Kalau begitu, pertanyaannya, kenapa kebijakan operasi militer masih terus ditempuh dalam menyelesaikan tiap konflik di Puncak Jaya.
<br />
<br />Apakah hal yang rumit pemerintah Indonesia membuka ruang berdialog dengan pihak-pihak yang selama ini dianggap berseberangan ideologi (baca: menginginkan kemerdekaan dari Indonesia).
<br />
<br />Tekad dan komitmen pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Papua tanah damai tak bisa hanya sebatas komentar-komentar di media massa, seminar, lokakarya, bahkan konferensi sekalipun.
<br />
<br />Ia harus dibuktikan dengan tindakan nyata, juga kebijakan yang memang dapat ciptakan Papua sebagai tanah damai kedepannya.
<br />
<br />HAM –untuk hidup aman dan damai– warga sipil di Puncak Jaya harus di dahulukan dari segala kepentingan –termasuk kepentingan keutuhan Negara Indonesia sekalipun.
<br />
<br />Banyak orang ragu akan kinerja (baca: profesionalitas) militer di Puncak Jaya, dan menuding telah melakukan berbagai pelanggaran HAM berat jika pelaku penembakan aparat TNI pada 25 Juni lalu tak bisa diungkap ke publik.
<br />
<br />Militer harus dapat membuktikan bahwa OPM selama ini berada dibalik serangkaian kasus tersebut. Atau jangan-jangan ada pihak lain diluar TNI maupun OPM. Siapa?
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">Dialog Bermartabat</span>
<br />
<br />Cara terbaik yang dapat ditempuh saat ini adalah aparat militer (baca: pemerintah Indonesia) membuka ruang dialog yang lebih bermartabat dengan kelompok yang selama ini berseberangan ideologi.
<br />
<br />Jalan kekerasan (baca: operasi militer) yang telah lama ditempuh justru tak akan menyelesaikan konflik di Puncak Jaya, dan bukan tidak mungkin justru menambah konflik baru yang tensinya akan semakin meningkat.
<br />
<br />Tiap perbedaan pandangan di dalam Negara demokrasi adalah hal yang wajar, dan tak pantas dihadapi dengan kekerasan, bahkan moncong senjata.
<br />
<br />Komitmen pemerintah Indonesia ciptakan Papua tanah damai, dan secara khusus di Puncak Jaya masih akan terus dipertanyakan.
<br />
<br /><span style="font-style:italic;">*Penulis warga Papua, tinggal di Jakarta dan kelolah sebuah kelompok diskusi yang dinamakan "Honai Study Club" </span>
<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-56872906970472397162011-08-03T20:14:00.005-07:002011-08-03T20:37:56.482-07:00Catatan Kritis Untuk Bupati Nabire (bagian pertama)<span style="font-style:italic;">Kemana Larinya Dana Pendidikan Untuk Mahasiswa?</span><br /><br /><span style="font-style:italic;"> Oleh Oktovianus Pogau*</span> <a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxXt_LRKI92PzVxd7K-dJUtsGfVEk6qAHxsTpPokYMLw3h1cSutU4NKBruatygZSkgBcg2qnQSJUN5iXf6HA9eHMTh94ftlM8WMqrbjLVVoTUsHaFRLBYvZg2_s_skF5oD0ky25p122t4k/s1600/okto.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 122px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxXt_LRKI92PzVxd7K-dJUtsGfVEk6qAHxsTpPokYMLw3h1cSutU4NKBruatygZSkgBcg2qnQSJUN5iXf6HA9eHMTh94ftlM8WMqrbjLVVoTUsHaFRLBYvZg2_s_skF5oD0ky25p122t4k/s320/okto.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5636835703561684114" /></a><br /><br /><span style="font-weight:bold;">HAMPIR </span><span style="font-style:italic;">12 tahun –sejak sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA)– saya tinggal di kota Nabire. Telah merasakan menjadi orang Nabire. Dan merasa memiliki kota ini. Sebagai kaum muda yang peduli pada kota ini, saya merasa terpanggil untuk menulis sebuah catatan. Catatan kritis (baca: masukan) untuk bupati, juga wakil bupati Nabire terpilih saat ini.</span> <span class="fullpost"> <br /><br />Catatan ini sebagai bentuk dukungan moril saya pada kepemimpinan bupati dan wakil bupati yang telah dilantik sejak 4 Mei 2010 silam –berarti sudah 1 tahun 3 bulan. Pada bagian pertama dari catatan ini adalah terkait sektor pendidikan. Bagaimana kebijakan kongkrit bupati dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), salah satunya perhatian terhadap mahasiswa-mahasiswi asal Nabire yang sedang mengenyam studi di berbagai kota –baik di Papua maupun luar Papua. <br /><span style="font-weight:bold;"><br />Tekad dan Komitmen Bupati</span><br /><br />Bupati Nabire, Isaias Douw, S.Sos, dalam wawancara eksklusif dengan <span style="font-style:italic;">Tabloid Mingguan Suara Perempuan Papua (TSPP)</span> di Jayapura pernah mengatakan bahwa dirinya maju dan dilantik menjadi bupati Nabire bukan untuk mencari kekayaan, tetapi melayani masyarakat kota Nabire. Ia juga sekaligus mengajak semuah pihak –pemerintah dan masyarakat luas– untuk membuat kasih pada sesame melalui tugas masing-masing. (<span style="font-style:italic;">Baca Tabloid Mingguan Suara Perempuan Papua, Edisi XXI/4-11 Me 2011</span>). <br /><br />Juga dalam media yang sama katanya “Secara khusus kepada anak-anak muda di sekolah, di kampus, di jalanan, di terminal, di rumah, ketahuilah bahwa manusia dan bangsa-bangsa hanya dapat dibentuk selagi muda. Mereka tidak dapat diperbaiki lagi sesudah menjadi tua. Jadilah pelopor, bukan pengekor! Pemuda hendaknya tampil sebagai agen perubahan, minimal untuk pribadi Anda. Itu adalah tantangan Anda dan kita bersama untuk membangun kabupaten ini (Nabire) dan secara umum Papua.” <br /><br />Dari kutipan pernyataan diatas, saya melihat paling tidak bupati ingin menyampaikan beberapa hal, pertama; saya (Isaias) menjadi bupati Nabire bukan untuk mencari harta kekayaan (secara tidak langsung berikan pernyataan tegas bahwa tidak akan melakukan tindakan korupsi), kedua; Papua, secara khusus Nabire dapat dibangun oleh orang-orang muda (baca: pemuda dan mahasiswa) yang memiliki SDM yang handal, ketiga; pemuda dan mahasiswa dimanapun berada harus belajar dengan sungguh-sungguh, agar kedepannya dapat berpartisipasi dalam membangun Nabire, keempat; dengan belajar sungguh-sungguh, pemuda dan mahasiswa tentu mampu menjawab tantangan untuk Papua, dan Nabire secara khusus dikemudian harinya.<br /><br />Saya kira sebuah pernyataan yang sangat baik, dan patut diacungkan jempol. Paling tidak bupati Nabire sudah menunjukan kemauan besar –komitmen, tekad, serta kesungguhan– dalam membangun kota Nabire, khususnya meningkatkan kecerdasan atau memajukan kualitas SDM masyarakat kota Nabire, khususnya lagi bagi pemuda dan mahasiswa. <br /><br />Dalam program pembangunan lima tahun ke depan Kabupaten Nabire, sektor pendidikan mendapat perhatian yang cukup. Pada berbagai media massa bupati Nabire menyatakan hal itu. Juga komitmen dirinya dalam peningkatan SDM masyarakat Nabire. Memang harus demikian, bahwa pendidikan perlu mendapat perhatian yang ekstra serius, karena ia tentu akan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, juga masyarakat kota Nabire. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kontras Dengan Pernyataan</span><br /><br />Tapi, bagaimana jika pernyataan bupati Douw di media, juga dalam berbagai pertemuan kontras dengan realitas di lapangan. Apakah seorang bupati telah berbohong? Humbar janji? Atau justru membangun opini publik agar ia dianggap peduli, dan juga memperhatikan sektor pendidikan? Kita akan lihat sama-sama apa yang kontras, dan sudah harus menjadi perhatian bupati secepat mungkin. <br /><br />Saya akan menunjukan beberapa fakta yang tentu dapat mengantarkan kita untuk pertanyakan komitmen dan tekad bupati Nabire. khususnya dalam sector pendidikan, dan komitmen memajuka SDM masyarakat kota Nabire, khususnya lagi perhatian bupati untuk pemuda dan mahasiswa asal Nabire di berbagai kota studi. <br /><br />Hampir semua bupati –baik definitiv maupun karateker– di wilayah Papua Tengah –Paniai, Dogiya, Deiya, dan Intan Jaya– telah menunjukan tekad dan komitmen mereka dalam meningkat kualitas SDM. Mereka juga secara serius memperhatikan, dan juga memenuhi kebutuhan mahasiswa-mahasiswi mereka diberbagai kota studi –termasuk di kota Jawa dan Bali. Kebijakan setiap kepala daerah tersebut benar-benar menjawab kebutuhan pendidikan untuk daerah, juga untuk pemuda dan mahasiswa mereka. <br /><br />Komitmen keempat kepala daerah (baca: bupati) di daerah-daerah diatas terbukti nyata ketika mereka mengirim team (baik dari pemerintah, juga legislatif) untuk mengunjungi seiap mahasiswa. Tujuan utama adalah memberikan dana akhir studi bagi mahasiswa semester akhir, mengurusi pemondokan (asrama mahasiswa atau kontrakan) serta memberikan dana pengembangan organisasi. <br /><br />Salah satu contoh adalah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Intan Jaya. Bupati Maximus Zonggonau bersama ketua DPRD, Manfred Sondegau, juga anggota DPRD yang membidangi pendidikan, kepala bagian kesejahteraan sosial, beserta bendahara daerah telah mengunjungi mahasiswa mereka di hampir semua daerah, juga termasuk di Jawa dan Bali. Mereka berhasil mendata nama-nama seluruh mahasiswa. Dan sekembalinya dari pendataan, biaya pemondokan, juga biaya pendidikan kepada tiap mahasiswa telah dikirimkan melalui nomor rekening. Cara ini dianggap cukup berhasil, walaupun kabar yang saya dapat, hanya baru 30% yang terealisasikan. <br /><br />Pemda Dogiya, Deiya dan Paniai juga melakukan cara yang sama. Telah mendatangi, melihat, serta langsung memenuhi kebutuhan tiap mahasiswa di setiap wilayah. Dengan kunjungan seperti itu, paling tidak mahasiswa telah merasakan benar-benar diperhatikan oleh Bupati, juga secara umum oleh pemda. Tanggun jawab pemerintah daerah memang benar-benar harus di wujud nyatakan dengan tindakan kongkrit. Sebab, pemuda dan mahasiswa merupakan tulang punggung kemajuan sebuah daerah, yang tentu harus mendapatkan perhatian dan pembinaan. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Bagaimana Dengan Nabire?</span><br /><br />Nah, sekarang bagaimana dengan Kabupaten Nabire? Apakah bupati Nabire melakukan kebijakan yang sama dengan cara yang dilakukan beberapa bupati yang telah disebutkan diatas? Atau juga ikut berpartisipasi dalam mendukung peningkatan kualitas SDM untuk kaum pemuda dan mahasiswa asal Kabupaten Nabire di tiap wilayah Indonesia? Jawabannya, sampai saat ini tidak ada dana pendidikan yang sampai pada mahasiswa. <br /><br />Pertanyaannya, kemana larinya dana pendidikan untuk mahasiswa? Kabarnya, hingga awal bulan Agustus ini perhatian dari bupati Isaias Douw selaku orang nomor satu di Nabire tak nampak. Hampir semua mahasiswa asal Nabire –baik yang berada di Papua juga di Jawa dan Bali– terus mempertanyakan dana pendidikan tersebut, khususnya alokasi untuk pendidikan mahasiswa. Juga menagih “sebuah janji” terkait komitmen dan tekad dalam meningkatkan SDM masyarakat kota Nabire yang telah digembar-gemborkan bupati Nabire saat ini. <br /><br />Padahal, kalau mau diamati lebih lanjut, Kabupaten Nabire telah berdiri lama dibandingkan Intan Jaya, Dogiyai, dan juga Deiya. Tentu Nabire mendapat porsi anggaran yang lebih besar. Termasuk dana untuk peningkatan SDM di sektor pendidikan. Dan apalagi beberapa daerah tersebut belum ada bupati definitif seperti Nabire, kecuali Paniai. Mereka masih berada di bawah bupati karateker. <br /><br />Ini tentu menjadi pertanyaan besar untuk bupati Nabire? Kenapa bisa demikian? Apakah memang dana pendidikan untuk mahasiswa Nabire tidak ada? Atau telah dialokasikan tetapi tidak sampai pada mahasiswa? Atau telah dialokasikan, tetapi disalurkan dengan bentuk dan cara yang berbeda? Saya sendiri tak mau menduga secara asal-asalan. Tetapi paling tidak bupati harus memberikan penjelasan, juga pernyataan terkait hal ini. Hanya seorang bupati yang bisa menjelaskan semuanya, apalagi saat ini bupati memiliki kewenangan (kekuasaan) tertinggi melebihi kewenangan kepala dinas pendidikan sekalipun.<br /><br />Kondisi mahasiswa asal Nabire di berbagai kota studi –baik di Papua maupun Jawa dan Bali – saat ini seperti ayam yang kehilangan induk. Bingung kepada siapa harus berharap, juga kepada siapa harus bertanya. Bahkan yang lebih miris lagi, hampir semua mahasiswa asal Nabire menumpang tinggal di setiap kontrakan atau asrama dari pemda Paniai, Dogiyai, Deiya, atau Intan Jaya. Tentu ini sebuah fakta yang sangat menggenaskan. <br /><span style="font-weight:bold;"><br />Dana Pendidikan<br /></span><br />Dari salah satu sumber terpercaya menyatakan bahwa jumlah dana pendidikan yang telah dianggarkan untuk Nabire di tahun 2011 adalah 6 milyar. Ini tentu tidak mengherankan, sebab misalkan Kabupaten Dogiyai saja, untuk tahun anggaran 2011 pemerintah daerah setempat telah anggarkan sebanyak 4 milyar <span style="font-weight:bold;">(Papua Post Nabire, 06 April 2011)</span>. Tentu tidak mengherankan jika kabupaten yang telah memiliki bupati definitif seperti Nabire mendapat anggaran yang begitu besar. <br /><br />Sikap seorang bupati yang pandai “membual” lewat berbagai pernyataan di media massa, tentu harus dipertanggung jawabkan. Jika tak punya niat baik, atau tidak serius dalam meningkatkan kualistas SDM, termasuk membantu pemuda dan mahasiswa di berbagai kota studi di Indonesia, maka tak harus berkomentar sembarang. Pernyataan yang tak benar di media massa tentu menjadi bumerang bagi bupati sendiri, juga untuk jenjang karirnya dikemudian hari. <br /><br />Lebih baik diam dan bekerja, dan menunjukan fakta kerja di lapangan, dari pada memberikan berbagai pernyataan, tapi tidak sesuai dengan fakta dilapangan. Ini tentu menunjukan siapa seorang bupati, dan sejauh mana integritas yang dimiliki. Memang benar, bahwa belum genap dua tahun memerintah, tapi perlu diingat juga, dua tahun bukan merupakan waktu yang singkat untuk memaksimalkan semua sektor, secara khusus sektor pendidikan. <br /><br />Akhir kata, semua belum terlambat, artinya masih ada waktu untuk membuktikan bahwa Douw-Magai memang serius, dan benar-benar ingin membangun Kabupaten Nabire, khususnya dalam sektor pendidikan. <br /><br />Caranya adalah penuhi tuntutan mahasiswa dengan memberikan biaya sesuai kebutuhan mereka –baik untuk mahasiswa di Papua juga di Jawa maupun Bali. Saya hanya takut, jika tidak dipenuhi, dampak buruknya akan dirasakan sendiri oleh bupati selaku orang nomor satu di Kabupaten Nabire. Semoga ada langkah bijak. <span style="font-weight:bold;">Amakane. (BERSAMBUNG)</span><br /> <br /><span style="font-style:italic;">*Oktovianus Pogau adalah mahasiswa asal Kabupaten Nabire, saat ini studi di Jakarta. <br /></span><br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-44113738130794422852011-07-28T22:33:00.011-07:002011-07-31T05:31:20.053-07:00Papua Dari Nama ke Nama<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZQkDK8s03V1kJxiWAByFVkYsoMX5EERnTNQvPr7k__qLbyfHzD-xyUKTDJoK8wORmCq_x3OyTHhyphenhyphenK2-9717SdA-W-Y5-8TVlp8-0ndUVBdBsbqEYPbDfsi_JggRev5weXhszSaF86QohX/s1600/papua.png"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 178px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZQkDK8s03V1kJxiWAByFVkYsoMX5EERnTNQvPr7k__qLbyfHzD-xyUKTDJoK8wORmCq_x3OyTHhyphenhyphenK2-9717SdA-W-Y5-8TVlp8-0ndUVBdBsbqEYPbDfsi_JggRev5weXhszSaF86QohX/s200/papua.png" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5634651748923677842" /></a> <span style="font-style:italic;">Oleh: Oktovianus Pogau*</span><br /><br /><span style="font-style:italic;">ADA banyak nama yang pernah diberikan untuk pulau Papua (meliputi Papua dan Papua Barat). Kebanyakan nama pemberian orang asing yang melakukan ekspedisi di wilayah ini. Dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia termasuk putra asli Papua sendiri ikut memberikan nama. </span><br /><br />Pulau Papua berada di wilayah paling timur negara Indonesia. Ia merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Greendland di Denmark. Luasnya capai 890.000 Km² (ini jika digabung dengan Papua New Guinea). Besarnya diperkirakan hampir lima kali luas pulau Jawa. <span class="fullpost"><br /><br />Pada sekitar tahun 200 M , ahli Geography bernama <span style="font-style:italic;">Claudius Ptolemaeus</span> (Ptolamy) menyebut pulau Papua dengan nama <span style="font-style:italic;">Labadios</span>. Sampai saat ini tak ada yang tahu, kenapa pulau Papua diberi nama Labadios.<br /><br />Sekitar akhir tahun 500 M, oleh bangsa China diberi nama <span style="font-style:italic;">Tungki</span>. Hal ini dapat diketahui setelah mereka menemukan sebuah catatan harian seorang pengarang Tiangkok, Ghau Yu Kuan yang menggambarkan bahwa asal rempah-rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki, nama yang digunakan oleh para pedagang China saat itu untuk Papua. <br /><br />Selanjutnya, pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama <span style="font-style:italic;">Janggi</span>. Dalam buku Kertagama 1365 yang dikarang Pujangga Mpu Prapanca “Tugki” atau “Janggi” sesungguhnya adalah salah eja diperoleh dari pihak ketiga yaitu Pedagang Cina Chun Tjok Kwan yang dalam perjalanan dagangnya sempat menyinggahi beberapa tempat di Tidore dan Papua.<br /><br />Di awal tahun 700 M, pedagang Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua, juga termasuk pedangan dari India. Tujuan mereka untuk mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal China. Para pedagang ini sebut nama Papua dengan <span style="font-style:italic;">Dwi Panta</span> dan juga <span style="font-style:italic;">Samudranta,</span> yang artinya Ujung Samudra dan Ujung Lautan.<br /><br />Pada akhir tahun 1300, Kerajaan Majapahit menggunakan dua nama, yakni <span style="font-style:italic;">Wanin</span> dan <span style="font-style:italic;">Sram</span>. Nama Wanin, tentu tidak lain dari semenanjung Onin di daerah Fak-Fak dan Sram, ialah pulau Seram di Maluku. Ada kemungkinan, budak yang dibawa dan dipersembahkan kepada Majapahit berasal dari Onin dan yang membawanya ke sana adalah orang Seram dari Maluku, sehingga dua nama ini disebut.<br /><br />Sekitar tahun 1646, Kerajaan Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai Papa-Ua, yang sudah berubah dalam sebutan menjadi Papua. Dalam bahasa Tidore artinya tidak bergabung atau tidak bersatu (<span style="font-style:italic;">not integrated).</span> Dalam bahasa melayu berarti berambut keriting. Memiliki pengertian lain, bahwa di pulau ini tidak terdapat seorang raja yang memerintah. <br /><br />Ada juga yang memakai nama Papua sebagai bentuk ejekan terhadap warga setempat—penduduk primitif, tertinggal, bodoh— yang merupakan slogan yang tidak mempunyai arti apapun dengan nama Papua. <br /><br />Respon penduduk terhadap nama Papua cukup baik. Alasannya, sebab nama tersebut benar mencerminkan identitas diri mereka sebagai manusia hitam, keriting, yang sangat berbeda dengan penduduk Melayu juga kerajaan Tidore. Tapi, tentu mereka tak terima dengan ejekan yang selalu dilontarkan warga pendatang. <br /><br />Pada tahun 1511 Antonio d’Arbau, pelaut asal Portugis menyebut wilayah Papua dengan nama <span style="font-style:italic;">“Os Papuas”</span> atau juga <span style="font-style:italic;">llha de Papo</span>. Don Jorge de Menetes, pelaut asal Spanyol juga sempat mampir di Papua beberapa tahun kemudian (1526-1527), ia tetap menggunakan nama Papua. Ia sendiri mengetahui nama Papua dalam catatan harian Antonio Figafetta, juru tulis pelayaran Magelhaens yang mengelilingi dunia menyebut dengan nama Papua. Nama Papua ini diketahui Figafetta saat ia singgah di pulau Tidore. <br /><br />Berikutnya, pada tahun 1528, Alvaro de Savedra, seorang pimpinan armada laut Spanyol beri nama pulau Papua <span style="font-style:italic;">Isla de Oro</span> atau <span style="font-style:italic;">Island of Gold</span> yang artinya Pulau Emas. Ia juga merupakan satu-satunya pelaut yang berhasil menancapkan jangkar kapalnya di pantai utara kepulauan Papua. Dengan penyebutan Isla Del Oro membuat tidak sedikit pula para pelaut Eropa yang datang berbondong-bondong untuk mencari emas yang terdapat di pulau emas tersebut.<br /><br />Pada tahun 1545, pelaut asal spanyol Inigo Ortiz de Retes memberi nama <span style="font-style:italic;">Nueva Guinee</span>. Dalam bahasa Inggris disebut New Guinea. Ia awalnya menyusuri pantai utara pulau ini dan karena melihat ciri-ciri manusianya yang berkulit hitam dan berambut keriting sama seperti manusia yang ia lihat di belahan bumi Afrika bernama Guinea, maka diberi nama pulau ini Nueva Guinee/Pulau Guinea Baru.<br /><br />Nama Papua dan Nueva Guinea dipertahankan hampir dua abad lamanya, baru kemudian muncul nama Nieuw Guinea dari Belanda, dan kedua nama tersebut terkenal secara luas diseluruh dunia, terutama pada abad ke-19. Penduduk nusantara mengenal dengan nama Papua dan sementara nama Nieuw Guinea mulai terkenal sejak abad ke-16 setelah nama tersebut tampak pada peta dunia sehingga dipakai oleh dunia luar, terutama di negara-negara Eropa.<br /><br />Di tahun 1956, Belanda kembali merubah nama Papua dari Nieuw Guinea menjadi <span style="font-style:italic;">Nederlands Nieuw Guinea</span>. Perubahan nama tersebut lebih bersifat politis karena Belanda tak ingin kehilangan pulau Papua dari Indonesia pada zaman itu. <br /><br />Pada tahun 1940-an oleh Residen JP Van Eechoud pernah membentuk sekolah Bestuur. Disana ia menganjurkan dan memerintahkan Admoprasojo selaku Direktur Sekolah Bestuur tersebut untuk membentuk dewan suku-suku. Didalam kegiatan dewan ini salah satunya adalah mengkaji sejarah dan budaya Papua, termasuk mengganti nama pulau Papua dengan sebuah nama yang mencerminkan budaya Papua, dan nama tersebut harus digali dari bumi Papua.<br /><br />Tindak lanjutnya, berlangsung pertemuan di Tobati, Jayapura. Di dalam turut dibicarakan ide penggantian nama tersebut, juga dibentuk dalam sebuah panitia yang nantinya akan bertugas untuk menelusuri sebuah nama yang berasal dari daerah Papua dan dapat diterima oleh seluruh suku yang ada. <br /><br />Frans Kaisepo selaku ketua Panitia kemudian mengambil sebuah nama dari sebuah mitos Manseren Koreri, sebuah legenda yang termahsyur dan dikenal luas oleh masyarakat luas Biak, yaitu Irian. <br /><br />Dalam bahasa Biak Numfor “Iri” artinya tanah, "an" artinya panas. Dengan demikian nama Irian artinya tanah panas. Pada perkembangan selanjutnya, setelah diselidiki ternyata terdapat beberapa pengertian yang sama di tempat seperti Serui dan Merauke. Dalam bahasa Serui, "Iri" artinya tanah, "an" artinya bangsa, jadi Irian artinya Tanah bangsa, sementara dalam bahasa Merauke, "Iri" artinya ditempatkan atau diangkat tinggi, "an" artinya bangsa, jadi Irian adalah bangsa yang diangkat tinggi. <br /><br />Secara resmi, pada tanggal 16 Juli 1946, Frans Kaisepo yang mewakili Nieuw Guinea dalam konferensi di Malino-Ujung Pandang, melalui pidatonya yang berpengaruh terhadap penyiaran radio nasional, mengganti nama Papua dan Nieuw Guinea dengan nama Irian. <br /><br />Nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo pernah mengatakan “Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.<span style="font-style:italic;"> (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal. 107-108).</span><br /><br />Selanjutnya, Pada 1 Desember 1961, Komite Nasional Papua, disebut Nieuw Guinea Raad oleh Belanda, sebuah lembaga yang disponsori kerajaan Belanda, menyatakan masyarakat Papua siap mendirikan sebuah negara berdaulat, dan mengibarkan bendera nasional baru yang dinamakan Bintang Kejora. Mereka menetapkan nama Papua sebagai Papua Barat. <br /><br />Sedangkan <span style="font-style:italic;">United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA)</span>, sebuah badan khusus yang dibentuk PBB untuk menyiapkan <span style="font-style:italic;">act free choice</span> di Papua pada tahun 1969 menggunakan dua nama untuk Papua, West New Guinea/West Irian.<br /><br />Beritkunya, nama Irian diganti menjadi Irian Barat secara resmi sejak 1 Mei 1963 saat wilayah ini "dianeksasi" dari Kerajaan Belanda ke dalam pangkuan Negara republik Indonesia. Di tahun 1967, kontrak kerja sama PT Freeport Mc Morran dengan pemerintah Indonesia dilangsungkan. Dalam kontrak ini Freeport gunakan nama Irian Barat, padahal secara resmi Papua belum resmi jadi bagian Indonesia. <br /><br />Setelah Papua menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui PEPERA 1969 yang dianggap penuh rekayasa oleh sebagian besar rakyat Papua, perjuangan untuk tetap memisahkan diri dari Negara Indonesia untuk menjadi Negara merdeka dan berdaulat terus suarakan. <br /><br />Pada tanggal 1 Juli 1971, Seth Jafet Rumkorem, pimpinan Pemerintah Revolusioner sementara Republik West Papua di Markas Victoria menggunakan nama West Papua untuk Papua. Kehadiran organisasi ini tak begitu lama karena berhasil di tumpas oleh pemerintah Indonesia melalui beberapa operasi militer. <br /><br />Dan kemudian pada tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan Nomor 5 tahun 1973 nama Irian barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya. Penggantian nama tersebut dilakukan bersamaan dengan peresmian eksplorasi PT Freeport Indonesia yang pusat eksploitasinya dinamakan Tembagapura. <br /><br />Memasuki era reformasi sebagian masyarakat menuntut penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Presiden Abdurrahman Wahid memenuhi permintaan sebagian masyarakat tersebut. Dalam acara kunjungan resmi kenegaraan Presiden, sekaligus menyambut pergantian tahun baru 1999 ke 2000, pagi hari tanggal 1 Januari 2000, beliau memaklumkaan bahwa nama Irian Jaya saat itu dirubah namanya menjadi Papua. <br /><br />Kembalinya nama Papua sejak diberikan oleh Kerajaan Tidore di tahun 1800-an memberikan arti tersendiri, bahwa pulau ini dihuni oleh penduduk yang berambut keriting, kulit hitam, punya Ras Melanesia. Ia tak sama dengan ras Melayu –ras masyarakat Indonesia pada umumnya. <br /><span style="font-style:italic;"><br />*Penulis kordinator Honai Study Club (HSC), tinggal di Jakarta</span>.<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-2594850774235077812011-07-23T22:29:00.004-07:002011-07-27T20:31:02.116-07:00Peluncuran Pusat Kajian Papua di UKI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlFQOb2PIrfcUu_ZkideSQlUGkRsa5H8Yot6S7zSSjmEd1WV5Kk96t0cDl2_oT7UjuB7Tf1j5j-GXOmmuY8A-xT_LV_3RNg5Zj00cMHpCHAdTX-fQN__6Er_UbVNrVuFtYwCPDSQ1jJ_xZ/s1600/papua_1990_mosaic_sml.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 154px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlFQOb2PIrfcUu_ZkideSQlUGkRsa5H8Yot6S7zSSjmEd1WV5Kk96t0cDl2_oT7UjuB7Tf1j5j-GXOmmuY8A-xT_LV_3RNg5Zj00cMHpCHAdTX-fQN__6Er_UbVNrVuFtYwCPDSQ1jJ_xZ/s200/papua_1990_mosaic_sml.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5634239751628706098" /></a> <span style="font-weight:bold;">PADA<span style="font-weight:bold;"></span></span> hari Senin, 11 April 2011, bertempat di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Ruang Seminar Lantai III, Gedung B telah diluncurkan Pusat Kajian Papua (PKP).<br />Acara dibuka secara resmi oleh Rektor UKI yang diwakili oleh pembantu rektor bidang akademik, Prof Wesley BP Simanjuntak, ME. <br /><br />Dalam sambutannya ia mengapresiasi niat baik didirikannya Pusat Kajian Papua di kampus UKI. Menurutnya pusat kajian Papua yang dibentuk harus menjadi “corong” dalam menyuarakan setiap aspirasi masyarakat Papua.<span class="fullpost"><br /><br />“Lembaga ini harus bekerja secara mandiri, agar tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai cita-cita Negara ini dapat tercapai. Saya mewakili kampus menyambut baik pelucuran pusat kajian Papua tersebut,’ Ucap Simanjuntak.<br /><br />Sementara itu, Ir. SM Doloksaribu, M.Ing, ketua Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat dan Pengembangan Bisnis UKI, serta ketua panitia acara dalam sambutan menyatakan bahwa tujuan didirikan pusat kajian Papua agar dapat mengakaji setiap permasalahan yang terjadi di tanah Papua, dan dapat memberikan alternative-alternatif dan solusi melalui kajian ilmiah.<br /><br />“Pusat kajian Papua untuk sementara akan meliput dua bidang utama, yakni kajian sosial budaya, dan kajian pemerintahan,” Kata Doloksaribu.<br /><br />Bidang Sosial-Budaya yang dimaksud meliputi Kebudayaan, Gender, SDM, Agama, dan Masyarakat. Bidang pemerintahaan dan politik meliputi; Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dewan Adat, Demokrasi, Politik, Otsus Papua, serta Perdamaiaan dan Lingungan Hidup.<br /><br />Hadir sebagai pembicara, Dr. Rizal Ramli (Ekonomi Senior Indonesia), Dr. Vience Tebay, M.Si (Dosen Fisipol Universitas Cenderawasih Papua), Daniel Alexander (Pimpinan Yayasan PESAT Nabire), dan Natalis Pigay, S.Sos, M.Sc (Tokoh intelektual Papua), serta bertindak sebagai moderator, Angel Damayanti, S.Sos, M.Si (Dosen Fisipol Unverisitas Kristen Indonesia).<br /><br />Dalam pemaparannya, Dr. Rizal Ramli mengatakan pendekatan militeristik seperti di masa Orde Baru masih ditemukan di Papua. Berbeda dengan praktik militeristik di zaman Orba, di era reformasi ini yang menjadi pemain utama adalah polisi. Pendekatan militeristik inilah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan sebagian orang Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia.<br /><br />“Saya sangat prihatin, cara-cara kekerasan masih digunakan aparat militer untuk menyelesaikan setiap permasalahan di tanah Papua” ungkapnya.<br /><br />Ia juga mengkritisi tindakan pejabat Papua yang kerap kali melakukan tindakan korupsi, juga penggunaan dana Otsus yang begitu boros oleh birokrasi pemerintah. “Penggunanan dana Otsus yang dipakai oleh pejabat birokrasi sebesar 70%, sedangkan sisanya turun sampai pada warga masyarakat. Seharusnya rasio ini dibalik, 70% untuk warga masyarakat, sedangkan 30% untuk birokasi,” katanya menjelaskan. .<br /><br />Papua merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam. Kenapa rakyatnya masih berada digaris kemiskinan. “Jika kekayaan SDA itu di kelolah dengan baik, tentu akan memberikan manfaat yang besar bagi rakyat Papua,” jelasnya.<br /><br />Sementara itu pemateri berikut, Dr. Vience Tebay, M.Si dalam materinya tentang “Pelayanan Publik dengan Paradigma Baru” mengukapkan bahwa pelayanan publik, terutama yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat Papua masih sangat jauh dari harapan.<br /><br />“Pemerintah tak pernah menjalankan fungsi mereka dalam pelayanan publik secara sepenuhnya terhadap masyakarat Papua. Ini yang menjadi kendala hingga masyarakat Papua tak berkembang,” kata Vience.<br /><br />Ia juga menambahkan, pembangunan Papua terasa berat karena ada tumpang tindih peraturan yang dibuat pemerintah pusat, termasuk setiap instruksi presiden maupun keputusan presiden. Seharusnya pemerintah memerhatikan kebutuhan masyarakat Papua sebelum membuat sebuah peraturan atau kebijakan.<br /><br />Vience juga menyoroti pentingnya dibuat sebagai lembaga yang menjadi pusat, atau database bagi setiap permasalahan di tanah Papua. Tolak ukur untuk liat pencapaian dan keberhasilan masyarakat Papua adalah melalui database yang ada. Jika ada database, maka masyarakat maupun pemerintah dapat bercermin sebagai acuan pembangunan di tanah Papua.<br /><br />Sementara Natalis Pigay, S.Sos, M.Sc yang juga tokoh intelektual Papua memaparkan kondisi rill Papua, serta apa yang perlu dilakukan oleh akademis maupun pusat kajian Papua yang telah dibentuk. Dari beberapa kondisi rill yang terjadi di tanah Papua, Pigay menyoroti pendapatan asli daerah yang terkecil di tengah kelimpahan sumber daya alam.<br /><br />Ia juga mengkritisi PT Freeport Indonesia yang belum menjalankan amanat UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, misalnya belum membayar pajak pertambangan umum kepada pronvinsi Papua sebesar 80% yang seharusnya dilakukan perusahan multi-nasional ini.<br /><br />“Sampai saat ini PT FI hanya mampu bayar pajak bagi hasil sumber daya alam sebesar 18% atau sekitar 500 milyar, dari yang seharusnya 80% atau sekitar 6 trilyun sesuai amanat UU Otsus, “tegas Pigay.<br /><br />Pigay juga menyoroti epidemi korupsi yang menggurita. Seharusnya dana Otonomi Khusus yang diperuntukan bagi Papua digunakan untuk pembangunan tanah Papua dan manusianya, bukan dipakai para pejabat untuk memperkaya diri mereka sendiri.<br /><br />“Para pejabat di Papua harus diawasi, agar korupsi tak menjalar hingga kemana-mana. Ini yang buat sehingga pembangunan di Papua tak pernah maju dan baik,” tegasnya.<br /><br />Pembicara terakhir, Daniel Alexander dalam materinya tentang Strategi Pembangunan Pendidikan di Pedalaman Papua menyatakan membangun Papua harus dimulai dari pendidikan. Dan membangun masyarakat Papua juga harus dengan hati.<br /><br />“Masyarakat Papua butuh sentuhan kasih sayang. Setiap tenaga pendidik yang ada harus mengajar dan mendidik anak-anak Papua dengan kasih sayang,” jelasnya.<br /><br />Hal ini telah dibuktikan beliau, bagaimana pendidikan pola asrama telah dibuka sejak tahun 1997 di pedalaman Papua, yang berpusat di Kabupaten Nabire. Disana puluhan hingga ratusan anak-anak Papua didik dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, dan kemudian dikirim untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar Papua.<br /><br />“Saya bias bertahan dan membangun pendidikan di Papua belasan tahun karena kedepankan kasih sayang dalam membangun pendidikan dan masyarakat Papua,” katanya.<br /><br />Tampak hadir dan juga memberikan sambutan, Ibu Annie Numberi (Tokoh wanita Papua), Jhon Gluba Gebze (Tokoh masyarakat Papua). Secara pribadi Ibu Annie maupun Jhon Gluba Gebze sebagai tokoh masyarakat Papua bangga dengan niat baik dari kampus UKI untuk membuka pusat kajian Papua.<br /><br />Acara ditutup pukul 14.00 Wib, setelah sebelumnya dilakukan sesi tanya jawab. Pihak penyelenggara juga mendapat beberapa rekomendasi dari peserta seminar dari diskusi yang berkembang. (*)<br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-13436107709172868712011-05-29T10:02:00.005-07:002011-07-27T20:29:57.640-07:00Kenapa Ada Tapol di Negara Merdeka?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqs_2bG-L2BAV4TebNWH-rT1IwARmk2KG7O8r_6pKH1xSFCnOgFb1t0ZUzSACXrFt1buEZ7evrL-FP1FPr0Rpy5y0Lr9zdfr9zJGklSVfI24MoyZjFDWIZqWMQcPI46wmx3kYmIoj2OO-v/s1600/political-prisoner.gif"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 158px; height: 200px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjqs_2bG-L2BAV4TebNWH-rT1IwARmk2KG7O8r_6pKH1xSFCnOgFb1t0ZUzSACXrFt1buEZ7evrL-FP1FPr0Rpy5y0Lr9zdfr9zJGklSVfI24MoyZjFDWIZqWMQcPI46wmx3kYmIoj2OO-v/s200/political-prisoner.gif" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5634240234384590402" /></a> <span style="font-weight:bold;">DALAM</span> negara merdeka, tak boleh ada tahanan politik (tapol). Ia hanya boleh ada di negara yang “merasa” belum merdeka. Negara yang tak menganut paham demokrasi. Serta Negara yang tak mengakui sepenuhnya kemerdekaan negara mereka sendiri. <br /><br />Tapi bagaimana jika di Negara merdeka macam Indonesia, Negara yang dikenal paling demokrasi setelah Amerika Serikat dan India masih ditemui tapol?<br /><br />Menurut Bambang Widjojanto (2011), tapol adalah mereka yang ditahan di rumah tahanan atau tempat pembuangan (kamp konsentrasi), karena memiliki ide-ide atau pandangan yang dianggap menentang pemerintah atau membahayakan kekuasaan sebuah negara. <span class="fullpost"><br />Tapol ditahan karena tindakanya yang dianggap berlawanan dengan garis-garis pemikiran dan kebijakan pemerintah, berbeda dengan tahanan kriminal yang ditahan karena tindakannya melanggar hukum atau melakukan tindakan kejahatan. <br /><br />Dalam sebuah laporan berjudul “Kriminalisasi Aspirasi Politik” Human Rights Watch (HRW) mengatakan pemerintah Indonesia telah menahan sedikitnya 100 orang Papua maupun Maluku. Mereka ditahan karena perbedaan pandangan politik dengan pemerintah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tapol Papua dan Maluku</span><br /><br />Di Papua, jumlah tapol menurut Human Rights Watch (HRW) berkisar 50 orang. Sedangkan menurut Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumhan) Papua, Nazarudin Bunas, sedikitnya ada 34 orang Papua yang menjadi tapol. (Media Indonesia, 10 Juli 2010)<br /><br />Dari sekian banyak tapol tersebut, yang paling menonjol adalah Filep Jacob Semuel Karma (51). Ia telah ditahan di penjara Abepura selama lima tahun. Pada Mei 2005, pengadilan negeri Abepura menyatakan bersalah dengan tuduhan makar setelah mengorganisir aksi pro-kemerdekaan pada 1 Desember 2004, dan dihukum 15 tahun penjara. <br /><br />Karma memimpin massa untuk menyampaikan ketidakpuasaan terhadap pemerintah Indonesia atas pelanggaran hak azasi manusia yang terjadi di Papua. Ia juga minta pemerintah segera bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Namun aksi Karma dianggap sebagai tindakan melawan “keutuhan” Negara Indonesia.<br /><br />Sampai saat ini Karma masih ditahan. Sipir penjara juga kerap kali melakukan tindakan tak terpuji. Mulai dari memukul, menendang, hingga menyiksa mereka, juga terhadap Karma. <br /><br />Selain Karma, ada juga Buchtar Tabuni, Simon Tuturop, Tadeus Weripang, Roni Ruben Iba, Ferdinan Pakage, Cosmos Yual, Linus Hiluka, Yason Wonda, Thomas Ukago, dan masih banyak lagi. Sampai saat ini mereka masih ditahan dengan status tapol.<br /><br />Jika dihitung, tapol Maluku lebih banyak dibanding tapol Papua. Mereka tersebar di beberapa penjara Maluku, juga di pulau Jawa. Mereka paling menderita dibanding tapol Papua. Harus jauh dari Istri, anak, serta sanak saudara. <br /><br />Salah satu dari mereka adalah Johan Teterisa. Ia memimpin 27 penari membawa bendera RMS sebagai tanda protes terhadap pemerintah Indonesia pada 29 Juni 2007, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Stadion Merdeka, Ambon. Para penari seketika ditangkap dan dibawa ke markas Detasemen Khusus 88/Anti-Teror di Tantui, Ambon, tempat mereka mengalami penyiksaan. <br /><br />Kejaksaan negeri menuntut Teterisa dan lebih dari 50 rekannya dengan dakwaan makar di bawah pasal 106 dan 110 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pengadilan negeri Ambon memvonis bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup. Teterisa terkejut ketika mendengar putusan itu. <br /><br />Asmara Nababan (alm), mantan sekjen Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta, mengatakan hakim di pengadilan Ambon tidak mempertimbangkan fakta bahwa Teterisa melakukan aksi tanpa kekerasan. <br /><br />“Para hakim harus mempertimbangkan tindakan itu lebih sebagai aspirasi politik daripada tindakan yang mengancam jiwa,” kata Nababan kepada Jakarta Post. <br />“Dia hanya membentangkan bendera RMS dan tidak membawa senjata.” Pengadilan Ambon menghukum 19 penari karena makar, menjatuhkan vonis antara 10 dan 20 tahun penjara. Dalam tingkat kasasi, hukuman Teterisa dikurangi menjadi 15 tahun.<br /><br />Baik tapol Papua, maupun Maluku ditahan ketika menyampaikan pendapat maupun aspirasi politik mereka kepada pemerintah Indonesia. Ada yang dengan cara demonstrasi, aksi boikot, tarian, bahkan aksi mogok sipil. Semua itu dilakukan tanpa melakukan tindakan kriminal. <br /><br />Di dalam Negara yang menjunjung tinggi semangat demokrasi, bukankah cara-cara seperti itu dibenarkan? Dan ini juga merupakan tindakan partisipasi politik dari warga masyarakat tersebut. <br /><span style="font-weight:bold;"><br />Cabut Pasal Makar dan Bebaskan Tapol</span><br /><br />Baik tapol Papua, maupun Maluku ditahan dengan pasal makar—kategori kejahatan terhadap keamanan Negara—yang sebenarnya tidak relevan lagi diterapkan di dalam Negara merdeka dan berdemokrasi macam Indonesia. <br /><br />Secara historis, ide untuk memunculkan pasal-pasal makar dalam KUHP pada abad ke 19, ketika itu menteri kehakiman Belanda secara terang-terangan menyatakan penolakan terhadap usul penggunaan makar sebagai peraturan untuk masyarakat seluruhnya. Dia menyatakan, peraturan dibawah ini, dengan sendirinya dinyatakan hanya berlaku bagi kebutuhan masyarakat kolonial, jelas tidak diperuntukkan bagi Negara-negara eropa, termasuk untuk negara Indonesia saat ini. <br /><br />Dalam sejarahnya, KUHP tentang pasal-pasal makar telah teradopsi oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda dari pasal 124a British Indian penal code tahun 1915 yang di India sendiri sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Indian supreme court dan East Punjab High Court karena dinilai bertentangan dengan pasal 19 konstitusi India tentang kebebasan untuk memiliki dan menyatakan pendapat. <br /><br />Sementara di Belanda sendiri ketentuan demikian dipandang tidak lagi demokratis karena bertentangan dengan gagasan freedom of expression and opinion, sehingga hanya dapat diberikan toleransi untuk diberlakukan di daerah jajahan, in casu Hindia Belanda. <br /><br />Setelah puluhan tahun Indonesia merdeka dari Belanda maka tentulah pasal tersebut tidak tepat digunakan bagi warga Negara Indonesia termasuk di Papua maupun Maluku, karena kedua wilayah ini bukanlah daerah koloni Indonesia.<br /><br />Ada dua pasal yang paling menonjol dari KUHP tentang makar. Pertama; pasal 104 KUHP. Ia berbunyi <span style="font-style:italic;">“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”</span> <br /><br />Kedua; pada pasal 107 KUHP ayat (1) berbunyi <span style="font-style:italic;">“Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”</span> Ayat (2) berbunyi <span style="font-style:italic;">“Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.” </span><br /><br />Pasal makar sendiri dikenakan pada pihak atau seseorang yang pertama; melakukan kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden, kedua; kejahatan terhadap pemerintah, atau badan-badan pemerintah, ketiga; melakukan pemberontakan. <br /><br />Jika diamati, mereka tak pernah melakukan tindakan yang merugikan, menyesatkan, serta membahayakan keutuhan Negara. Juga termasuk ancaman pada seorang kepala negara. Mereka hanya menyampaikan sebuah “kekecewaan” terhadap pemerintah. <br /><br />Pasal makar sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28E ayat (2) <span style="font-style:italic;">“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”</span> Juga di ayat (3) berbunyi <span style="font-style:italic;">“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat kebebasan untuk memiliki dan menyatakan pendapat.”<br /></span><br />Pemerintah Indonesia perlu mencabut pasal-pasal dalam KUHP yang sering dipakai mempidanakan setiap individu karena aktivitas yang sah secara damai, agar hukum pidana di Indonesia sesuai dengan standar internasional. <br /><br />Pasal makar tak pantas diterapakan di Papua maupun Maluku jika kedua wilayah ini “masih” dianggap bagian dari Indonesia. Juga harus bebaskan setiap tapol yang masih ditahan. Mereka memunyai hak untuk hidup, berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat sesuai amanat konstitusi Negara ini. <br /><br />Jika pemerintah tak segera mencabut pasal-pasal tersebut, kemungkinan tuntutan lain, termasuk tuntutan untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia akan terus dikumandangkan oleh seantoro warga Papua dan Maluku. Lebih baik mencegah dari pada mengobati.<span style="font-weight:bold;"> Semoga.</span><br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-50908639542872479702011-04-27T04:49:00.006-07:002011-07-27T20:32:11.348-07:00Evaluasi atau Tutup PT Freeport Indonesia?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHuafTeiC_hc5UYEXa6W_YLBypAPDZCyz4207kldCJ6vbAPOsOCiU45MhDwyIM6jixsngcKeQ2165gdv0tm3JM7spNh9NXMhul42UOWRzSx0epOZbnU_ibf3R13XqRt0WPPP2V5ZjkOE1I/s1600/demofreeport01.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 137px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHuafTeiC_hc5UYEXa6W_YLBypAPDZCyz4207kldCJ6vbAPOsOCiU45MhDwyIM6jixsngcKeQ2165gdv0tm3JM7spNh9NXMhul42UOWRzSx0epOZbnU_ibf3R13XqRt0WPPP2V5ZjkOE1I/s200/demofreeport01.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5634240709991788146" /></a><span style="font-style:italic;">Oleh Oktovianus Pogau*</span> <br /><br /><span style="font-weight:bold;">SEJAK</span> tahun 1967, dua tahun sebelum penentuan pendapat rakyat Irian Barat (sekarang Papua dan Papua Barat), PT Freeport Indonesia (PT FI) telah menandatangani kontrak kerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk mulai beroperasi di Kabupaten Mimika, Papua. <br /><br />Jika dihitung, berarti, sudah hampir 44 tahun PT FI beroperasi di tanah suku Amugme dan Kamoro. Pada 25 tahun pertama beroperasi, pemerintah Indonesia juga mayarakat Papua tak menerima bagi hasil dari penambangan emas tersebut. <span class="fullpost"><br /><br />Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) memprediksi, setiap harinya kira-kira sekitar 300 kilogram emas dan 600 kilogram mineral berharga perak, serta tembaga dari 238.000 ton dihasilkan. <br /><br />Hampir sebagian besar dikeruk dari lokasi tambang Grassberg di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut dekat Cartenz Piramid. <br /><br />Manfaat dari kehadiran PT FI sendiri tak pernah dirasakan oleh masyarakat sekitar. Malahan, banyak pihak yang berpendapat bahwa kehadiran PT FI justru menambah konflik baru. <br /><br />Buktinya dapat kita temui, bagaimana terus terjadi konflik antar warga masyarakat karena saling berebut dana kompensasi dari PT FI yang jumlah padahal tak begitu besar. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kepentingan Militer</span><br /> <br />Bisa dibenarkan, bagaimana kehadiran PT FI justru menambah siklus konflik baru di tanah Amungsa. Semua bermula dari kepentingan negara dan aparat militer Indonesia . Aparat militer Indonesia dibayar mahal tiap tahunnya untuk menjaga asset-aset yang dimiliki PT FI. <br /> <br />Menurut laporan koran New York Times di tahun 2005, PT FI mengaku telah membayar sekitar 20 juta dollar AS kepada TNI untuk mengusir warga setempat secara paksa dari wilayah mereka sejak tahun 1998 hingga tahun 2004.<br /> <br />Dalam laporan yang sama, PT FI juga mengaku membayar sekitar 10 juta dollar AS kepada para jenderal, kolonel, mayor, dan kapten militer dan polisi. Bahkan dalam satu kasus, pimpinan militer, Letnan Kolonel Togap F. Gultom menerma sekitar 100.000 dollar AS, semua itu sebagai dana keamanan bagi PT FI di tanah Amugsa.<br /> <br />PT FI juga memunyai kedekatan dengan petinggi militer Indonesia—TNI/Polri—yang tentu telah ikut melahirkan banyak pelanggaran HAM di daerah sekitar tambang. <br /> <br />Hal ini pernah dikemukakan oleh Uskup Jayapura, Herman Munninghof dalam buku memoria passionis ketika tentara membunuh dengan menembak membabi buta dan membakar rumah-rumah penduduk di kampuang Wa dan Illaga tahun 1994 dan 1995. <br /> <br />Antropolog Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk PT FI dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari AS dalam laporan mereka yang berjudul “Human Rights Abuses by Freeport in Indonesia” di tahun 2002 memperkirakan, sebanyak 160 orang telah di bunuh oleh militer sejak tahun 1975-1997 di daerah tambang dan sekitarnya.<br /> <br />Menurut Ballard dan Abigail dalam laporan yang sama, bahwa militer membunuh warga sekitar dengan alasan menggangu operasi perusahan tambang tersebut.<br /> <br />Padahal selama ini masyarakat hanya menyatakan aksi protes terkait ketidakadilan yang dilakukan pemerntah Indonesia, termasuk keberadaan PT FI yang tidak memperhatikan hak-hak dasar masyarakat adat setempat. <br /> <br />Terakhir kali, di penghujung tahun 2009 , pemimpin besar rakyat Papua, Kelly Kwalik, pembela hak-hak dasar suku Amugme dan Kamoro di tembak mati oleh Densus 88 Antiteror bersama Brimob Polda Papua. <br /> <br />Ia di curigai sebagai “separatis” yang mengacaukan keberadaan perusahaan raksasa milik AS. Padahal tak ada bukti yang bisa membenarkan keterlibatan dia dalam segala konflik di areal pertambangan. <br /> <br />Ini juga memberikan pertanyaan tersendiri, bagaimana konflik di areal pertambangan PT FI akan berhenti, jika aparat militer yang seharusnya melindungi serta mengayomi masyarakat ikut menciptakan konflik untuk kepentingan institusi mereka. <br /><span style="font-weight:bold;"> <br />Kerusakan Lingkungan</span><br /> <br />Peraih Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999, dan Anugerah Lingkungan Goldman pada 2001, mama Yoseph Alomang, yang juga tetua adat diantara suku-suku sekitar lokasi tambang pernah mengemukakan, bahwa kehadiran PT FI telah “merampok” seluruh hak-hak masyarakat adat sekitar. <br /> <br />Ungkapannya tidak berlebihan. Ini berangkat dari realitas, dimana Gunung Nemangkawi yang menjulang tinggi telah di bongkar habis. Emasnya dikeruk untuk kepentingan PT FI. Hutan di buka secara luas, hanya menyisihkan duka nestapa, yakni; limbah perusahaan (taling). <br /> <br />Menurut perhitungan PT FI sendiri, penambangan mereka dapat menghasilhkan limbah (taling) sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat terusan Terusan Panama). <br /> <br />Kebanyakan dari limbah tersebut di buang di pegunungan sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke daerah rendan basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang di telah di berikan status khusus oleh PBB.<br /> <br />Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan PT FI sejak tahun 1997, karena operasi mereka telah melanggar UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolahaan lingkungan hidup. <br /> <br />Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam laporan tahunan yang diterbitkan akhir tahun 2010 juga menemukan fakta terkait kerusakan lingkungan dan hutan yang dilakukan PT FI.<br /> <br />Mereka juga dinilai melanggar UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama pasal 6 ayat 1 dan 2. <br /> <br />Ketika lingkungan dirusak, tentu dampaknya bagi keberlangsungan hidup masyarat setempat. Terbukti, pada akhir 2003, ketika sebuah lubang penambangan runtuh di tambang Grasberg milik Freeport. Ia menewaskan 9 orang buruh tambang setempat.. <br /> <span style="font-weight:bold;"><br />Tutup atau Evaluasi</span> <br /> <br />Konflik di areal PT FI tak akan pernah usai, jika PT FI terus membayar aparat militer untuk mengontrol segala aktvitas, termasuk mengusir secara paksa warga masyarakat sekitar yang seharusnya mendapatkan hak-hak mereka.<br /> <br />Salah satu contoh bisa kita temui akhir tahun 2010 lalu, saat tentara Indonesia menyiksa dua warga Papua yang di tayangkan dalam situs youtube. Video ini memberikan bukti, bahwa pelanggaran HAM masih terjadi di tanah Papua.<br /> <br />Cara-cara kekerasaan yang ditempuh aparat militer juga tak akan menyelesaikan konflik, ia justru menambak konflik baru yang lebih besar tensinya. <br /> <br />Maka, jalan paling baik adalah pemerintah melakukan evaluasi semua kontrak kerja sama dengan PT FI atau memilih ditutup ditutup untuk sementara waktu. <br /><br />Pemerintah dan PT FI harus memastikan, bahwa hak-hak warga masyarakat benar-benar di hargai secara menyeluruh. <br /> <br />Aspek-asplek yang perlu dikaji jika evalusi menjadi pilihan, adalah, pertama; aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), baik itu oleh perusahaan maupun oleh negara.<br /> <br />Kedua, aspek ekologi pencemaran lingkungan yang sangat besar sekali terutama di bagian hilir dari bagian ekploitasi PTFI. Ketiga aspek sosial ekonomi masyarakat setempat. <br /> <br />Jika pemerintah memastikan ketiga aspek diatas telah terlaksana, bukan tidak mungkin kehadirannya akan memberikan manfaat penting bagi warga sekitar juga negara Indonesia.<br /> <br />Jika tidak, ini hanya akan seperti bom waktu, yang kapan saja bisa meledak. Ada pepatah bilang, "<span style="font-style:italic;">mencegah lebih baik dari pada mengobati</span>". Semoga saja!<br /> <span style="font-style:italic;"><br /> <br />*Penulis warga masyarakat Papua cum Jurnalis lepas, tinggal di Jakarta.</span><br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-32914865184361478752011-04-04T07:21:00.004-07:002011-07-27T20:35:32.458-07:00UU Otsus Gagal, Masyarakat Papua Minta Pemilihan MRP Dihentikan<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXw-tT0b-dxYuOITFxS5QG91J-ot0lU0gBoHNpOIKrqiy987-UA3uJzkikvW6yptekUuR1RbIgtwOsf-lWglesqd7t64e4Uxt1J2umr7baUeXfQfhqj77MzOZQ4xbMwSmvjSt0LeoqAA_0/s1600/Messange+to+President+Indonesia+in+Jakarta.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXw-tT0b-dxYuOITFxS5QG91J-ot0lU0gBoHNpOIKrqiy987-UA3uJzkikvW6yptekUuR1RbIgtwOsf-lWglesqd7t64e4Uxt1J2umr7baUeXfQfhqj77MzOZQ4xbMwSmvjSt0LeoqAA_0/s200/Messange+to+President+Indonesia+in+Jakarta.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5634241674374168546" /></a> <span style="font-weight:bold;">PEMILIHAN</span> keanggotaan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan amanat dari pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua diminta dihentikan. Pasalnya sudah hampir sepuluh tahun Otsus hadir, namun telah gagal mensejahterakan orang asli Papua. <br /><br />Awal penolakan pemilihaan keanggotaan MRP bermula saat pemimpin gereja, Dewan Adat Papua (DAP), tokoh pemuda dan mahasiswa bersama MRP melakukan Musyawarah Besar (Mubes) pada tanggal 9-10 Juni tahun 2010 di kantor MRP, Kotaraja. Ia menghasilkan 11 rekomendasi kepada pemerintah pusat. <span class="fullpost"><br /><br />Sebelas rekomendasi itu adalah pertama, UU Otonomi Khusus (Otsus) No 21/2001 dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. Kedua, rakyat Papua menuntut dialog dengan pemerintah pusat yang dimediasi pihak internasional yang netral. Ketiga, rakyat Papua menuntut referendum menuju pembebasan politik. <br /><br />Keempat, rakyat Papua menuntut pemerintah RI mengakui dan mengembalikan kedaulatan bangsa Papua Barat yang telah diproklamasikan pada 1 Desember 1961. Kelima, rakyat Papua mendesak agar dunia internasional mengembargo bantuan dalam pelaksanaan otsus di Papua. Keenam, dipandang tidak perlu untuk merevisi UU No 21/2001 jo UU No 35/2009 karena otsus terbukti telah gagal.<br /><br />Ketujuh, seluruh proses pemilukada di tingkat kabupaten/kota se-Papua dan Papua Barat segera dihentikan. Kedelapan, Pemprov Papua dan Papua Barat seger menghentikan program transmigrasi dari luar serta melakukan pengawasan ketat terhadap arus migrasi penduduk dari luar tanah Papua. Kesepuluh, rakyat Papua mendesak segera dilepaskannya para tahanan politik dan narapidana politik asal Papua. Kesebelas, MRP dan masyarakat asli Papua mendorong PT Freeport Indonesia segera ditutup.<br /><br />Melihat keengganan pemerintah menjawab 11 rekomendasi tersebut, pada tanggal 26 Januari 2011 para pemimpin gereja di Papua, yaitu Pendeta Drs Elly D. Doirebo, MSi, dari Sinode GKI Papua, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, MA, Ketua Gereja BAPTIS Papua, dan Pendeta Dr Benny Giay dari Sinode Gereja Kingmi Papua, mengeluarkan delapan Deklarasi Teologia. <br /><br />Isi deklarasi tersebut, Pertama, sejak integrasi ke dalam Negara Indonesia, Papua menjadi wilayah bermasalah. Kedua, warga gereja telah mengarah pada proses genosida, terutama melalui kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada orang Papua dan operasi militer yang berujung pada rentannya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). <br /><br />Ketiga, gereja mengakui dosanya karena tidak berdaya melawan kebijakan pemerintah pusat sebagai penjajahan internal dan perbudakan terselubung. Keempat, gereja berupaya menjawab tantangan warga gereja dan kembali kepada Alkitab dan sejarah gereja sebagai pedoman. <br /><br />Kelima, gereja siap bertanggung jawab untuk menyuarakan teriakan warga gereja sebagai konsekuensi logis tugas kegembalaan dari panggilan gereja dalam mewartakan Firman Tuhan Allah. Keenam, Pemerntah Indonesia harus harus membuka dialog yang di mediasi oleh pihak ketiga. <br /><br />Ketujuh, pihaknya menghimbau umat Tuhan di Tanah Papua untuk bangkit, kerjakan keselamatan dan nyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang sedang melakukan penjajahan internal dan pembasmian etnis serta perbudakan terselubung. Sedangkan poin kedelapan, warga umat Tuhan di Papua dan dimana saja, diajak untuk terus berdoa bagi para pimpinan gereja dalam solidaritas, agar menjadi teguh dalam menghadapi tantangan. <br /><br />Dua hari setelah dilakukan deklarasi teologia, masyarakat Papua bersama tokoh-tokoh gereja mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), mereka membacakan deklarasi tersebut, sembari meminta kepada dewan untuk di sampaikan kepada pemerintah pusat di Jakarta. <br /><br />“Pemerintah harus menjawab 11 rekomendasi MRP dulu,” tegas Pendeta Drs Elly D. Doire bo, MSi, dari Sinode GKI Papua di hadapan pimpinan DPRP. <br /><br />Pendeta Socratez Sofyan Yoman, MA, Ketua Gereja BAPTIS Papua, kepada Koran Tempo di Jakarta mengukapkan bahwa gereja pada prinsipnya tetap menolak pemilihaan MRP yang sedang di langsungkan. “Kami tetap menolak pemilihan MRP jilid II. Pemerintah harus membuka ruang dialog dengan rakyat Papua, yang dimediasi oleh pihak ketiga,” katanya .<br />Penolakan MRP tidak hanya datang dari unsur pimpinan gereja, namun juga datang dari tokoh adat dan tokoh pemuda di tanah Papua.<br /><br />Ketua umum Dewan Adat Papua (DAP), Fokorus Yoboisembut menuturkan bahwa DAP pada prinsip telah menolak paket UU Otsus yang diberikan pemerinta pusat sejak tahun 2001 silam. “UU Otsus telah kami tolak beberapa kali. Menolak Otsus, berarti menolak pembentukan MRP juga,” tandasnya.<br /><br />Ia juga menuturkan, bahwa DAP tidak akan memberkan rekomendasi untuk wakil-wakil adat duduk di MRP. “Kami tetap minta 11 rekomendasi MRP di jawab pemerintah,” katanya. <br /><br />Sementara itu Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Eksnas F-PEPERA PB), Selpius Bobii, menegaskan bahwa rakyat Papua tidak mengakui keberadaan MRP sebagai sebuah lembaga representative kultural orang Papua. Sebab selama satu periode berlalu, kehadiran MRP tidak lebih dari lembaga pelengkap kepentingan Jakarta di Tanah Papua.<br /><br />“Bangsa Papua sudah menolak Otonomi Khusus, jadi untuk apa MRP yang adalah anak kandung Otonomi Khusus itu mau dibentuk lagi di Tanah Papua. Rakyat tetap menolak itu,” ujar Selpius Bobii.<br /><br />Ia juga menyoroti pemilihan MRP yang penuh kontraversial. “Kami menilai, pemilihan MRP sangat kontroversial. Masyarakat Papua sudah menolak, tetapi Jakarta dan kaki tangannya di Papua tetap memaksa untuk menggenapi target politiknya. Ada apa sebenarnya? Kita harus cermati baik-baik kepentingan besar dibalik pembentukan MRP,” tandasnya.<br /><br />Walau mendapat tantangan yang cukup keras dari masyarakat Papua, pemerintah pusat, melalui Badan Kesatuan Bangsa (Kesbang) tetap memaksakan pemilihan keanggotaan MRP di Papua. Keanggotaan MRP dalam UU Otsus dan PP Nomor 54/2004 tentang MRP, terdiri dari elemen adat, perempuan, dan agama. Pada periode mendatang, keanggotaan MRP terdiri atas 75 orang, meningkat dibanding periode lalu yang hanya 42 orang.<br /><br />Sebanyak 75 anggota itu berasal dari tiga perempat jumlah anggota DPR Papua (56 orang) dan DPR Papua Barat (44 orang). Elemen adat, perempuan, dan agama memiliki jumlah kursi sama.<br /><br />Anggota MRP dari elemen adat dipilih melalui musyawarah tingkat bawah atau masyarakat adat asli Papua, yang memiliki ulayat dalam sebuah kabupaten/kota yang difasilitasi panitia pemilihan kabupaten/kota. Hasilnya akan disatukan dan dimusyawarahkan lagi di tingkat wilayah adat yang difasilitasi Komisi Pemilihan Wilayah. Di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) terdapat 15 wilayah adat.<br /><br />Pemilihan anggota dari elemen perempuan dilakukan oleh organisasi wanita yang diakui pemerintah. Sementara, pemilihan anggota dari elemen agama dilakukan lembaga keagamaan yang tercatat di Kantor Agama Papua dan Papua Barat.<br /><br />Tugas dan wewenang MRP sendiri, antara lain, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur Papua. Selain itu, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon anggota MPR utusan daerah Papua yang diusulkan DPR Papua.<br /><br />Wewenang yang tak kalah pentingnya, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yakni memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah khusus (raperdasus) yang diajukan DPR Papua bersama-sama dengan gubernur.<br /><br />Sejak Otsus di undang-undangkan, sudah beberapa kali rakyat Papua menolak kehadiran Otsus. Pertama kalinya, pada tanggal 12 Agustus 2005, belasan ribu rakyat Papua bersama Dewan Adat Papua (DAP) melakukan long march dari kantor MRP di Kotaraja, menuju kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Jayapura. <br /><br />Mereka berjalan sejauh 20 KM, sambil mengusung sebuah peti mati. Ia melambangkan kematian UU Otsus Papua, dan peti itu sempat diserahkan kepada anggota dewan untuk diteruskan sampai kepada pemerintah pusat di Jakarta. <br /><br />Berikutnya, pada tanggal 18 Mei, tahun 2010 lalu, ribuan rakyat Papua bersama Forum Demokrasi Rakyat Papua (Fordem) mendatangi kantor MRP. Menyatakan kekecewaan terkait implementasi UU Otsus yang tidak memberikan manfaat apa-apa. Serta meminta pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap segala konflik, termasuk kegagalan UU Otsus yang hadir karena terlalu dipaksakan. <br /><br />Kemudian, puncaknya pada tanggal 28 Juli 2010, hampir 12.000 masa rakyat Papua bersama Fordem Papua mendatangi kantor DPRP, kemudian di lanjutkan ke kantor Gubenur Papua. Meminta pertanggung jawaban dewan dan Gubernur terkait implementasi Otsus yang kacau balau. Dalam aksi kali ini, masa sempat tidur di kantor DPRP setelah gagal bertemu dengan Gubernur Papua.<br /><br />Menteri Dalam Negeri, Gemawan Fauzi, kepada kantor berita Antara di Jakarta, mengemukakan, bahwa pemilihan anggota MRP di Papua akan tetap di langsungkan. Ia mengatakan pemilihan anggota MRP merupakan amanat Undang-Undang Otsus Papua. <span style="font-weight:bold;">(op)<br /><span style="font-style:italic;"></span></span><br /><span style="font-style:italic;"><br />Gambar dari Fordem Papua</span><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-57808297927055249182011-04-01T00:00:00.005-07:002011-07-27T20:33:17.844-07:00"Uncen Berdarah"<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhH_HsL8QDGQh6DmvfdOGTHmEDsoLK0VXpJaxW6eUwJzQwptmdwW7i-Y4-GUPBZDoaTntiXwUXcUR2Li2yomzaFbDiaCLiHJtKgSKB1jwa2ZEvOBDAo1KmvPVtWzeN1c5E_ouBslPXobAhi/s1600/70206_bentrokan.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 200px; height: 150px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhH_HsL8QDGQh6DmvfdOGTHmEDsoLK0VXpJaxW6eUwJzQwptmdwW7i-Y4-GUPBZDoaTntiXwUXcUR2Li2yomzaFbDiaCLiHJtKgSKB1jwa2ZEvOBDAo1KmvPVtWzeN1c5E_ouBslPXobAhi/s200/70206_bentrokan.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5634241122033612626" /></a> <span style="font-style:italic;">“Saudara-saudara diminta segera membubarkan diri. Sekali lagi diminta segera meninggalkan tempat,” kata aparat kepolisian dari mobil polisi menggunakan penggeras suara.</span><br /><br />Saat itu tanggal 16 Maret 2006, kira-kira pukul 12.25 WIT. Himbauan tersebut tak diindahkan ratusan mahasiswa. Mereka tetap memilih duduk bertahan di jalan raya, tepat depan Gapura Kampus Universitas Cenderawasih, Jayapura.<span class="fullpost"><br /><br />Mereka duduk berhadapan dengan aparat berseragam polisi anti huru-hara. Aparat memegang pentungan, tongkat, hingga pistol. Jumlah mereka kira-kira 300-an orang. Ditambah dengan aparat intelejen yang berseregam preman kurang lebih 100-an orang. Jumlah keseluruhan hampir 400-an orang.<br /><br />Aksi demo telah berlangsung tiga hari lamanya, yakni; sejak tanggal 14 Maret. Massa pendemo menamakan diri dari Parlemen Jalanan dan Front Pepera PB. Intinya, mereka menolak keberadaan PT Freeport Indonesia di tanah Papua.<br /><br />Tiga tuntutan utama adalah, pertama, meminta PT Freeport Indonesia ditutup. Kedua, meminta pasukan TNI/Polri ditarik dari lokasi Freeport, dan ketiga, bebaskan 7 tahanan akibat bentrokan di Timika, Papua.<br /><br />Tidak sampai hitungan menit setelah datangnya suara tadi, lima aparat kepolisian dari pengendalian masyarakat (Dalmas) Polda Papua keluar dari barisan. Tiga orang dari sebelah kiri massa, dan dua dari sebelah kanan. Tanpa komando yang jelas, mereka langsung menyemprot gas air mata ke arah massa.<br /><br />Dengak sigap massa pendemo dibubar paksakan. Mereka dipukul. Dihajar hingga babak belur. Tidak pandang, laki-laki atau perempuan. Bahkan ada anak-anak kecil disekitar tempat para pendemo turut menjadi korban kebrutalan polisi.<br /><br />Tidak terima dengan perlakuan aparat, mahasiswa balik serang. Polisi terus dihujani batu dan lemparan kayu. Tiga anggota polisi meninggal di tempat. <br /><br />Mereka adalah Pratu Daud Soleman, Seorang Anggota Pengendali Massa (Dalmas), Brigadir Syamsudin (Brimob) dan Briptu Arisona Horota (Brimob).<br /><br />Mereka tak kuasa dan kabur. Daud dan Syamsudin meninggal seketika. Arisona sempat dilarikan ke Rumah Sakit Daerah Abepura, sebelum meninggal dengan luka tusuk di pinggang dan luka-luka akibat lemparan batu.<br /><br />Tragedi kemanusiaan yang dikenal dengan “Uncen Berdarah” ini berlangsung kurang lebih lima menit. Ratusan mahasiswa melarikan diri. Sekitar belasan diantara mereka menyebarang ke Negara tetangga. Mereka meminta suaka di Negara <span style="font-style:italic;">Papua New Guinea</span>. Sejak tahun 2006 hingga saat ini beberapa masih tetap berada disana.<br /><br />Kira-kira pukul 14.00 WIT, aparat kepolisian dibantu Brimob Polda Papua mampu menguasai Abepura hingga Jayapura. Kota ini sangat tegang. Aktivitas lumpuh total. Tak ada warga sipil yang berani keluar dari rumah. Anak-anak sekolah yang baru saja pulang enggan berkeliaran.<br /><br />Sore harinya, aparat kepolisian di bantu TNI AD melakukan operasi besar-besaran. Puluhan asrama mahasiswa yang tersebar di Abepura, dan Jayapura didatangi aparat. Tanpa sebab dan akibat, mereka diangkut paksa ke kantor polisi. Mereka dipukuli secara brutal. Bahkan ada yang dipaksa jadikan tersangka.<br /><br />Besoknya, sekitar pukul 08.00 WIT pagi, pasukan Brimob masih melakukan penyisiran dan penembakan membabi buta disekitar kawasan Abepura dan Kampus Uncen. Aksi tembakan ke udara ini berlangsung sekitar 1 jam dan sempat membuat warga sekitar ketakutan, terutama anak-anak.<br /><br />Dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat, Brimob melakukan penyisiran di wilayah Abepura dan Kotaraja dengan mengeluarkan tembakan ke udara. Akibat dari tembakan 3 warga sipil terkena peluru nyasar yaitu Solehah (39) terkena peluru di paha kanan, Ratna Sari (12) terkena pada jari kaki kanan, dan Chatrin Ohee (9) terkena di bagian bahu kanan. <br /><br />Selain itu tanpa komando, personil Brimob Papua melakukan <span style="font-style:italic;">sweeping</span> terhadap setiap kendaraan yang melintas di jalan dekat Markas Brimobda Papua Kotaraja.<br /><br />Dari 73 orang yang ditangkap saat aksi massa, setidaknya 10 orang telah dijadikan tersangkat. Dan hingga saat ini, beberapa masih menjalan hukuman. Namun, ditubuh aparat militer, tidak ada satupun yang dijadikan tersangka. Ini tentu tidak adil.<br /><br />Aparat Militer telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap mahasiswa dalam peristiwa “Uncen Berdarah” , dan karena itu harus ada yang segera bertanggung jawab. Ini tentu menimbulkan sikap ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap Negara Indonesia.<br /><br />Selpius Bobii, yang juga mantan tahanan politik kasus 16 maret, dan saat ini sebagai Sekjen Front PB kepada <span style="font-style:italic;">tabloid Jubi</span> beberapa waktu lalu mengemukakan, bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas semua kerugian yang dialami korban pelanggaran HAM 16 Maret 2006. <br /><br />Dan kepada Kapolda Papua agar segera mencabut Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap Hans Gebze serta membebaskan Tapol Napol Papua lainnya.<br /><br />Awan hitam masih menggantung dilangit Papua. Kapan rasa keadilan masyarakat akan dipenuhi. Hingga kapanpun, rakyat Papua, terutama korban “Uncen Berdarah” menuntut keadilan dari Negara Indonesia. <br /><br />Tuntutan keadilan harus berlaku pada siapa saja, tanpa pandang bulu. Orang Papua, maupun bangsa dan kelompok manapun.<br /><br />Sampai kapanpun, rakyat Papua tetap menuntu keadilan dari pemerintah Indonesia. Dan meminta pertanggung jawaban Negara terhadap semua insiden brutal ini. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Tulisan ini telah dimuat di majalah Cermin Papua.</span><br /><span style="font-style:italic;">Sumber gambar Google.</span><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-40450336067405861122011-03-31T23:48:00.005-07:002011-07-27T20:34:13.427-07:00Mengenang Pencarian Suaka ke Australia<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEemKio66GsX-7mn5WU66fHAMEHDxn1H8wi4TXjSgNjazCJdeS6xVPm7HvN31FnZ_mKvCnUJmTCWuQB_0tRLce6roU3gvohav8KVkUd28F2ExgEeCAnHq9yIaYzfHfXgQokM-sqI0jgUAK/s1600/suaka.jpeg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 276px; height: 182px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjEemKio66GsX-7mn5WU66fHAMEHDxn1H8wi4TXjSgNjazCJdeS6xVPm7HvN31FnZ_mKvCnUJmTCWuQB_0tRLce6roU3gvohav8KVkUd28F2ExgEeCAnHq9yIaYzfHfXgQokM-sqI0jgUAK/s400/suaka.jpeg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5590505583747033810" /></a><br /><span style="font-style:italic;">“Merasa Tidak Aman Hidup di Daerah Sendiri”</span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">PADA</span> tanggal 20 Januari 2006, kira-kira pukul 18.00 waktu Australia, 43 warga asal Papua menggunakan <span style="font-style:italic;">speed boat</span> dari Kabupaten Merauke, dan berhasil tiba di pantai terpencil Cape York di Australia timur laut.<span class="fullpost"><br /><br />Empat diantara rombongan tersebut adalah anak-anak, beberapa lagi aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM), selebihnya warga Papua yang merasa terancam hidup ditanah sendiri.<br /><br />Hampir lima hari empat malam mereka diatas <span style="font-style:italic;">speed boat</span>. Tujuannya jelas, meminta perlindungan dari pemerintah Australia, karena mereka tidak merasa aman hidup di Negara Indonesia.<br /><br />Rombongan ini dipimpin Herman Wainggai, salah satu pimpinan West Papua National Authority (WPNA). Selama ini Herman dikenal sebagai salah satu tokoh pemuda yang giat mengkampayekan kemerdekaan bagi bangsa Papua. Kampanye Herman juga meluas hingga ke luar negeri.<br /><br />Dua media besar di Australia, <span style="font-style:italic;">The Sidney Mornig Herald</span>, dan <span style="font-style:italic;">The Australian</span> serta beberapa media internasional memuat berita kedatangan 43 pencari suaka pada halaman utama Koran mereka saat itu.<br /><br />Pemerintah Indonesia sangat kaget mendengar berita tersebut. Di Jakarta Departemen Luar Negeri (Deplu) langsung memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer. Tujuannya menyampaikan keberatan dan protes terkait pemberiaan visa tinggal sementara dari pemerintah Australia kepada warga Papua tersebut.<br /><br />Di Australia lain hal. Presiden Susilo Bambang Yudhoyo segera memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk Australia, Hamzah Thayeb di Canbera,.<br /><br />Kedatangan 43 pencari suaka asal Papua ini tidak terjadi begitu saja. Dan bukan tujuan mencari sensasi atau dukungan interansional belaka. <br /><br />Pemerintah Indonesia, melalui aparat militer selama ini memang melakukan tindakan brutal di Papua. Tindakan yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak azasi manusia (HAM) berat.<br /><br />Pelanggaran HAM berat di Papua terjadi sejak tahun 1963. Saat itu Papua masih sebagai daerah sengketa. Daerah yang tak bertuan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Unitied Nations Temprary (UNTEA) untuk mempersiapkan segalanya menuju referendum bagi Papua ditahun 1969.<br /><br />Maksud referendum dari PBB adalah setiap orang Papua berhak menentukan nasib mereka sendiri. Apakah ingin ikut Indonesia. Ikut Belanda atau jutru berdiri sendiri. Istilahnya satu orang satu suara (one man, one vote), sesuai isi salah satu pasal <span style="font-style:italic;">New York Aggrement 1969</span>.<br /><br />Tapi ini dimanipulasi oleh pemerintah Indonesia. Mereka memilih 1025 orang untuk mewakili 800.000 orang Papua. Jumlah orang yang berhak memilih juga ditentukan oleh militer Indonesia. Semua berlangsung dibawah todongan moncong senjata militer Indonesia.<br /><br />Profesor Pieter Drooglever, sejarahwan Belanda dalam buku <span style="font-style:italic;">“Tindakan Pilihan Bebas” </span>menguraikan secara gamblang manipulasi sejarah yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui penentuan pendapat rakyat.<br /><br />Ia menyatakan Papua berhak menentukan nasib sendiri menjadi Negara merdeka. Hal ini berangkat dari tindakan pemerintah Belanda yang sudah pernah memberikan kemerdekaan kepada rakyat Papua. Bahkan sudah membentuk stukutur Negara merdeka. Negara Papua Barat.<br /><br />Berdirinya Papua menjadi sebuah Negara baru dibenarkan oleh Presiden Sukarno saat mengeluarkan tri komando rakyat (Trikora) di Jogjakarta. Pasal pertama dari trikora tersebut adalah “Bubarkan Negara bonek bentukan colonial belanda”. <br /><br />Secara tidak langsung, seorang Presiden Indonesia sendiri menyatakan bahwa Papua adalah sebuah Negara merdeka.<br /><br />Jadi, pilihan Herman Wainggai bersama 42 orang pencari suaka tersebut tidaklah salah. Yang salah adalah pemerintah Indonesia. Dimana selama ini tidak berlaku adil terhadap masyarakat Papua. Dan menggunakan cara-cara kekerasaan, serta tindakan represif untuk menghadapi tuntutan rakyat Papua.<br /><br />Kedatangan mereka ke Australia mendapat sambutan hangat dari masyarakat internasional, maupun pemerintah Australia. Walau mendapat tekanan dari pemerintah Indonesia melalui presiden SBY, pemerintah Australia tetap memberikan visa tinggal bagi mereka.<br /><br />Tindakan pemerintah Australia memberikan visa tinggal bagi 43 orang pencari suaka memang tepat. Ia juga dijamin deklarasi universal tentang hak asasi manusia pada pasal ke-14. Isinya, setiap orang dapat mencari suaka jika ada tuntutan dan jika disetujui dapat dinikmatinya.<br /><br />Misalnya, pada tahun 1973 ketika di Chile terjadi kudeta dan lebih dari 1000 orang masuk ke gedung-gedung perwakilan diplomatik di negara tersebut untuk meminta suaka diplomatik. Ini dijamin oleh undang-undang internasional.<br /><br />Jika pelanggaran HAM berat terus terjadi di Papua. Kekerasan dikedepankan dalam menghadapi rakyat Papua. Serta proses <span style="font-style:italic;">genocida</span> terus dijalankan secara terselubung, ini merupakan bom waktu bagi pemerintah Indonesia.<br /><br />Saat ini jumlah masyarakat Papua telah menjadi minoritas ditanah mereka sendiri (48%) dari jumlah keseluruhan. Populasi penduduk asli juga tak kunjung berkembang. Penyebabnya pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah Indonesia hingga banyak yang menjadi korban. Serta pengungsian besar-besaran (mencari suaka) ke Negara PNG dan Australia yang dilakukan sebagian besar warga Papua. <br /><br />Sampai kapan pemerintah Indonesia menggunakan cara-cara damai dan bermartabat dalam menyelesaikan setiap permasalahan di Papua. <br /><br />Sampai kapan orang Papua akan dihargai layaknya manusia. Berikan kami kebebasan. Bebas untuk hidup. Bebas untuk menentukan hak dan nasib kami sendiri. (***)<br /><br /><span style="font-style:italic;">Tulisan ini telah dimuat di Majalah Cermin Papua</span><br /><span style="font-style:italic;"><br />Sumber gambar: Google</span><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-13751602114337721522011-03-03T21:20:00.002-08:002011-03-06T08:38:37.954-08:00Pelanggaran HAM dan Dialog di Papua<span style="font-weight:bold;">PRESIDEN </span> Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyatakan tekadnya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di tanah Papua (Red; Papua dan Papua Barat).<br /><br />Sayangnya, tekad tersebut tak dibarengi dengan langkah-langkah kongkrit untuk segera menyelesaikannya hingga tuntas. Malahan, di tahun 2010 yang baru saja kita lewati, pelanggaran HAM di Papua terus terjadi, dan meningkat secara singnifikan.<span class="fullpost"><br /><br />Berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut dilakukan oleh aparat Militer Indonesia–Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)—yang seharusnya memberi rasa aman bagi warga masyarakatnya.<br /><br />Ini menunjukan “ketidakmampuan” seorang SBY dan Negara melindungi masyarakatnya di tanah Papua. Bukan tidak mungkin, ini akan memicu bangkitnya gerakan “separatis” di Papua yang tentu akan berdampak besar bagi keutuhaan negara republik Indonesia.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pelanggaran HAM</span><br /><br />Saat ini negara lebih memilih menggunakan cara-cara kekerasaan–Operasi Militer–untuk menyelesaikan konflik Papua. Dengan menempuh jalan kekerasaan, tentu ini akan menimbulkan banyak pelanggaran HAM yang juga akan memberikan citra buruk Indonesia di mata dunia internasional.<br /><br />Beberapa contoh yang dapat ditemui di tahun 2010 kemarin; misalkan, muncul video kekerasan dalam pelaksanaan patroli pada 16 Maret 2010. Dalam video tersebut diperlihatkan bagaimana puluhan warga Papua di tendang dengan sepatu laras. Punggung mereka terus dipukuli. Bahkan ada yang menggunakan helm tempur untuk memukul kepala korban.<br /><br />Berikutnya, peristiwa pembunuhan Kinderman Gire, seorang Pendeta Gereja GIDI Toragi, di Distrik Tinggi Nambut pada tanggal 17 Maret 2010 yang di duga dilakukan oleh aparat Militer Indonesia.<br /><br />Mereka curigai Kinderman sebagai anggota “separatis”, padahal ia hanya seorang pendeta biasa. Ia dibawa dan disiksa hingga mukanya bengkak dan menghitam. Sekitar dua minggu kemudian, warga menemukan kepala pendeta Kinderman tersangkut di pinggir sungai Tinggin, Yamo, Gurage.<br /><br />Berikutnya lagi, kasus kekerasan warga sipil saat diinterogasi yang terekam dan sempat beredar di situs Youtube pada 30 Mei 2010. Di dalam video tersebut, terlihat dua orang warga bernama Anggen Pugu Kiwo dan Telangga Gire diinterogasi mengenai keberadaan senjata dan pimpinan Operasi Papua Merdeka (OPM). Interogasi ini disertai tindak kekerasan yang tak manusiawi.<br /><br />Keduanya diikat dan ditempatkan terpisah. Korban ini diinjak, dipukul, dan sempat diancam akan ditembak. Bahkan salah satu korban disulut dengan bara kayu yang masih berasap di alat kelaminnya. Selama 48 jam keduanya mengalami penyiksaan yang hebat. (The Jakarta Globe, 22 November 2010)<br /><br />Tiga contoh kasus diatas menunjukan bagaimana pelanggaran HAM di Papua masih berlangsung sejak wilayah ini berintegrasi ke dalam negara Indonesia sejak tahun 1969 melalui proses penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang masih dianggap “tidak sah” oleh sebagian besar rakyat Papua.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pandangan LSM</span><br /><br />Human Right Watch (HRW) dalam beberapa laporannya mengkritik pemerintah Indonesia yang terus menerus melakukan pelanggaran HAM di Papua. Mereka juga menyoroti kebijakan negara yang mengharuskan wartawan asing, diplomat, serta lembaga HAM internasional untuk harus memiliki “surat jalan” untuk memasuki Papua.<br /><br />Bukankah ini sebuah “imits” yang diciptakan oleh negara, bahwa Papua saat ini tidak aman untuk di kunjungi. Ini tentu akan memberikan citra buruk di mata dunia internasional. Jika pemerintah beranggapan tidak ada pelanggaran HAM di Papua atau wilayah ini aman-aman saja, maka kebijakan tersebut harus di cabut.<br /><br />Selain HRW, Amnesty International dan Asian Human Rights Commision (AHRC) juga sering mengeluarkan laporan tentang pelanggaran HAM yang terus terjadi Papua. Bahkan, ada dugaan telah terjadi “slow motion genocida” di Papua.<br /><br />Menanggapi isu “slow motion genocida”, tepatnya tanggal 22 November 2010 lalu, telah berlangsung dengar pendapat antara beberapa aktivis Papua Merdeka di bawah pimpinan Octovianus Mote, dengan anggota Kongres AS di Washintong DC. Ini sebuah peristiwa bersejarah yang tentu tak bisa dianggap remeh, walaupun hanya dihadiri sedikit anggota Kongres.<br /><br />Berbagai lembaga HAM di Indonesia, seperti Komnas HAM, Imparsial, KontraS, dan Elsham juga secara berkala membuat laporan terkait pelanggaran HAM di Papua. Mereka sering menyerukan agar pemerintah Indonesia tidak memakai jalan kekerasaan untuk menyelesaikan konflik di Papua.<br /><br />Namun, hingga saat ini negara terus menerus melakukan tindakan kekerasaan, terutama melalui operasi Militer. Seharusnya, pemerintah menyadari bahwa jalan kekerasaan tidak akan pernah menyelesaikan konflik, malahan ia justru menambah masalah baru di Papua.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Meretas Jalan</span><br /><br />Untuk mengakhiri konflik di Papua, lebih khusus pelanggaran HAM , Lembaga Ilmu Pengetahuaan Indonesia (LIPI) pernah membuat sebuah proposal yang disebut dengan “Papua Road Map” sejak tahun 2009 lalu.<br /><br />Ada empat usulan, pertama, menghilangkan sikap diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang memarjinalisasikan orang asli Papua.<br /><br />Kedua, menciptakan proses pembangunan yang menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang Papua, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya.<br /><br />Ketiga, membangun dialog yang setara antara Papua dan pemerintah pusat untuk menumbuhkan sikap saling percaya dalam melihat masa lalu dan menatap masa depan.<br />Keempat, mengungkapkan kebenaran dan mengakui kesalahan atas terjadinya rangkaian kekerasan pada masa lalu demi terciptanya rekonsiliasi.<br /><br />Proposal yang diajukan LIPI perlu ditanggapi serius oleh pemerintah, juga rakyat Papua. Pemerintah harus mengakui, bahwa selama ini telah bertindak salah dalam menyelesaikan konflik di tanah Papua. Tentu rakyat Papua juga harus membuka diri.<br /><br />Pemerintah tak perlu mencurigai usulan LIPI sebagai peluang untuk rakyat Papua menyatakan sikap mereka untuk segera “memisahkan diri” dari negara Indonesia. Rakyat Papua juga demikian, dimana tidak memandang dialog sebagai peluang untuk menggapai sebuah kemerdekaan.<br /><br />Banyak diantara kita yang mungkin masih ingat, di tahun 1999 bagaimana embargo yang di jatuhkan dunia internasional, terutama Amerika Serikat kepada Indonesia ketika terjadi pelanggaran HAM berat di Timor Timur (sekarang Timor Leste). Embargo ini di jatuhkan ketika aparat Militer Indonesia (Red, Kopassus) membunuh ratusan warga Timtim. Kemudian embargo dicabut tahun 2010 kemarin, walau beberapa pelaku belum di sidangkan.<br /><br />Tentu ini harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. SBY-Boedino beserta Kabinte Indonesia Bersatu Jilid II punya pekerjaan besar untuk menyelesaikan konflik di Papua secara adil, bermartabat dan menyeluruh.<br /><br />Sekarang tinggal memilih, apakah tetap pakai cara kekerasaan—operasi militer— atau cara damai, yakni; pemerintah menggelar dialog dengan orang Papua yang di mediasi oleh pihak ketiga. Semoga!<br /><span style="font-style:italic;"><br />*Oktovianus Pogau adalah solidaritas masyarakat Papua, tinggal di Jakarta</span><br /><br /><span style="font-style:italic;">Tulisan ini telah di muat di Majalah Bulanan Cermin Papua, Edisi 02 tahun 2011</span><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-7500540349205487502011-01-27T22:21:00.004-08:002011-02-17T00:06:14.798-08:00Mengkritik Mutu Jurnalisme di Indonesia<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiy0Z56LeOgDgUOa7rta6egt-Baqfx1zRGzIy4VwnSPZJrYTirWYEAUg1Ffp546Fu5DhOPRzgnmYlWvGnBarLEnBYl_4OMwCWzx9ah8uRK2RIZD_IKgtL9DuUxjeKMkIZc-ydQoP1SLt-j5/s1600/agama+saya+jurnalisme.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 349px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiy0Z56LeOgDgUOa7rta6egt-Baqfx1zRGzIy4VwnSPZJrYTirWYEAUg1Ffp546Fu5DhOPRzgnmYlWvGnBarLEnBYl_4OMwCWzx9ah8uRK2RIZD_IKgtL9DuUxjeKMkIZc-ydQoP1SLt-j5/s400/agama+saya+jurnalisme.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5567120714379651442" /></a> <span style="font-weight:bold;">SEJAK </span>Indonesia mengganti Hindia-Belanda, media makin terpusat ke Jawa. Rezim Soekarno menutup semua media yang dianggap berpihak Belanda. Nama baru diciptakan; pers perjuangan. Soeharto menciptakan istilah baru; pers pembangunan. Wujudnya berupa konglomerat media.<br /><br />Kini batas jurnalisme tumpang tindih dengan propaganda, hiburan, iklan dan seni. Bias para wartawan, entah dengan negara, kebangsaan, agama maupun etnik, jadi bias. <span class="fullpost"><br /><br />Andreas Harsono, wartawan yang pernah meliput untuk The Jakarta Post, The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur) dan Pantau (Jakarta) mengumpulkan 34 naskah berupa kritikan terhadap media di Indonesia dalam sebuah antologi dengan judul “Agama Saya Adalah Jurnalisme.”<br /><br />Dalam antologi ini, Harsono juga mengkritik liputan media di negara Indopahit (terminalogi Indonesia keturunan Majapahit), yang tidak becus meliput soal konflik sosial maupun politik yang terjadi di Acheh maupun Papua. Memaksakan para wartawan untuk bersikap “nasionalis” atau “merah putih” sehingga tak buat wawancara sekaligus crosscek dengan pihak-pihak yang menginginkan sebuah kemerdekaan dari kolonialisme Indonesia, seperti; Gerakan Acheh Merdeka (GAM) di Acheh dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua.<br /><br />Seorang wartawan harus mendahulukan jurnalisme dari segala kepentingan. Agamanya, kewarganegaraannya, kebangsaannya, ideologinya, latar belakang sosial, etnik, suku dan sebagainya, harus dia tinggalkan di rumah begitu dia keluar dari pintu rumah dan jadi wartawan (Halaman, 218).<br /><br />Makin bermutu jurnalisme di dalam suatu masyarkat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarkat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat, kata Harsono mengutip pendapat Bill Kovach, kurator Nieman Foundation, sekaligus salah satu penulis buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” yang juga pernah mengajari Harsono menulis saat mendapat Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Amerika Serikat.<br /><br />Mutu jurnalisme di Indonesia tambah buruk lagi ketika para wartawan, yang juga konglomerat media ikutan terlibat dalam perpolitikan nasional. Walaupun, seorang wartawan memunyai hak yang sama dengan warga masyarakat lainnya, tapi ini tentu menganggu independensi wartawan tersebut.<br /><br />Misalkan, Goenawan Mohamad, wartawan terkemuka Indonesia, yang juga punya reputasi di dunia internasional, memutuskan bergabung dengan tim sukses Amien Rais, saat pemilihan umum tahun 2009 silam. Alwi Hamu, salah satu pemimpin Kelompok Jawa Pos, ikut bergabung dengan Jusuf Kalla. Kemudian Cyprianus Aoer, wartawan asal Manggarai, Pulau Flores, dan pemimpin redaksi harian Suara Pembaharuan jadi kandidat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk anggota parlemen (sekarang telah duduk di parlemen komisi x) (Halaman 169-170).<br /><br />Salah satu dari sembilan elemmen jurnalisme adalah, loyalitas utama seorang wartawan adalah kepada warga masyarakat tempat ia berada. Wartawan bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila mereka bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Tapi, bagaimana jika ia telah ikut berpartisipasi dalam dunia politik? Tentu meragukan sekali independensinya? Siapa yang akan ia bela?<br /><br />Dalam buku setebal 268 halaman ini, pada salah satu naskah dengan judul “Kupas Tuntas Media Palmerah” Harsono juga menyatakan pesimis kepada perkembangan media di Indonesia -- terutama konglomerat media Palmerah (Palmerah; merujuk pada satu tempat di Jakarta yang menjadi pusat media-media besar di Indonesia), yang sebagian besar peninggalan sistem Orde Baru, seperti; Jawa Pos, Kompas, Tempo, The Jakarta Post, RCTI, SCTV, Indosiar, TVRI, TPI. Mereka rata-rata berideologi fasisme, berorientasi komersial (secara berlebihaan) secara teknis belum mau pake standar jurnalisme internasional (byline, firewall, liputan media independen, menganggap wartawan kerja produksi alias kuli, nasionalisme sempit, dan sebagainya).<br /><br />Dateline naskah-naskah dalam buku ini dibuat dari tahun 1999 hingga 2010, sambil penulis menyelesaikan bukunya A Nation in Name; Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Ia ditulis dari beberapa tempat berbeda, seperti; Banda Aceh, Cambridge, Ende, Jogjakarta, Londok, Merauke, Pontianak, Semarang, Singapura, dan sebagainya, namun kebanykan ditulis dari Jakarta. Ada empat tema besar yang diangkat, (1) laku wartawan (code of conduct); (2) Penulisan (writing); (3) dinamika ruang redaksi (newsroom diversity); serta (4) liputan (reporting).<br /><br />Buku ini semakin menarik dibaca, karena penulis sendiri telah membuktikan dirinya sebagai seorang penulis handal yang telah berkarir di beberapa media Internasional. Buku ini juga semacam jadi buku panduan bagi mahasiswa, wartawan, serta masyarakat Indonesia yang peduli akan mutu jurnalisme di Indonesia.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Judul : Agama Saya Adalah Jurnalisme<br />Penulis : Andreas Harsono<br />Penerbit : Kanisius, Jogjakarta<br />Terbit : Desember 2010<br />Halaman : 268 Halaman<br />Harga : Rp. 50.000</span><span style="font-style:italic;"><br /><br />Resensi ini telah di muat pada Koran Jurnal Nasional, tanggal 23 Januari 2011</span><br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-90179436623843115612011-01-24T02:53:00.004-08:002011-02-17T00:16:32.083-08:00Negara (Tidak) Harus di Bela<span style="font-weight:bold;">MELALUI</span> Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menetapkan tanggal 19 desember sebagai hari bela negara, sekaligus untuk memperingati hari berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia 19 desember 1948.<br /><br />Selain Kepres diatas, beberapa dasar hukum dan peraturan wajib bela negara juga dapat dilihat dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakya, serta Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional. <span class="fullpost"> <br /><br />Pemerintah, baik legislatif maupun yudikatif, bahkan presiden SBY sendiri telah menyadari bertapa pentingnnya kesadaran bela negara sehingga menyusun dan menetapkan peraturan diatas untuk ditaati.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Konsep Bela Negara</span><br /><br />Secara harafiah, bela negar sendiri diartikan sebagai sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.<br /><br />Ada dua konsep bela negara secara umum, pertama; diartikan secara fisik dan kedua; diartikan secara non-fisik.<br /><br />Secara fisik, dengan mengangkat senjata untuk menghadapi serangan dari musuh, baik serangan dari dalam maupun dari luar yang membahayakan keutuhan negara republik Indonesia. Langkah-langkah ini hanya biasa diambil oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai sayap militer Negara yang telah telah dilatih secara khusus.<br /><br />Dan secara non-fisik, dapat didefinisikan sebagai segala upaya untuk mempertahankan Negara dengan cara meningkatkan rasa nasionalisme, yakni kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air, serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara.<br /><br />Semua warga negara Indonesia, termasuk juga warga negara luar yang sedang berada di Indonesia wajib menjalankan tugas bela negara, entah dengan cara apapun. Hal ini juga sebagai wujud penghormataan kepada para pejuang terdahulu yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pudarnya Nasionalisme</span><br /><br />Sebagai warga masyarakat, tentu cara bela negara dengan kedepankan bentuk fisik tak akan mungkin, cara non-fisik menjadi pilihan utama, dengan kata lain meningkatkan rasa nasionalisme, dan cinta akan tanah air.<br /><br />Namun, jika kita memandang secara realistis, rasa nasionalisme atau semangat bela Negara pada kebanyakan warga Negara Indonesia telah hampir pudar, dan mungkin tidak kita temui lagi, terutama di daerah-daerah konflik seperti Papua dan Maluku.<br /><br />Tentu hal ini tidak timbul begitu saja, ada sebab-sebab tertentu yang membuat rasa nasionalisme anak-anak bangsa ini pudar, bahkan hilang. <br /><br />Dalam peluncuran dan diskusi buku “G30S PKI, Perang Dingin, dan Kehancuran Nasionalisme” karya Tan Swie Ling beberapa hari lalu di Auditorium Perpustakaan Nasional, saya sebagai peserta diskusi sempat bertanya kepada Ben Anderson, salah satu narasumber yang juga penulis buku “Komunitas-KomunitasTerbayang” bahwa optimiskah anda Indonesia akan tetap menjadi Negara yang utuh dalam beberapa tahun kedepan?<br /><br />Pertanyaan diatas berangkat dari hasil refleksi saya terhadap kehancuran nasionalisme masyarakat Indonesia yang justru disebabkan oleh sistem negara yang buruk, dan para pemimpin di Negara ini yang tidak bijak dalam menyelesaikan segala konflik.<br /><br />Misalkan, seorang Gayus Tambunan, mafia pajak kelas kakap, dengan mudah sekali keluar masuk rutan Mako Brimob, apalagi sampai bisa pergi menonton pertandingan tenis di Bali dengan menyuap para petugas. Ini menunjukan bobroknya para penegak hukum, yang bukannya mentaati hukum, justru turut melanggar hukum tersebut.<br /><br />Sementara itu, kasus korupsi di Negara ini yang terus menerus meningkat. Hasil penelitian “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) pada akhir bulan Maret lalu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup pertama di Asia Pasifik, dan kelima di dunia.<br /><br />Kemudian, pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) juga terus menerus meningkat dan tak pernah di tuntaskan. Siapa dalang dibalik pembunuhan Munir hingga saat ini tidak pernah diketahui publik, padahal presiden SBY telah berjanji untuk membentuk tim pencari fakta dan menuntaskan hingga sampai akar-akarnya. Pelanggaran HAM di Papua juga tak pernah dicari bentuk penyelesainnya.<br /><br />Dengan beberapa refleksi inilah saya menyimpulkan, bahwa kehancuran nasionalisme atau “keengganan” bela negara yang ditunjukan oleh sebagiaan besar warga Negara Indonesia di sebabkan oleh para aktor negara sendiri. Tetapi cukup bijak Ben Anderson menjawab, bahwa sebaiknya jangan ada yang keluar dari Negara Indonesia.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tekad Pemerintah</span><br /><br />Melihat rasa nasionalisme Indonsia yang semakin pudar, dan “keengganan” bela negara yang ditunjukan sebagian besar warga masyarakat Indonesia, ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, secara khusus presiden SBY.<br /><br />Pemerintah, dalam hal ini para pimpinan negara ini harus menunjukan tekadnya untuk membangun masyarakatnya Indonesia. Rasa nasionalisme dan semangat bela negara akan muncul dengan sendirinya, jika para pimpinan negara ini berlaku adil, dan konsisten menjalankan semua perundang-undangan yang telah di buat.<br /><br />Yang perlu di bela adalah masyarakatnya, dengan bagaimana para pemimpin tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari hukum, sembari menyelesaikan setiap permasalahan di dalam negeri secara bijak dan bermartabat.<br /><br />Negara “tidak” harus di bela, tetapi masyarakatnya yang perlu di bela. Jika masyarakat sudah di bela, tentu mereka juga akan membela negara, dan rasa nasionalisme akan semakin tumbuh. Selamat memperingati hari bela negara. Semoga saja Indonesia menjadi Negara yang lebih baik.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Oktovianus Pogau adalah solidaritas masyarakat Papua, tinggal di Jakarta.<span style="font-style:italic;"></span></span><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-33084580897997875342011-01-16T23:14:00.002-08:002011-01-17T00:09:09.141-08:00Tantangan dan Harapan di Tahun 2011<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCzOXH_Af_CHqMEZ6V7ZavfQBaIXZPWZQRfTHeI54U0WwY9izPbJI2nZ3JbR1PF2yDMn2ThLsCbHU2l8ZG6TmlbxzHLb-JSruneOMSYpDCV_7R2rX4LzSg3bXLp15lsE4XHfQQkJtBl0Uy/s1600/3057568p.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 263px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCzOXH_Af_CHqMEZ6V7ZavfQBaIXZPWZQRfTHeI54U0WwY9izPbJI2nZ3JbR1PF2yDMn2ThLsCbHU2l8ZG6TmlbxzHLb-JSruneOMSYpDCV_7R2rX4LzSg3bXLp15lsE4XHfQQkJtBl0Uy/s400/3057568p.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5563063801466755170" /></a> <span style="font-weight:bold;">OCTHO-</span> Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya saat membuka Rapat Kerja Awal Tahun di Jakarta Convention Center, Senin,(10/01) mengukapkan bahwa ada 10 tantangan Indonesia yang harus dikerjakan di tahun 2011.<br /> <br />10 tantangan tersebut seperti; pertama, melakukan langkah-langkah guna mengantisipasi kenaikan harga pangan dan energi dunia. Kedua, bersama DPR, pemerintah diminta mengelola APBN agar tepat sasaran. Keempat, iklim investasi harus dipastikan sehat. Kelima, penyimpangan dan korupsi di daerah terus dikikis.<span class="fullpost"><br />Keenam, praktik usaha pertambangan dan kehutanan yang ilegal dan merusak lingkungan ditertibkan. Ketujuh, politik uang harus dicegah. Kedelapan, program-program prorakyat dan pelayanan masyarakat berjalan dengan baik. Kesembilan, perlindungan terhadap TKI ditingkatkan dan yang terakhir, kesiapan dan kesiagaan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menangani bencana alam.<br /><br />Sebelumnya, SBY juga telah memaparkan 10 capaian (keberhasilan) Indonesia di tahun 2010 kemarin. Pencapaian tersebut tentu berkat kerja keras, dan usaha semua pihak, termasuk masyarakat Indonesia sendiri.<br /><br />Sekarang saatnya menatap kedepan (tahun 2011). Melakukan langkah-langkah kongkrit dan bijak untuk berusaha mencapai target-target yang telah kita tetapakan sendiri di tahun 2011 ini. Ada beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan, agar dapat mencapai apa yang menjadi “pekerjaan rumah” bagi Negara ini.<br /><br />Pertama, buat perencanaan yang baik dan matang. Misalkan, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia harus membuat perencanaan yang jelas, dalam beberapa minggu atau beberapa bulan sejak awal tahun ini, siapa dalang dibalik kepergiaan Gayus H Tambunan, mafia pajak ke Bali, maupun ke beberapa Negara luar, seperti Singapura, Kuala Lumpur dan Makau (Hongkong) sudah bisa diungkapkan kepada publik.<br /><br /><br />Kedua; Harus ada target yang jelas. Misalkan, pemerintah harus berkomitmen serta menargetkan, “prestasi” korupsi Indonesia di tahun 2011 akan berkurang, bahkan jika boleh tak ada lagi yang melakukan korupsi. Jika melihat hasil survei yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau PERC pada tahun 2010 kemarin, telah menempatkan Indonesia sebagai Negara korup pertama di Asia Tenggara, dan kelima di dunia. Ini tentu “prestasi” yang sangat buruk.<br /><br />Ketiga; harus ada komitmen dan tekad dari semua pihak. Pemerintah (daerah maupun pusat), DPR, serta Presiden harus berkomitmen, dan bertekad penuh membangun Indonesia dengan hati, bukan dengan mulut, komentar, serta opini-opini tak berdasar di media massa.<br /> <br />Misalkan, seorang pimpinan, baik Presiden, Gubernur, dan Bupati, bahkan Camat sekalipun, harus memanggil setiap bawaaan yang tidak melakukan fungsi kerja atau menyeleweng dari apa yang seharusnya ia kerjakan. Kalau ada Bupati yang korupsi, Gubernur harus berani menegur, bila perlu memberhentikannya. Dan juga, jika ada aparat militer (TNI/POLRI) yang bertindak sewenang-wenangnya, atau melakukan pelanggaran HAM, harus diusut tuntas, bahkan bila perlu memecat pelakunya. <br /><br />Keempat; Melakukan evaluasi dan kontrol. Setiap target, perencanaan, bahkan program yang telah dibuat di awal tahun ini, kedepannya tetap dilakukan control atau evaluasi, agar tingkat keberhasilan, maupun kegagalannya dapat diukur. Ini juga akan memotivasi siapapun untuk bekerja lebih baik, dan lebih sungguh-sungguh lagi. <br /><br />Ketika sedikit dari banyak “rambu-rambu” untuk membangun Indonesia diatas di perhatikan, alhasi, harapannya, akan ada sedikit perubahaan, yang tentu manfaatnya dirasakan oleh seantoro rakyat Indonesia dan untuk kepentingan Negara. <br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-14141269744649188092011-01-06T20:52:00.005-08:002011-01-25T07:16:10.094-08:00SBY-Boediono Harus Atasi Konflik Papua<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiq-5m9P4P9t2BY4jTozi6NkXxs-7h_mz51YvBg04-hhhG1WreiXZCbDV-tSJBfuHcjTFwMauhSY6w3ay1EwE1UnjzuyyqHBduEUHJN28T08PRlWi-mh8We9_mOiJxU221Ac5Zff4wuxI3T/s1600/Dialogue.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 376px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiq-5m9P4P9t2BY4jTozi6NkXxs-7h_mz51YvBg04-hhhG1WreiXZCbDV-tSJBfuHcjTFwMauhSY6w3ay1EwE1UnjzuyyqHBduEUHJN28T08PRlWi-mh8We9_mOiJxU221Ac5Zff4wuxI3T/s400/Dialogue.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5559303243799272306" /></a> <span style="font-weight:bold;">OCTHO- </span>SALAH satu tugas pokok Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).<br /><br />Biasanya, ancaman dari dalam negara sendiri lebih punya dampak besar, ketimbang ancaman dari negara luar. Dan kadang kala, ancaman dari negara luar justru semakin nampak, ketika negara membiarkan sebuah konflik tumbuh dalam suatu wilayah negara sendiri, tanpa di carikan bentuk penyelesaianya.<span class="fullpost"><br /><br />Papua merupakan salah satu wilayah yang memberikan ancaman serius bagi keutuhaan negara Indonesia sejak wilayah ini berintegrasi di tahun 1969 melalui proses penentuan pendapat rakyat.<br /><br />Ia juga selalua mempengaruhi beberapa negara luar untuk menekan pemerintah Indonesia ketika konflik yang terjadi di daerahnya tidak pernah di selesaikan secara bijaksana.<br /><br />Lihat saja, Amerika Serikat, Australia, Vanuatu dan beberapa negara di kawasan Asia Pasifik akan lantang bersuara ketika terjadi berbagai konflik di Papua, terutama masalah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang terus-menerus terjadi.<br /><br />Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boedino punya tugas utama untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di tanah Papua. Konflik ini harus di selesaikan secara adil, damai dan bermartabat seperti yang di lakukan di Aceh.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">UU Otsus Papua</span><br /><br />Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) telah diberlakukan selama sembilan tahun lamanya. Namun, manfaat langsung dari kehadiran Otsus tidak dirasakan oleh sebagian besar rakyat Papua. Bahkan ada juga yang menyimpulkan Otsus telah gagal.<br /><br />Kecewa dengan implementasi Otsus, sudah tiga kali sejak di berlakukan Otsus rakyat Papua long march puluhan kilometer dari Abepura menuju kantor DPR Papua di Jayapura. Mereka mengembalikan UU ini kepada wakil rakyat di DPR Papua. Mereka juga meminta segera di teruskan kepada pemerintah pusat di Jakarta. (The Jakarta Post, 07/08/2010)<br /><br />Tentunya, dana Otsus yang tiap tahunnya meningkat secara signifikan, semisal 2,4 trilyun (tahun 2004), 4,8 trilyun (tahun 2006), 5,3 trilyun (tahun 2007), 5,5 trilyun (tahun 2008), 5,3 trilyun (tahun 2009), 5,2 trilyun (tahun 2010) dan untuk ABPD Propinsi Papua tahun 201I membutuhkan 5,8 trilyun, juga tak bisa memberikan jaminan bahwa konflik di Papua akan berakhir.<br /><br />Bahkan, sebagian kalangan beranggapan UU Otsus justru menimbulkan masalah baru di tanah Papua. Masalahnya, bagaimana ia menciptkan birokrasi pemerintah yang kian korup. Ini tentu akan menimbulkan konflik horizontal antara sesama orang Papua sendiri.<br /><br />Karena itu, UU Otsus Papua tidak bisa dianggap sebagai solusi akhir untuk menyelesaikan konflik di tanah Papua. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kunjungan SBY</span><br /><br />Kunjungan SBY dan beberapa Menteri ke Jayapura, Papua beberapa hari lalu tentu tak bisa menghentikan konflik yang terjadi. Malahan, setelah kunjungan tersebut menambah beberapa catatan konflik baru.<br /><br />Beberapa insiden yang terjadi terjadi setelah kunjugan SBY, seperti; penembakan yang terjadi di Kampung Nafri, Jayapura, dimana menewaskan satu orang warga sipil dan empat orang luka parah.<br /><br />Beberapa hari berikutnya, sekelompok orang yang di duga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengibarkan bendera bintang Kejora sebagai simbol bendera bangsa Papua, di Puncak Jaya, Papua.<br /> <br />Kemudian ada lagi aksi demo rakyat Papua melalui Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Dewan Adat Papua (DAP); intinya mereka meminta pemerintah Indonesia membuka ruang dialog untuk membicarakan masalah Papua secara adil, damai dan bermartabat. <br /><br />Sekecil apapun kemungkinan lepasnya Papua dari NKRI tentu tak bisa di anggap remeh. Lepasnya Timor Leste di tahun 1999 melalui proses referendum merupakan pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia, terutama Presiden SBY sebagai kepala negara saat ini.<br /><br />Ia harus lebih bijaksana dalam mengatasi konflik yang terjadi di Papua. Jika tidak, tentu akan berdampak pada keutuhan NKRI yang selalu di cita-citakan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Dialog</span><br /> <br />Sepulang dari Papua, presiden SBY bersama beberapa menteri langsung membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua. Tujuan tidak jauh berbeda dengan Instruksi Presiden No. 7 tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di tanah Papua yang di keluarkan tiga tahun lalu.<br /><br />Tapi, apakah pembentukan lembaga ini akan turut membantu menyelesaikan konflik di tanah Papua? Penulis sangat pesimis. Malahan bisa menambah konflik baru di birokrasi pemerintahaan.<br /><br />Misalkan, Inpres No. 7 tahun 2007 tidak berjalan maksimal karena tumpang tindih dengan sebuah perundangan sebelumnya, yakni; UU No.21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.<br /><br />Dan bukankah pembentukan lembaga ini juga bertentangan lagi dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua yang telah di undang-undangkan lebih dulu?<br /><br />Konflik di Papua hanya dapat di selesaikan jika SBY-Boediono membuka diri untuk menyelenggarakan dialog yang bermartabat antara pemerintah dengan rakyat Papua.<br /><br />Apapun model dialog itu, yang penting SBY-Boediono sebagai kepala dan wakil kepala negara harus mendorong agar proses ini bisa terlaksana. Jika tidak, konflik Papua merupakan bom waktu bagi keutuhaan negara Indonesia, yang kapan saja bisa meletus.<br /><br />Akar dari pada konflik di Papua harus dipangkas lebih dulu, sebelum memangkas konflik-konflik lain yang berkaitan dengan implementasi UU Otsus Papua serta percepatan pembangunan di wilayah paling timur Indonesia ini.<br /> <br /><span style="font-style:italic;"><br />*Oktovianus Pogau adalah freelance journalist, tinggal di Jakarta</span><br /><span style="font-style:italic;"><br />Naskah ini dalam bahasa Inggris telah di muat di koran The Jakarta Globe</span><br /><span style="font-style:italic;">Sumber gambar google.</span><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-1089879412840396982011-01-03T20:29:00.002-08:002011-01-03T20:42:21.835-08:00Ibadah Natal, Seminar dan Perayaan Tahun Baru IPMANAPANDODE Berlangsung<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHpy3c4RfZnEKsOZcmvRyIxdGNmPMeG8DzD0V0Vmmk3sn1suBW9r1CgLFYHIrAGo5gSbuhldW7YD_Z8FYy_LHtsETErv4ZO-_zKsG2oCoZhz_s8BqjPpgPfPtoaB8e7SETi11IffJKsabN/s1600/1.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 317px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHpy3c4RfZnEKsOZcmvRyIxdGNmPMeG8DzD0V0Vmmk3sn1suBW9r1CgLFYHIrAGo5gSbuhldW7YD_Z8FYy_LHtsETErv4ZO-_zKsG2oCoZhz_s8BqjPpgPfPtoaB8e7SETi11IffJKsabN/s400/1.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5558186203513221970" /></a> <span style="font-style:italic;">“Mempersiapkan diri untuk membangun dalam kasih”</span><br /><span style="font-weight:bold;">OCTHO -</span> Ibadah natal, seminar dan perayaan tahun baru Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai (IPMANAPANDODE) se-Jawa dan Bali tahun 2010, telah berlangsung di Balai Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri, Parung, Bogor. Acara ini berlangsung sejak tanggal 29 Desember 2010 hingga 01 Januari 2011.<br /><br />Menurut Ketua panitia, Serfasius Kotuki, yang juga mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), penyelenggaraan acara Ibadah natal maupun seminar ini bertujuan untuk membangun tali persaudaraan serta menumbuhkan semangat dan cinta kasih sesama pelajar dan mahasiswa asal Paniai, Nabire, Dogiyai dan Deiyai yang sedang menempuh pendidikan di pulau Jawa dan Bali.<span class="fullpost"><br /><br />Kotouki juga menambahkan, bahwa tema yang di ambil dalam Pekan IPMANAPANDODE tahun ini adalah “Mempersiapkan Diri Untuk Membangun Dalam Kasih”, tema ini merangkul semua kegiataan yang dilaksanakan dalam seluruh rangkaian acara tahun ini.<br /><br />“Mempersiapkan diri berarti, kita membekali diri kita dengan apa yang telah kita pelajari, apa yang kita dapat, apa yang kita alami, dan apa yang kita lakukan dalam kebenaran kasih Kristus.<br /><br />Tujuannya, agar setelah kita pulang ke daerah masing-masing, kita dapat mengabdikan diri untuk pembangunan daerah untuk kepentingan masyarakat luas, tidak untuk kepentingan pribadi kita,” katanya dalam sambutan tertulis.<br /><br />Selain menyelenggarakan Ibadah natal, dan penyambutan tahun baru, acara yang tidak kala pentingnya adalah seminar umum. Ir. Kemas Abuhanif, Dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB) membawakan materi dengan thema “Taktik Pemasaran Komoditi”. Tujuan penyelenggaraan seminar ini bagaimana cara meningkatkan komoditi, maupun sampai pada cara pemasaran setiap bahan komoditi yang telah di hasilkan.<br /><br />Hadir juga Ir. Mahalaya S Cagil, Direktur Centre International Potato (CIP), sebuah lembaga yang bergerakan di bidang pembudidayaan ubi jalar di dunia. Adapun thema yang di bawakan “Teknik Pembudidayaan Ubi Jalar di Papua”. Ia memaparkan bagaimana meningkatkan produktifitas Ubi jalar di Papua, dan bagaimana cara menggunakan varietas unggul untuk pengembangbiakan.<br /><br />Dalam mengawali seminar, kedua pemateri berterima kasih kepada panitia penyelanggara yang telah memberikan kesempatan untuk membawakan materi mereka di depan mahasiswa asal Papua. “Kami mendapatkan kehormatan bisa berbicara di depan mahasiswa Papua saat ini,” kata mereka membuka acara.<br /><br />Selain seminar, beberapa kegiataan yang berlangsung seperti pertandingan sepakbola antar kota studi (dimenangkan oleh kota study Jakarta), Bola Volly putri (dimenangkan oleh kota Studi Bandung), bola Volly Putra (dimenangkan oleh Kota Studi Malang) serta beberapa acara selingan, seperti Pentas Budaya, Pentas Band, serta seni. Tujuan utama dari penyelenggaraan kegiataan ini adalah untuk meningkatkan kebersamaan, kekompakan, dan kekeluargaan antar setiap pelajar dan mahasiswa se-Jawa dan Bali.<br /><br />Pada penghujung acara, berlangsung evaluasi semua kegiataan yang telah dilangsungkan. Masing-masing kota studi mengirim perwakilan untuk menyampaikan masukan maupun pendapat mereka. Setelah itu berlangsung acara penentuan kota studi untuk natal tahun berikut. Dengan perdebatan yang cukup alot dan panjang, akhirnya kota Studi Jogjakarta diberikan kepercayaan untuk menyelenggarakan natal di tahun berikut.<br /><br />Diakhiri dengan doa penutup, seluruh peserta dari setiap kota studi mengemas barang untuk kembali ke daerah masing-masing. Sayonara hingga Natal tahun 2011 di kota Gudeg, Jogjakarta. (OP)<br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-58649385347995572962010-12-11T04:40:00.003-08:002010-12-11T05:17:21.126-08:00Andai Saya Jadi Obama<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_Y-W-u7iaTyWTp_aGD-UYjmNp2S0gimDRlozsiab_t1moSBlOsoo6n9-enHX3t6M_TT3M6tfH7h73fFlEugsEMEuSp6rh9rKkvL4TnK5sv4IvTES32SS0EnZDQCt5izvTVq1oe1EWeChs/s1600/barack-obama-with-mom-and-step-father.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 241px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_Y-W-u7iaTyWTp_aGD-UYjmNp2S0gimDRlozsiab_t1moSBlOsoo6n9-enHX3t6M_TT3M6tfH7h73fFlEugsEMEuSp6rh9rKkvL4TnK5sv4IvTES32SS0EnZDQCt5izvTVq1oe1EWeChs/s400/barack-obama-with-mom-and-step-father.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5549412925650870242" /></a> <span style="font-weight:bold;">OCTHO-</span> Saya mencintai Indonesia, seperti mencintai negara saya Amerika Serikat (AS). Indonesia adalah bagian dari diri saya, tentunya kampung halaman saya juga.<br /><br />Karena kampung halaman, bukan berarti saya mengunjungi Indonesia dengan semaunya. Saat ini saya adalah presiden, sekaligus orang nomor satu di negara Adidaya. Saya perjuangkan kepentingan hampir 300-an juta masyarakat AS.<span class="fullpost"><br /><br />Banyak orang pasti bertanya, mengapa saya tidak berlama-lama di negara Indonesia? Wajar jika ada yang bertanya seperti itu.<br /><br />Saya tahu, banyak materi, tenaga, bahkan pikiran pemerintah Indonesia telah di korbankan untuk menyambut kedatangan saya.<br /><br />Menurut sebuah berita di Koran Tempo, bahwa hampir 10 ribu aparat militer Indonesia telah di kerahkan jauh-jauh hari untuk mengamankan kedatangan saya. Kemudian, beberapa ruas jalan utama di Jakarta di tutup agar tak menggangu ketika saya melintas. Ini penghormatan yang sangat luar biasa. <br /><br />Robert Gibbs, Juru bicara Gedung Putih, telah memberikan keterangan resmi, karena alasan erupsi gunung merapi yang di khawatirkan berdampak buruk pada penerbangan pesawat milik kepresidenan, Air Force One, sehingga saya buru-buru tinggalkan Indonesia.<br /><br />Sebenarnya ada alasan yang sulit di kemukakan. Ini pula yang yang seharusnya di ketahui masyarakat Indonesia, mengapa saya tidak berlama-lama disini.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tidak Penting</span><br /><br />AS beranggapan Indonesia tidak penting. Buktinya, saya diberi waktu hanya 18 jam di negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia ini. Mungkin ini kunjungan saya yang paling singkat setelah di lantik menjadi Presiden ke-44 AS sejak tahun 2008 lalu.<br /><br />Saking tidak pentingnya, kunjungan saya ke taman Makam Pahlawan, Kalibata, yang telah di jadwalkan oleh Gedung Putih juga di batalkan. Sudah singkat, dipersingkat lagi.<br /><br />Memang, ukuran menilai penting dan tidaknya Indonesia, bukan karena lamanya waktu saya berkunjung, tetapi kesepaktan, dan pembicaraan penting apa yang saya lakukan dengan para petinggi di Indonesia, untuk kepentingan kita bersama.<br /><br />Saya kira masyarakat Indonesia perlu ketahui, kemitraan kompherensif yang seharunya menjadi agenda utama pembicaraan saya di Indonesia juga tak terlaksana dengan baik. Yang ada hanya bagaimana saya disambut dengan makanan ala Indonesia, seperti; nasi goreng, bakso, sate, dan makanan lainnya.<br /><br />Saya tahu, Indonesia punya pengaruh yang cukup besar di kawasan Asia Tenggara. Apalagi, di tahun 2011 mendatang, Indonesia di percayakan menjadi tuan rumah, sekaligus ketua penyelenggara KTT ASEAN. Namun, hal itu tentu tidak bisa meyakinkan masyarakat AS, bahwa Indonesia adalah negara yang penting untuk di kunjungi.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kepentingan AS</span><br /><br />Kepentingan kami di masa kini adalah mencari “sahabat” yang bisa membantu mengatasi krisis keuangan global yang terjadi pada musim gugur tahun 2008 lalu. Indonesia tentu tak bisa membantu apa-apa dalam mengatasi krisis ini. Bahkan, saya kuatir Indonesia hanya akan jadi beban bagi negara kami.<br /><br />Kenapa saya mengunjungi China pertama kali untuk negara-negara di kawasan Asia, padahal saya tak ada hubungan apa-apa, termasuk hubungan sejarah seperti dengan Indonesia? Yah, karena hanya China yang bisa membantu perbaiki krisis keuangan global yang terjadi di negara kami.<br /><br />Saat Dollar anjlok, malahan Yuan tetap stabil. Perusahaan-perusahaan kami hampir saja bangkrut besar. Namun perusahaan China tetap kokoh. Malahan ekspor mereka ke beberapa negara, termasuk di negara kami adalah yang paling besar. Tentu saya sebagai kepala negara sangat kuatir, dimana China mendominasi ekonomi di dunia.<br /><br />Karena itupula saya kunjungi China. Mengajak mereka bekerja sama. Meminta mereka untuk menaikan Yuan, agar Dollar bisa stabil. Saya tahu, hanya mereka yang bisa membantu kami.<br /><br />Setelah China, India merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk paling banyak di dunia. Kami membutuhkan pasar. Dan India adalah tempatnya. India sukar diajak bicara. Namun dengan pembicaraan yang cukup alot dan lama, sehingga kami bisa diterima baik. Kami membicarakan kepentingan ekonomi yang tentu menguntungkan kedua belah pihak. <br /><br />Indonesia juga memiliki jumlah penduduk yang paling banyak, dan berada pada urutan keempat setelah negara kami. Namun, negara Indonesia berbeda dengan China dan India. Negara Indonesia sangat taat pada kami. Indonesia juga sangat mudah di ajak bicara. Ini salah satu alasan utama, kenapa kami tak perlu berlama-lama dan bicara panjang lebar dengan pemerintah Indonesia.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Menyoal Pidato</span><br /><br /><br />Banyak masyarakat Indonesia tercengang ketika mendengar saya berpidato di Universitas Indonesia, Depok. Saya berbicara tentang demokrasi, Hak Azasi Manusia (HAM), dan Agama di Indonesia.<br /><br />Saya tahu, pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di Indonesia masih sering terjadi. Kasus Trisakti dan Semanggi yang terjadi pada tahun 1998 sampai sekarang belum juga di tuntaskan. Siapa dalang pembunuh Munir, aktivis HAM senior di Indonesia juga belum terungkap .<br /><br />Dua hari sebelum saya datang, media masa di Indonesia maupun dunia internasional heboh dengan penyiksaan dua warga sipil yang di duga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Puncak Jaya, Papua. Menko Polhukam, Djoko Suyanto, sempat memberikan kebenaran, bahwa anak buahnya melakukan penyiksaan terhadap warga sipil. Hingga saat ini, siapa oknum anggota TNI yang melakukan penyiksaan terhadap kedua warga sipil tersebut juga belum di adili.<br /><br />Menyoal agama. Indonesia dengan hampir 85% penduduk mayoritas muslim masih sering berlaku tidak adil pada warga agama minoritas. Sejak tahun 1996 hingga tahun 2010, ratusan gereja telah di rusak dan dibakar, banyak warga gereja yang di bunuh. Pelakunya hingga kini belum tertangkap.<br /><br />Saya juga tahu, bagaimana Indonesia dalam melangsungkan pemilihan umum. Masih banyak pejabat yang melakukan praktek money laundering dan money politic. Negara saya masih yang paling baik dalam hal demokrasi. Indonesia perlu belajar banyak dari kami. Dan juga, banyak peristiwa di negara ini menunjukan bahwa hukum di Indonesia bisa dibeli dengan uang.<br /><br />Saya cukup menyesal, membawakan pidato ini, seakan-akan Indonesia adalah negara yang tak ada cacat maupun nodanya. Saya yakin, banyak pemuka agama, tokoh politik, bahkan presiden Indonesia sekalipun tersenyum lebar mendengar saya berpidato. Ini mungkin pidato saya yang paling berkesan menurut mereka.<br /><br />Ada yang harus kalian tahu, bahwa pidato saya sebenarnya adalah sebuah teguran bagi para pemimpin di negeri ini. Juga untuk para pemuka Agama, dan terlebih khusus bagi masyarakat seantoro Indonesia. Bahwa, masih banyak ketimpangan yang perlu di benahi dari negeri ini.<br /><br />Intinya, pemerintah Indonesia jangan dibuat lupa diri dengan ucapan manis, seorang Obama. Masih banyak persoalaan di negeri ini yang harus di tuntaskan. Segeralah selesaikan, sebelum semuanya terlambat.<br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">*Oktovianus Pogau adalah aktivis Aliansi Mahasiswa Papua, tinggal di Jakarta. </span> <br /></span>Unknownnoreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-20949003280113192322010-11-22T03:26:00.003-08:002010-11-22T03:43:50.616-08:00Pentingkah Indonesia di Mata AS?<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWLxVc3PvZV-K6DN7i9xNmuCS7jUhyHBP-sEUOFMQotz56SnWbdSjrAz_0Aon4HK0vs-7uImXGRw1lL2l5OcCZ8VWxaBjoRVSsY4fZlfiB9DY_LPul2r4VctpyhqhIkQT7NRmGfgVKtfCE/s1600/Obama-apa+kabar_10112010151644.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 289px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWLxVc3PvZV-K6DN7i9xNmuCS7jUhyHBP-sEUOFMQotz56SnWbdSjrAz_0Aon4HK0vs-7uImXGRw1lL2l5OcCZ8VWxaBjoRVSsY4fZlfiB9DY_LPul2r4VctpyhqhIkQT7NRmGfgVKtfCE/s400/Obama-apa+kabar_10112010151644.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5542338324399986690" /></a> <span style="font-weight:bold;">OCTHO- </span>Kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Hussein Obama telah usai, namun pemerintah dan mayarakat Indonesia tentu berharap ini bukan kali terakhir ia mengunjungi Indonesia. Saat berpidato di kampus Universitas Indonesia, Depok, ia menyatakan bahwa Indonesia adalah bagian dari dirinya. <br /><br />Wajar jika Obama mengatakan demikian. Ia pernah tinggal di Indonesia selama empat tahun. Saat itu ia ke Indonesia bersama Ibunya, Ann Dunham dan Ayah tirinya, Lolo Soetoro, yang juga orang Indonesia. Ayah tirinya di paksa meninggalkan kuliah di Hawaii, dan diwajibmiliterkan ke Papua Niugini (Papua) oleh pemerintah Indonesia.<br /><span class="fullpost"><br /><br />Terlepas dari masa kecil Obama di Indonesia, kita juga perlu memikirkan banyak sisi perihal kedatangan orang nomor satu di negara Paman Sam ini. Siapa dia saat ini? Ada kepentingan apa di Indonesia? Dan tujuaan apa ia datang?<br /><br />Obama tempo dulu, berbeda sekali dengan Obama sekarang. Ia dulu hanya seorang anak “ingusan” yang mungkin tak ada pengaruhnya. Bahkan, bisa jadi sama sekali tak di perhitungkan karena hanya seorang imigran biasa.<br /><br />Tetapi sekarang berbeda. Ia adalah Presiden ke-44 di negara Adikuasa macam AS. Ia memimpin Negara yang punya power sangat besar untuk mengatur dunia. Ia juga orang nomor satu di negara berpenduduk terbanyak ketiga.<br /><br />Dengan demikian, tentulah maksud kedatangan ia ke Indonesia tidak seperti yang di pikirkan banyak masyarakat Indonesia. Ia sebenarnya tidak “pulang kampung,” walaupun ia mengatakan bahwa Indonesia adalah kampung halamannya.<br /><br />Jika Indonesia termasuk kampung halamannya, kenapa ia tidak mengunjungi SD Negeri 01 Menteng? Kenapa ia tidak bersilaturahmi dengan teman-teman masa kecilnya? Atau kenapa ia tidak menemui keluarga ayah tirinya yang telah lama di Indonesia?<br /><br />Nah, karena itu perlu kita pahami , bahwa Ia datang ke Indonesia atas nama Negara AS dan memperjuangkan kepentingan nasional AS juga. Bukan kepentingan pribadi.<br /><br />Bayangkan saja, Obama hanya 18 jam di Indonesia. Berbeda dengan kunjungannya ke India, New Delhi, yang memakan waktu hampir tiga hari. Bahkan ketika di New Delhi, ia mengunjungi beberapa tempat bersejarah, termasuk Monumen Makam Humayun yang menurut beberapa sumber telah mengilhami penciptaan bangunan Taj Mahal.<br /><br />Mungkin saking tidak pentingnnya Indonesia di mata pemerintah AS, mengunjungi taman makam Pahlawan di Kalibata, yang telah menjadi agenda awal Gedung Putih juga di batalkan. Kunjungan sudah singkat, malah di persingkat lagi.<br /><br />Kalau begitu, seberapa pentingkah Indonesia di pemerintah AS dan Obama? Jelas tidak penting. Kenapa? Ada tiga hal menurut hemat saya.<br /><br />Pertama; Karena posisi Indonesia saat ini hanya sebagai “konsumen kebijakaan” AS dan dunia, bukan pembuat kebijakaan. Indonesia belum punya daya tawar yang kuat di tingkat dunia internasional. Singkat kata, Indonesia di anggap sebagai pengikut setia yang akan taat pada semua kepentingan AS sampai kapanpun.<br /><br />Kedua; Indonesia tak dapat membantu AS dalam pemulihan laju pertumbuhan ekonomi mereka setelah keguncangan krisis perbankan tiga tahun lalu. Karena kebutuhaan AS masa kini adalah melakukan perbaikaan ekonomi agar masih mendapat tempat dan menjadi yang paling kuat di dunia.<br /><br />Ketiga; Posisi Indonesia saat ini hanya sebagai penonton, bukan pemain dalam percaturan global. Seorang penonton tak bisa mengatur pertandingan, mengarahkan pertandingan, apalagi sampai ikut membuat kebijakaan, pemainlah yang punya kewenangan luas. <br /><br />Di negara-negara Asia, AS beranggapaan hanya China yang bisa menjawab kebutuhaan mereka. Makanya jangan heran, jika China adalah negara pertama di Asia yang di kunjungi Obama setelah terpilih. Indonesia adalah negara ketiga yang di kunjungi, itupun setelah beberapa kali membatalkan kunjungannya.<br /><br />Jika punya daya tawar yang kuat dalam percaturan global, tentu AS dan seorang Obama akan berpikir ulang jika hanya mengunjungi Indonesia dalam belasan jam. Pasti tiga hari, atau bahkan bisa jadi empat hari.<br /><br />Apa yang harus di lakukan agar Indonesia di anggap penting oleh AS? Caranya simpel saja. Membangun kekuataan ekonomi negara secara internal dengan matang. Membangun kerja sama dengan negara-negara sosialis yang tidak berpikir untuk kepentingan semata. Dan membangun kekuataan ekonomi yang berbasis kerakyataan. Ini menjadi langkah awal untuk menjadi pemain utama di percaturan global.<br /><br />Memang berapa lama ia mengunjungi Indonesia bukan ukuran menilai Indonesia penting atau tidak, tetapi paling tidak Obama dan pemerintah AS sadar bahwa banyak hal yang telah di lakukan pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk menyambut kedatangannya yang hanya 18 jam.<br /><br />Menyimak pidato Obama di Kampus Universitas Indonesia, tentu bisa di simpulkan bahwa kedatangan dia ke Indonesia hanya ingin memulihkan citra masyarakat AS di mata umat muslim, bahwa AS tidak berniat perang melawan muslim. Lebih tepatnya, politik simbolik yang di lakukan Obama ke Indonesia.<br /><br />Kira-kira langkah apa yang akan di lakukan SBY-Boediono agar Indonesia dianggap penting oleh AS jika melakukan kunjungan di lain waktu? Kita tunggu saja.<br /><br /><br /><span style="font-style:italic;">*Oktovianus Pogau adalah aktivis Aliansi Mahasiswa Papua, tinggal di Jakarta.<br /></span><br /> <br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-78092757117771638182010-11-11T02:11:00.004-08:002010-11-11T02:24:14.506-08:00Obama, Indonesia dan Papua<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXqYCrgPgNN2Efb0DJo3bN-2_Unz_F57LK79GxAkigwbgiZCooNZw1TWXgIQoLl0JDmDalL82dZrd6RdJLQDlOzXZyn8JAlXZkApi-F_nQRp8hq6cvZtE79FjF5KyUyBnZb05y-f7ftDCd/s1600/obama9.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 286px; height: 400px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXqYCrgPgNN2Efb0DJo3bN-2_Unz_F57LK79GxAkigwbgiZCooNZw1TWXgIQoLl0JDmDalL82dZrd6RdJLQDlOzXZyn8JAlXZkApi-F_nQRp8hq6cvZtE79FjF5KyUyBnZb05y-f7ftDCd/s400/obama9.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5538235256862469650" /></a> <span style="font-weight:bold;">DALAM</span> buku yang berjudul “<span style="font-style:italic;">The Audicity of Hope - Thoughts On Reclaiming The American Dream”</span> yang ditulis langsung oleh Barack Obama telah sedikit menggambarkan bagaimana semasa ia dan keluarganya tinggal di Indonesia. <br /><br />Dalam buku tersebut, Obama juga menuliskan pandangannya tentang politik di Indonesia. Ia juga bercerita bagaimana punya hobi berenang di sungai dan menunggang kerbau di sawah dengan anak-anak pribumi Indonesia. Obama memerlukan kurang lebih 10 halaman di dalam buku tersebut untuk mengisahkan kenangan dan pandangannya tentang Indonesia. <span class="fullpost"><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Kunjungan ke Indonesia</span><br /><br />Sudah dua kali Obama membatalkan kunjugannya ke Indonesia. Pertama, kunjungan kenegaraan yang dijadwalkan 22 hingga 24 Maret 2010 di batalkan karena ia sedang fokus memperjuangkan Undang-undang Jaminan Kesehatan dengan Kongres AS. <br /><br />Kedua, Gedung Putih membatalkan lagi rencana kunjungan Obama karena ia sedang sibuk dan memberikan perhatian penuh dalam menyelesaikan krisis bocornya sumur minyak milik British Petroleum (BP) di Teluk Meksiko. <br /><br />Dan untuk kali yang ketiga orang nomor satu di negara Paman Sam ini direncanakan akan mengunjungi Indonesia. Inipun jika tidak ada halangan. Banyak hal yang akan di bicarakan, termasuk kerja sama Militer Amerika Serikat dengan pasukan militer Indonesia (Kopassus). Kerja sama ini pernah di putuskan pada tahun 1998, karena Kopassus di duga melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur, namun kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Robert Gates pada 22 Juli 2010 ke Indonesia membuat kerja sama ini kembali terjalin.<br /><br />Obama secara pasti di jadwalkan akan mengunjungi Indonesia selama dua hari satu malam, yakni; pada tanggal 9 hingga 10 November 2010 mendatang. Selain bertemu dengan Presiden SBY di Istana Negara, Ia juga di rencanakan akan mengunjungi Mesjid Istiqlal, memberikan ceramah kepada umat muslim di Indonesia. (Media Indonesia, 29/10/2010).<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Belajar dari Obama</span><br /><br />Jika melihat dua perihal tertundanya kedatangan Obama di Indonesia hanya karena ia lebih memilih menyelesaikan permasalahaan di dalam negeri. Memprioritaskan agenda negara untuk kepentingan rakyatnya. Kemudian mengunjungi mereka yang terkena musibah, dan memberikan perhatian penuh hingga semua pulih kembali. <br /><br />Selain itu, Obama juga sadar, ia menjadi orang nomor satu di negara besar macam Amerika Serikat karena ia di pilih langsung oleh rakyat, bukan melalui money politik, money laundering dan lain sebagainya yang sudah merupakan hal lumrah di negara “demokrasi” macam Indonesia. <br /><br />Yang menjadi pertanyaan, adakah pemimpin di negeri ini yang dapat mengikuti keteladanan dan sikap Obama? Seorang pemimpin negara yang begitu peduli dan bertanggung jawab pada rakyatnya. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Wasior Hingga Mentawai</span><br /><br />Pada hari Senin, 04 Oktober 2010 Kabupaten Wasior, Papua Barat hancur luluh-lantakan akibat banjir Bandang. Ratusan korban melayang. Rumah-rumah warga rusak total. Sekolah-sekolah juga hancur berantakan. Enam hari kemudian Presiden Yudhoyono yang di jadwalkan akan mengunjungi daerah ini secara mendadak membatalkan kunjungannya.<br /> <br />Tiga hari setelah pembatalan kunjungan, tepatnya pada hari Rabu, tanggal 13 Oktober 2010, Presiden SBY melakukan kunjungannya ke Wasior, Papua Barat. Tetapi yang anehnya, ia hanya mengunjungi tempat tersebut dan berbicara di depan korban banjir bandang selama tiga jam. Tidak lebih dari itu. Waktu seperti ini sangatlah tidak cukup.<br /><br />Lain halnya dengan kunjungan Wakil Presiden Indonesia, Boediono di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau mengunjungi tempat tersebut dan berbicara dengan para pengungsi letusan Gunung Merapi hanya lima menit, setelah itu melanjutkan perjalanannya. Padahal ia telah di tunggu oleh para pengungsi sejak pagi hari. <br /><br />Dan ada yang lebih aneh lagi. Anggota badan kehormatan DPR RI secara beramai-ramai akan melakukan studi banding ke beberapa tempat di luar negeri. Semua menggunakan fasilitas dan uang rakyat. Bukankah lebih mulia para anggota dewan yang terhormat mengunjungi para korban bencana Tsuname di Mentawai? Mereka sedang berduka karena semua harta benda, termasuk sanak-saudara mereka yang telah hilang di bawah amukan badai Tsuname. <br /><br />Timbul pertanyaan, apakah ini model pemimpin maupun wakil rakyat yang peduli pada rakyat? Seorang pemimpin yang ideal adalah mereka yang peduli pada rakyatnya ketika membutuhkan uluran tangan. <br /><br />Maka tidak salah, jika kita berharap kunjungan Presiden Barack Obama di Indonesia ini akan memberikan pelajaran penting bagi para petinggi negara ini, termasuk kepada wakil rakyat, agar dapat memperhatikan hak azasi maupun kebutuhaan warga negaranya secara menyeluruh. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Obama dan Papua </span><br /><br />Semasa Obama kecil hidup di Indonesia (sejak tahun 1967 hingga 1971) Papua sedang “bergejolak.” Status Papua saat itu tidak jelas, antara berdiri sendiri, dan bergabung ke dalam negara Indonesia. Beberapa operasi di langsungkan, termasuk Operasi Militer. Tujuannya agar Papua dapat di rebut dari penjajahaan Belanda. <br /><br />Tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa Obama kecil sama sekali tidak menyinggung soal Papua dan masyarakatnya dalam buku yang ia tulis? Menulis tentang Provinsi yang terletak di wilayah paling timur negara Indonesia, tempat dimana PT Freeport McMoran Copper &Gold Inc, perusahaan Multi-internasional milik Amerika Serikat sedang beroperasi saat ini. <br /><br />Atau ia justru tidak tahu ada daerah yang di diami ras Melanesia, ras yang kurang lebih serumpun dengan dia. Mungkin bisa jadi juga ia terlalu kecil untuk berpikir pada sesama, apalagi berpikir tentang Papua yang saat itu sangat jauh, dan tak terkontrol oleh media masa.<br /><br />Nah, dalam kunjungan Obama ke negara Indonesia kali ini, akankah ia turut membicarakan masalah krisis kemanusian yang terjadi di tanah Papua? <br /><br />Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq berharap Presiden Amerika Serikat Barrack Obama tidak membahas persoalan Papua, dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Indonesia. Ia juga meminta agar pemerintah Amerika Serikat menghargai pemerintah Indonesia, karena menurutnya, bahwa persolaan Papua adalah persoalaan dalam negeri dan akan di selesaikan juga dari dalam negeri. (Media Indonesia, 29/10/2010)<br /><br />Beberapa lembaga HAM di dunia internasional seperti Human Rights Watch (HRW), Asia Human Rights Commission (AHRC) dan Amensty International juga sering menyeruhkan kepada dunia internasional untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang sering di lakukan oleh Militer Indonesia di Papua. Ini pula yang mungkin akan menjadi perhatiaan presiden Barack Obama, jika ia akan datang ke Indonesia dan berbicara soal Papua dengan pemerintah Indonesia. <br /><br />Beberapa minggu lalu publik di Indonesia dan dunia di kagetkan dengan video penyiksaan yang beredar di situs Youtube dengan judul: "Indonesia Military Ill-Treat and Torture Indigenous Papuans.” Video ini menunjukan bagaimana Militer Indonesia menyiksa dua warga sipil yang di duga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). <br /><br />Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto dalam jumpa pers seusai rapat terbatas di kantor Presiden 22 Oktober 2010 lalu membernarkan bahwa ada penyiksaan dua warga sipil tersebut, dan mengatakan bahwa pelakunya adalah anggota Militer Indonesia. (Media Indonesia, 22/10/2010)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Manfaat Kunjungan</span><br /><br />Kunjungan presiden negara super power kali ini semoga dapat memberikan manfaat penting. Bagaimana hubungan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat yang telah terbangun lama bisa lebih di tingkatkan lagi. <br /><br />Selain itu, ada harapan yang terpenting, adalah bagaimana membicarakan krisis kemanusiaan yang selama ini terjadi di seluruh Indonesia, terlebih khusus Maluku dan Papua. Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat harus bersepakat dan membicarakan dengan jelas dalam pertemuaan ini, bahwa tidak akan melakukan tindakan maupun perbuataan yang melanggar hak-hak warga masyarakat untuk hidup damai dan tenteram di Negara mereka sendiri. <br /><br />Dalam pertemua ini, baik Obama maupun SBY perlu sadar, bahwa masih banyak aparat Militer yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakatnya sering bertindak di luar tindakan manusiawi. Artinya, harus diakui, masih banyak warga Negara Indonesia yang merasa tidak damai hidup di Negara mereka sendiri. <br /><br />Selama hak-hak mereka masih di langgar, selama itu pula perdamaiaan tidak akan pernah terwujud. Dan selama itu pula konflik di Indonesia akan terus-menerus terjadi. Setelah pertemuaan penting ini, semoga ada hasil menggembirakan yang di capai bagi penegakan HAM di seantoro Indonesia, khususnya Papua. <span style="font-weight:bold;">Wellcome Obama!</span>! <br /><span style="font-style:italic;"><br />*Oktovianus Pogau adalah seorang Jurnalis dan pemerhati HAM, tinggal di Jakarta</span><br /><span style="font-style:italic;"><br />Tulisan ini sempat di muat koran Jurnal Nasional</span><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1648724135368945087.post-2596895109910480092010-11-08T05:32:00.002-08:002010-11-08T05:46:14.047-08:00Amerika Serikat Bertanggung Jawab Terhadap Konflik di Tanah Papua<span style="font-weight:bold;">ALIANSI MAHASISWA PAPUA (AMP)</span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">SIARAN PERS</span><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidsB1V8JVRHY9IA3bLAWmwM7cmCMHPhg45o5wq-Q0PzWXnmjY4blGeJ0zUoFS_bfOYbCc4PxHqDsEqiLpu5OIlyetN3qsvLApd9psei8CQQHAyoIegKVLI458RNn_cRScWkWF4LiUmanv5/s1600/PETA+PAPUA+DI+NABIRE.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 318px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidsB1V8JVRHY9IA3bLAWmwM7cmCMHPhg45o5wq-Q0PzWXnmjY4blGeJ0zUoFS_bfOYbCc4PxHqDsEqiLpu5OIlyetN3qsvLApd9psei8CQQHAyoIegKVLI458RNn_cRScWkWF4LiUmanv5/s400/PETA+PAPUA+DI+NABIRE.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5537173587436079378" /></a> <span style="font-weight:bold;">(JAKARTA, SENIN 08 November 2010) </span>- Menyambut kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Hussein Obama di Jakarta, ratusan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) akan melakukan aksi demo secara damai dan mulai long march dari kantor Walhi, Jln. Tegal Parang Utara, No. 14 hingga kantor PT Freeport Indonesia, Plaza 89, Kuningan Jakarta, (09/11) mendatang.<br /><br />Menurut ketua umum Aliansi Mahasiswa Papua, Rinto Kogoya, bahwa tujuan demo ini adalah meminta Amerika Serikat, dalam hal ini Presiden Barack Hussein Obama bertanggung jawab terhadap segala permasalahaan yang terjadi di tanah Papua, terutama masalah status Politik Bangsa Papua yang tidak jelas hingga kini. <span class="fullpost"><br /><br />“Amerika Serikat memiliki kepentingan sehingga menganeksasi Papua secara paksa ke dalam wilayah teritorial Indonesia melalui pelaksanaan PEPERA yang cacat hukum dan moral di tahun 1969. Sebagian besar rakyat Papua menolak hasil PEPERA tersebut,” katanya.<br /><br />Sementara itu, Viktor Kogoya dari Aliansi Mahasiswa Papua mengatakan bahwa Amerika Serikat juga bertanggung Jawab terhadap kerusakaan lingkungan dan hutan yang terjadi di tanah Papua, karena menurutnya banyak perusahaan raksasa dari Amerika Serikat yang menanamkan investasinya di tanah Papua tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang bagi masyarakat setempat.<br /><br />“Bukti paling nyata adalah operasi tambang PT Freeport McMoran Copper & Gold Inc yang telah merusak lingkungan dan hutan milik suku Amugme dan Kamoro di Timika, Papua. Saat ini mereka merasa terancam hidup di tanah kelahiraan mereka sendiri.<br /><br />Kami tidak ingin karena kepentingan ekonomi Amerika Serikat dan pemerintah Indonesia, justru rakyat Papua yang di korbankan. Ini tentu akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara pemerintah dan masyarakat Papua,” jelas Viktor.<br /><br />Sementara itu, Oktovianus Pogau juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua meminta Amerika Serikat bertanggung Jawab terhadap segala bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang terjadi di tanah Papua, karena telah menjalin hubungan kerja sama yang baik, bahkan turut melatih aparat Militer Indonesia (Kopassus).<br /><br />“Bukti pelanggaran HAM yang di lakukan aparat Militer Indonesia dapat di lihat melalui dua buah video penyiksaan yang beredar di Internet beberapa waktu lalu. AMP minta AS segera menghentikan kerja sama Militer dengan pemerintah Indonesia, karena banyak rakyat Papua yang di siksa secara tidak manusiawi oleh aparat Militer Indonesia,” jelas Oktovianus.<br /><br />Dua buah video penyiksaan ini di publikasikan oleh Asian Human Rights Commission (AHRC) yang berdomisil di Bangkok melalui situs Youtube. Beberapa hari kemudian, setelah pertemuaan dengan Presiden Yudhoyono di Istana Negara, Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto di depan wartawan membenarkan adanya anggota Militer yang menjadi pelaku penyiksaan dua orang warga sipil yang di duga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kabupaten Puncak Jaya, Papua.<br /><br />Oktovianus juga mengatakan bahwa UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (red: termasuk Papua Barat) telah gagal total, karena itu pemerintah Amerika Serikat di minta segera menghentikan bantuaan dana Otsus untuk Papua melalui pemerintah Indonesia.<br /><br />“Pendonor dana Otsus paling besar untuk Papua adalah Amerika Serikat, karena itu kami minta Amerika Serikat segera hentikan bantuan dana tersebut, karena jelas-jelas Otsus telah gagal total di tanah Papua,” tambahnya.<br /><br />Rakyat Papua telah tiga kali mengembalikan UU Otsus Papua kepada pemerintah pusat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Jayapura, namun nyatanya hingga saat ini Otsus masih berlaku di tanah Papua. “Ini menjadi pertanyaan, sebenarnya siapa yang menikmati dana Otsus itu? Jika rakyat Papua menikmati dana Otsus itu, kenapa mereka masih menjadi warga masyarakat yang paling miskin di Indonesia.<br /><br />Rakyat Papua merasa Otsus bukanlah solusi, namun Otsus menjadi kutuk yang membuat orang Papua semakin terancam,” tegas Oktovianus.<br /><br />Ia juga mengharapkan bahwa kedatangan Obama pada tanggal 9 hingga 10 November nanti bukan saja membina hubungan kerja sama yang baik dengan pemerintah Indonesia, namun Obama lebih serius memperhatikan konflik dan krisis kemanusiaan yang terjadi di tanah Papua, seraya mengambil tindakan kongkrit tuntuk mengatasinya.<br /><br />“Kami berharap Barrack Obama bisa melakukan kunjugan ke tanah Papua selain mengunjungi Jakarta, agar Ia bisa mengetahui pasti terkait persoalaan yang sedang di hadapi masyarakat disana,” tambah Oktovianus.<br /><br />Mengakhiri komentarnya, Oktovianus mengatakan bahwa tuntutan rakyat Papua saat ini hanya satu, yakni; minta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan referendum seperti yang pernah di lakukan di Timor Leste pada tahun 1999 silam.<br /><br />“Biarkan kami menentukan nasib kami sendiri, apakah tetap ingin ikut dengan Negara ini, atau justru ingin membentuk Negara sendiri,” paparnya singkat.(***)<br /><br /><br /></span>Unknownnoreply@blogger.com0