Tuesday, July 27, 2010

Mencari Solusi Terbaik Untuk Papua

Resensi buku “Papua 100 Tahun ke Depan”
OCTHO- Masalah di Papua sangat kompleks dan perlu dicari solusi penyelesaiaanya. Berbagai fenomena, seperti; status politik dan kemanusiaan serta masalah budaya dan ekonomi yang masih menyisihkan beribu pertanyaan. Dana Otsus dikucurkan triliunan rupiah tiap tahunnya. Mengapa awan gelap masih menggantung di langit Papua?

Wawan H. Purwanto, wartawan senior sekaligus pengamat Intelejen, militer dan hubungan luar negeri di Indonesia menulis secara jelas persoalan-persoalan yang terjadi di Papua beserta solusi yang ditawarkan dalam penyelesaiannya.

Buku ini terdiri dari 11 bagian. Setiap bagian terdiri dari beberapa sub bagian yang semuanya saling berkait satu sama lainnya. Dalam uraiaanya, penulis lebih fokus membahas kehadiran UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, implementasi Otsus, kegagalan Otsus beserta beberapa solusi penyelesaiaanya yang ditawarkan oleh penulis.

Persoalan lain yang turut dibahas adalah, masalah status politik yang tidak jelas, pelanggaran HAM yang begitu tinggi, keberadaan Militer yang turut mempengaruhi siklus kekerasan di Papua, serta keberadaan TPN/OPM di tanah Papua, namun penulis tidak sampai pada memberikan solusi penyelesaiannya.

Pada bagian pertama penulis menggambarkan tentang asal-asal usul Papua. Diantaranya membahas tentang pemberiaan nama pulau Pulau Papua yang awalnya Irian Jaya, keberadaan pulau-pulau besar yang ada di tanah Papua serta kultur masyarakat di tanah Papua.

Yang berikut pada bagian kedua penulis membahas tentang hubungan Papua dengan bangsa-bangsa lain yang ada di dunia, termasuk dengan bangsa Indonesia sendiri. Pada bagian ini juga penulis membahas tentang perdagangan yang terbangun antara penduduk Papua, lebih khususnya pedagang Muslim Gujarat dengan pedagang dari luar Papua.

Tidak berbeda dengan bagian kedua, namun pada bagian ketiga penulis lebih fokuskan membahas tentang pengaruh beberapa kerajaan dan beberapa negara luar terhadap tanah Papua. Penulis juga membahas bagaimana awal mula Papua pernah di klaim menjadi milik raja Spanyol, hal ini bermula ketika Antonio D’abreu menemukan emas di Papua, yang pernah diberi nama negeri emas.

Kemudian pada bagian keempat penulis lebih fokus Papua dan wilayah NKRI. Beberapa sub bagian yang dikemukakan, seperti penyelenggaraan penentuan pendapat rakyat Papua, keberadaan OPM dan PDP, kehadiran para transmigran yang turut meresahkan warga Papua dan pada sub bagian terakhir tentang keberadaan Militer dan siklus kekerasaan yang terus meningkat di tanah Papua.

Pada bagian kelima, penulis membahas tentang pelanggaran hak asasi manusia dan separatisme di Papua. Penulis menggambarkan PT Freeport Indonesia sebagai ikon bisnis kapitalisme modern dan pelanggaran HAM, pada akhir bagian ini penulis lebih menekankan kepada nasib Papua yang menggantung, padahal kekayaan alam Papua begitu banyak beserta panorama alamnya yang akan menjadi pusat perhatian dunia internasional.

Sedangkan pembahasan yang lebih menyeluruh, komplek beserta solusi penyelesaiaannya ada pada bagian keenam. Pada bagian ini membahas tentang Otonomi Khusus dan masa depan Papua. Penulis menggambarkan bagaimana Papua mendapat kewenangan yang besar atau system desentralisasi asemtri namun tidak menyelesaikan masalah di Papua.

Dan pada bagian ketujuh penulis memberikan solusi kongkrit yang dapat dilakukan Pemerintah Provinsi Papua, pemerintah Pusat dan masyarakat Papua dalam melangkah untuk menuju Papua baru dalam bingkai Otsus. Beberapa saran, usulan, serta kebijakan kongkrit diberikan penulis untuk menjadi bahan refrensi kepada semua pihak yang memilki kewenangan.

Kemudian pada bagian kedelapan penulis membahas tentang Papua diera Otonomi Khusus. Selain itu penulis mengkaji tentang kehadiran lembaga respentatif cultural orang asli Papua (red; Majelis Rakyat Papua), peran kerja MRP, Perdasi/Perdasus yang menjadi perdebatan dikalangan rakyat Papua beserta pentingnya memfungsikan kerja MRP.

Dan yang berikut, pada bagian kesembilan penulis membahas tentang sumber daya alam dan akar konflik yang terjadi di tanah Papua. Konflik itu seperti, konflik antar agama, konflik antar suku, konflik antar etnis dan solusi penyelesaiaan konflik di tanah Papua. selain itu penulis mengusulkan pembentukan sebuah badan Otorita yang dapat mengkaji seluruh persoalan Papua sampai pada tingkat pemerintah pusat di Jakarta.

Kemudian pada bagian kesepuluh, penulis membahas tentang suara hati warga asli Papua yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Beberapa pemecahan masalah secara komprehensif ditawarkan oleh pemerintah. Penulis juga menawarkan sebuah kebijakan, langkah-langkah serta strategi serta upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah di Papua dalam menjawab suara hati nurani warga asli Papua.

Pada bagian terakhir, bagian kesebelas penulis membahas tentang babak akhir perlawanan Pimpinan tertinggi TPN/OPM Wilayah Nemangkawi, Timika, Kelly Kwalik. Penulis menguraikan bagaimana Kelly dibunuh, serta antusias warga Papua dalam menyambut kepergiaan beliau. Catatan ini merupakan catatan akihir penulis tentang seluruh prosesi yang berlangsung di tanah Papua pasca kepergiaan Kelly Kwalik.
Pandangan penulis tentang persoalan di Papua cukup baik. Beberapa refrensi yang menjadi acuan penulisan juga cukup lengkap, hal ini menandakan bahwa penulis lebih banyak mengamati persoalan di tanah Papua lewat apa kata media cetak dan media internet.

Masing-masing orang memiliki pandangan yang berbeda terhadap persoalan di Papua. Hal ini juga menandakan bahwa masing-masing orang punya pendapat tentang solusi di tanah Papua juga berbeda. Solusi yang ditawarkan itu intinya untuk menyelesaikan masalah di Papua secara komprensif dan bermartabat.

Beberapa orang Papua mengatakan bahwa solusi untuk penyelesaiaan masalah di papua adalah dialog internal antara orang asli Papua dengan pemerintah pusat. Ada juga yang mengatakan bahwa dialog internasional antara pemerintah Indonesia, Papua dan pemerintah pusat.

Tetapi ada juga yang menawarkan solusi yang lebih berbeda, yakni memberikan kebebasan penuh bagi rakyat Papua tanpa dialog.

Apapun solusi yang ditempuh, sekiranya persoalan di tanah Papua dapat di selesaikan secara bermartabat. Semoga awan gelap di langit Papua dapat kembali cerah.
Akhir kata, buku Papua 100 Tahun ke Depan sangat layak untuk dibaca oleh seluruh kalangan rakyat Papua. buku ini menjadi rerfrensi untuk menambah pengetahuaan tentang Papua dan mengkaji solusi lain yang lebih bermartabat.

*Oktovianus Pogau adalah Aktivis HAM dan Jurnalis lepas, saat ini tinggal di Jakarta. Dapat dihubungi lewat e-mail oktovianus_pogau@yahoo.co.id dan webblog http://pogauokto.blogspot.com


Judul Buku : Papua 100 Tahun Ke Depan
Penulis : Wawan H. Purwanto
Penerbit : Cipta Mandiri Bangsa (CMB Press)
Jumlah Halaman : 336 Halaman
Tahun Terbit : 1 April 2010


Hasil resensi ini baru saja di muat di Tabloid Suara Perempuan Papua di Jayapura

Baca Selengkapnya......

Friday, July 16, 2010

Revolusi Hanya Bisa Tercapai Jika Ada Persatuan

OCTHO- Revolusi hanya bisa dicapai jika ada persatuan. Sekarang sudah saatnya rakyat Papua bangkit. Kita bangkit dan bersatu untuk merebut cita-cita luhur, yakni; bebas dari ikatan penjajah.

Pendahuluan
Ernesto Che Guevara, revolusioner dari Negara Kuba pernah mengatakan bahwa musuh terbesar anak muda (pemuda dan mahasiswa) zaman ini adalah jika kita telah merasa hidup nyaman. Pesannya singkat, anak muda jangan mau hidup nyaman, ini sudah tentu akan membunuh idealisme kita.

Patut dibenarkan pernyataan diatas. Saat ini banyak pemuda dan mahasiswa Papua acuh tak acuh terhadap perjuangan. Ada yang lebih senang pulang-pergi kampus dan kost, ada juga yang lebih senang memanjakan diri dengan aktivitas di luar kampus bahkan ada juga yang lebih senang berteori melulu tanpa mempraktekannya, padahal seharusnya tidak demikian.

Kekuataan pemuda dan mahasiswa Papua hanya ada persatuan. Persatuan itu sendiri dibutuhkan dengan maksud mencapai tujuan besar, yakni sebuah kebebasan bagi rakyat Papua yang telah di tindas oleh negara Indonesia dan negara barat sejak tahun 1969.

Saya yakin, persatuan akan terjadi antara pemuda dan mahasiswa Papua di seluruh Indonesia, terlebih khusus yang sedang berada di wilayah Jawa dan Bali. Tidak ada yang mustahil, semua perlu tekad, komitmen dan kerja keras. Mari kita bersatu. Saatnya sekarang ini, bukan besok.

Papua Sudah Merdeka
Pada tanggal 1 Desember tahun 1961 adalah hari bersejarah bagi rakyat Papua. Karena sejak itu Papua telah berdiri sendiri menjadi sebuah negara merdeka. Kerajaan Belanda saat itu turut membantu terselenggaranya kemerdekaan bagi rakyat Papua Barat.

Saat itu lagu Hati Tanahku Papua bergema, bendera bintang kejora dikibarkan, serta penghormatan kepada sang bintang kejora terus di lakukan. Ini awal kebangkitan bangsa Papua. Telah lahir negara baru, yakni Negara Papua Barat.

Negara Belanda memang telah membangun Papua dengan baik, terutama beberapa sektor rawan seperti pendidikan, kesehatan, ekonmi termasuk sumber daya manusianya. Mereka juga telah turut membangun Politik beserta kesadaran untuk membangun sebuah negara merdeka.

Makanya tidak heran jika banyak orang Papua mengklaim Belanda tidak menjajah orang Papua, tetapi mereka sudah membangun Papua, berbeda dengan negara-negara lain, termasuk negara Indonesia yang datang untuk menjajah dan merampok kekayaan alam di tanah Papua.

Kemerdekaan merupakaan hak setiap warga yang ada di muka bumi. Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat juga menyatakan demikian, bahwa setiap warga/kelompok yang telah memenuhi sebuah kriteria layak menuntut hak kemerdekaannya, termasuk orang Papua saat itu.

Tapi sayang, negara Indonesia dengan segala kepentingan membatalkan kemerdekaan Papua Barat. Tri komando rakyat saat itu sudah jelas menyatakan bahwa Papua adalah sebuah negara merdeka. Konspirasi tingkat tinggi terjadi antara negara Indonesia dan negara kapitalisme dari dunia barat, termasuk Amerika Serika. Usulan untuk terselenggaranya PEPERA oleh Elswort Bungker ternyata awal penjajahan baru oleh negara Indonesia dan Amerika Serikat di tanah Papua.

Penyelenggaraan dan Keabsahaan PEPERA 1969

Dengan paksaan Negara Amerika Serikat akhirnya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tetap di berlangsungkan. PEPERA sendiri murni tawaran USA untuk Indonesia dan Belanda atas kepentingan modal mereka di tanah Papua.

Sejarahwan belanda Prof Drooglever dalam bukunya “Een Daad van Vrije Keuz : De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht” telah jelas menyatakan bahwa PEPERA 1969 tidak sah dan cacat hukum maupun moral. Selain itu menurutnya PEPERA sendiri tidak di laksankana secara demokratis karena berlangsung di bawah ancaman dan todongan senjata Militer Indonesia.

Negara Indonesia memperlakukan bangsa Papua sungguh ironis. Mereka memilih 1025 orang Papua secara sepihak. Mereka di pilih dan di karantina secara khusus. Mereka berada dalam todongan senjata dan di paksakan untuk memilih Indonesia tanpa mengikuti suara hati nurani.

Jika merujuk pada Perjanjian New York, PEPERA bukan berlangsung dengan sistem musyawarah seperti yang di paksakan oleh pemerintah Indonesia, tetapi sistem satu orang satu suara (one man one vote) tapi bagian ini di abaikan oleh negara Indonesia demi kepentingan mereka atas bangsa Papua.

Sampai kapanpun orang Papua selalu menyatakan bahwa PEPERA 69 tidak sah, dan Papua bukan merupakan bagian dari NKRI. Orang Papua sudah pernah merdeka dan berdaulat sendiri sejak tahun 1961, yang di butuhkan saat ini tinggal pengakuan secara resmi dari pemerintah Indonesia dan dunia internasional.

Pemuda dan mahasiswa Papua yang ada di Jawa dan Bali di tuntun untuk menyuaraakn aspirasi itu. Bahwa kita sudah pernah merdeka, sekarang kita hanya butuh pengakuan. Diisini pentingnya penyatuan kita.

Papua Setelah Pepera

Setelah Pepera di berlangsungkan, tercatat hampir belasan kali operasi militer yang dilakukan oleh Militer Indonesia untuk membunuh dan menghabisi orang asli Papua. Ini sungguh jahat dan bejat. Dengan dalih kesejahteraan dan keaamanan di Papua, namun itu hanya omong kosong belaka.

Ali Murtopo, orang kepercayaan Presiden Soeharto pernah mengatakan bahwa Negara Indonesia tidak butuh orang Papua, tetapi tetapi membutuhkan kekayaan alam yang ada di tanah Papua. Lanjutnya, jika orang Papua ingin merdeka, pergi saja ke bulan untuk merdeka di sana. Pernyataannya menjelaskan dengan sungguh, bahwa operasi militer di lakukan untuk kasih habis orang asli Papua.

Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ortis Sanz yang memantau langsung terselenggaranya Pepera di tanah Papua juga pernah berujar, bahwa negara Indonesia betul-betul menutup ruang demokrasi di tanah Papua Barat agar tidak ada bentuk protes maupun ketidakpuasaan yang di lakukan oleh rakyat Papua.

Walaupun Militer Indonesia dengan jahatnya membumi hanguskan orang asli Papua, namun sampai kapanpun idealisme untuk kebebasan Papua tidak akan pernah mati bahkan pudar sekalipun. Saat itu beberapa orang Papua tetap menuntu kemerdekaan yang telah di mediasi oleh Belanda.

Papua telah merdeka. Yang di butuhkan saat ini adalah pengakuan luhur dari negara Indonesia maupun dunia internasional. Orang Papua layak menentukan nasibnya sendiri. Tidak ada hukum di dunia manapun yang melarang hak itu. Kemerdekaan adalah solusi untuk rakyat Papua, bukan yang lainnya.

Situasi Papua Sekarang

Sampai kapanpun idealisme untuk kebebasan dan perjuangan rakyat Papua tidak akan pernah padam. Sampai saat ini idealisme itu masih ada, bahkan telah bertumbuh dan berkembang pada generasi muda, termasuk pemuda dan mahasiswa untuk menyatakan bahwa kita ingin merdeka dan memang kita telah merdeka.

Tawaran Otonomi Khusus yang di berikan oleh pemerintah pusat untuk rakyat Papua hanyalah “gula-gula” atau pemanis belaka. Tak ada yang berarti dengan semua itu. Malahan orang Papua menyimpulkan bahwa kehadiaran Otsus semakin membuat orang Papua tidak berdaya.

Otonomi Khusus telah di anggap gagal dan memang telah gagal total di tanah Papua. Sudah hampir dua kali di kembalikan oleh rakyat Papua ke pemerintah pusat. Pertama; Pada tanggal 12 Agustus 2005 saat Dewan Adat Papua (DAP) bersama 10.000 rakyat Papua mendatangi kantor DPRP dan mengembalikan peti mati Otsus ke pemerintah pusat. Kedua; tanggal 28 Juni lalu masa dari Forum Demokrasi Rakyat Papua (FORDEM) yang mendatangi kantor DPRP mengembalikan Otsus, serta menuntut segera di berikannya referendum bagi rakyat Papua.

Kegagalan Otsus dan tuntutan referendum adalah aspirasi murni dari segenap rakyat Papua. Semua telah satu suarat, satu pikiran serta satu tekad, bahwa Otsus di cabut dari bumi Cenderawasih dan hanya satu solusi yang di minta ke pemerintah pusat, yakni; memberikan kemerdekaan bagi rakyat Papua segera.

Cendekiawan Papua, Dr. Benny Giay pernah menyatakan bahwa Jakarta memang tidak serius membangun Papua. Dengan demikian tutnutan orang Papua hanya satu, segera memberikan kemerdekaan bagi rakyat Papua, karena ini sudah menjadi solusi dari segala solusi untuk menjawab segala permasalahan di tanah Papua.

Dialog antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua yang di tawarkan oleh beberapa kalangan, salah satunya Dr. Neles Tebay, Pr di abaikan saja oleh Negara Indonesia. Negara Indonesia beranggapan dialog hanya akan membuka ruang partisipasi yang lebih dari masyarakat Papua, padahal seharusnya demikian.

Kebijakan Operasi Militer bumi hangsungkan Distrik Tigginanmbut (sebenarnya Tigginambur, bukan Tigginanmbut) adalah kebijakan sepihak untuk tetap menghabisi orang Papua. Laporan sementara puluhan nyawa tak berdosa dari pihak masyarakat sipil di distrik Tigginanmbur telah melayang. Militer tak pernah menunjukan tekad mereka untuk bertanggung jawab.

Media massa di seting sedemikian rupa, jika hanya seorang saja anggota Polri yang tewas, maka pemberitaan akan kemana-mana, tetapi jika puluhan nyawa orang Papua yang melayang, tak ada media yang berani membuka mulut. Media telah bekerja sama dengan penguasa untuk menjajah. Ironis media massa seperti ini. Penjilat negara, bukan melakukan fungsi kontorl tehadap negara.

Wartawan asing dan lembaga-lembaga kemanusiaan dilarang untuk masuk di Papua. Tujuaannya hanya satu, tak ingin kebobrokan negara Indonesia di ketahui oleh dunia internasional. Contoh nyata, saat masa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melakukan aksi demo di kantor DPR Papua, ada dua orang wartawan TV A Mano perancis Baudoin Koenig (kameramen) dan Carol (reporter) yang sedang meliput, tanpa alasan yang jelas Polda Papua bekerja sama dengan pihak Imigrasi untuk mendeportasi kedua wartawan ini pulang, padahal keduanya telah mengantongon visa untuk melakukan tugas jurnalistik.
Sungguh ironis situasi Papua saat ini. Situasi ini di ciptakan oleh Negara Indonesia untuk tetap menjajah orang Papua. Kita harus lawan. Lawan. Lawan adalah solusi.

Menumbuhkan Kesadaran
Persoalan terbesar saat ini adalah orang Papua, terutama pemuda dan mahasiswa tidak sadar kalau mereka sedang di jajah. Menumbuhkan kesadaran kalau kita sedang di jajah adalah hal paling penting.

Orang tua harus menumbuhkan kesadaran sejak dini pada anaknya bahwa negara Indonesia saat ini sedang menjajah rakyat Papua. Demikian halnya dengan pemuda dan mahasiswa, harus sadar bahwa kita sedang di jajah secara tidak manusiawi.

Kaum buruh dan tani di Papua harus sadar bahwa mereka sedang di jajah. Penjajahan harus di lawan. Negara asing yang mencari keuntungan sebesar-besarnya di tanah Papua sembari mengabaikan hak-hak adat mereka-pun harus di lawan. Mereka harus di usir dari bumi cenderawasih.

Sistem pendidikan di Papua-pun demikian, di jajah agar tidak mencitapkan sumber daya manusia yang handal. Kesehataanpun tidak mendapatkan perhatian yang baik. Ekonomi orang Papua juga di buat amburadul, semua untuk menjawab kepentingan negara, yakni membunuh segala tumbuh kembang orang asli Papua.

Kesadaran yang bertumbuh dengan baik akan menciptakan tekad perlawanan yang baik. Kita semua harus bersatu untuk melawan sistem yang tidak mendidik itu. Kita tidak perlu beharap banyak pada Otsus. Otsus sudah membelenggu kita sejak lama. Sekarang bukan saatnya di tawan oleh “gula-gula” Otsus yang tidak berinlai harganya.

Merdeka adalah solusi dari segala solusi. Otsus tidak perlu di revisi bahkan evaluasi sekalipun, karena hasilnya toh tetap tidak memuaskan rakyat Papua. Merdeka dan membentuk negara berdaulat adalah hak paling penting. Sudah saatnya kita maju, maju untuk sebuah perubahan.

Penutup

Kita sudah pernah merdeka dan menjasi sebuah negara yang berdaulat. Kemerdekaan memang menjadi hak kita, hak warga di dunia manampun. Amerika memilki kepentingan besar atas SDA di Papua, negara Indonesia juga demikian. Sungguh naif, kehadiran Perjanjian New York hanyalah akal-akalan agar Papua tidak merdeka.

Berlangsungnya Pepera merupakan pintu masuk untuk menguasai, menjajah dan membunuh orang Papua. Hal ini memang terbukti, operasi militer terus menerus di perlakukan. Tujuaan utamanya untuk membunuh idealisme orang Papua. Namun sampai kapanpun idealisme orang Papua tidak akan pernah mati.

Pelanggaran HAM berat terus menerus berlangsung. Hal ini menimbulkan populasi penduduk asli Papua yang tidak pernah mengalami peningkatan, ini memang sengaja di lakukan oleh negara. Genocida kata yang tepat untuk menggambarkan situasi itu.
Otonomi Khusus di berikan, tujuannya tidak lain membungkam aspirasi merdeka yang di lontakkan. Otsus di berikan dengan dalih akan mengubah wajah Papua, namun tidak demikian, Otsus kini telah menjadi penyakit dan telah di tolak oleh seluruh rakyat Papua. Sudah dua kali “gula-gula” ini di kembalikan ke pemerintah pusat.

Tuntutan merdeka telah di suarakan. Ini murni dari hati nurani rakyat. Tidak ada seseorangpun yang bisa menghambatnya. Memberikan kemerdekaan bagi rakyat Papua adalah solusi akhir. Ingat, ini akhir dari segala solusi. Dimana-mana tuntutan ini di suarakan. Dari Jayapura sampai Jakarta. Satu suara, segera berikan referendum bagi rakyat Papua.

Pemuda Papua sebagai tulang punggung revolusi perlu bersatu. Satu suara, satu pikiran dan satu tujuan, yakni mencapai Papua merdeka. Anak muda Papua perlu bangkit. Bangkit dari ketertinggalan, bangkit dari acuh tak acuh dan bangkit dari ego diri sendiri. Kita harus bersatu, bersatu untuk mencapai kemerdekaan.
Kebebasan tidak jauh dari mata, jika kita betul-betul bersatu dan bertekad penuh untuk memperjuangkannya.***

*Oktovianus Pogau adalah Jurnlias dan Aktivis HAM di tanah Papua


Baca Selengkapnya......

Sunday, July 11, 2010

SUP Temui Komnas HAM Terkait Operasi Militer di Puncak Jaya

OCTHO – Beberapa perwakilan dari Solidaritas Untuk Papua (SUP) yang selama ini mempermasalahkan operasi Militer yang terjadi di Distrik Tiginanmbut, Kabupaten Puncak Jaya Papua, sejak tanggal 28 Juni lalu, kemarin (09/7) mendatangi kantor Komnas HAM Pusat di Jakarta untuk menyampaikan laporan mereka.

Perwakilan SUP di terima oleh M. Ridha Saleh, Komisioner Subkomisioner Mediasi pada komnas HAM di Jakarta.

Dalam laporannya, SUP mengatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di Distrik Tiginanmbut oleh aparat Militer, oleh sebab Komnas HAM di minta mengambil tindakan terkati laporan ini.

“Sejak berlakuknya operasi militer tanggal 28 Juni lalu situasi Puncak Jaya sampai saat ini masih memanas, kami meminta perhatian Komnas HAM di Jakarta,” pungkas mereka.

Mereka juga mengatakan, bahwa status daerah operasi militer (DOM) harus di cabut dari Puncak Jaya, karena ini sudah tentu mengorbankan banyak rakyat Papua, khususnya warga tak berdosa yang ada di Puncak Jaya.

“Kami ingin komnas HAM mengirim team ke Puncak Jaya untuk menyelidiki secara jelas peristiwa operasi militer ini, dan mendesak beberapa pihak yang berwenang untuk menghentikan operasi militer di Puncak Jaya” kata mereka.

Sementara itu, dari Komnas HAM mengatakan mereka telah mengirim team untuk melakukan penilitian terkati kasus ini.

“Kami telah mengirim team Distrik Tiginanmbut, Kabupaten Puncak Jaya. Jika mendapatkan laporan dari mereka, kami akan merekomendasikan kepada pihak-pihak terkait atas hasil penemuan itu,” pungkasnya. (op)

Baca Selengkapnya......

Tuesday, July 06, 2010

Tangisan dan Ujian

OCTHO- Cengeng,
Itulah sebutan aku pada diriku.
Menangis kadang menjadi solusi,
Tangisan juga menjadi obat penenang.

Ujian ini terlalu berat,
Sangat berat.
Kepergiaan ayah ibu sejak kecil,
Sudah semakin memberatkan langkah hidup ini.

Mereka pergi,
Pergi tanpa sepata kata pada putra kesayangan mereka.
Tak ada pesan,
Tak ada degungan semangat
Tak ada ciuman kasih sayang.

Berjalan sendiri,
Sendiri berjalan tanpa siap-siapa.
Seorang kakak laki-laki di Timika, Papua.
Kedua kakak perempuan di kampung halaman.
Rindu pada mereka hanya bisa terbayar dengan air mata.

Sudah hampir dua minggu berobat di tanah orang.
Kalian pasti tak tau pergumulan batinku,
Ayah ibu juga pasti tak tahu.
Dan memang mereka tak mungkin tahu.

Aku harap kalian baik-baik saja,
Kalian juga pasti berharap pada diriku demikian.

Kemarin dokter membatalkan rencana operasi,
Ini kabar gembira,
namun kalian pasti tak melompat kegirangan,
Karena memang kalian tak tau tentang keadaanku.

Kalian tak bersalah, akupun demikian
Dan TUHAN tak bersalah juga,
Kita jangan mencari siapa yng benar dan salah.
Yang pasti ini pelajaran penting dalam hidupku.

Dokter menyarankan untuk minum obat program,
Dan akan berlangsung selama 6 bulan lamanya.
Berharap kalian bisa tetap mendoakanku supaya tetap tegar.

Aku akan terus menangis,
Menangis untuk menjawab cinta dan rindu pada kalian.
Menangis dan bangkit
Untuk menatap hari esok yang lebih baik.

Hari esok,
Aku akan pulang,
Pulang dengan hasil jerih payah,
Semua itu untuk membayar semua rindu, air mata, dan harapan kalian.

Aku mencintai kalian,
Mencintai kalian,
Sangat cinta pada kalian,
Sangat-sangat cinta pada kalian.

Catatan dari Asrama Kamasan Papua, Surabaya
Rabu, 07 Juli 2010, Pukul 06:44


Ket Gambar:
Saya foto bersama Kedua kakak perempuan dan seorang adik angkat.

Baca Selengkapnya......

Pelantikan Anggota DPRD Kabupaten Intan Jaya Harus Sesuai Hasil Pleno

OCTHO- Pelantikan anggota DPRD Kabupaten Intan Jaya harus sesuai dengan hasil pleno KPUD Paniai pada tanggal 2 Februari tahun 2010 lalu, jangan karena kepentingan segelintir orang, KPUD Paniai tidak berjalan sesuai dengan aturan yang ada.

Hal ini di sampaikan Frans Maiseni, salah satu tokoh pemuda dari suku Moni kepada media ini melalui pernyataan persnya, Rabu, (07/07) kemarin.
Frans menyatakan bahwa, sesuai hasil pleno KPUD Paniai yang pertama, telah menetapkan 20 orang anggota DPRD Kabupaten Intan Jaya termasuk dirinya, dan untuk pelantikan mendatang di minta semua pihak yang berwenang merujuk kepada hasil pleno itu.

“Untuk menghindari konflik horizontal antara masyarakat, KPUD Paniai di minta bijak dalam memutuskan sebuah persoalan, jika tidak, dampaknya sangat berbahaya,” tegasnya menjelaskan.

KPUD Paniai sebagai lembaga penyelenggara memang mempunyai kewenangan, tetapi bukan berarti asal-asal menentukan saja tanpa memperhatikan hukum yang ada imbuhnya.
“Jika KPUD Paniai tidak bijak dalam menentukan sikapnya, nanti kita lihat apa yang akan terjadi,” tegasnya.

Sekedar di ketahui, sampai saat ini KPUD Kabupaten Intan Jaya belum di lantik karena berbagai persoalan internal, padahal jika merujuk kepada RUU No.54 tentang pembentukan Kabupaten Intan Jaya, pasal 6 ayat ke-5, bahwa 6 bulan setelah pelantikan penjabat Bupati dewan sudah harus terbentuk. (op)

Sumber: Koran Harian Papua Post Nabire

Baca Selengkapnya......

Sunday, July 04, 2010

Otonomi Khusus Papua dan Tuntutan Referendum


Otonomi Khusus Papua telah di anggap gagal. 18 Juni 2010 lalu sekitar 8000-an masa rakyat Papua mendatangi kantor DPR Papua, menyatakan tekad mereka untuk mengembalikan Otonomi Khusus kepada pemerintah pusat, sekaligus menuntut referendum.


Pada tanggal 12 Agustus tahun 2005, Dewan Adat Papua (DAP) bersama hampir 10.000 ribu masa rakyat Papua pernah menyatakan sikap yang sama, yakni; mengembalikan UU Otsus kepada pemerintah pusat karena dianggap gagal. Saat itu tampak peti mati kegagalan Otsus di usung sambil long march sejauh 20 KM dari Kantor MRP menuju kantor DPR Papua. Mereka memberikan peti mati Otsus kepada DPR Papua untuk di teruskan sampai ke Jakarta.

Setelah UU Otsus di kembalikan, kenyataannya Otsus masih bergulir di tanah Papua. Menjadi pertanyaan, apanya yang di kembalikan saat itu? Dan beberapa hari lalu kembali lagi masa rakyat Papua bersama Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan tekad yang bulat, yakni; mengembalikan Otsus dan menuntut referendum.

Rakyat Papua mengembalikan Otsus dan menuntut referendum karena di sinyalir pemerintah pusat tidak serius dalam menjalankan amanat Otsus, di antaranya SK MRP No.14 Tahun 2009 tentang kepala daerah dan wakila kepala daerah orang asli Papua yang tidak di akomodir oleh pemerintah pusat.

Menjadi pertanyaan, apakah harga referendum sebanding dengan sebuah SK MRP No.14 itu? Dan jika saja SK MRP No. 14 ini diakomodir oleh pemerintah pusat, berarti tuntutan referendum tidak akan nampak lagi?

Kehadiran Otsus

Kehadiran UU Otsus bermula dari tuntutan rakyat Papua yang meminta untuk memisahkan diri NKRI. Tuntutan seperi ini telah ada sejak tahun 1969 dan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 di langsungkan.

Rakyat Papua beranggapan bahwa UU Otsus yang diberikan hanyalah bentuk “akal-akalan” agar meredam tuntutan referendum yang di degungkan orang Papua. Mungkin kita telah mengetahuinya, berkisar tahun 1988-2001 tuntutan untuk memisahkan diri semakin nampak ke permukaan. Theys Hiyo Eluay (Alm) dan Presidium Dewan Papua (PDP) saat itu menjadi “bodyguard” yang layaknya akan menjawab masa depan orang asli Papua.

Kehadiran Otsus juga terlihat dari tuntutan masyarakat Papua untuk sebuah perubahan hidup yang lebih baik lagi. Dimana pendidikan bisa di perhatikan, kesehatan bisa teratasi dan ekonomi di Papua dapat menyentuh sampai kepada rakyat kecil.
Moment terpenting dalam tahun 2001 adalah dengan kehadiran Otsus. Mantan Presiden Indonesia, Megawati Soekarno Putri menandatangani Otsus bagi Provinsi Papua di Istana Negara kala itu, 21 September Tahun 2001. UU Otsus sendiri berjalan normal mulai awal tahun 2002 di tanah Papua.

Seharusnya kehadiran Otsus di tanah Papua di barengi dengan pembentukan lembaga kultural orang asli Papua, yakni; Majelis Rakyat Papua (MRP), namun yang membingunkan, lembaga ini hadir 4 tahun setelah Otsus di berikan. Salah satu ketidakseriusaan pemerintah pusat untuk membangun Papua dan menjalankan amanat Otsus terlihat disini.

Dan ada pula yang mengatakan bahwa kehadiran Otsus hanya akan menimbulkan sebuah penjajah baru di Papua. Pernyataan ini mungkin bisa di benarkan, dimana kepentingan negara-negara barat selalu saja ada di tanah Papua, diantaranya dengan keseriusaan pemerintah pusat yang selalu menghadirkan perusahan Multi-nasional. Orang Papua marah karena kekayaan alamnya selalu di keruk untuk membiayai negara luar dan pemerintah pusat, sedangkan kehidupan mereka tetap saja terpuruk. Iini yang rakyat Papua sebut dengan penjajahan baru di tanah Papua.

Walau terdapat beragam spekulasi tentang UU Otsus, namun sampai saat ini keberadaan Otsus sendiri telah legal, dan telah di terima oleh masyarakat umum. Walau sampai saat ini suara untuk meminta referendum masih tetap didegungkan.

Otsus Solusi Terakhir?

Mantan Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri saat menerima Gubernur Papua, (Alm) J.P. Salossa dan rombongan Panitia Pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di Istana Negara kala itu menyatakan bahwa Otsus adalah solusi terakhir untuk menyelesaikan konflik di Papua.

Presiden RI saat ini, DR. Susilo Bambang Yudhoyono juga mendengungkan pernyataan yang sama. Bahwa Otsus adalah jalan terakhir yang harus dipikirkan bersama untuk memberikan kesejahteraan dan pembangunan bagi rakyat Papua.

“Kita harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Di dalam rumah tangga selalu ada masalah, tapi pasti ada solusinya. Ada sejumlah isu yang harus kita letakan secara tepat dan menyelesaikan dengan bijak dalam semangat kepentingan bersama, dan Otonomi Khusus sebagai pilihan kita untuk mengelolah Papua dengan lebih baik,” kata Presiden SBY sebelum pertemuan di Istana Negara bersama 29 Tokoh Adat dan DPRP Papua kala itu.

Tepat apa yang dikatakan kedua petinggi negara diatas, bahwa UU Otsus akan menjadi sebuah solusi bagi rakyat Papua. UU Otsus akan jadi solusi untuk rakyat Papua jika saja Jakarta konsisten dan serius menjalankan Otsus. Tetapi jika tidak, manfaat apa yang orang Papua bisa rasakan? Malahan kekecewaan yang orang Papua terima dengan kehadiran Otsus.

Pemerintah Pusat Tidak Serius

Yang menjadi persoalan besar saat ini adalah pemerintah pusat tidak pernah konsisten dan serius menjalankan amanat UU Otsus di tanah Papua. Sudah tentu kepercayaan publik terhadap itikad baik pemerintah menjalankan Otsus di Papua akan menurun drastis.

Hal ini juga yang melahirkan tuntutan referendum semakin nampak. Buktinya, lembaga yang di bentuk negara (DPRP dan MRP) juga telah menyatakan sikapnya untuk mendukung referendum bagi rakyat Papua. Pemerintah pusat tidak bisa menyalahkan kedua lembaga ini jika mereka memberikan dukugannya. Pemerintah pusat tidak pernah mempunyai “hati” untuk membangun Papua ini yang sering di simpulkan rakyat Papua.

Saat memberikan tanggapan kepada massa yang datang mengembalikan Otsus dan menuntut referendum, DPRP telah menyatakan sikap bahwa referendum adalah solusi atau jalan akhir bagi rakyat Papua. Dewan setuju dengan pernyataan rakyat Papua bahwa Jakarta selama ini tidak pernah serius untuk menjalankan Otsus dan menyelesaikan masalah di Papua.

Lainnya halnya dengan MRP, beberapa hari sebelum menyatakan sikap untuk mengembalikan Otsus dan menuntut referendum, MRP telah menggelar Musyawarah Besar (Mubes) dengan mengundang masyarakat adat yang berada di tujuh wilayah adat. Semua tokoh-tokoh adat yang tersebar dari Sorong sampai Samarai menyampaikan sikapnya kepada MRP.

Hasil musyawarah besar yang di gelar MRP itu-lah yang di ringkas menjadi beberapa tuntutan, di antaranya mengembalikan Otsus dari Papua dan segera memberikan referendum. Ini sekiranya merupakan sebuah tuntutan, bentuk ketidakpuasaan dan kekecewaan rakyat Papua terhadap negara Indonesia yang tidak pernah serius membangun tanah Papua.

Penutup

UU No 21 tahun 2001 telah di anggap gagal. Tuntutan berikutnya adalah segera memberikan referendum bagi rakyat Papua. Apa tanggapan pemerintah pusat terhadap tuntutan ini? Otsus bukan sebuah solusi lagi di tanah Papua, tetapi telah menjadi masalah dan telah menimbulkan masalah di tanah Papua.

Beberapa tahun belakangan tuntutan untuk mengembalikan Otsus dan menuntut referendum hanya di teriakaan oleh kalangan yang kontra terhadap integrasi, tetapi saat ini tidak demikian, justru kalangan yang selama ini pro kepada integrasi dan duduk di birokrasi pemerintahan-lah yang telah memberikan dukungan untuk menuntut referendum bagi rakyat Papua.

Tetapi nampaknya kita perlu berpikir ulang, apakah harga sebuah referendum dapat lunas di bayak jika SK MRP No.14 Tahun 2009 di akomodir oleh pemerintah pusat? Apakah ketika pemerintah pusat serius dan konsisten menjalankan amanat UU Otsus? Atau apakah ketika kalangan elit yang duduk manis di birokrasi pemerintah Papua merasakan nikmatnya dana Otsus?

Kita boleh menggebu-gebu meneriakaan yel-yel merdeka, sembari mengembalikan Otsus kepada pemerintah pusat. Tetapi di sisi lain, kita perlu berpikir ulang, jika dalam waktu dekat pemerintah pusat mengakomodir SK MRP No.14 ini? Apa respon dan tanggapan kita berikutnya.

Itupula yang ingin disampaikan dalam tulisan ini, bahwa harga dari pada referendum tidak sebanding dengan SK MRP No.14, bahkan UU Otsus sekalipun, karena lebih terinci sudah tentu SK MRP No.14 ini akan berbicara untuk pemenuhan kepentingan para elit-elit politik lokal di tanah Papua, bukan untuk kepentingan rakyat asli Papua yang hidup terlantar.

Baca Selengkapnya......