Thursday, January 27, 2011

Mengkritik Mutu Jurnalisme di Indonesia

SEJAK Indonesia mengganti Hindia-Belanda, media makin terpusat ke Jawa. Rezim Soekarno menutup semua media yang dianggap berpihak Belanda. Nama baru diciptakan; pers perjuangan. Soeharto menciptakan istilah baru; pers pembangunan. Wujudnya berupa konglomerat media.

Kini batas jurnalisme tumpang tindih dengan propaganda, hiburan, iklan dan seni. Bias para wartawan, entah dengan negara, kebangsaan, agama maupun etnik, jadi bias.

Andreas Harsono, wartawan yang pernah meliput untuk The Jakarta Post, The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur) dan Pantau (Jakarta) mengumpulkan 34 naskah berupa kritikan terhadap media di Indonesia dalam sebuah antologi dengan judul “Agama Saya Adalah Jurnalisme.”

Dalam antologi ini, Harsono juga mengkritik liputan media di negara Indopahit (terminalogi Indonesia keturunan Majapahit), yang tidak becus meliput soal konflik sosial maupun politik yang terjadi di Acheh maupun Papua. Memaksakan para wartawan untuk bersikap “nasionalis” atau “merah putih” sehingga tak buat wawancara sekaligus crosscek dengan pihak-pihak yang menginginkan sebuah kemerdekaan dari kolonialisme Indonesia, seperti; Gerakan Acheh Merdeka (GAM) di Acheh dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua.

Seorang wartawan harus mendahulukan jurnalisme dari segala kepentingan. Agamanya, kewarganegaraannya, kebangsaannya, ideologinya, latar belakang sosial, etnik, suku dan sebagainya, harus dia tinggalkan di rumah begitu dia keluar dari pintu rumah dan jadi wartawan (Halaman, 218).

Makin bermutu jurnalisme di dalam suatu masyarkat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarkat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat, kata Harsono mengutip pendapat Bill Kovach, kurator Nieman Foundation, sekaligus salah satu penulis buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” yang juga pernah mengajari Harsono menulis saat mendapat Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Amerika Serikat.

Mutu jurnalisme di Indonesia tambah buruk lagi ketika para wartawan, yang juga konglomerat media ikutan terlibat dalam perpolitikan nasional. Walaupun, seorang wartawan memunyai hak yang sama dengan warga masyarakat lainnya, tapi ini tentu menganggu independensi wartawan tersebut.

Misalkan, Goenawan Mohamad, wartawan terkemuka Indonesia, yang juga punya reputasi di dunia internasional, memutuskan bergabung dengan tim sukses Amien Rais, saat pemilihan umum tahun 2009 silam. Alwi Hamu, salah satu pemimpin Kelompok Jawa Pos, ikut bergabung dengan Jusuf Kalla. Kemudian Cyprianus Aoer, wartawan asal Manggarai, Pulau Flores, dan pemimpin redaksi harian Suara Pembaharuan jadi kandidat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk anggota parlemen (sekarang telah duduk di parlemen komisi x) (Halaman 169-170).

Salah satu dari sembilan elemmen jurnalisme adalah, loyalitas utama seorang wartawan adalah kepada warga masyarakat tempat ia berada. Wartawan bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila mereka bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Tapi, bagaimana jika ia telah ikut berpartisipasi dalam dunia politik? Tentu meragukan sekali independensinya? Siapa yang akan ia bela?

Dalam buku setebal 268 halaman ini, pada salah satu naskah dengan judul “Kupas Tuntas Media Palmerah” Harsono juga menyatakan pesimis kepada perkembangan media di Indonesia --­ terutama konglomerat media Palmerah (Palmerah; merujuk pada satu tempat di Jakarta yang menjadi pusat media-media besar di Indonesia), yang sebagian besar peninggalan sistem Orde Baru, seperti; Jawa Pos, Kompas, Tempo, The Jakarta Post, RCTI, SCTV, Indosiar, TVRI, TPI. Mereka rata-rata berideologi fasisme, berorientasi komersial (secara berlebihaan) secara teknis belum mau pake standar jurnalisme internasional (byline, firewall, liputan media independen, menganggap wartawan kerja produksi alias kuli, nasionalisme sempit, dan sebagainya).

Dateline naskah-naskah dalam buku ini dibuat dari tahun 1999 hingga 2010, sambil penulis menyelesaikan bukunya A Nation in Name; Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Ia ditulis dari beberapa tempat berbeda, seperti; Banda Aceh, Cambridge, Ende, Jogjakarta, Londok, Merauke, Pontianak, Semarang, Singapura, dan sebagainya, namun kebanykan ditulis dari Jakarta. Ada empat tema besar yang diangkat, (1) laku wartawan (code of conduct); (2) Penulisan (writing); (3) dinamika ruang redaksi (newsroom diversity); serta (4) liputan (reporting).

Buku ini semakin menarik dibaca, karena penulis sendiri telah membuktikan dirinya sebagai seorang penulis handal yang telah berkarir di beberapa media Internasional. Buku ini juga semacam jadi buku panduan bagi mahasiswa, wartawan, serta masyarakat Indonesia yang peduli akan mutu jurnalisme di Indonesia.

Judul : Agama Saya Adalah Jurnalisme
Penulis : Andreas Harsono
Penerbit : Kanisius, Jogjakarta
Terbit : Desember 2010
Halaman : 268 Halaman
Harga : Rp. 50.000


Resensi ini telah di muat pada Koran Jurnal Nasional, tanggal 23 Januari 2011


Baca Selengkapnya......

Monday, January 24, 2011

Negara (Tidak) Harus di Bela

MELALUI Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menetapkan tanggal 19 desember sebagai hari bela negara, sekaligus untuk memperingati hari berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia 19 desember 1948.

Selain Kepres diatas, beberapa dasar hukum dan peraturan wajib bela negara juga dapat dilihat dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2003 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakya, serta Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional.

Pemerintah, baik legislatif maupun yudikatif, bahkan presiden SBY sendiri telah menyadari bertapa pentingnnya kesadaran bela negara sehingga menyusun dan menetapkan peraturan diatas untuk ditaati.

Konsep Bela Negara

Secara harafiah, bela negar sendiri diartikan sebagai sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya.

Ada dua konsep bela negara secara umum, pertama; diartikan secara fisik dan kedua; diartikan secara non-fisik.

Secara fisik, dengan mengangkat senjata untuk menghadapi serangan dari musuh, baik serangan dari dalam maupun dari luar yang membahayakan keutuhan negara republik Indonesia. Langkah-langkah ini hanya biasa diambil oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai sayap militer Negara yang telah telah dilatih secara khusus.

Dan secara non-fisik, dapat didefinisikan sebagai segala upaya untuk mempertahankan Negara dengan cara meningkatkan rasa nasionalisme, yakni kesadaran berbangsa dan bernegara, menanamkan kecintaan terhadap tanah air, serta berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara.

Semua warga negara Indonesia, termasuk juga warga negara luar yang sedang berada di Indonesia wajib menjalankan tugas bela negara, entah dengan cara apapun. Hal ini juga sebagai wujud penghormataan kepada para pejuang terdahulu yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pudarnya Nasionalisme

Sebagai warga masyarakat, tentu cara bela negara dengan kedepankan bentuk fisik tak akan mungkin, cara non-fisik menjadi pilihan utama, dengan kata lain meningkatkan rasa nasionalisme, dan cinta akan tanah air.

Namun, jika kita memandang secara realistis, rasa nasionalisme atau semangat bela Negara pada kebanyakan warga Negara Indonesia telah hampir pudar, dan mungkin tidak kita temui lagi, terutama di daerah-daerah konflik seperti Papua dan Maluku.

Tentu hal ini tidak timbul begitu saja, ada sebab-sebab tertentu yang membuat rasa nasionalisme anak-anak bangsa ini pudar, bahkan hilang.

Dalam peluncuran dan diskusi buku “G30S PKI, Perang Dingin, dan Kehancuran Nasionalisme” karya Tan Swie Ling beberapa hari lalu di Auditorium Perpustakaan Nasional, saya sebagai peserta diskusi sempat bertanya kepada Ben Anderson, salah satu narasumber yang juga penulis buku “Komunitas-KomunitasTerbayang” bahwa optimiskah anda Indonesia akan tetap menjadi Negara yang utuh dalam beberapa tahun kedepan?

Pertanyaan diatas berangkat dari hasil refleksi saya terhadap kehancuran nasionalisme masyarakat Indonesia yang justru disebabkan oleh sistem negara yang buruk, dan para pemimpin di Negara ini yang tidak bijak dalam menyelesaikan segala konflik.

Misalkan, seorang Gayus Tambunan, mafia pajak kelas kakap, dengan mudah sekali keluar masuk rutan Mako Brimob, apalagi sampai bisa pergi menonton pertandingan tenis di Bali dengan menyuap para petugas. Ini menunjukan bobroknya para penegak hukum, yang bukannya mentaati hukum, justru turut melanggar hukum tersebut.

Sementara itu, kasus korupsi di Negara ini yang terus menerus meningkat. Hasil penelitian “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) pada akhir bulan Maret lalu menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup pertama di Asia Pasifik, dan kelima di dunia.

Kemudian, pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) juga terus menerus meningkat dan tak pernah di tuntaskan. Siapa dalang dibalik pembunuhan Munir hingga saat ini tidak pernah diketahui publik, padahal presiden SBY telah berjanji untuk membentuk tim pencari fakta dan menuntaskan hingga sampai akar-akarnya. Pelanggaran HAM di Papua juga tak pernah dicari bentuk penyelesainnya.

Dengan beberapa refleksi inilah saya menyimpulkan, bahwa kehancuran nasionalisme atau “keengganan” bela negara yang ditunjukan oleh sebagiaan besar warga Negara Indonesia di sebabkan oleh para aktor negara sendiri. Tetapi cukup bijak Ben Anderson menjawab, bahwa sebaiknya jangan ada yang keluar dari Negara Indonesia.

Tekad Pemerintah

Melihat rasa nasionalisme Indonsia yang semakin pudar, dan “keengganan” bela negara yang ditunjukan sebagian besar warga masyarakat Indonesia, ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, secara khusus presiden SBY.

Pemerintah, dalam hal ini para pimpinan negara ini harus menunjukan tekadnya untuk membangun masyarakatnya Indonesia. Rasa nasionalisme dan semangat bela negara akan muncul dengan sendirinya, jika para pimpinan negara ini berlaku adil, dan konsisten menjalankan semua perundang-undangan yang telah di buat.

Yang perlu di bela adalah masyarakatnya, dengan bagaimana para pemimpin tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari hukum, sembari menyelesaikan setiap permasalahan di dalam negeri secara bijak dan bermartabat.

Negara “tidak” harus di bela, tetapi masyarakatnya yang perlu di bela. Jika masyarakat sudah di bela, tentu mereka juga akan membela negara, dan rasa nasionalisme akan semakin tumbuh. Selamat memperingati hari bela negara. Semoga saja Indonesia menjadi Negara yang lebih baik.

Oktovianus Pogau adalah solidaritas masyarakat Papua, tinggal di Jakarta.

Baca Selengkapnya......

Sunday, January 16, 2011

Tantangan dan Harapan di Tahun 2011

OCTHO- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya saat membuka Rapat Kerja Awal Tahun di Jakarta Convention Center, Senin,(10/01) mengukapkan bahwa ada 10 tantangan Indonesia yang harus dikerjakan di tahun 2011.

10 tantangan tersebut seperti; pertama, melakukan langkah-langkah guna mengantisipasi kenaikan harga pangan dan energi dunia. Kedua, bersama DPR, pemerintah diminta mengelola APBN agar tepat sasaran. Keempat, iklim investasi harus dipastikan sehat. Kelima, penyimpangan dan korupsi di daerah terus dikikis.
Keenam, praktik usaha pertambangan dan kehutanan yang ilegal dan merusak lingkungan ditertibkan. Ketujuh, politik uang harus dicegah. Kedelapan, program-program prorakyat dan pelayanan masyarakat berjalan dengan baik. Kesembilan, perlindungan terhadap TKI ditingkatkan dan yang terakhir, kesiapan dan kesiagaan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menangani bencana alam.

Sebelumnya, SBY juga telah memaparkan 10 capaian (keberhasilan) Indonesia di tahun 2010 kemarin. Pencapaian tersebut tentu berkat kerja keras, dan usaha semua pihak, termasuk masyarakat Indonesia sendiri.

Sekarang saatnya menatap kedepan (tahun 2011). Melakukan langkah-langkah kongkrit dan bijak untuk berusaha mencapai target-target yang telah kita tetapakan sendiri di tahun 2011 ini. Ada beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan, agar dapat mencapai apa yang menjadi “pekerjaan rumah” bagi Negara ini.

Pertama, buat perencanaan yang baik dan matang. Misalkan, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia harus membuat perencanaan yang jelas, dalam beberapa minggu atau beberapa bulan sejak awal tahun ini, siapa dalang dibalik kepergiaan Gayus H Tambunan, mafia pajak ke Bali, maupun ke beberapa Negara luar, seperti Singapura, Kuala Lumpur dan Makau (Hongkong) sudah bisa diungkapkan kepada publik.


Kedua; Harus ada target yang jelas. Misalkan, pemerintah harus berkomitmen serta menargetkan, “prestasi” korupsi Indonesia di tahun 2011 akan berkurang, bahkan jika boleh tak ada lagi yang melakukan korupsi. Jika melihat hasil survei yang dirilis Political & Economic Risk Consultancy atau PERC pada tahun 2010 kemarin, telah menempatkan Indonesia sebagai Negara korup pertama di Asia Tenggara, dan kelima di dunia. Ini tentu “prestasi” yang sangat buruk.

Ketiga; harus ada komitmen dan tekad dari semua pihak. Pemerintah (daerah maupun pusat), DPR, serta Presiden harus berkomitmen, dan bertekad penuh membangun Indonesia dengan hati, bukan dengan mulut, komentar, serta opini-opini tak berdasar di media massa.

Misalkan, seorang pimpinan, baik Presiden, Gubernur, dan Bupati, bahkan Camat sekalipun, harus memanggil setiap bawaaan yang tidak melakukan fungsi kerja atau menyeleweng dari apa yang seharusnya ia kerjakan. Kalau ada Bupati yang korupsi, Gubernur harus berani menegur, bila perlu memberhentikannya. Dan juga, jika ada aparat militer (TNI/POLRI) yang bertindak sewenang-wenangnya, atau melakukan pelanggaran HAM, harus diusut tuntas, bahkan bila perlu memecat pelakunya.

Keempat; Melakukan evaluasi dan kontrol. Setiap target, perencanaan, bahkan program yang telah dibuat di awal tahun ini, kedepannya tetap dilakukan control atau evaluasi, agar tingkat keberhasilan, maupun kegagalannya dapat diukur. Ini juga akan memotivasi siapapun untuk bekerja lebih baik, dan lebih sungguh-sungguh lagi.

Ketika sedikit dari banyak “rambu-rambu” untuk membangun Indonesia diatas di perhatikan, alhasi, harapannya, akan ada sedikit perubahaan, yang tentu manfaatnya dirasakan oleh seantoro rakyat Indonesia dan untuk kepentingan Negara.

Baca Selengkapnya......

Thursday, January 06, 2011

SBY-Boediono Harus Atasi Konflik Papua

OCTHO- SALAH satu tugas pokok Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Biasanya, ancaman dari dalam negara sendiri lebih punya dampak besar, ketimbang ancaman dari negara luar. Dan kadang kala, ancaman dari negara luar justru semakin nampak, ketika negara membiarkan sebuah konflik tumbuh dalam suatu wilayah negara sendiri, tanpa di carikan bentuk penyelesaianya.

Papua merupakan salah satu wilayah yang memberikan ancaman serius bagi keutuhaan negara Indonesia sejak wilayah ini berintegrasi di tahun 1969 melalui proses penentuan pendapat rakyat.

Ia juga selalua mempengaruhi beberapa negara luar untuk menekan pemerintah Indonesia ketika konflik yang terjadi di daerahnya tidak pernah di selesaikan secara bijaksana.

Lihat saja, Amerika Serikat, Australia, Vanuatu dan beberapa negara di kawasan Asia Pasifik akan lantang bersuara ketika terjadi berbagai konflik di Papua, terutama masalah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang terus-menerus terjadi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boedino punya tugas utama untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di tanah Papua. Konflik ini harus di selesaikan secara adil, damai dan bermartabat seperti yang di lakukan di Aceh.

UU Otsus Papua

Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) telah diberlakukan selama sembilan tahun lamanya. Namun, manfaat langsung dari kehadiran Otsus tidak dirasakan oleh sebagian besar rakyat Papua. Bahkan ada juga yang menyimpulkan Otsus telah gagal.

Kecewa dengan implementasi Otsus, sudah tiga kali sejak di berlakukan Otsus rakyat Papua long march puluhan kilometer dari Abepura menuju kantor DPR Papua di Jayapura. Mereka mengembalikan UU ini kepada wakil rakyat di DPR Papua. Mereka juga meminta segera di teruskan kepada pemerintah pusat di Jakarta. (The Jakarta Post, 07/08/2010)

Tentunya, dana Otsus yang tiap tahunnya meningkat secara signifikan, semisal 2,4 trilyun (tahun 2004), 4,8 trilyun (tahun 2006), 5,3 trilyun (tahun 2007), 5,5 trilyun (tahun 2008), 5,3 trilyun (tahun 2009), 5,2 trilyun (tahun 2010) dan untuk ABPD Propinsi Papua tahun 201I membutuhkan 5,8 trilyun, juga tak bisa memberikan jaminan bahwa konflik di Papua akan berakhir.

Bahkan, sebagian kalangan beranggapan UU Otsus justru menimbulkan masalah baru di tanah Papua. Masalahnya, bagaimana ia menciptkan birokrasi pemerintah yang kian korup. Ini tentu akan menimbulkan konflik horizontal antara sesama orang Papua sendiri.

Karena itu, UU Otsus Papua tidak bisa dianggap sebagai solusi akhir untuk menyelesaikan konflik di tanah Papua.

Kunjungan SBY

Kunjungan SBY dan beberapa Menteri ke Jayapura, Papua beberapa hari lalu tentu tak bisa menghentikan konflik yang terjadi. Malahan, setelah kunjungan tersebut menambah beberapa catatan konflik baru.

Beberapa insiden yang terjadi terjadi setelah kunjugan SBY, seperti; penembakan yang terjadi di Kampung Nafri, Jayapura, dimana menewaskan satu orang warga sipil dan empat orang luka parah.

Beberapa hari berikutnya, sekelompok orang yang di duga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengibarkan bendera bintang Kejora sebagai simbol bendera bangsa Papua, di Puncak Jaya, Papua.

Kemudian ada lagi aksi demo rakyat Papua melalui Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Dewan Adat Papua (DAP); intinya mereka meminta pemerintah Indonesia membuka ruang dialog untuk membicarakan masalah Papua secara adil, damai dan bermartabat.

Sekecil apapun kemungkinan lepasnya Papua dari NKRI tentu tak bisa di anggap remeh. Lepasnya Timor Leste di tahun 1999 melalui proses referendum merupakan pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia, terutama Presiden SBY sebagai kepala negara saat ini.

Ia harus lebih bijaksana dalam mengatasi konflik yang terjadi di Papua. Jika tidak, tentu akan berdampak pada keutuhan NKRI yang selalu di cita-citakan.

Dialog

Sepulang dari Papua, presiden SBY bersama beberapa menteri langsung membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua. Tujuan tidak jauh berbeda dengan Instruksi Presiden No. 7 tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di tanah Papua yang di keluarkan tiga tahun lalu.

Tapi, apakah pembentukan lembaga ini akan turut membantu menyelesaikan konflik di tanah Papua? Penulis sangat pesimis. Malahan bisa menambah konflik baru di birokrasi pemerintahaan.

Misalkan, Inpres No. 7 tahun 2007 tidak berjalan maksimal karena tumpang tindih dengan sebuah perundangan sebelumnya, yakni; UU No.21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.

Dan bukankah pembentukan lembaga ini juga bertentangan lagi dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua yang telah di undang-undangkan lebih dulu?

Konflik di Papua hanya dapat di selesaikan jika SBY-Boediono membuka diri untuk menyelenggarakan dialog yang bermartabat antara pemerintah dengan rakyat Papua.

Apapun model dialog itu, yang penting SBY-Boediono sebagai kepala dan wakil kepala negara harus mendorong agar proses ini bisa terlaksana. Jika tidak, konflik Papua merupakan bom waktu bagi keutuhaan negara Indonesia, yang kapan saja bisa meletus.

Akar dari pada konflik di Papua harus dipangkas lebih dulu, sebelum memangkas konflik-konflik lain yang berkaitan dengan implementasi UU Otsus Papua serta percepatan pembangunan di wilayah paling timur Indonesia ini.


*Oktovianus Pogau adalah freelance journalist, tinggal di Jakarta


Naskah ini dalam bahasa Inggris telah di muat di koran The Jakarta Globe

Sumber gambar google.

Baca Selengkapnya......

Monday, January 03, 2011

Ibadah Natal, Seminar dan Perayaan Tahun Baru IPMANAPANDODE Berlangsung

“Mempersiapkan diri untuk membangun dalam kasih”
OCTHO - Ibadah natal, seminar dan perayaan tahun baru Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai (IPMANAPANDODE) se-Jawa dan Bali tahun 2010, telah berlangsung di Balai Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri, Parung, Bogor. Acara ini berlangsung sejak tanggal 29 Desember 2010 hingga 01 Januari 2011.

Menurut Ketua panitia, Serfasius Kotuki, yang juga mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), penyelenggaraan acara Ibadah natal maupun seminar ini bertujuan untuk membangun tali persaudaraan serta menumbuhkan semangat dan cinta kasih sesama pelajar dan mahasiswa asal Paniai, Nabire, Dogiyai dan Deiyai yang sedang menempuh pendidikan di pulau Jawa dan Bali.

Kotouki juga menambahkan, bahwa tema yang di ambil dalam Pekan IPMANAPANDODE tahun ini adalah “Mempersiapkan Diri Untuk Membangun Dalam Kasih”, tema ini merangkul semua kegiataan yang dilaksanakan dalam seluruh rangkaian acara tahun ini.

“Mempersiapkan diri berarti, kita membekali diri kita dengan apa yang telah kita pelajari, apa yang kita dapat, apa yang kita alami, dan apa yang kita lakukan dalam kebenaran kasih Kristus.

Tujuannya, agar setelah kita pulang ke daerah masing-masing, kita dapat mengabdikan diri untuk pembangunan daerah untuk kepentingan masyarakat luas, tidak untuk kepentingan pribadi kita,” katanya dalam sambutan tertulis.

Selain menyelenggarakan Ibadah natal, dan penyambutan tahun baru, acara yang tidak kala pentingnya adalah seminar umum. Ir. Kemas Abuhanif, Dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB) membawakan materi dengan thema “Taktik Pemasaran Komoditi”. Tujuan penyelenggaraan seminar ini bagaimana cara meningkatkan komoditi, maupun sampai pada cara pemasaran setiap bahan komoditi yang telah di hasilkan.

Hadir juga Ir. Mahalaya S Cagil, Direktur Centre International Potato (CIP), sebuah lembaga yang bergerakan di bidang pembudidayaan ubi jalar di dunia. Adapun thema yang di bawakan “Teknik Pembudidayaan Ubi Jalar di Papua”. Ia memaparkan bagaimana meningkatkan produktifitas Ubi jalar di Papua, dan bagaimana cara menggunakan varietas unggul untuk pengembangbiakan.

Dalam mengawali seminar, kedua pemateri berterima kasih kepada panitia penyelanggara yang telah memberikan kesempatan untuk membawakan materi mereka di depan mahasiswa asal Papua. “Kami mendapatkan kehormatan bisa berbicara di depan mahasiswa Papua saat ini,” kata mereka membuka acara.

Selain seminar, beberapa kegiataan yang berlangsung seperti pertandingan sepakbola antar kota studi (dimenangkan oleh kota study Jakarta), Bola Volly putri (dimenangkan oleh kota Studi Bandung), bola Volly Putra (dimenangkan oleh Kota Studi Malang) serta beberapa acara selingan, seperti Pentas Budaya, Pentas Band, serta seni. Tujuan utama dari penyelenggaraan kegiataan ini adalah untuk meningkatkan kebersamaan, kekompakan, dan kekeluargaan antar setiap pelajar dan mahasiswa se-Jawa dan Bali.

Pada penghujung acara, berlangsung evaluasi semua kegiataan yang telah dilangsungkan. Masing-masing kota studi mengirim perwakilan untuk menyampaikan masukan maupun pendapat mereka. Setelah itu berlangsung acara penentuan kota studi untuk natal tahun berikut. Dengan perdebatan yang cukup alot dan panjang, akhirnya kota Studi Jogjakarta diberikan kepercayaan untuk menyelenggarakan natal di tahun berikut.

Diakhiri dengan doa penutup, seluruh peserta dari setiap kota studi mengemas barang untuk kembali ke daerah masing-masing. Sayonara hingga Natal tahun 2011 di kota Gudeg, Jogjakarta. (OP)

Baca Selengkapnya......