Friday, January 20, 2012

Kongres Rakyat Papua III Tetap Digelar

JAYAPURA –Ketua Panitia Pelaksana Kongres Papua III, Selpius Bobii, didampingi beberapa tokoh adat dan tokoh pemuda Papua menyatakan kongres Papua III tetap akan digelar di Jayapura, Papua, sejak tanggal 16-19 Oktober 2011.

“Kongres Papua III akan tetap digelar sesuai rencana. Tadi pagi kami hanya menggelar doa pembukaan bersama-sama di lapangan terbuka. Secara resmi akan dimulai besok (red: hari ini),” urainya.

Menurut Bobii, awalnya panitia berniat menggelar kongres digedung tertutup, namun karena ijin pemakaian gedung yang tak kunjung jelas, sehingga panitia memilih menggelar dilapangan terbuka.

“Kami tidak mendapat ijin menggunakan Auditorium Uncen, karena itu kami akan tetap buat di Lapangan terbuka. Tempat tidak menjadi kendala untuk kami,” katanya.Sekitar 12.000 ribu massa rakyat Papua dari berbagai wilayah di tanah Papua telah berkumpul di Jayapura. Mereka dari perwakilan tokoh adat, tokoh pemuda, dan tokoh agama.

“Rakyat Papua Barat dari Sorong sampai Samarai telah datang. Perwakilan 273 suku di tanah Papua juga telah hadir untuk berpartisipasi. Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi agenda rakyat,” tegas Bobii.

Bobii melanjutkan, bahwa Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM di Jakarta telah memberikan ijin resmi agar kongres ini bisa diselenggarakan. “Surat ijin dari Menko Polhukam telah kami kantongi, artinya kami telah mendapat ijin resmi dari pemerintah pusat di Jakarta.”

Sementara itu Asisten Koordinator Bidang Otsus pada Kementerian Polhukam, Brigjen TNI Sumardi ketika dihubungi media mengatakan bahwa yang berhak memberikan ijin penyelenggaraan kongres adalah aparat kepolisian setempat.

“Kami tidak punya hak memberikan ijin penyelenggaraan kongres ini. Panitia kongres ke Jakarta bukan meminta ijin, tetapi meminta Presiden atau Menko Polhukam menjadi keynote speaker. Karena Presiden maupun Menko Polhukam sedang sibuk, apalagi ini kegiataan bukan level nasional tapi level lokal, maka kami menyarankan agar Dirjen Otonomi Daerah yang membuka acara, itupun tergantung ijin dari Mendagri,” jelasnya.

Lanjut Sumardi, setelah dikonfirmasi ke Jayapura, sepertinya tidak ada kesiapan dari panitia. “Dirjen tidak datang ke Jayapura membuka kongres ini karena tidak ada kesiapan dari panitia setempat, karena itu kami membatalkan keberangkatannya ke Jayapura.”

Sumardi juga meminta rakyat Papua tidak salah persepsi, Dirjen Otda tidak hadir bukan karena ketidakmauan pemerintah pusat, tapi karena agenda kongres yang persiapannya tidak begitu matang. Kongres Papua III sendiri sebagai kelanjutan dari Kongres Papua II tahun 2000 yang juga membahas tentang aspirasi murni dan hak-hak dasar orang asli Papua.

Kongres Papua III juga nantinya menyoroti tentang masalah yang sudah dan sedang terjadi di Papua. Sekaligus melalui Kongres tersebut merumuskan pembangunan di Papua yang lebih tepat dan terarah sehingga rakyat Papua diharapkan dapat mengemukakan gagasan dan pandangan mereka tentang Pembangunan Tanah Papua pada masa yang akan datang. (oktovianus pogau)

Baca Selengkapnya......

TNI/Polri Telah Bertindak Brutal!


Laporan: Oktovianus Pogau

RABU 19 OKTOBER 2011, SEKITAR PUKUL 15.30 WIT
, sekitar 3.100 aparat gabungan dari TNI dan Polri bersenjata lengkap membubarkan secara paksa Kongres Rakyat Papua (KRP) III yang sedang berlangsung di Lapangan Santo Zakheus, Padang Bulan, Abepura.

Mereka mengeluarkan tembakan secara bertubi-tubi ke udara, termasuk ke arah peserta kongres. Bertindak secara brutal dan ganas tanpa sedikitpun kompromi.

Saya bersama seorang rekan wartawan tepat berada 20 meter dari arah tembakan. Kami melihat ribuan aparat TNI dan Polri tumpah ruah ke jalan-jalan raya. Mereka terus mengeluarkan tembakan ke atas sambil menakut-nakuti peserta kongres yang sedang berada di sekitar jalan Yakonde, tepat di jalan masuk ke lapangan kongres.

Pintu pagar ukuran empat meter, dan tinggi tiga meter yang menjadi batas antara peserta kongres dan aparat didobrak secara paksa. Mereka memukul mundur sekitar 100an anggota Penjaga Tanah Papua (PETAPA) yang sedang berjaga-jaga dipintu gerbang tersebut.

Ratusan anggota PETAPA yang mengamankan jalannya kongres ditangkap. Mereka dipukul pakai pentongan. Ditendang dengan sepatu laras. Dan bahkan ada yang dipopor dengan senjata laras panjang jenis M16 dan AK47.

“Kalian ini yang dibilang polisi Papua kha. Maju kalau berani. Ayo maju sudah,” teriak salah anggota Brimob yang menggenakan seragam hitam dan menggendong senjata laras panjang.
Aparat berhamburan masuk ke tempat kongres sambil teriak “Bubarkan....bubarkan...bubarkan segera. Mereka telah melakukan tindakan makar dan melawan negara. Bubarkan mereka sekarang juga.” Saking emosinya, bahkan ada aparat yang melompat pagar untuk masuk ke lapangan.

PETAPA dan pasukan Koteka tak punya kekuataan untuk menghalau, apalagi melawan. Memang sejak pukul 08.00 WIT aparat telah bersiaga sebelum peserta kongres ada di lapangan.

Ada 5 mobil bercuda yang diparkir tak jauh dari arena kongres. 2 mobil bercuda milik aparat TNI, sedangkan 3 mobil lagi milik polisi. Sedangkan truck milik polisi ada 7 buah, TNI 3 buah, diparkir tak jauh dari arena kongres, tepat di depan SMP Santo Paulus. Dan ada lagi yang diparkir tepat di belakang Korem 172/PWY.

Aparat juga dengan leluasa terus menangkap. Yang ditangkap termasuk anak-anak sekolah dan ibu-ibu yang saat itu hanya sedang menyaksikan jalannya kongres.

Karena sangat ketakutan, saya bersama rekan wartawan tadi lari dan bersembunyi di salah satu warung makan terdekat. Diluar masih terus dihujani tembakan. Kami bersembunyi tepat dipertigaan jalan masuk ke lapangan tempat kongres, dan jalan yang menghubungkan ke arah Abe-Waena.

Penyisiran juga dilakukan sampai ke biara-biara pastor, dan asrama frater-frater yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari Lapangan. Kampus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Fajar Timur yang jaraknya kurang lebih 50 meter juga menjadi sasaran amukan aparat.


“Jangan ada yang keluar dari rumah. Tetap berada di dalam rumah,” teriak beberapa aparat TNI sambil mengarahkan tembakan keatas, juga ke arah rumah-rumah pastor, dan bahkan ke kaca-kaca biara, cerita salah satu Pater yang enggan disebutkan namanya.

Ketika saya mengunjungi lokasi biara Fransisikan sore hari, sempat menemukan beberapa songsongan peluru aparat yang mengenai tembok rumah. Dan bahkan ada peluru aparat jenis SSI yang masuk sampai ke kamar-kamar tidur.

“Karena sangat ketakukan kami bersembunyi di dalam kamar. Puluhan aparat hampir dua jam lamanya terus mondar-mandir di depan kami,” kata Frater Adrianus Tuturu, salah satu saksi mata yang menyaksikan kebegisan aparat TNI dan Polri disekitar kampus.


Melihat aparat TNI dan Polri semakin brutal, peserta kongres yang berada di lapangan semakin panik. Semua berusaha lari menyelamatkan diri. Ada yang melarikan diri ke arah kiri lapangan, tepat di Asrama Taboria. Daerah ini hampir 50 meter bersebelahan dengan kampus Universitas Cenderawasih, Abepura.

Ada juga yang melarikan diri ke sebelah kanan tak jauh dari markas Korem 172/PWY. Dan paling banyak melarikan diri ke arah atas, tepatnya di Kampus Sekolah Theologi dan Filsafat Fajar Timur, termasuk biara keuskupan Jayapura, derah missi, Gereja Katholik.
Kurang lebih sekitar 300 peserta kongres berhasil diringkus. Mereka ditangkap secara paksa. Setelah ditangkap mereka terus dipukul pakai pakai popor senjata. Peserta kongres yang ditangkap dikumpul ditengah-tengah lapangan. Mereka diperlakukan sangat tidak manusiawi.


Presiden dan Perdana Menteri pemerintahan transisi, Forkorus Yoboisembut dan Edison Waromi juga ikut ditangkap saat berusaha melarikan diri.

“Kamu ini yang mau menjadi presiden Papua kha. Coba lindung wargamu yang sedang kami tangkap,” cerca beberapa anggota TNI/Polri terhadap Presiden Papua terpilih.

Sebelum digiring ke Mapolda Papua, hampir dua jam lamanya peserta kongres yang ditangkap mengalami penyiksaan hebat. Baju dan celana panjang mereka disuruh buka. Kemudian mereka disuruh tiarap diatas lapangan sambil dicerca berbagai pernyataan.

“Papua tidak mungkin merdeka. Kalian jangan bermimpi. Forkorus tidak akan membebaskan kalian,” ucap salah satu anggota Polisi yang berpakaian preman cerita Yustinus Ukago, salah satu peserta kongres yang ikut diringkus dan disuruh tiarap di lapangan.

Ukago juga bercerita ketika aparat memaksa mereka keluar dari asrama-asrama frater. “Kami dikeluarkan secara paksa. Mereka masuk sampai di kamar-kamar tidur. Hanya frater yang menggunakan jubah yang tak digiring ke lapangan,” katanya.

Seluruh lapangan dikelilingi aparat TNI dan Polri bersenjata lengkap. Tampak juga aparat intelijen menggunakan seragam preman.

Semua mengendong senjata jenis laras panjang. Beberapa lagi memegang pistol revolver. Lain halnya dengan peserta kongres yang sedang berdiri 20 meter dari tempat kongres berlangsung. Tepatnya di Jalan Yakonden, depan SMP Santo Paulus.

Ketika mendengar bunyi tembakan beruntun secara membabi-buta mereka berhamburan menyelamatkan diri. Ada yang bersembunyi di warung-warung makan terdekat. Ada yang bersembunyi di got-got. Dan bahkan ada yang tiarap dan sembunyi di hutan-hutan terdekat.

Tembakan masih terus dilakukan oleh aparat TNI dan Polri secara tak manusiawi. Teriakan dan bentakan dari aparat untuk menakut-nakuti warga terus diperdengarkan.

Arus kendaraan dari arah Sentani menuju Jayapura terhenti total. Begitu juga dengan yang dari arah Jayapura menuju sentani. Melihat massa berhamburan di jalan-jalan semakin banyak orang yang panik dan melarikan diri. Tembakan masih terus terdengar sana-sini.

Semua yang ditangkap digiring secara paksa ke mobil polisi yang diparkir tak jauh dari lapangan tempat kegiatan berlangsung.
Mereka terus ditendang dengan sepatu laras. Bahkan ada yang berdarah-darah. Mereka diperlakukan secara kasar dan sangat tak manusiawi hinggsa sampai di Mapolda di Jayapura.

Keesokannya, Kamis (20/20/2011) sekitar 300 peserta kongres yang ditangkap dibebaskan oleh pihak aparat.

Polda Papua menetapkan lima orang tersangka, dan dikenakan pasal makar. Mereka adalah Forkorus Yaboisembut, Edison Gladius Waromi, August Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut, dan Gat Wenda, dan Selpius Bobii. Dari lima tersangka empat orang dikenakan Pasal 110 Ayat (1) KUHP dan Pasal 106 KUHP dan Pasal 160 KUHP. Sementara satu orangnya lagi (Gat Wenda) dikenakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 karena terbukti membawa senjata tajam.

Kapolresta Jayapura, AKBP Imam Setiawan, S.Ik mengatakan kepada media bahwa tak ada korban nyawa dalam peristiwa itu. Bahkan menurutnya aparat bertindak dengan baik-baik, dan tak melakukan penembakan terhadap warga sipil. Namun berbeda dengan fakta di lapangan.

Pagi harinya, Kamis (20/10) ada tiga mayat ditemukan dibelakang Korem 172/PWY, sekitar 50 meter dari lapangan tempat kongres berlangsung. Ketiganya adalah Daniel Kadepa (25) mahasiswa STIH Umel Mandiri, Jayapura. Maxsasa Yesi (35), anggota PETAPA dari Kampung Sabron. Dan Yacob Samonsabra (53) anggota PETAPA dari kampung Waibron.
Menurut Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Matius Murib, aparat memang melaukan tembakan secara membabi-buta.

“Seharusnya aparat menggunakan pendekatan dialog. Sampai saat ini korban meninggal ada enam orang,” katanya kepada Wartawan. “Kami sedang lakukan identifikasi korban-korban tersebut, dan akan kami kabarkan,” katanya.

Benny Giay, Tokoh Agama di Papua menyayangkan tindakan tak proposional yang dilakukan aparat TNI dan Polri. Menurutnya yang harus ditangkap adalah panitia dan orang yang punya gagasan pemerintah transisi.

“Tidak semua rakyat Papua Papua punya keinginan membentuk pemerintahan transisi,” kata Benny seperti di kutip koran Kompas.

Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab terhadap nyawa ketiga warga sipil, dan ratusan korban luka-luka dalam aksi membubar paksakan kongres ini. Pendekatan keamanan yang dipakai justru semakin pertebal nasionalisme orang Papua untuk meminta keluar dari negara Indonesia. (*)

*Laporan ini dibiayai oleh YAYASAN PANTAU di Jakarta

Baca Selengkapnya......

Tuesday, October 04, 2011

Politik devide et impera Dalam Pembentukan MRP Papua Barat?

Oleh Oktovianus Pogau*
 

Kantor Majelis Rakyat Papua. @Doc Google
Tak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang Otsus yang menyatakan Majelis Rakyat Papua (MRP) bisa dibagi menjadi dua, tapi jika pemerintah pusat bersama segelintir orang Papua berusaha membagi lembaga ini jadi dua, mereka adalah kelompok yang selama ini berusaha kacaukan situasi di tanah Papua.  

PADA tanggal 12 April 2011, pukul 10.30 WIT, bertempat di Aula Sasana Krida, Kantor Gubernur Papua, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi telah melantik 73 anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), baik yang berasal dari Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat.

Pelantikan di hari itu berjalan dengan lancar. Tampak hadir Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu, Gubernur Provinsi Papua Barat Abraham Octovianus Ataruri, serta beberapa Bupati asal Papua maupun Papua Barat.  

Hanya dua orang anggota terpilih yang tak dilantik –Agus Alue Alue dari unsur Agama, dan Hana Hikoyabi dari unsur Perempuan. Agus Alua yang pada periode 2005-2010 menjabat ketua MRP tak dilantik karena tiga hari sebelum upacara pelantikan, ia lebih dulu meninggal dunia, tapi sebelumnya juga sudah ada kabar dari Jakarta bahwa ia tidak akan dilantik karena dinilai bermasalah. 

Lain halnya dengan Hana Hikoyabi, yang pada periode sebelumnya telah menjabat sebagai Wakil Ketua II MRP. Ia tidak dilantik karena Mendagri dalam surat tertulis menyatakan bahwa Hana Hikoyabi tidak setia terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ia juga dicurigai melakukan tindakan makar yang mengancam keutuhaan Negara Indonesia.(Media Indonesia, 9 Mei 2011) 

Berikutnya, dua minggu setelah pelantikan seluruh anggota MRP, rapat pleno pemilihan struktur pimpinan MRP digelar. Dari setiap unsur, baik Adat, Agama dan Perempuan mengajukan dua nama calon untuk dipilih menjadi Ketua, Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II. Enam orang dari Provinsi Papua Barat, dan enam orang dari Provinsi Papua. 

Dari 12 calon nama tersebut, melalui voting, Dorkas Dwaramuri dari unsur Perempuan, yang juga dari wilayah pemilihan Papua Barat terpilih menjadi Ketua dengan mengantongi 48 suara, disusul Pdt. Herman Saud dari unsur Agama menjadi Wakil Ketua I dengan mengantongi 29 suara, dan disusul Timotius Murib dari unsur Adat menjadi Wakil Ketua II dengan mengantongi 28 suara. 

Setelah semua proses dalam pembentukan MRP –pemilihan anggota, struktur pimpinan, juga pembentukan kelompok kerja (Pokja)– telah dilakukan, maka lembaga MRP siap bekerja sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). 

Beberapa Anggota MRP asal Papua Barat “Ngambek” 

Tapi yang membuat kaget seluruh masyarakat Papua, satu bulan setelah pelantikan unsur pimpinan, dan dua bulan setelah pelantikan seluruh anggota MRP, beberapa anggota asal Provinsi Papua Barat, yang juga telah ikut dilantik memilih membentuk sendiri Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, yang berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua Barat, Manokwari. 

Dari 33 anggota MRP asal Papua Barat itu, hanya enam anggota yang memilih tetap bertahan di Papua, dan tetap berada di bawah payung MRP, salah satunya Ketua MRP terpilih Dorkas Dwaramuri. 

Dari pertemuaan ke pertemuan terus dilakukan di Manokwari, Papua Barat. Juga menggelar pertemuaan baik secara tertutup, maupun terbuka dengan Gubernur Abraham O Ataruri. Akhirnya terpilih Vitalis Yumte dari unsur Agama menjadi Ketua Definitf dengan 22 suara, Anike T.H Sabami dari unsur Perempuan sebagai Wakil Ketua I dengan jumlah 21 suara, dan Zainal Abidin Bay dari unsur Adat menjadi Wakil Ketua II dengan jumlah 20 suara. 

Pada tanggal 15 Juni 2011, pukul 10.00 WIT, bertempat di Ruang Rapat Kantor Gubernur Papua Barat, acara pelantikan dilangsungkan. Mereka dilantik untuk yang kedua kalinya oleh Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham O Ataruri mewakili Mendagri Gamawan Fauzi. 

Saat dilangsungkan acara pelantikan tersebut, hanya 17 anggota MRP terpilih asal Papua Barat yang hadir dari jumlah keseluruhaan 33 orang anggota, artinya 16 orang anggota MRP terpilih tak hadir dalam acara pelantikan tersebut. 

Ketidakhadiran mereka dengan alasan bahwa pada keputusan rapat pleno MRP pada tanggal 27 Mei lalu di Jayapura, Papua, telah ditetapkan dan disepakai oleh 73 anggota MRP asal Papua juga Papua Barat, bahwa hanya ada satu MRP, satu tata tertib, tiga ketua terpilih dan dua sekertariat masing-masing di Papua dan Papua Barat. 

Ketua MRP terpilih, Dorkas Dwaramuri yang juga berasal dari Papua Barat mengatakan bahwa Pelantikan MRP Papua Barat oleh Gubernur Papua Barat, Abraham O Ataruri dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Pasalnya, pelantikan itu hanya didasarkan pada surat keputusan Menteri yang kedudukannya jauh lebih rendah dari sebuah Undang-Undang. 

“Adanya perpecahan MRP menjadi dua, bukan kemauan baik semua anggota, tetapi hanya ambisi pribadi dari ketiga anggota yang kini menjadi pimpinan MRP Papua Barat. Mereka harus ingat, MRP bukan perorangan, tetapi MRP ada karena kepentingan seluruh rakyat Papua,” katanya kepada wartawan beberapa saat lalu di Jayapura. 

Komentar terkait penolakan pembentukan MRP Papua Barat juga datang dari tokoh masyarakat adat di tanah Papua, kali ini melalui Sekertaris Umum Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Manokwari, Zeth Rumbobiar. 

Ia menyatakan MRP merupakan lembaga representatif kultural orang asli Papua, karena itu orang asli Papua yang berhak menentukan, juga meminta pembentukan MRP di Papua Barat. Jika orang asli Papua tak menghendaki, tentu tak bisa kita paksakan. Ia menilai jika tetap dipaksakan, maka tentu dapat menimbulkan konflik internal antara orang Papua sendiri, karena telah jelas-jelas bertentangan dengan amanat UU Otsus. 

“Jangan ada kepentingan lain di MRP, selain kepentingan rakyat adat Papua. Jadi, sebelum membentuk MRP Papua Barat, sebaiknya tanyakan apakah rakyat setuju atau tidak," kata Zeth seperti di kutip Koran Kompas di Jakarta.  

MRP Dipolitisir Bram-Katjong Untuk Pilkada 

Cikal bakal pembentukan MRP Papua Barat bermula ketika tiga orang anggota MRP terpilih asal Papua Barat –Vitalis Yumte. Anike T.H Sabami dan Zainal Abidin Bay– menghadap Gubernur Provinsi Papua Barat, Abraham O Ataruri di Manokwari pada awal Juni lalu. 

Dalam pertemuan itu berlangsung pembicaraan mengenai rencana pembentukan MRP Papua Barat yang akan berkedudukan di Manokwari. Padalah, mereka telah bersepakat di Jayapura untuk hanya memiliki satu anggota MRP, tapi dua sekertariat. Berikutnya, beberapa anggota MRP asal Papua Barat yang masih di Jayapura juga menyusul ke Manokwari dan bergabung dengan tiga anggota yang telah lebih dulu datang. 

Saat yang bersamaan ketika MRP Papua dibentuk di Papua, tahap pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Papua Barat sedang berlangsung. Salah satu ketentuan utama yang ada dalam amanat UU Otsus, juga merupakan tugas utama MRP menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam pasal ke-36 adalah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPRP, diimana mereka adalah harus orang asli Papua. 

Jimmy D Ijie, anggota DPR Papua Barat mengatakan, keputusan membentuk MRP Papua Barat tidak tepat. Dia melihat adanya kesan anggota MRP dari wilayah Papua Barat tidak independen, dan mendapat intervensi pihak legislatif. Campur tangan itu terkait dengan upaya memuluskan jalan salah satu kandidat, terkait persyaratan pasangan calon. 

Salah satu kandidat yang dimaksud oleh Jimmy D Ijie adalah pasangan Abraham O Ataruri-Rahimin Katjong. Sesuai ketentuan UU Otsus, juga PP No. 54/2004 calon wakil gubernur, Katjong tidak berhak menyalonkan diri karena beliau bukan orang asli Papua seperti ketentuan dalam UU Otsus. 

Artinya, jika MRP Papua yang memberikan pertimbangan dan persetujuan pada keempat bakal calon dalam Pilkada Papua Barat, tentu Bram -Katjong tak akan lolos verifikasi, juga bisa terancam tak bias diikutkan dalam pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Papua Barat. 

Caranya agar Bram-Katjong bisa ikut dalam Pilkada Papua Barat, juga lolos dalam tahapan pertimbangan dan persetujuan MRP, maka Abraham Ataruri dengan segala “kekuasaan” mendesak anggota MRP asal Papua Barat, dan memerintahkan membentuk MRP baru di Papua Barat, yang tujuannya agar dapat meloloskan dia dalam bursa pemilihan kepala daerah nanti. 

Usaha pasangan Bram-Katjong terbukti berhasil. Pada tanggal 17 Juni 2011, pukul 10.00 WIT, dua hari setelah acara pelantikan, pimpinan MRP Papua Barat akhirnya merestui empat pasang bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan KPUD Papua Barat untuk maju dan mengikuti pemilihan kepala daerah 20 Juli 2011 mendatang, termasuk Bram-Katjong yang dinilai bermasalah oleh masyarakat Papua. 

Keluarnya rekomendasi MRP tersebut tergolong sangat singkat, yakni hanya sehari setelah KPUD menyerahkan nama-nama bakal calon yang maju pada pemilu kada tersebut. Padahal, berdasarkan tata tertib yang dibuat MRP sendiri, proses penentuan keaslian orang Papua bagi calon kepala daerah dilakukan selama seminggu. 

Beberapa kesalahan yang dilakukan oleh MRP Papua Barat semakin memperlihatkan bahwa pembentukan MRP di Papua Barat adalah untuk kepentingan Bram-Katjong dalam Pilkada Papua Barat. Padahal kita tahu, bahwa MRP dibentuka untuk memperjuangkan kepentingan orang asli Papua, bukan segelintir orang.  

MRP Papua Barat Ilegal 

Banyak pihak menyatakan pembentukan MRP Papua Barat adalah illegal. Ia tak punya dasar hukum yang jelas, karena dalam Undang-Undang Otsus, pada pasal ke 19 menjelaskan bahwa Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat hanya memiliki satu MRP, dan berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua. 

Gubernur Provinsi Papua, Dr. Barnabas Suebu, SH mengatakan jika sampai Mendagri kemudian melantik MRP Papua Barat, maka itu bukan menyangkut masalah Menteri Dalam Negeri, tetapi ini menyangkut masalah keutuhan bangsa dan negara Indonesia.


Kalau MRP mau jadi dua, 73 anggota MRP yang dilantik harus kembali menanyakan kepada konstituennya, apakah itu yang rakyat Papua kehendaki? Karena mereka adalah wakil yang mewakili kepentingan seluruh rakyat Papua.

“Ini kembali kepada rasa tanggung jawab dari semua anggota MRP terhadap masa depan dan kelanjutan hidup, keutuhan dari penduduk asli Papua, dari keturunan kepada keturunan berikutnya,"
tegas Suebu seperti dikutip Koran Cenderwasih Pos di Jayapura. 

MRP Papua Barat juga dinyatakan illegal karena dilihat dari banyak aspek, terutama tuntutan orang asli Papua yang ada di Provinsi Papua Barat. Apakah mereke menghendaki dibentuknya MRP baru, jika tidak, tentu pemerintah pusat, juga pemerintah Provinsi tak bisa memaksakan kehendaknya.

Ferdinanda Ibo Yatipai, selaku Ketua Solidaritas Perempuan Papua dan juga mantan anggota DPD RI, mengatakan, rakyat memberi mosi tidak percaya kepada 33 anggota MRP yang dipilih dari wilayah Papua Barat. Upaya anggota MRP membentuk MRP Papua Barat adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak jelas tujuannya, sebab dasar pembentukan MRP adalah kesatuan kultur, sehingga tak bisa dibagi-bagi atas dasar wilayah. 

Dia mengingatkan, MRP seharusnya memberi perlindungan dan keberpihakan kepada orang asli Papua. Dan seharusnya mereka membentuk sekretariat di tiap daerah, bukan malah membentuk MRP baru. Jika sampai terbentuk, itu berarti MRP illegal. 

Kepentingan segelintir kelompok –Mendagri, Gubernur Provinsi Papua Barat, ketiga Pimpinan terpilih –telah mengorbankan seluruh rakyat Papua. Mulai dari kerja-kerja MRP terpilih yang tidak berjalan optimal, hingga menghabiskan waktu untuk berdebat apakah MRP Papua Barat illegal atau tidak. Ini merupakan trik yang dipakai pemerintah pusat untuk buat situasi di tanah Papua tak kondusif.  

Politik devide et impera di Papua 

Melalui pembentukan MRP Papua Barat, beberapa elit birokrasi bersama pemerintah pusat sedang melakukan poltik devide et impera –politik mengaduh domba orang asli Papua– di Papua maupun Papua Barat. Tujuaannya, agar pemerintah pusat dengan mudah dapat menguasai tanah Papua, juga melihat konflik terus tumbuh. 

Poltik devide et impera merupakan sebuah cara yang dipakai oleh kolonial Hindia Belanda saat hampir tiga setengah abad lamanya menjajah masyarakat Indonesia. Cara ini dipakai agar tak ada persatuan antara masyarakat lokal Indonesia, juga pejabat Indonesia pada masa itu. Belanda takut, jika ada persatuaan dari masyarakat bersama para pejabat Indonesia, tentu mereka akan bangkit dan melakukan perlawanan. 

Cara yang dipakai Hindia Belanda untuk masyarakat Indonesia pada zaman tersebut, itu pula yang sedang dipakai pemerintah pusat di tanah Papua. Mereka berkompromi dengan beberapa pejabat lokal di tanah Papua yang punya jabatan, kedudukan bahkan uang, dan mereka bersama-sama melakukan penjajahan, juga membuat struktur, tatanan sosial, dan kehidupan orang asli Papua berantakan. 

Jika kita mengamati, dengan pembentukan MRP Papua Barat ini, pemerintah pusat justru menciptakan konflik internal antar orang Papua sendiri. Dampaknya tentu berbahaya bagi kehidupan orang asli Papua. Dan kadang pemerintah pusat datang layaknya “malaikat” yang akan menyelesaikan segala masalah di Papua, padahal mereka adalah aktor di balik masalah tersebut. 

Jika orang Papua telah menganggap pembentukan, juga kehadiran MRP Papua Barat adalah ilegal, maka pemerintah pusat harus segera membubarkan lembaga ini. MRP merupakan lembaga kultral orang asli Papua yang di dalamnya terdapat perwakilan Adat, Perempuan juga Agama, bukan lembaga politik, apalagi digunakan untuk menjawab kepentingan Bram-Katjong. 

Lembaga ini dibentuk untuk menegakan harkat, martabat, juga identitas kepapuaan di tanah air Papua, bukan lembaga “murahan” yang dengan mudah diipakai siapa saja untuk membuat kehancuran hidup masyarakat asli Papua.  

Bubarkan MRP Papua Barat 

Sesuai tuntutan orang asli Papua, maka embirio MRP Papua Barat yang telah dibentuk oleh Mendagri, Gubernur Provinsi Papua, dan ketiga pimpinan terpilih harus segera dibubarkan. Jika tidak, maka dampaknya akan berbahaya bagi keberlangsungan hidup orang asli Papua, bahkan keutuhan Negara Indonesia sendiri seperti yang disampaikan Gubernur Papua. 

Ketua DPR Provinsi Papua Drs John Ibo MM beberapa waktu lalu menyatakan bahwa DPRP merencanakan akan membahasnya dengan MRP yang sah guna membubarkan MRP Papua Barat. Selanjutnya, DPR segera melakukan paripurna-paripurna istimewa guna memutuskan pembubaran DPRP. 

Dia juga mengatakan, pihaknya akan meminta agenda-agenda sidang DPRP sementara ditunda guna membahas tentang pertimbangan membubarkan MRP, serta segera membuka sidang Non APBD untuk memberikan kesempatan kepada Fraksi- Fraksi DPRP guna memberikan pertimbangan pembubaran MRP. 

Pemerintah pusat, juga Mendagri yang membuat keputusan secara sepihak perlu ketahui, bahwa dari segi filosofi orang asli Papua, di mana sudah jelas tertuang dalam Undang-Undang Otsus No. 21 tahun 2001, bahwa MRP dibentuk sebagai lembaga kultur masyarakat asli Papua dalam hal ini pembetukan MRP bukan berdasarkan wilayah administrasi, namun lebih sebagai lembaga adat yang satu di Tanah Papua yang dulu disebut Irian Jaya. 

Artinya, walau pemerintah pusat dengan semaunya membagi banyak Provinsi di tanah Papua, tapi perlu diketahui, bahwa MRP adalah tetap satu. Ia bertujuan mengakomodir semua kepentingan, tuntutan, juga harapan seantoro masyarakat asli Papua, yang berasal dari Rumpun Melanesia. 

Akhir tulisan ini mengutip satu pepatah lama, “lebih baik mencegah, dari pada mengobati”. Artinya, semua belum terlambat. Masyarakat Papua tetap menanti tindakan tegas dari Pemerintah Pusat, minimal membuarkan MRP Papua Barat sesuai tuntutan seluruh masyarakat Papua saat ini. (OKTOVIANUS POGAU)

Baca Selengkapnya......

Friday, August 26, 2011

Menjelaskan Hasil KTT ILWP; Rakyat Papua Barat Harus Tetap Berjuang

Demo Referendum Rakyat PB @Google
Oleh Oktovianus Pogau

PADA Sabtu 20 Agustus, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) telah resmi mengumumkan hasil Konfrensi Tingkat Tingggi (KTT) International Lawyers for West Papua (ILWP) yang telah berlangsung di Universitas Oxford, Inggris, pada 02 Agustus lalu. Dalam seminar internasional itu, sekitar 250 undangan hadir dan ikut berikan dukungan. Mereka antara lain; pengacara-pengacara internasional, anggota International Parliamentarian for West Papua (IPWP), aktivis hak asasi manusia, wartawan, warga Papua Barat (baca: Papua dan Papua Barat) diluar negeri, dan (menurut keterangan Benny Wenda) Walikota Oxford ikut hadir dan membuka acara tersebut (Bintang Papua, 22 Agustus 2011).

Sebelumnya, menjelang akan diumumkannya hasil KTT ILWP, Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjend Erfi Triassunu dalam koran bintang Papua 20 Agustus menyatakan (1) hasil KTT ILWP di Oxford, Inggris tidak jelas, (2) hasil KTT ILWP yang tak kunjung diumumkan membuat tensi konflik di Papua Barat semakin meningkat (3) mengajak masyarakat Papua Barat untuk tidak terpengaruh pada hasil KTT tersebut. Saya kira komentar yang cukup menarik untuk dikritisi (baca: dibantah). Pertanyaannya, hasil apa yang menurut Pangdam tidak jelas? Apa hubungan KNPB dengan konflik di Papua Barat? Atau apakah Pangdam punya bukti keterlibatan KNPB dalam berbagai konflik di Papua Barat? Atau TNI punya kepentingan lain dibalik konflik-konflik di Papua Barat? Saya curiga konflik-konflik tersebut dipelihara, dan justru didalangi oleh militer.

Tulisan ini saya buat untuk menjawab komentar Pangdam yang penuh propoganda. Saya bisa katakan komentar tersebut menyesatkan, dan juga membuat rakyat Papua Barat semakin bingung. Selain itu, tulisan ini bermaksud menjelaskan hasil KTT secara rinci kepada rakyat Papua Barat, bahwa perjuangan kita masih belum selesai, dan kita harus terus berjuang sampai cita-cita luhur kita tercapai.

Sebelum detik-detik akan dibacakan hasil KTT ILWP, Pemimpin Kemerdekaan Bangsa Papua Barat di Inggris, Benny Wenda telah menjelaskan via phone kepada rakyat Papua Barat yang memadati lapangan Taman Makam pemimpin besar bangsa Papua Barat, Theys Hiyo Elluay, bahwa hasil KTT ILWP akan diumukan resmi melalui sebuah panggung politik, dan dihadiri rakyat Papua Barat. Artinya, setelah KTT ILWP, belum pernah ada yang mengumumkan hasil tersebut, termasuk kepada wartawan sekalipun. Saya mengajak kita untuk mengamati secara cermat Hasil KTTP ILWP tersebut, dan saya akan berusaha menjelaskan setiap bagian secara rinci.

Point pertama; kami telah mendengar sekarang atas situasi yang paling buruk dan serius di Papua Barat. Sejak 19 Desember 1961 –18 hari setelah deklarasi kemerdekaan Papua Barat dengan lagu hai tanahku Papua, burung mambruk sebagai lambang Negara, bintang kejora sebagai bendera Negara, Sorong sampai Samarai sebagai wilayah Negara Papua Barat, dan juga dibentuk pemerintahan oleh 70 orang terdidik Papua Barat yang disebut Komite Nasional Papua (KNP)–Indonesia telah masuk secara ilegal dengan tujuaan menggagalkan berdirinya Negara Papua Barat dan membunuh semua warga sipil di Papua Barat yang dianggap pro terhadap kemerdekaan, juga terhadap Belanda (Don Flassy, 2003).

Sudah banyak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Indonesia terhadap warga sipil sejak mereka menginjakan kaki di Bumi Cendrawasih. Wajah Indonesia dimata rakyat adalah pembunuh nyawa jutaan warga sipil tak berdosa. Kalau mau dihitung, sampai saat ini sudah hampir puluhan kali operasi militer diberlangsungkan –termasuk semenjak setelah reformasi, dan bahkan era Otonomi Khusus sekalipun– dengan sasaran warga sipil yang “dicurigai” sebagai anggota atau simpatisan Organisasi Papua Mereka (OPM) (Imparsial, 2011). Lembaga hak asasi manusia tingkat internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch (HRW) dan Tapol sering melansir kejahatan-kejahatan tersebut, dan meminta pertanggung jawaban pemerintah Indonesia.

Ada yang menyebut jumlah korban berkisar 1 juta, ada lagi yang menyebutkan 2 juta, bahkan ada juga yang menyatakan hanya berkisar 100.000 orang saja (Yakobus Dumupa, 2008). Terlepas dari berapa jumlahnya, tapi yang perlu kita tahu adalah militer Indonesia telah, dan memang pernah bahkan sedang melakukan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat. Situasi memprihatinkan diatas, juga kejahatan kemanusia seperti inilah yang telah didengar oleh dunia internasional, terutama pasca konfrensi di Oxford, Inggris lalu. Artinya, masyarakat Internasional tentu akan memberikan dukungan setelah mendengar penderitaan dan situasi paling buruk yang terjadi di Papua Barat sejak Indonesia masuk secara ilegal. Indonesia tidak bisa menutupi kebobrokan mereka di mata masyarakat Internasional, terutama terkait kejahatan kemanusiaan.

Point Kedua; akar masalah Papua Barat terletak pada hak penentuan nasib sendiri (PEPERA 1969). Setelah Indonesia masuk secara illegal, dan membunuh jutaan warga sipil yang dianggap pro kemerdekaan, juga berhasil “mengusir” Belanda, Amerika Serikat melalui duta besar mereka di PBB, Elswort Bunker mengajukan satu proposal penyelesaian masalah Papua Barat (Jhon Saltford, 2006). Ini yang diterjemahkan dalam sebuah perjanjian yang disebut dengan “New York Agreement 1962”. Di dalamnya disepakati bahwa seluruh rakyat Papua Barat akan menentukan nasib mereka sendiri, apakah ingin ikut dengan Indonesia, atau merdeka sebagai sebuah bangsa.

Lagi-lagi Indonesia melalui kekuatan aparat militer melakukan pengkondisian wilayah Papua Barat, juga melakukan teror, intimidasi, dan bahkan membunuh siapapun warga Papua Barat yang inginkan kemerdekaan. Ada beberapa point yang dilanggar Indonesia, dan inipula yang menjadi akar konflik di Papua Barat. Pertama, aturan one man, one vote tidak dilaksanakan. Indonesia dengan segala “kelicikan” hanya memilih 1025 orang dari 800.000 jumlah penduduk Papua Barat, juga non-Papua untuk ikut dalam PEPERA (P.J Drooglever, 2005). Dan mereka dikarantina selama dua bulan. Mereka diancam dibunuh, termasuk keluarga mereka jika tak memilih ikut dengan Indonesia. Kedua; pada saat Indonesia mempersiapkan PEPERA, diplomat asing, wartawan, bahkan utusan khusus PBB dilarang masuk, dan bahkan kunjungan mereka dipersulit. Indonesia tentu tidak mau kedok mereka diketahui masyarakat Internasional. Ketiga; dalam PEPERA tersebut Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat. Hasilnya memang Indonesia menang telak. Fokus persoalan ini juga yang menjadi sorotan saat konfrensi di Inggris. Dan saat ini masyarakat internasional telah tahu bahwa PEPERA adalah rekayasa, juga manipulasi pemerintah Indonesia untuk merebut tanah Papua Barat secara paksa.

Point Ketiga; oleh karena itu kami kembali mendeklarasikan pengacara internasional Papua Barat secara khusus bahwa orang Papua Barat memiliki hak mendasar untuk menentukan nasib sendiri dibawah hukum internasional dan bahwa hak ini masih ada dan belum dilakukan. Pengacara-pengacara internasional untuk Papua Barat yang tergabung dalam ILWP diketuai Melinda Janki, dengan salah satu anggota Jennifer Robinson –pengacara utama Julian Assanges, pendiri situs Wikileaks– adalah untuk menggugat Negara Indonesia secara hukum terkait masalah PEPERA 1969 yang memang penuh rekayasa dan manipulasi.

Konfrensi yang berlangsung pada 02 Agustus lalu juga telah memperlihatkan semangat, juga tekad mereka dalam membantu penyelesaian masalah Papua Barat secara hukum ditingkat mahkamah internasional. ILWP tidak akan menggugat Indonesia di PBB, tetapi Negara Vanuatu yang akan menjadi semacam kendaraan untuk ILWP bernaung, dan menggugat pemerintah Indonesia. Dalam aturan, memang sebuah lembaga atau organisasi tak bisa menggugat Negara. Komentar beberapa pengamat hukum internasional di Indonesia yang menyatakan ILWP atau OPM tak bisa gugat Indonesia di mahkamah internasional memang benar, tetapi sekali lagi saya ingin jelaskan, Negara Vanuatu yang akan mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke Mahkamah Internasional.

Yang menjadi cita-cita dan tujuan utama perjuangan rakyat Papua Barat adalah menyatakan kepada dunia internasional, termasuk Indonesia bahwa rakyat Papua Barat memunyai hak untuk menentukan nasib sendiri seperti yang tertera dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, juga Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang berbunyi “Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, social, dan budaya mereka”. Indonesia adalah salah satu anggota PBB, dan harus mematuhi ketetapan yang dibuat oleh PBB. Dalam konfrensi di Oxford, Inggris, hak rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri tentu menjadi bahan pembicaraan yang cukup serius.

Point keempat; kami menyerukan kepada semua Negara untuk bertindak pada tingkatan yang lebih tinggi dan mendesak kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menuntut agar orang-orang Papua Barat diberikan kesempatan yang benar untuk menentukan nasib sendiri. Setelah konfrensi di Oxford, Inggris, pada 02 Agustus lalu, tentu perhatian dunia internasional terhadap Papua Barat akan berbeda. Papua Barat akan dianggap sebagai wilayah koloni (jajahan) Negara Indonesia yang tentu harus diberikan dukungan agar dapat melepaskan diri. Jika Indonesia beranggapan Papua Barat bukan daerah koloni, kenapa sampai saat ini tidak ada kemajuan yang signifikan di tanah Papua Barat? Kenapa hak-hak hidup orang asli Papua tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh? Kenapa masih banyak operasi militer yang dilakukan untuk membunuh setiap warga sipil di Papua Barat. Saya kira pertanyaan-pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab pemerintah Indonesia.

Melihat keempat point KTT ILWP diatas, tentu telah sedikit memberikan harapan kepada rakyat Papua Barat, bahwa perjuangan kita selama ini tidak sia-sia. Bukan berarti, setelah KTT ILWP, masalah Papua Barat akan terselesaikan dengan secepatnya. Rakyat Papua Barat bersama media nasional saat ini (baca: KNPB) perlu bekerja lebih keras, juga meyakinkan dunia internasional tentang penderitaan rakyat Papua Barat. Dan terus menyatakan kepada pemerintah Indonesia, bahwa Papua Barat bukan bagian dari NKRI. Dengan catatan singkat ini saya berharap Pangdam XVII/Cenderawasih bisa mendapatkan gambaran pasti, bahwa hasil KTT ILWP telah memberikan hasil yang pasti bagi kemajuan perjuangan rakyat Papua Barat.

Pemerintah Indonesia harus mengakui, bahwa sudah tidak mampu, tidak bisa, dan bahkan telah gagal total membangun Papua Barat. Kenapa harus gagal, karena pemerintah Indonesia membangun Papua Barat lebih menggunakan pendekatan keamanan (baca: moncong senjata) dari pada membangun SDM. Mengutip pernyataan Ali Murtopo, orang kepercayaan Suharto saat Papua Barat akan dipaksa berintegrasi “Jika orang Papua Barat mau merdeka, pergi saja ke bulan dan buat Negara disana. Atau mengemis ke Amerika Serikat agar orang Papua Barat dipindahkan ke pulau Hawai. Kami (Indonesia) hanya butuh tanah dan sumber daya alam kalian. Kami sama sekali tidak butuh manusianya” (Socrates Sofyan Yoman, 2007). Pernyataan Ali Murtopo ini memperlihatkan betapa kejam dan jahatanya pemerintah Indonesia terhadap warga Papua Barat, pemilik negeri cendrawasih yang telah dikaruniakan Tuhan. Untuk rakyat Papua Barat, kita harus tetap dan terus berjuang. Kita harus mengakhiri!!!

Tulisan ini telah dimuat di Koran Harian Bintang Papua, 26 Agustus 2011

Baca Selengkapnya......

Monday, August 22, 2011

66 Tahun Indonesia Merdeka, Bagaimana Dengan Papua?

Oleh : Oktovianus Pogau*

PADA 17 Agustus 2011 lalu, hampir sebagian besar rakyat Indonesia merayakaan kemerdekaan negara mereka. Kalau mau jujur, sebenarnya Indonesia belum bisa disebut negara merdeka. Masih banyak rakyat lain yang merasa ‘dijajah’, terutama rakyat Papua. Saya menulis ini sebagai kado ulang tahun untuk negara penjajah –Negara Indonesia.

Arti kemerdekaan yang sesungguhnya ialah semua warga negara merasa diperlakukan secara adil, benar serta hak-hak hidup mereka diperhatikan secara sungguh-sungguh. Tapi yang memprihatinkan, sampai saat ini negara sengaja tidak berlaku adil dan benar terhadap seluruh rakyat, terutama bagi rakyat Papua. Negara perlakukan mereka sebagai kelas nomor dua. Kelas yang hak-haknya tak patut dihargai.

Hampir tiga setengah abad lamanya Negara Indonesia dijajah. Ia dijajah oleh beberapa negara besar yang ada di Eropa –Inggris, Portugis, Spayol, Jepang dan Belanda yang paling lama. Pemerintah Inggris mulai menguasai Indonesia sejak tahun 1811 pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles (TSR) sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia. Ketika TSR berkuasa sejak 17 September 1811, ia telah menempuh beberapa langkah yang dipertimbangkan, baik dibidang ekonomi, sosial, dan budaya (Jan Aritonang, 2004)

Penyerahan kembali wilayah Indonesia yang dikuasai Inggris dilaksanakan pada tahun 1816 dalam suatu penandatanganan perjanjian. Pemerintah Inggris diwakili oleh John Fendall, sedangkan pihak dari Belanda diwakili oleh Van Der Cappelen. Sejak tahun 1816, berakhirlah kekuasaan Inggris di Indonesia. Kembali belandai menjajah Indonesia. Mereka paling lama, tahun 1602 sampai tahun 1942. Kemudian Jepang. Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Yang namanya penjajah jelas akan tidak berlaku adil pada yang dijajah. Hal itu juga yang dirasakan oleh rakyat Indonesia pada masa penjajahaan. Mereka sering diperlakukan tidak adil, wanitanya diperkosa, bahkan banyak dari antara mereka yang dibunuh. Dibanding beberapa negara besar di Asia, Indonesia adalah salah satu negara yang dijajah paling lama. Coba bayangkan, dijajah hampir tiga setegah abad lamanya.

Indonesia meraih kemerdekaan berkat pertolongan negara adidaya, yakni; Amerika Serikat. Setelah sebelas hari Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan delapana hari di Nagasaki, kemerdekaan negara Indonesia akhirnya terwujud.
Artinya, Indonesia tidak berjuang secara susah payah untuk mendapatkan kemerdekaan, tetapi kemerdekaan negara Indonesia adalah kado berharga dan tak ternilai harganya yang diberikan secara tidak langsung oleh negara Amerika Serikat.

Senjata nuklir "Little Boy" dijatuhkan di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, diikuti dengan pada tanggal 9 Agustus 1945, dijatuhkan bom nuklir "Fat Man" diatas Nagasaki. Kedua tanggal tersebut adalah satu-satunya serangan nuklir yang pernah terjadi di dunia. John Hersey dalam laporan tentang Hiroshima memparkan tentang semua peristiwa kelam itu.

Saat itu mata dunia tertuju kepada tragedi bersejarah di Jepang. Amerika Serikat diklaim sebagai negara yang jahat dan biadab. Mereka memusnahkan semua yang ada di Hirosima. Mata negara penjajah di dunia juga sedang tertuju kepada Hiroshima. Bahkan beberapa negara yang sedang menjajah justru melepaskan daerah jajahaan mereka untuk merdeka. Indonesia adalah salah satu contoh negara jajahaan Jepang yang mendapatkan kemerdekaan.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 negara Indonesia memproklamirkan kemerdekaan mereka dari Jepang. Sebelumnya Jepan telah menandatangi surat menyerah. Dunia internasional mengakui kemerdekaan itu. Seantoro rakyat Indonesia, kecuali Papua juga turut bangga dengan kemerdekaan itu. Babak perjuangan untuk meraih kemerdekaan telah dilewati, sekarang bagaimana mengisi kemerdekaan itu. Pergumulan paling berat adalah mengisi sebuah kemerdekaan yang telah diperoleh Negara Indonesia.

Soekarno sebagai sang proklamtor menjadi presiden. Hatta menjadi wakil. Mereka memimpin dengan cukup bijak. Walau beberapa isu penting tentang kedekataan Soekarno dengan agen intelejen Amerika sering nampak. Banyak peristiwa penting yang dilewati. Selama 20 Tahun Soekarno memimpin.

Tahun 1966 kekuasaan Soekarno tumbang. Surat perintah sebelas maret digunakan oleh Soeharto untuk memimpin Indonesia. Partai Komunis saat itu dituduh sebagai separatis yang akan mengganggu keamanan negara. Mayor Jenderal Soeharto menjadi otak untuk penumpasaan itu. Keberhasilaannya membawanya menjadi orang nomor satu. Selama 32 Tahun memimpin dengan Otoriter akhirnya Soeharto tumbang. Mahasiswa bersama rakyat Indonesia mengakhiri kediktatoran Soeharto. Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.

Habibi memimpin hanya dua bulan tujuh hari . Setelah itu pemilu ulang di lakukan, Abdurhaman Wahid terpilih. Gus Dur tak bertahan lama. MPR mendesak Gus Dur untuk mundur. Megawati mengantikannya. Pemilu berikutnya juga di langsungkan, SBY akhirnya terpilh, hingga yang berikut lagi tetap terpilih. Hampir enam orang yang telah memimpin negeri ini. lima di antaranya pria, dan seorang wanita. Tidak semua memperhatikan persoalan yang terjadi di Papua dengan cermat dan bijak, hanya Gus Dur seorang diri yang dianggap sedikit peka dan peduli terhad persoalan di Papua.

Penjajahan di Papua

Saat negara Indonesia diproklamirkan, Papua tidak turut didalamnya. Sabang (Ache) sampai Amboina (Ambon) saat itu menjadi wilayah negara Indonesia. Sumpah palapa, sumpah pemuda dan beberapa sumpah pemuda Indonesia yang lain tidak pernah ada keterwakilan Papua. Ini menandakan bahwa Papua bukanlah bagian dari negara Indonesia.

Pada 1 Mei 1961 oleh intelektual Papua yang tergabung dalam Nieuw Guinea Raad pernah mendeklarasikan kemerdekaan Papua. Saat itu lagu “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan, lambang burung mambruk diperlihatkan, juga bendera bintang kejora dikibarkan dan membentuk pemerintahan sendiri. Tri komando rakyat, salah satunya berbunyi bubarkan negara boneka buataan Belanda, Indonesia juga pernah mayakini bahwa Papua adalah sebuah Negara (P.J Drooglever, 2005).

Tahun 1969 atas usulan Elswot Bungker, akhirnya penentuaan pendapat rakyat diberlangsungkan. Saat itu usulannya satu orang Papua memberikan satu suaranya, bukan beberapa orang Papua mewakili seluruh rakyat Papua, tetapi pemerintah Indonesia berlaku tidak adil, mereka menunjuk 1025 orang Papua untuk memberikan suara mereka mewakili 800.000 orang Papua (Jhon Saltford, 2006).

UNTEA, badan khusus PBB yang ditugaskan untuk memantau perkembangan di Papua juga tak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah Indonesia menekan semua gerak-gerik mereka. Ruang demokrasi ditutup rapat. Mereka tidak menghargai hak setiap orang untuk berpendapat, termasuk utusan PBB sendiri. Hasil pepera akhirnya memutuskan bahwa rakyat Papua ikut dengan negara Indonesia. Mereka yang memberikan suaranya mewakili rakyat Papua adalah orang-orang pilihan pemerintah Indonesia. Mereka diancam akan dibunuh jika memilih ikut Papua. Mereka memilih dibawah tekanan.

Setelah Papua integrasi ke dalam negara Indonesia secara sepihak banyak problem yang terjadi. Misalnya, militer mencurigai masih banyak orang Papua menghendaki kemerdekaannya sendiri. Mereka dikejar, diinterogasi bahkan banyak dari antara mereka yang dibunuh. Pelanggaran HAM oleh aparat militer sering terjadi di Papua. Semua berlangsung atas nama kepentingan negara. Orang Papua dianggap tidak penting untuk hidup. Pemerintah lebih mementingkan kekayaan alam orang Papua dari pada manusianya. PT Freeport Indonesia menjadi lahan yang paling menguntungkan bagi pemerintah Indonesia.

Pertumbuhaan penduduk Papua tak nampak. Program keluarga berencana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, hal itu hanyalah akal-akalan untuk menekan penduduk asli Papua. Transmigrasi terus diberlangsungkan di Papua. Orang Papua sungguh tidak berdaya. Orang Papua memang betul-betul di buat tidak berdaya. UU Otsus hanyalah bentuk penjajahaan baru. Pemerintah Indonesia menaruh kecurigaan yang besar terhadap rakyat Papua, dampaknya Otsus tidak diimplementasikan secara baik dan konsekuen.

Uang Otsus hanya di nikmati oleh pejabat Papua dan pemerintah Jakarta.
Peraturan daerah khusus yang di buat oleh pemerintah daerah untuk menjaga hak-hak adat masyarakat lokal juga selalu dicurigai. Pemerintah selalu beralasan untuk tidak menyetujui Perdasi maupun Perdasus seperti itu. Rakyat Papua dianggap manusia yang tidak berguna dan tidak perlu dididik.

Rakyat kecil yang seharusnya menikmati dana Otsus tetap terpinggirkan. Betul-betul dibuat tidak berdaya. Pemekaraan malah menimbulkan penyakit baru. Banyak uang Otsus dialokasikan untuk membuka daerah pemekaran. akhirnya lebih banyak uang Otsus dinikmati oleh birokrasi pemerintah dan aparat negara. Rakyat Papua masih tetap di jajah. Dijajah oleh sistem yang tidak memihak. Sepertinya keadilaan tidak pernah ada untuk rakyat Papua. Penjajahaan itu membuat orang Papua sebagai kaum lemah yang sungguh tak berdaya.

Maka pantaslah jika rakyat Papua menuntut hak mereka untuk memisahkan diri, arti lain menuntut merdeka. Semua rakyat Papua, termasuk pejabat-pejabat birkorasi pemerintah sudah muak dengan pemerintah pusat yang tidak pernah menghargai rakyat Papua sebagai manusia beradab. Pemerintah Indonesia merdeka, berarti rakyat Papua juga harus merdeka. Semua orang, termasuk rakyat Papua juga berhak menentukan nasib sendiri. Tidak ada seseorang-pun yang bisa menghalangi hak setiap orang. Negara di dunia manapun mengakui hak-hak itu.

Pemerintah Indonesia perlu membuka diri dan merefleksikan kembali kegagalan mereka dalam membangun Papua. Menyadari bahwa tidak siap memimpin sebuah daerah yang di sebut Papua. Ini juga sudah menunjukan kedwasaan mereka sebagai negara demokrasi. Dunia sedang menanti sikap pemerintah Indonesia.

Kemarin lalu negara Indonesia senang karena telah merdeka. Tetapi bagaimana dengan rakyat Papua yang saat ini sedang dijajah, dan merasa benar-benar belum merdeka. Semoga pemerintah Indonesia sadar akan ketidakmampuaan itu. Hanya satu kebutuhan rakyat Papua saat ini; bebas dari penjajahan Indonesia. Selamat ulang tahun. Selamat bersenang-senang untuk rakyat Indonesia. Untuk rakyat Papua, terus berjuang, sampai harapan dan cita-cita kita tercapai. Kita harus mengakhiri!!!

*Penulis adalah Sekjend Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia, tinggal di Jakarta.



Tulisan ini telah dimuat di koran harian bintang papua, edisi 20 Agustus 2011

Baca Selengkapnya......

Wednesday, August 17, 2011

Menguji Kebenaran Komentar Menhan; Propoganda dan Tidak Benar

Oleh Oktovianus Pogau*

Menarik simak komentar Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yugiantoro dalam detik.com dan Cyber News pada 13 Agustus lalu menyangkut situasi di tanah Papua. Komentarnya, pertama; ada indikasi dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua (termasuk Papua Barat) telah digunakan untuk mendukung kegiataan separatis. Ia mengacu pada laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengatakan sejumlah dana mengendap dan tak terpakai (http://www.detiknews.com/ read/2011/08/13/181122/ 1703121/10/menhan-indikasikan- dana-otsus-papua- diselewengkan-untuk-makar). Kedua; perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memisahkan diri dari Indonesia hanya di dukung segelintir orang Papua, dan karena itu tak begitu berbahaya bagi keutuhan Negara Indonesia (http://suaramerdeka.com/v1/ index.php/read/news/2011/08/ 13/93559/Usulan-Referendum- OPM-Tak-Didukung-Mayoritas- Rakyat-Papua).

Komentar tersebut berkaitan dengan situasi Papua –terutama situasi politik– yang semakin masif disuarakan dari kampung-kampung hingga kota-kota, bahkan sampai di dunia Internasional. Pada 02 Agustus, di Oxford, Inggris berlangsung Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) dengan tema “Jalan Menuju Kemerdekaan Papua Barat”. Konfrensi ini di prakarsai oleh International Lawyers for West Papua (ILWP) yang diketuai Melinda Janki, pengacara Internasional dari Guyana, Amerika Serikat dan Benny Wenda pemimpin kemerdekaan Papua di Inggris. ILWP sendiri merupakan lembaga yang menghimpun 64 pengacara tingkat internasional dan akan menggungat sah dan tidaknya PEPERA 1969 di Makahmah Internasional secara hukum melalui Negara Vanuatu. Jennifer Robinson, pengacara Julian Assanges pendiri situs Wikileaks termasuk dalam anggota ILWP (http://www.ilwp.org/index. php?option=com_content&view= article&id=33:west-papua-the- road-to-freedom-2nd-august- 2011-oxford-uk&catid=5:news& Itemid=9).

Untuk mendukung KTT ILWP di Oxford, Inggris secara serentak masyarakat Papua yang dikordinir Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melakukan aksi demonstrasi damai. Dua isu utama yang disuarakan; mendukung KTT ILWP dan menuntut referendum di tanah Papua.

Di Jayapura dipusatkan di Lingkaran, Abepura. Hampir 5.000 massa ikut dalam kelompok ini. Di Wamena massa berkumpul sejak pagi hari di lapangan Sinapuk dengan jumlah kurang lebih 3.000. Di Manokwari berlangsung dari Kampus Universitas Negeri Papua (UNIPA) hingga Kantor Dewan Adat Papua (DAP). Di Sorong berlangsung di kantor DAP setempat. Di Yahukimo berlangsung di kantor DPRD setempat. Di Nabire dilangsungkan kegiatan doa di Taman Gizi. Di Timika dilaksanakan di lapangan Timika Indah. Dan Merauke sendiri dibatalkan karena sehari sebelumnya telah ada sweeping oleh aparat kepolisian –berujung pada penangkapan beberapa aktivis KNPB Wilayah Merauke.

KNPB Konsulat Indonesia di Jawa dan Bali melakukan aksi yang sama. Massa yang sebagian besar mahasiswa Papua mulai long march dari Bundaran Hotel Indonesia hingga Istana Negara. Dan sempat terjadi insiden penangkapan seorang aktivis pro demokrasi Indonesia atas nama Surya Anta dari Partai Pembebasan Rakyat (PPR) oleh aparat kepolisian setempat (http://maxlaneonline.com/ 2011/08/05/908/). Di Wilayah Indonesia tengah –Manado dan Makassar – juga dilangsungkan aksi doa bersama oleh mahasiswa Papua. Semua aksi massa dengan tujuan memberikan dukungan terhadap KTT ILWP, juga menuntut referendum di tanah Papua.

Sebalum Menhan berkomenter soal Papua pasca KTT ILWP, ada beberapa pejabat Negara yang telah lebih dulu berkomentar. Mulai dari politisi di Senayan –Priyo Budi Santoso, T.B Hasanuddin, Tantowi Yahya– para peneliti –Ikrar Nusa Bahkti, Dewi Fortunar Anwar dan Muridan Widjojo –juga aktivis hak asasi manusia –Haris Ashar, Poengky Indarty, Al Araf, Matius Murib, Olga Hamadi– dan bahkan beberapa petinggi Negara di tubuh militer seperti Hendropriyono (Mantan Kepala BIN), Budi Susilo (Gubernur Lemhanas), dan bahkan sampai Letjend (Purn) Bambang Darmono, juga organisasi mahasiswa di Indonesia, salah satunya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). GMNI melakukan aksi di Bandung, dan melakukan long march ke Kantor DPRD setempat untuk meminta pemerintah pusat serius terhadap Papua, tetapi menolak referendum di tanah Papua (http://tv.liputan6.com/main/ read/6/1061282/0/gmni-tolak- intervensi-asing-di-papua).

Kita kembali lagi pada komentar Menhan yang bisa saya katakan penuh provokasi, juga tak pantasi disampaikan diatas. Saya berusaha menganalisis dari sudut pandang orang Papua, juga aktivis yang selama ini pro pada kemerdekaan Papua.

Tidak benar, dan sangat rancuh jika dikatakan kegiataan separatis didanai oleh dana Otsus. Apa buktinya? Bagaimana separatis bisa dapat akses untuk menikmati dana Otsus? Sejauh mana kinerja intelijen dalam membuktikannya? Ataukah ini sebuah bahasa provokasi dari Menhan melihat ketuhan Negara Indonesia yang diambang kehancuran? Dan kalau mau dicermati, BPK juga tak menyatakan bahwa ada indikasi digunakan untuk separatis. Kita semua tahu persis, sejak Otsus diundang-undangkan pada tahun 2001, memang porsi dana untuk Papua semakin meningkat –kurang lebih 28 trilIun hingga tahun 2011 (http://www.detiknews.com/ read/2011/08/13/181122/ 1703121/10/menhan-indikasikan- dana-otsus-papua- diselewengkan-untuk-makar? 9922032). Pejabat-pejabat Papua bersama pemerintah pusat yang selama ini memegang kendali dana tersebut. Mulai dari perencanaan anggaran, mencairkan, hingga sampai menggunakannya, bahkan mereka sama-sama (mungkin) ikut menikmati

Kalau dikatakan kegiataan seperatis didanai oleh dana Otsus adalah hal yang sama sekali tidak benar, dan kontradiktif dengan fakta yang terjadi selama ini. Tentu ini menimbulkan banyak pertanyaan besar dikalangan rakyat Papua, terutama orang asli Papua sendiri. Panglima OPM di Puncak Jaya Goliat Tabuni tidak pernah tahu apa itu dana Otsus, bahkan berapa jumlah yang diberikan pemerintah pusat untuk rakyat Papua. Lambert Pekiki, Panglima OPM Wilayah perbatasan juga tak pernah tahu ada dana Otsus, apalagi menikmatinya, juga termasuk “meminta jatah” pada pemerintah pusat, juga pemerintah daerah. Apalagi Benny Wenda di Inggris, tidak mungkin “menikmati” dana Otsus, atau menggunakan dana Otsus dalam membiayai kampanye-kampanye dia selama di Inggris, termasuk membiayai KTT ILWP Oxford lalu.

Saya justru menduga, komentar Menhan sebenarnya ditujukan pada pejabat-pejabat di Papua –mulai dari Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, juga kepala-kepala dinas baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten, bahkan mungkin saja termasuk Wakil Rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Kita semua tahu, yang selama ini bersentuhan langsung dengan Otsus Papua adalah pejabat-pejabat diatas. Jika memang benar komentar Menhan merujuk pada pejabat-pejabat di Papua, pertanyaan kritis yang harus dijawab, apakah Menhan (baca;Jakarta) selama ini kategorikan pejabat-pejabat di Papua sebagai separatis? Bagaimana seorang separatis bisa mendukung penjajahan Indonesia atas orang Papua? Bagimana Menhan dapat membuktikan bahwa mereka memang, dan adalah separatis? Atau Menhan anggap mereka sebagai musuh negara selain OPM? Kalau begitu, bukankah mereka juga harus “ditumpas” seperti OPM?

Masih menyangkut komentar Menhan yang menyatakan hanya sebagian kecil orang Papua yang dukung kemerdekaan Papua. Ini agak rancuh juga jika dikaitkan dengan fakta rill di lapangan saat ini. Bayangkan saja, dalam sehari secara serentak di seluruh tanah Papua, Jawa dan Bali, bahkan sampai di Sulawesi diperkirakan 20.000 massa orang Papua menyampaikan sikap mendukung KTT ILWP yang tujuannya tidak lain mendukung kemerdekaan Papua, dan meminta referendum segera dilakukan di tanah Papua yang tentu berujung pada kemerdekaan (http://knpbsentanidotorg. wordpress.com/2011/08/03/knpb_ soronghundreds-of-papuans-in- sorong-supports-ktti-by-ilwp- in-london-uk/). Apakah fakta ini tak bisa membenarkan, bahwa hampir sebagian besar rakyat Papua di tanah Papua, dan juga yang sedang berada di luar Papua menginginkan kemerdekaan dari Negara Indonesia? Ataukah, komentar Menhan dikarenakan laporan intelijen yang tak akurat? Atau bisa saja intelijen bekerja, tapi secara tak professional? Atau jangan-jangan Menhan ingin menyelamatkan wajah pemerintah Indonesia, juga dirinya dimata dunia internasional, dan masyarakat Indonesia pada khususnya.

Kalau mau dilihat kebelakang, bukan di tanggal 02 Agustus saja rakyat Papua melakukan aksi demonstrasi menuntut referendum, tapi ia sudah dilangsungkan berungkali sejak tahun 1969, dan lebih masif lagi setelah memasuki era reformasi. Saya sendiri tak pernah menyaksikan aksi massa dalam jumlah besar yang meminta dana Otsus ditambah, meminta pembangunan infrastruktur diutamakan, atau meminta perlakukan khusus Negara terhadap orang Papua dalam bingka NKRI. Kisruh soal Pilkada yang terjadi di Puncak, Papua, dengan menewaskan belasan orang Papua, tak bisa menjadi ukuran menilai orang Papua pada umumnya mendukung Otsus, juga mendukung kebijakan pemerintah di tanah Papua. KNPB sendiri yakin ada pihak-pihak yang berusaha mengacaukan situasi Papua, terutama untuk gagalkan aksi demo damai yang akan digelar sebagian besar rakyat Papua saat itu. Pemerintah Indonesia harusi akui telah gagal membangun Papua sejak masuk dan lakukan invasi sejak 1 Mei 1963. Kurang tepat, bahkan saya bisa katakan salah jika mengatakan yang mendukung kemerdekaan Papua adalah hanya segelintir orang saja.

Apalah arti sebuah jabatan Menteri Pertahanan, jika tak dapat menyampaikan fakta yang terjadi di tanah Papua secara tepat dan akurat. Mungkin saja akan ada banyak orang mencemoh cara-cara diplomasi yang tak elegan, juga tak professional yang ditunjukan Menhan secara pribadi, dan pemerintah Indonesia pada umumnya, terutama terkait situasi Papua, juga tuntutan orang Papua yang dari waktu ke waktu semakin nampak ke permukaan.

Semangat perlawanan yang dilakukan rakyat Papua melalui wadah KNPB, juga DAP, dan gerakan-gerakan pemuda, bahkan TPN dan OPM akan dan terus dilakukan. Pemerintah tentu harus mengakui telah gagal (baca: tak mampu) urus tanah Papua, dan juga harus bijak “menghadapi” carai-cara perlawanan yang dilakukan orang Papua secara elegan, manusiawi, dan juga bermartabat. Negara akan dianggap “kalah” dalam pertarungan jika hadapi tuntutan rakyat Papua dengan cara-cara militeristik, juga propaganda murahan lewat media massa, salah satunya seperti yang telah tunjukan oleh Menhan Republik Indonesia, Purnomo Yugiantoro.

*Penulis Sekjend Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini telah dimuat di Harian Bintang Papua,Edisi 16 Agustus 2011.

Baca Selengkapnya......

Thursday, August 11, 2011

Militer di Puncak Jaya dan Dialog Bermartabat

Oleh Oktovianus Pogau*

KEBERADAAN aparat militer TNI AD –dari Batalyon Infateri (Yonif) 753/Arga Vira Tama (AVT) Nabire dan Batalyon Infateri (Yonif) 751/Berdiri Sendiri Sentani– di Distrik Tingginanmbut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua telah meresahkan warga setempat.

Pasalnya, kehadiran mereka dengan jumlah yang cukup banyak membuat masyarakat setempat tak aman hidup, bahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari sekalipun. (The Jakarta Globe, 12 Juli, 2011).

Samuel P Huntington (2003) dalam buku “Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil” mengatakan militer profesional adalah mereka yang mampu jalankan tugas negara dengan sebaik-baiknya, tanpa korbankan warga sipil –termasuk membuat mereka takut untuk hidup.

Aktivis hak asasi manusia (HAM) melaporkan bahwa militer selalu mengintai setiap aktivitas warga sipil di wilayah tersebut. Bahkan, secara terang-terangan ada yang dituding sebagai anggota separatis.

Wartawan dan aktivis HAM juga tidak luput dari pengawasan. Bahkan, beberapa aktivis HAM lebih memilih keluar dari Puncak Jaya karena merasa sangat terancam.

Korban Warga Sipil


Kontak senjata antar militer dan orang tak dikenal sudah berlangsung lama. Dalam beberapa kali, militer juga menembak warga sipil –padahal mereka tak tahu menahu tentang aktivitas kelompok separatis.

Rumah-rumah penduduk sipil sering jadi sasaran operasi. Stigma separatis terus legalkan aparat militer untuk bertindak semena-menanya. Padahal, stigma tersebut tak bisa dibuktikan kebenarannya.

Akibatnya, banyak warga sipil setempat lebih memilih mengungsi ke wilayah diluar Puncak Jaya.

Peristiwa terhangat, pada 12 Juli, pukul 06.00 WIT lalu, terjadi lagi kontak senjata antar militer dan orang tak dikenal. Tanpa sebab, dilaporkan militer mendatangi warga sipil di setiap rumah, dan menembak yang dicurigai sebagai separatis.

Warga sipil yang menjadi korban adalah Ny. Dekimira (50 tahun), seorang Ibu terkena tembakan pada kaki sebelah kanan, Anak kandungnya Jitoban Wenda (4 tahun), juga terkena tembak pada kaki sebelah kiri. Dua anak lainnya tetangga Dekimira, Dekimin Wenda (4 tahun), dan Dimison Wenda (8 tahun), keduanya terkena peluru pada kaki bagian kiri.

Setelah kejadian, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Panglima Mayjen TNI Erfi Triasunu kepada media di Jayapura membenarkan peristiwa tersebut. Ia menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM) berada dibalik aksi-aksi tersebut.

Jika benar pelakunya OPM, maka kenapa aparat militer tidak melakukan pengejaran hingga menangkap, dan juga dapat meminta pertanggung jawaban?

Selama ini aparat menuding OPM berada dibalik serangkaian kasus, tapi tak bisa membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, yang sering ditangkap dan disiksa adalah warga sipil –kasus dua orang petani, Tunaliwor Kiwo dan Kindeman Gire yang disiksa dan hampir dibunuh oleh militer Indonesia adalah sebuah fakta yang tak bisa terelahkan.

Konfrensi Perdamaian Papu
a

Situasi di Puncak Jaya sangat kontras dengan pernyataan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto, di Jayapura pada 5 Juli lalu saat membuka Konfrensi Perdamaian Papua (KPP).

Dalam sambutan ia menyatakan pentingnya menciptakan Papua sebagai tanah damai, dan tekad pemerintah dalam melakukan komunikasi konstruktif dalam menyelesaikan tiap masalah di Papua.

Kalau begitu, pertanyaannya, kenapa kebijakan operasi militer masih terus ditempuh dalam menyelesaikan tiap konflik di Puncak Jaya.

Apakah hal yang rumit pemerintah Indonesia membuka ruang berdialog dengan pihak-pihak yang selama ini dianggap berseberangan ideologi (baca: menginginkan kemerdekaan dari Indonesia).

Tekad dan komitmen pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Papua tanah damai tak bisa hanya sebatas komentar-komentar di media massa, seminar, lokakarya, bahkan konferensi sekalipun.

Ia harus dibuktikan dengan tindakan nyata, juga kebijakan yang memang dapat ciptakan Papua sebagai tanah damai kedepannya.

HAM –untuk hidup aman dan damai– warga sipil di Puncak Jaya harus di dahulukan dari segala kepentingan –termasuk kepentingan keutuhan Negara Indonesia sekalipun.

Banyak orang ragu akan kinerja (baca: profesionalitas) militer di Puncak Jaya, dan menuding telah melakukan berbagai pelanggaran HAM berat jika pelaku penembakan aparat TNI pada 25 Juni lalu tak bisa diungkap ke publik.

Militer harus dapat membuktikan bahwa OPM selama ini berada dibalik serangkaian kasus tersebut. Atau jangan-jangan ada pihak lain diluar TNI maupun OPM. Siapa?

Dialog Bermartabat

Cara terbaik yang dapat ditempuh saat ini adalah aparat militer (baca: pemerintah Indonesia) membuka ruang dialog yang lebih bermartabat dengan kelompok yang selama ini berseberangan ideologi.

Jalan kekerasan (baca: operasi militer) yang telah lama ditempuh justru tak akan menyelesaikan konflik di Puncak Jaya, dan bukan tidak mungkin justru menambah konflik baru yang tensinya akan semakin meningkat.

Tiap perbedaan pandangan di dalam Negara demokrasi adalah hal yang wajar, dan tak pantas dihadapi dengan kekerasan, bahkan moncong senjata.

Komitmen pemerintah Indonesia ciptakan Papua tanah damai, dan secara khusus di Puncak Jaya masih akan terus dipertanyakan.

*Penulis warga Papua, tinggal di Jakarta dan kelolah sebuah kelompok diskusi yang dinamakan "Honai Study Club"

Baca Selengkapnya......