Thursday, July 28, 2011

Papua Dari Nama ke Nama

Oleh: Oktovianus Pogau*

ADA banyak nama yang pernah diberikan untuk pulau Papua (meliputi Papua dan Papua Barat). Kebanyakan nama pemberian orang asing yang melakukan ekspedisi di wilayah ini. Dalam perkembangannya, pemerintah Indonesia termasuk putra asli Papua sendiri ikut memberikan nama.

Pulau Papua berada di wilayah paling timur negara Indonesia. Ia merupakan pulau terbesar kedua setelah Pulau Greendland di Denmark. Luasnya capai 890.000 Km² (ini jika digabung dengan Papua New Guinea). Besarnya diperkirakan hampir lima kali luas pulau Jawa.

Pada sekitar tahun 200 M , ahli Geography bernama Claudius Ptolemaeus (Ptolamy) menyebut pulau Papua dengan nama Labadios. Sampai saat ini tak ada yang tahu, kenapa pulau Papua diberi nama Labadios.

Sekitar akhir tahun 500 M, oleh bangsa China diberi nama Tungki. Hal ini dapat diketahui setelah mereka menemukan sebuah catatan harian seorang pengarang Tiangkok, Ghau Yu Kuan yang menggambarkan bahwa asal rempah-rempah yang mereka peroleh berasal dari Tungki, nama yang digunakan oleh para pedagang China saat itu untuk Papua.

Selanjutnya, pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama Janggi. Dalam buku Kertagama 1365 yang dikarang Pujangga Mpu Prapanca “Tugki” atau “Janggi” sesungguhnya adalah salah eja diperoleh dari pihak ketiga yaitu Pedagang Cina Chun Tjok Kwan yang dalam perjalanan dagangnya sempat menyinggahi beberapa tempat di Tidore dan Papua.

Di awal tahun 700 M, pedagang Persia dan Gujarat mulai berdatangan ke Papua, juga termasuk pedangan dari India. Tujuan mereka untuk mencari rempah-rempah di wilayah ini setelah melihat kesuksesan pedangang asal China. Para pedagang ini sebut nama Papua dengan Dwi Panta dan juga Samudranta, yang artinya Ujung Samudra dan Ujung Lautan.

Pada akhir tahun 1300, Kerajaan Majapahit menggunakan dua nama, yakni Wanin dan Sram. Nama Wanin, tentu tidak lain dari semenanjung Onin di daerah Fak-Fak dan Sram, ialah pulau Seram di Maluku. Ada kemungkinan, budak yang dibawa dan dipersembahkan kepada Majapahit berasal dari Onin dan yang membawanya ke sana adalah orang Seram dari Maluku, sehingga dua nama ini disebut.

Sekitar tahun 1646, Kerajaan Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai Papa-Ua, yang sudah berubah dalam sebutan menjadi Papua. Dalam bahasa Tidore artinya tidak bergabung atau tidak bersatu (not integrated). Dalam bahasa melayu berarti berambut keriting. Memiliki pengertian lain, bahwa di pulau ini tidak terdapat seorang raja yang memerintah.

Ada juga yang memakai nama Papua sebagai bentuk ejekan terhadap warga setempat—penduduk primitif, tertinggal, bodoh— yang merupakan slogan yang tidak mempunyai arti apapun dengan nama Papua.

Respon penduduk terhadap nama Papua cukup baik. Alasannya, sebab nama tersebut benar mencerminkan identitas diri mereka sebagai manusia hitam, keriting, yang sangat berbeda dengan penduduk Melayu juga kerajaan Tidore. Tapi, tentu mereka tak terima dengan ejekan yang selalu dilontarkan warga pendatang.

Pada tahun 1511 Antonio d’Arbau, pelaut asal Portugis menyebut wilayah Papua dengan nama “Os Papuas” atau juga llha de Papo. Don Jorge de Menetes, pelaut asal Spanyol juga sempat mampir di Papua beberapa tahun kemudian (1526-1527), ia tetap menggunakan nama Papua. Ia sendiri mengetahui nama Papua dalam catatan harian Antonio Figafetta, juru tulis pelayaran Magelhaens yang mengelilingi dunia menyebut dengan nama Papua. Nama Papua ini diketahui Figafetta saat ia singgah di pulau Tidore.

Berikutnya, pada tahun 1528, Alvaro de Savedra, seorang pimpinan armada laut Spanyol beri nama pulau Papua Isla de Oro atau Island of Gold yang artinya Pulau Emas. Ia juga merupakan satu-satunya pelaut yang berhasil menancapkan jangkar kapalnya di pantai utara kepulauan Papua. Dengan penyebutan Isla Del Oro membuat tidak sedikit pula para pelaut Eropa yang datang berbondong-bondong untuk mencari emas yang terdapat di pulau emas tersebut.

Pada tahun 1545, pelaut asal spanyol Inigo Ortiz de Retes memberi nama Nueva Guinee. Dalam bahasa Inggris disebut New Guinea. Ia awalnya menyusuri pantai utara pulau ini dan karena melihat ciri-ciri manusianya yang berkulit hitam dan berambut keriting sama seperti manusia yang ia lihat di belahan bumi Afrika bernama Guinea, maka diberi nama pulau ini Nueva Guinee/Pulau Guinea Baru.

Nama Papua dan Nueva Guinea dipertahankan hampir dua abad lamanya, baru kemudian muncul nama Nieuw Guinea dari Belanda, dan kedua nama tersebut terkenal secara luas diseluruh dunia, terutama pada abad ke-19. Penduduk nusantara mengenal dengan nama Papua dan sementara nama Nieuw Guinea mulai terkenal sejak abad ke-16 setelah nama tersebut tampak pada peta dunia sehingga dipakai oleh dunia luar, terutama di negara-negara Eropa.

Di tahun 1956, Belanda kembali merubah nama Papua dari Nieuw Guinea menjadi Nederlands Nieuw Guinea. Perubahan nama tersebut lebih bersifat politis karena Belanda tak ingin kehilangan pulau Papua dari Indonesia pada zaman itu.

Pada tahun 1940-an oleh Residen JP Van Eechoud pernah membentuk sekolah Bestuur. Disana ia menganjurkan dan memerintahkan Admoprasojo selaku Direktur Sekolah Bestuur tersebut untuk membentuk dewan suku-suku. Didalam kegiatan dewan ini salah satunya adalah mengkaji sejarah dan budaya Papua, termasuk mengganti nama pulau Papua dengan sebuah nama yang mencerminkan budaya Papua, dan nama tersebut harus digali dari bumi Papua.

Tindak lanjutnya, berlangsung pertemuan di Tobati, Jayapura. Di dalam turut dibicarakan ide penggantian nama tersebut, juga dibentuk dalam sebuah panitia yang nantinya akan bertugas untuk menelusuri sebuah nama yang berasal dari daerah Papua dan dapat diterima oleh seluruh suku yang ada.

Frans Kaisepo selaku ketua Panitia kemudian mengambil sebuah nama dari sebuah mitos Manseren Koreri, sebuah legenda yang termahsyur dan dikenal luas oleh masyarakat luas Biak, yaitu Irian.

Dalam bahasa Biak Numfor “Iri” artinya tanah, "an" artinya panas. Dengan demikian nama Irian artinya tanah panas. Pada perkembangan selanjutnya, setelah diselidiki ternyata terdapat beberapa pengertian yang sama di tempat seperti Serui dan Merauke. Dalam bahasa Serui, "Iri" artinya tanah, "an" artinya bangsa, jadi Irian artinya Tanah bangsa, sementara dalam bahasa Merauke, "Iri" artinya ditempatkan atau diangkat tinggi, "an" artinya bangsa, jadi Irian adalah bangsa yang diangkat tinggi.

Secara resmi, pada tanggal 16 Juli 1946, Frans Kaisepo yang mewakili Nieuw Guinea dalam konferensi di Malino-Ujung Pandang, melalui pidatonya yang berpengaruh terhadap penyiaran radio nasional, mengganti nama Papua dan Nieuw Guinea dengan nama Irian.

Nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo pernah mengatakan “Perubahan nama Papua menjadi Irian, kecuali mempunyai arti historis, juga mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal. 107-108).

Selanjutnya, Pada 1 Desember 1961, Komite Nasional Papua, disebut Nieuw Guinea Raad oleh Belanda, sebuah lembaga yang disponsori kerajaan Belanda, menyatakan masyarakat Papua siap mendirikan sebuah negara berdaulat, dan mengibarkan bendera nasional baru yang dinamakan Bintang Kejora. Mereka menetapkan nama Papua sebagai Papua Barat.

Sedangkan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebuah badan khusus yang dibentuk PBB untuk menyiapkan act free choice di Papua pada tahun 1969 menggunakan dua nama untuk Papua, West New Guinea/West Irian.

Beritkunya, nama Irian diganti menjadi Irian Barat secara resmi sejak 1 Mei 1963 saat wilayah ini "dianeksasi" dari Kerajaan Belanda ke dalam pangkuan Negara republik Indonesia. Di tahun 1967, kontrak kerja sama PT Freeport Mc Morran dengan pemerintah Indonesia dilangsungkan. Dalam kontrak ini Freeport gunakan nama Irian Barat, padahal secara resmi Papua belum resmi jadi bagian Indonesia.

Setelah Papua menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui PEPERA 1969 yang dianggap penuh rekayasa oleh sebagian besar rakyat Papua, perjuangan untuk tetap memisahkan diri dari Negara Indonesia untuk menjadi Negara merdeka dan berdaulat terus suarakan.

Pada tanggal 1 Juli 1971, Seth Jafet Rumkorem, pimpinan Pemerintah Revolusioner sementara Republik West Papua di Markas Victoria menggunakan nama West Papua untuk Papua. Kehadiran organisasi ini tak begitu lama karena berhasil di tumpas oleh pemerintah Indonesia melalui beberapa operasi militer.

Dan kemudian pada tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan Nomor 5 tahun 1973 nama Irian barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya. Penggantian nama tersebut dilakukan bersamaan dengan peresmian eksplorasi PT Freeport Indonesia yang pusat eksploitasinya dinamakan Tembagapura.

Memasuki era reformasi sebagian masyarakat menuntut penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua. Presiden Abdurrahman Wahid memenuhi permintaan sebagian masyarakat tersebut. Dalam acara kunjungan resmi kenegaraan Presiden, sekaligus menyambut pergantian tahun baru 1999 ke 2000, pagi hari tanggal 1 Januari 2000, beliau memaklumkaan bahwa nama Irian Jaya saat itu dirubah namanya menjadi Papua.

Kembalinya nama Papua sejak diberikan oleh Kerajaan Tidore di tahun 1800-an memberikan arti tersendiri, bahwa pulau ini dihuni oleh penduduk yang berambut keriting, kulit hitam, punya Ras Melanesia. Ia tak sama dengan ras Melayu –ras masyarakat Indonesia pada umumnya.

*Penulis kordinator Honai Study Club (HSC), tinggal di Jakarta
.

Baca Selengkapnya......

Saturday, July 23, 2011

Peluncuran Pusat Kajian Papua di UKI

PADA hari Senin, 11 April 2011, bertempat di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Cawang, Ruang Seminar Lantai III, Gedung B telah diluncurkan Pusat Kajian Papua (PKP).
Acara dibuka secara resmi oleh Rektor UKI yang diwakili oleh pembantu rektor bidang akademik, Prof Wesley BP Simanjuntak, ME.

Dalam sambutannya ia mengapresiasi niat baik didirikannya Pusat Kajian Papua di kampus UKI. Menurutnya pusat kajian Papua yang dibentuk harus menjadi “corong” dalam menyuarakan setiap aspirasi masyarakat Papua.

“Lembaga ini harus bekerja secara mandiri, agar tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai cita-cita Negara ini dapat tercapai. Saya mewakili kampus menyambut baik pelucuran pusat kajian Papua tersebut,’ Ucap Simanjuntak.

Sementara itu, Ir. SM Doloksaribu, M.Ing, ketua Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat dan Pengembangan Bisnis UKI, serta ketua panitia acara dalam sambutan menyatakan bahwa tujuan didirikan pusat kajian Papua agar dapat mengakaji setiap permasalahan yang terjadi di tanah Papua, dan dapat memberikan alternative-alternatif dan solusi melalui kajian ilmiah.

“Pusat kajian Papua untuk sementara akan meliput dua bidang utama, yakni kajian sosial budaya, dan kajian pemerintahan,” Kata Doloksaribu.

Bidang Sosial-Budaya yang dimaksud meliputi Kebudayaan, Gender, SDM, Agama, dan Masyarakat. Bidang pemerintahaan dan politik meliputi; Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dewan Adat, Demokrasi, Politik, Otsus Papua, serta Perdamaiaan dan Lingungan Hidup.

Hadir sebagai pembicara, Dr. Rizal Ramli (Ekonomi Senior Indonesia), Dr. Vience Tebay, M.Si (Dosen Fisipol Universitas Cenderawasih Papua), Daniel Alexander (Pimpinan Yayasan PESAT Nabire), dan Natalis Pigay, S.Sos, M.Sc (Tokoh intelektual Papua), serta bertindak sebagai moderator, Angel Damayanti, S.Sos, M.Si (Dosen Fisipol Unverisitas Kristen Indonesia).

Dalam pemaparannya, Dr. Rizal Ramli mengatakan pendekatan militeristik seperti di masa Orde Baru masih ditemukan di Papua. Berbeda dengan praktik militeristik di zaman Orba, di era reformasi ini yang menjadi pemain utama adalah polisi. Pendekatan militeristik inilah yang menjadi penyebab timbulnya keinginan sebagian orang Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia.

“Saya sangat prihatin, cara-cara kekerasan masih digunakan aparat militer untuk menyelesaikan setiap permasalahan di tanah Papua” ungkapnya.

Ia juga mengkritisi tindakan pejabat Papua yang kerap kali melakukan tindakan korupsi, juga penggunaan dana Otsus yang begitu boros oleh birokrasi pemerintah. “Penggunanan dana Otsus yang dipakai oleh pejabat birokrasi sebesar 70%, sedangkan sisanya turun sampai pada warga masyarakat. Seharusnya rasio ini dibalik, 70% untuk warga masyarakat, sedangkan 30% untuk birokasi,” katanya menjelaskan. .

Papua merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam. Kenapa rakyatnya masih berada digaris kemiskinan. “Jika kekayaan SDA itu di kelolah dengan baik, tentu akan memberikan manfaat yang besar bagi rakyat Papua,” jelasnya.

Sementara itu pemateri berikut, Dr. Vience Tebay, M.Si dalam materinya tentang “Pelayanan Publik dengan Paradigma Baru” mengukapkan bahwa pelayanan publik, terutama yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat Papua masih sangat jauh dari harapan.

“Pemerintah tak pernah menjalankan fungsi mereka dalam pelayanan publik secara sepenuhnya terhadap masyakarat Papua. Ini yang menjadi kendala hingga masyarakat Papua tak berkembang,” kata Vience.

Ia juga menambahkan, pembangunan Papua terasa berat karena ada tumpang tindih peraturan yang dibuat pemerintah pusat, termasuk setiap instruksi presiden maupun keputusan presiden. Seharusnya pemerintah memerhatikan kebutuhan masyarakat Papua sebelum membuat sebuah peraturan atau kebijakan.

Vience juga menyoroti pentingnya dibuat sebagai lembaga yang menjadi pusat, atau database bagi setiap permasalahan di tanah Papua. Tolak ukur untuk liat pencapaian dan keberhasilan masyarakat Papua adalah melalui database yang ada. Jika ada database, maka masyarakat maupun pemerintah dapat bercermin sebagai acuan pembangunan di tanah Papua.

Sementara Natalis Pigay, S.Sos, M.Sc yang juga tokoh intelektual Papua memaparkan kondisi rill Papua, serta apa yang perlu dilakukan oleh akademis maupun pusat kajian Papua yang telah dibentuk. Dari beberapa kondisi rill yang terjadi di tanah Papua, Pigay menyoroti pendapatan asli daerah yang terkecil di tengah kelimpahan sumber daya alam.

Ia juga mengkritisi PT Freeport Indonesia yang belum menjalankan amanat UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, misalnya belum membayar pajak pertambangan umum kepada pronvinsi Papua sebesar 80% yang seharusnya dilakukan perusahan multi-nasional ini.

“Sampai saat ini PT FI hanya mampu bayar pajak bagi hasil sumber daya alam sebesar 18% atau sekitar 500 milyar, dari yang seharusnya 80% atau sekitar 6 trilyun sesuai amanat UU Otsus, “tegas Pigay.

Pigay juga menyoroti epidemi korupsi yang menggurita. Seharusnya dana Otonomi Khusus yang diperuntukan bagi Papua digunakan untuk pembangunan tanah Papua dan manusianya, bukan dipakai para pejabat untuk memperkaya diri mereka sendiri.

“Para pejabat di Papua harus diawasi, agar korupsi tak menjalar hingga kemana-mana. Ini yang buat sehingga pembangunan di Papua tak pernah maju dan baik,” tegasnya.

Pembicara terakhir, Daniel Alexander dalam materinya tentang Strategi Pembangunan Pendidikan di Pedalaman Papua menyatakan membangun Papua harus dimulai dari pendidikan. Dan membangun masyarakat Papua juga harus dengan hati.

“Masyarakat Papua butuh sentuhan kasih sayang. Setiap tenaga pendidik yang ada harus mengajar dan mendidik anak-anak Papua dengan kasih sayang,” jelasnya.

Hal ini telah dibuktikan beliau, bagaimana pendidikan pola asrama telah dibuka sejak tahun 1997 di pedalaman Papua, yang berpusat di Kabupaten Nabire. Disana puluhan hingga ratusan anak-anak Papua didik dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, dan kemudian dikirim untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar Papua.

“Saya bias bertahan dan membangun pendidikan di Papua belasan tahun karena kedepankan kasih sayang dalam membangun pendidikan dan masyarakat Papua,” katanya.

Tampak hadir dan juga memberikan sambutan, Ibu Annie Numberi (Tokoh wanita Papua), Jhon Gluba Gebze (Tokoh masyarakat Papua). Secara pribadi Ibu Annie maupun Jhon Gluba Gebze sebagai tokoh masyarakat Papua bangga dengan niat baik dari kampus UKI untuk membuka pusat kajian Papua.

Acara ditutup pukul 14.00 Wib, setelah sebelumnya dilakukan sesi tanya jawab. Pihak penyelenggara juga mendapat beberapa rekomendasi dari peserta seminar dari diskusi yang berkembang. (*)

Baca Selengkapnya......