Friday, August 26, 2011

Menjelaskan Hasil KTT ILWP; Rakyat Papua Barat Harus Tetap Berjuang

Demo Referendum Rakyat PB @Google
Oleh Oktovianus Pogau

PADA Sabtu 20 Agustus, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) telah resmi mengumumkan hasil Konfrensi Tingkat Tingggi (KTT) International Lawyers for West Papua (ILWP) yang telah berlangsung di Universitas Oxford, Inggris, pada 02 Agustus lalu. Dalam seminar internasional itu, sekitar 250 undangan hadir dan ikut berikan dukungan. Mereka antara lain; pengacara-pengacara internasional, anggota International Parliamentarian for West Papua (IPWP), aktivis hak asasi manusia, wartawan, warga Papua Barat (baca: Papua dan Papua Barat) diluar negeri, dan (menurut keterangan Benny Wenda) Walikota Oxford ikut hadir dan membuka acara tersebut (Bintang Papua, 22 Agustus 2011).

Sebelumnya, menjelang akan diumumkannya hasil KTT ILWP, Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjend Erfi Triassunu dalam koran bintang Papua 20 Agustus menyatakan (1) hasil KTT ILWP di Oxford, Inggris tidak jelas, (2) hasil KTT ILWP yang tak kunjung diumumkan membuat tensi konflik di Papua Barat semakin meningkat (3) mengajak masyarakat Papua Barat untuk tidak terpengaruh pada hasil KTT tersebut. Saya kira komentar yang cukup menarik untuk dikritisi (baca: dibantah). Pertanyaannya, hasil apa yang menurut Pangdam tidak jelas? Apa hubungan KNPB dengan konflik di Papua Barat? Atau apakah Pangdam punya bukti keterlibatan KNPB dalam berbagai konflik di Papua Barat? Atau TNI punya kepentingan lain dibalik konflik-konflik di Papua Barat? Saya curiga konflik-konflik tersebut dipelihara, dan justru didalangi oleh militer.

Tulisan ini saya buat untuk menjawab komentar Pangdam yang penuh propoganda. Saya bisa katakan komentar tersebut menyesatkan, dan juga membuat rakyat Papua Barat semakin bingung. Selain itu, tulisan ini bermaksud menjelaskan hasil KTT secara rinci kepada rakyat Papua Barat, bahwa perjuangan kita masih belum selesai, dan kita harus terus berjuang sampai cita-cita luhur kita tercapai.

Sebelum detik-detik akan dibacakan hasil KTT ILWP, Pemimpin Kemerdekaan Bangsa Papua Barat di Inggris, Benny Wenda telah menjelaskan via phone kepada rakyat Papua Barat yang memadati lapangan Taman Makam pemimpin besar bangsa Papua Barat, Theys Hiyo Elluay, bahwa hasil KTT ILWP akan diumukan resmi melalui sebuah panggung politik, dan dihadiri rakyat Papua Barat. Artinya, setelah KTT ILWP, belum pernah ada yang mengumumkan hasil tersebut, termasuk kepada wartawan sekalipun. Saya mengajak kita untuk mengamati secara cermat Hasil KTTP ILWP tersebut, dan saya akan berusaha menjelaskan setiap bagian secara rinci.

Point pertama; kami telah mendengar sekarang atas situasi yang paling buruk dan serius di Papua Barat. Sejak 19 Desember 1961 –18 hari setelah deklarasi kemerdekaan Papua Barat dengan lagu hai tanahku Papua, burung mambruk sebagai lambang Negara, bintang kejora sebagai bendera Negara, Sorong sampai Samarai sebagai wilayah Negara Papua Barat, dan juga dibentuk pemerintahan oleh 70 orang terdidik Papua Barat yang disebut Komite Nasional Papua (KNP)–Indonesia telah masuk secara ilegal dengan tujuaan menggagalkan berdirinya Negara Papua Barat dan membunuh semua warga sipil di Papua Barat yang dianggap pro terhadap kemerdekaan, juga terhadap Belanda (Don Flassy, 2003).

Sudah banyak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Indonesia terhadap warga sipil sejak mereka menginjakan kaki di Bumi Cendrawasih. Wajah Indonesia dimata rakyat adalah pembunuh nyawa jutaan warga sipil tak berdosa. Kalau mau dihitung, sampai saat ini sudah hampir puluhan kali operasi militer diberlangsungkan –termasuk semenjak setelah reformasi, dan bahkan era Otonomi Khusus sekalipun– dengan sasaran warga sipil yang “dicurigai” sebagai anggota atau simpatisan Organisasi Papua Mereka (OPM) (Imparsial, 2011). Lembaga hak asasi manusia tingkat internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch (HRW) dan Tapol sering melansir kejahatan-kejahatan tersebut, dan meminta pertanggung jawaban pemerintah Indonesia.

Ada yang menyebut jumlah korban berkisar 1 juta, ada lagi yang menyebutkan 2 juta, bahkan ada juga yang menyatakan hanya berkisar 100.000 orang saja (Yakobus Dumupa, 2008). Terlepas dari berapa jumlahnya, tapi yang perlu kita tahu adalah militer Indonesia telah, dan memang pernah bahkan sedang melakukan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat. Situasi memprihatinkan diatas, juga kejahatan kemanusia seperti inilah yang telah didengar oleh dunia internasional, terutama pasca konfrensi di Oxford, Inggris lalu. Artinya, masyarakat Internasional tentu akan memberikan dukungan setelah mendengar penderitaan dan situasi paling buruk yang terjadi di Papua Barat sejak Indonesia masuk secara ilegal. Indonesia tidak bisa menutupi kebobrokan mereka di mata masyarakat Internasional, terutama terkait kejahatan kemanusiaan.

Point Kedua; akar masalah Papua Barat terletak pada hak penentuan nasib sendiri (PEPERA 1969). Setelah Indonesia masuk secara illegal, dan membunuh jutaan warga sipil yang dianggap pro kemerdekaan, juga berhasil “mengusir” Belanda, Amerika Serikat melalui duta besar mereka di PBB, Elswort Bunker mengajukan satu proposal penyelesaian masalah Papua Barat (Jhon Saltford, 2006). Ini yang diterjemahkan dalam sebuah perjanjian yang disebut dengan “New York Agreement 1962”. Di dalamnya disepakati bahwa seluruh rakyat Papua Barat akan menentukan nasib mereka sendiri, apakah ingin ikut dengan Indonesia, atau merdeka sebagai sebuah bangsa.

Lagi-lagi Indonesia melalui kekuatan aparat militer melakukan pengkondisian wilayah Papua Barat, juga melakukan teror, intimidasi, dan bahkan membunuh siapapun warga Papua Barat yang inginkan kemerdekaan. Ada beberapa point yang dilanggar Indonesia, dan inipula yang menjadi akar konflik di Papua Barat. Pertama, aturan one man, one vote tidak dilaksanakan. Indonesia dengan segala “kelicikan” hanya memilih 1025 orang dari 800.000 jumlah penduduk Papua Barat, juga non-Papua untuk ikut dalam PEPERA (P.J Drooglever, 2005). Dan mereka dikarantina selama dua bulan. Mereka diancam dibunuh, termasuk keluarga mereka jika tak memilih ikut dengan Indonesia. Kedua; pada saat Indonesia mempersiapkan PEPERA, diplomat asing, wartawan, bahkan utusan khusus PBB dilarang masuk, dan bahkan kunjungan mereka dipersulit. Indonesia tentu tidak mau kedok mereka diketahui masyarakat Internasional. Ketiga; dalam PEPERA tersebut Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat. Hasilnya memang Indonesia menang telak. Fokus persoalan ini juga yang menjadi sorotan saat konfrensi di Inggris. Dan saat ini masyarakat internasional telah tahu bahwa PEPERA adalah rekayasa, juga manipulasi pemerintah Indonesia untuk merebut tanah Papua Barat secara paksa.

Point Ketiga; oleh karena itu kami kembali mendeklarasikan pengacara internasional Papua Barat secara khusus bahwa orang Papua Barat memiliki hak mendasar untuk menentukan nasib sendiri dibawah hukum internasional dan bahwa hak ini masih ada dan belum dilakukan. Pengacara-pengacara internasional untuk Papua Barat yang tergabung dalam ILWP diketuai Melinda Janki, dengan salah satu anggota Jennifer Robinson –pengacara utama Julian Assanges, pendiri situs Wikileaks– adalah untuk menggugat Negara Indonesia secara hukum terkait masalah PEPERA 1969 yang memang penuh rekayasa dan manipulasi.

Konfrensi yang berlangsung pada 02 Agustus lalu juga telah memperlihatkan semangat, juga tekad mereka dalam membantu penyelesaian masalah Papua Barat secara hukum ditingkat mahkamah internasional. ILWP tidak akan menggugat Indonesia di PBB, tetapi Negara Vanuatu yang akan menjadi semacam kendaraan untuk ILWP bernaung, dan menggugat pemerintah Indonesia. Dalam aturan, memang sebuah lembaga atau organisasi tak bisa menggugat Negara. Komentar beberapa pengamat hukum internasional di Indonesia yang menyatakan ILWP atau OPM tak bisa gugat Indonesia di mahkamah internasional memang benar, tetapi sekali lagi saya ingin jelaskan, Negara Vanuatu yang akan mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke Mahkamah Internasional.

Yang menjadi cita-cita dan tujuan utama perjuangan rakyat Papua Barat adalah menyatakan kepada dunia internasional, termasuk Indonesia bahwa rakyat Papua Barat memunyai hak untuk menentukan nasib sendiri seperti yang tertera dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, juga Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang berbunyi “Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, social, dan budaya mereka”. Indonesia adalah salah satu anggota PBB, dan harus mematuhi ketetapan yang dibuat oleh PBB. Dalam konfrensi di Oxford, Inggris, hak rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri tentu menjadi bahan pembicaraan yang cukup serius.

Point keempat; kami menyerukan kepada semua Negara untuk bertindak pada tingkatan yang lebih tinggi dan mendesak kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menuntut agar orang-orang Papua Barat diberikan kesempatan yang benar untuk menentukan nasib sendiri. Setelah konfrensi di Oxford, Inggris, pada 02 Agustus lalu, tentu perhatian dunia internasional terhadap Papua Barat akan berbeda. Papua Barat akan dianggap sebagai wilayah koloni (jajahan) Negara Indonesia yang tentu harus diberikan dukungan agar dapat melepaskan diri. Jika Indonesia beranggapan Papua Barat bukan daerah koloni, kenapa sampai saat ini tidak ada kemajuan yang signifikan di tanah Papua Barat? Kenapa hak-hak hidup orang asli Papua tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh? Kenapa masih banyak operasi militer yang dilakukan untuk membunuh setiap warga sipil di Papua Barat. Saya kira pertanyaan-pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab pemerintah Indonesia.

Melihat keempat point KTT ILWP diatas, tentu telah sedikit memberikan harapan kepada rakyat Papua Barat, bahwa perjuangan kita selama ini tidak sia-sia. Bukan berarti, setelah KTT ILWP, masalah Papua Barat akan terselesaikan dengan secepatnya. Rakyat Papua Barat bersama media nasional saat ini (baca: KNPB) perlu bekerja lebih keras, juga meyakinkan dunia internasional tentang penderitaan rakyat Papua Barat. Dan terus menyatakan kepada pemerintah Indonesia, bahwa Papua Barat bukan bagian dari NKRI. Dengan catatan singkat ini saya berharap Pangdam XVII/Cenderawasih bisa mendapatkan gambaran pasti, bahwa hasil KTT ILWP telah memberikan hasil yang pasti bagi kemajuan perjuangan rakyat Papua Barat.

Pemerintah Indonesia harus mengakui, bahwa sudah tidak mampu, tidak bisa, dan bahkan telah gagal total membangun Papua Barat. Kenapa harus gagal, karena pemerintah Indonesia membangun Papua Barat lebih menggunakan pendekatan keamanan (baca: moncong senjata) dari pada membangun SDM. Mengutip pernyataan Ali Murtopo, orang kepercayaan Suharto saat Papua Barat akan dipaksa berintegrasi “Jika orang Papua Barat mau merdeka, pergi saja ke bulan dan buat Negara disana. Atau mengemis ke Amerika Serikat agar orang Papua Barat dipindahkan ke pulau Hawai. Kami (Indonesia) hanya butuh tanah dan sumber daya alam kalian. Kami sama sekali tidak butuh manusianya” (Socrates Sofyan Yoman, 2007). Pernyataan Ali Murtopo ini memperlihatkan betapa kejam dan jahatanya pemerintah Indonesia terhadap warga Papua Barat, pemilik negeri cendrawasih yang telah dikaruniakan Tuhan. Untuk rakyat Papua Barat, kita harus tetap dan terus berjuang. Kita harus mengakhiri!!!

Tulisan ini telah dimuat di Koran Harian Bintang Papua, 26 Agustus 2011

Baca Selengkapnya......

Monday, August 22, 2011

66 Tahun Indonesia Merdeka, Bagaimana Dengan Papua?

Oleh : Oktovianus Pogau*

PADA 17 Agustus 2011 lalu, hampir sebagian besar rakyat Indonesia merayakaan kemerdekaan negara mereka. Kalau mau jujur, sebenarnya Indonesia belum bisa disebut negara merdeka. Masih banyak rakyat lain yang merasa ‘dijajah’, terutama rakyat Papua. Saya menulis ini sebagai kado ulang tahun untuk negara penjajah –Negara Indonesia.

Arti kemerdekaan yang sesungguhnya ialah semua warga negara merasa diperlakukan secara adil, benar serta hak-hak hidup mereka diperhatikan secara sungguh-sungguh. Tapi yang memprihatinkan, sampai saat ini negara sengaja tidak berlaku adil dan benar terhadap seluruh rakyat, terutama bagi rakyat Papua. Negara perlakukan mereka sebagai kelas nomor dua. Kelas yang hak-haknya tak patut dihargai.

Hampir tiga setengah abad lamanya Negara Indonesia dijajah. Ia dijajah oleh beberapa negara besar yang ada di Eropa –Inggris, Portugis, Spayol, Jepang dan Belanda yang paling lama. Pemerintah Inggris mulai menguasai Indonesia sejak tahun 1811 pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles (TSR) sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia. Ketika TSR berkuasa sejak 17 September 1811, ia telah menempuh beberapa langkah yang dipertimbangkan, baik dibidang ekonomi, sosial, dan budaya (Jan Aritonang, 2004)

Penyerahan kembali wilayah Indonesia yang dikuasai Inggris dilaksanakan pada tahun 1816 dalam suatu penandatanganan perjanjian. Pemerintah Inggris diwakili oleh John Fendall, sedangkan pihak dari Belanda diwakili oleh Van Der Cappelen. Sejak tahun 1816, berakhirlah kekuasaan Inggris di Indonesia. Kembali belandai menjajah Indonesia. Mereka paling lama, tahun 1602 sampai tahun 1942. Kemudian Jepang. Masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Yang namanya penjajah jelas akan tidak berlaku adil pada yang dijajah. Hal itu juga yang dirasakan oleh rakyat Indonesia pada masa penjajahaan. Mereka sering diperlakukan tidak adil, wanitanya diperkosa, bahkan banyak dari antara mereka yang dibunuh. Dibanding beberapa negara besar di Asia, Indonesia adalah salah satu negara yang dijajah paling lama. Coba bayangkan, dijajah hampir tiga setegah abad lamanya.

Indonesia meraih kemerdekaan berkat pertolongan negara adidaya, yakni; Amerika Serikat. Setelah sebelas hari Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan delapana hari di Nagasaki, kemerdekaan negara Indonesia akhirnya terwujud.
Artinya, Indonesia tidak berjuang secara susah payah untuk mendapatkan kemerdekaan, tetapi kemerdekaan negara Indonesia adalah kado berharga dan tak ternilai harganya yang diberikan secara tidak langsung oleh negara Amerika Serikat.

Senjata nuklir "Little Boy" dijatuhkan di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, diikuti dengan pada tanggal 9 Agustus 1945, dijatuhkan bom nuklir "Fat Man" diatas Nagasaki. Kedua tanggal tersebut adalah satu-satunya serangan nuklir yang pernah terjadi di dunia. John Hersey dalam laporan tentang Hiroshima memparkan tentang semua peristiwa kelam itu.

Saat itu mata dunia tertuju kepada tragedi bersejarah di Jepang. Amerika Serikat diklaim sebagai negara yang jahat dan biadab. Mereka memusnahkan semua yang ada di Hirosima. Mata negara penjajah di dunia juga sedang tertuju kepada Hiroshima. Bahkan beberapa negara yang sedang menjajah justru melepaskan daerah jajahaan mereka untuk merdeka. Indonesia adalah salah satu contoh negara jajahaan Jepang yang mendapatkan kemerdekaan.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 negara Indonesia memproklamirkan kemerdekaan mereka dari Jepang. Sebelumnya Jepan telah menandatangi surat menyerah. Dunia internasional mengakui kemerdekaan itu. Seantoro rakyat Indonesia, kecuali Papua juga turut bangga dengan kemerdekaan itu. Babak perjuangan untuk meraih kemerdekaan telah dilewati, sekarang bagaimana mengisi kemerdekaan itu. Pergumulan paling berat adalah mengisi sebuah kemerdekaan yang telah diperoleh Negara Indonesia.

Soekarno sebagai sang proklamtor menjadi presiden. Hatta menjadi wakil. Mereka memimpin dengan cukup bijak. Walau beberapa isu penting tentang kedekataan Soekarno dengan agen intelejen Amerika sering nampak. Banyak peristiwa penting yang dilewati. Selama 20 Tahun Soekarno memimpin.

Tahun 1966 kekuasaan Soekarno tumbang. Surat perintah sebelas maret digunakan oleh Soeharto untuk memimpin Indonesia. Partai Komunis saat itu dituduh sebagai separatis yang akan mengganggu keamanan negara. Mayor Jenderal Soeharto menjadi otak untuk penumpasaan itu. Keberhasilaannya membawanya menjadi orang nomor satu. Selama 32 Tahun memimpin dengan Otoriter akhirnya Soeharto tumbang. Mahasiswa bersama rakyat Indonesia mengakhiri kediktatoran Soeharto. Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.

Habibi memimpin hanya dua bulan tujuh hari . Setelah itu pemilu ulang di lakukan, Abdurhaman Wahid terpilih. Gus Dur tak bertahan lama. MPR mendesak Gus Dur untuk mundur. Megawati mengantikannya. Pemilu berikutnya juga di langsungkan, SBY akhirnya terpilh, hingga yang berikut lagi tetap terpilih. Hampir enam orang yang telah memimpin negeri ini. lima di antaranya pria, dan seorang wanita. Tidak semua memperhatikan persoalan yang terjadi di Papua dengan cermat dan bijak, hanya Gus Dur seorang diri yang dianggap sedikit peka dan peduli terhad persoalan di Papua.

Penjajahan di Papua

Saat negara Indonesia diproklamirkan, Papua tidak turut didalamnya. Sabang (Ache) sampai Amboina (Ambon) saat itu menjadi wilayah negara Indonesia. Sumpah palapa, sumpah pemuda dan beberapa sumpah pemuda Indonesia yang lain tidak pernah ada keterwakilan Papua. Ini menandakan bahwa Papua bukanlah bagian dari negara Indonesia.

Pada 1 Mei 1961 oleh intelektual Papua yang tergabung dalam Nieuw Guinea Raad pernah mendeklarasikan kemerdekaan Papua. Saat itu lagu “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan, lambang burung mambruk diperlihatkan, juga bendera bintang kejora dikibarkan dan membentuk pemerintahan sendiri. Tri komando rakyat, salah satunya berbunyi bubarkan negara boneka buataan Belanda, Indonesia juga pernah mayakini bahwa Papua adalah sebuah Negara (P.J Drooglever, 2005).

Tahun 1969 atas usulan Elswot Bungker, akhirnya penentuaan pendapat rakyat diberlangsungkan. Saat itu usulannya satu orang Papua memberikan satu suaranya, bukan beberapa orang Papua mewakili seluruh rakyat Papua, tetapi pemerintah Indonesia berlaku tidak adil, mereka menunjuk 1025 orang Papua untuk memberikan suara mereka mewakili 800.000 orang Papua (Jhon Saltford, 2006).

UNTEA, badan khusus PBB yang ditugaskan untuk memantau perkembangan di Papua juga tak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah Indonesia menekan semua gerak-gerik mereka. Ruang demokrasi ditutup rapat. Mereka tidak menghargai hak setiap orang untuk berpendapat, termasuk utusan PBB sendiri. Hasil pepera akhirnya memutuskan bahwa rakyat Papua ikut dengan negara Indonesia. Mereka yang memberikan suaranya mewakili rakyat Papua adalah orang-orang pilihan pemerintah Indonesia. Mereka diancam akan dibunuh jika memilih ikut Papua. Mereka memilih dibawah tekanan.

Setelah Papua integrasi ke dalam negara Indonesia secara sepihak banyak problem yang terjadi. Misalnya, militer mencurigai masih banyak orang Papua menghendaki kemerdekaannya sendiri. Mereka dikejar, diinterogasi bahkan banyak dari antara mereka yang dibunuh. Pelanggaran HAM oleh aparat militer sering terjadi di Papua. Semua berlangsung atas nama kepentingan negara. Orang Papua dianggap tidak penting untuk hidup. Pemerintah lebih mementingkan kekayaan alam orang Papua dari pada manusianya. PT Freeport Indonesia menjadi lahan yang paling menguntungkan bagi pemerintah Indonesia.

Pertumbuhaan penduduk Papua tak nampak. Program keluarga berencana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, hal itu hanyalah akal-akalan untuk menekan penduduk asli Papua. Transmigrasi terus diberlangsungkan di Papua. Orang Papua sungguh tidak berdaya. Orang Papua memang betul-betul di buat tidak berdaya. UU Otsus hanyalah bentuk penjajahaan baru. Pemerintah Indonesia menaruh kecurigaan yang besar terhadap rakyat Papua, dampaknya Otsus tidak diimplementasikan secara baik dan konsekuen.

Uang Otsus hanya di nikmati oleh pejabat Papua dan pemerintah Jakarta.
Peraturan daerah khusus yang di buat oleh pemerintah daerah untuk menjaga hak-hak adat masyarakat lokal juga selalu dicurigai. Pemerintah selalu beralasan untuk tidak menyetujui Perdasi maupun Perdasus seperti itu. Rakyat Papua dianggap manusia yang tidak berguna dan tidak perlu dididik.

Rakyat kecil yang seharusnya menikmati dana Otsus tetap terpinggirkan. Betul-betul dibuat tidak berdaya. Pemekaraan malah menimbulkan penyakit baru. Banyak uang Otsus dialokasikan untuk membuka daerah pemekaran. akhirnya lebih banyak uang Otsus dinikmati oleh birokrasi pemerintah dan aparat negara. Rakyat Papua masih tetap di jajah. Dijajah oleh sistem yang tidak memihak. Sepertinya keadilaan tidak pernah ada untuk rakyat Papua. Penjajahaan itu membuat orang Papua sebagai kaum lemah yang sungguh tak berdaya.

Maka pantaslah jika rakyat Papua menuntut hak mereka untuk memisahkan diri, arti lain menuntut merdeka. Semua rakyat Papua, termasuk pejabat-pejabat birkorasi pemerintah sudah muak dengan pemerintah pusat yang tidak pernah menghargai rakyat Papua sebagai manusia beradab. Pemerintah Indonesia merdeka, berarti rakyat Papua juga harus merdeka. Semua orang, termasuk rakyat Papua juga berhak menentukan nasib sendiri. Tidak ada seseorang-pun yang bisa menghalangi hak setiap orang. Negara di dunia manapun mengakui hak-hak itu.

Pemerintah Indonesia perlu membuka diri dan merefleksikan kembali kegagalan mereka dalam membangun Papua. Menyadari bahwa tidak siap memimpin sebuah daerah yang di sebut Papua. Ini juga sudah menunjukan kedwasaan mereka sebagai negara demokrasi. Dunia sedang menanti sikap pemerintah Indonesia.

Kemarin lalu negara Indonesia senang karena telah merdeka. Tetapi bagaimana dengan rakyat Papua yang saat ini sedang dijajah, dan merasa benar-benar belum merdeka. Semoga pemerintah Indonesia sadar akan ketidakmampuaan itu. Hanya satu kebutuhan rakyat Papua saat ini; bebas dari penjajahan Indonesia. Selamat ulang tahun. Selamat bersenang-senang untuk rakyat Indonesia. Untuk rakyat Papua, terus berjuang, sampai harapan dan cita-cita kita tercapai. Kita harus mengakhiri!!!

*Penulis adalah Sekjend Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia, tinggal di Jakarta.



Tulisan ini telah dimuat di koran harian bintang papua, edisi 20 Agustus 2011

Baca Selengkapnya......

Wednesday, August 17, 2011

Menguji Kebenaran Komentar Menhan; Propoganda dan Tidak Benar

Oleh Oktovianus Pogau*

Menarik simak komentar Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yugiantoro dalam detik.com dan Cyber News pada 13 Agustus lalu menyangkut situasi di tanah Papua. Komentarnya, pertama; ada indikasi dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua (termasuk Papua Barat) telah digunakan untuk mendukung kegiataan separatis. Ia mengacu pada laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengatakan sejumlah dana mengendap dan tak terpakai (http://www.detiknews.com/ read/2011/08/13/181122/ 1703121/10/menhan-indikasikan- dana-otsus-papua- diselewengkan-untuk-makar). Kedua; perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memisahkan diri dari Indonesia hanya di dukung segelintir orang Papua, dan karena itu tak begitu berbahaya bagi keutuhan Negara Indonesia (http://suaramerdeka.com/v1/ index.php/read/news/2011/08/ 13/93559/Usulan-Referendum- OPM-Tak-Didukung-Mayoritas- Rakyat-Papua).

Komentar tersebut berkaitan dengan situasi Papua –terutama situasi politik– yang semakin masif disuarakan dari kampung-kampung hingga kota-kota, bahkan sampai di dunia Internasional. Pada 02 Agustus, di Oxford, Inggris berlangsung Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) dengan tema “Jalan Menuju Kemerdekaan Papua Barat”. Konfrensi ini di prakarsai oleh International Lawyers for West Papua (ILWP) yang diketuai Melinda Janki, pengacara Internasional dari Guyana, Amerika Serikat dan Benny Wenda pemimpin kemerdekaan Papua di Inggris. ILWP sendiri merupakan lembaga yang menghimpun 64 pengacara tingkat internasional dan akan menggungat sah dan tidaknya PEPERA 1969 di Makahmah Internasional secara hukum melalui Negara Vanuatu. Jennifer Robinson, pengacara Julian Assanges pendiri situs Wikileaks termasuk dalam anggota ILWP (http://www.ilwp.org/index. php?option=com_content&view= article&id=33:west-papua-the- road-to-freedom-2nd-august- 2011-oxford-uk&catid=5:news& Itemid=9).

Untuk mendukung KTT ILWP di Oxford, Inggris secara serentak masyarakat Papua yang dikordinir Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melakukan aksi demonstrasi damai. Dua isu utama yang disuarakan; mendukung KTT ILWP dan menuntut referendum di tanah Papua.

Di Jayapura dipusatkan di Lingkaran, Abepura. Hampir 5.000 massa ikut dalam kelompok ini. Di Wamena massa berkumpul sejak pagi hari di lapangan Sinapuk dengan jumlah kurang lebih 3.000. Di Manokwari berlangsung dari Kampus Universitas Negeri Papua (UNIPA) hingga Kantor Dewan Adat Papua (DAP). Di Sorong berlangsung di kantor DAP setempat. Di Yahukimo berlangsung di kantor DPRD setempat. Di Nabire dilangsungkan kegiatan doa di Taman Gizi. Di Timika dilaksanakan di lapangan Timika Indah. Dan Merauke sendiri dibatalkan karena sehari sebelumnya telah ada sweeping oleh aparat kepolisian –berujung pada penangkapan beberapa aktivis KNPB Wilayah Merauke.

KNPB Konsulat Indonesia di Jawa dan Bali melakukan aksi yang sama. Massa yang sebagian besar mahasiswa Papua mulai long march dari Bundaran Hotel Indonesia hingga Istana Negara. Dan sempat terjadi insiden penangkapan seorang aktivis pro demokrasi Indonesia atas nama Surya Anta dari Partai Pembebasan Rakyat (PPR) oleh aparat kepolisian setempat (http://maxlaneonline.com/ 2011/08/05/908/). Di Wilayah Indonesia tengah –Manado dan Makassar – juga dilangsungkan aksi doa bersama oleh mahasiswa Papua. Semua aksi massa dengan tujuan memberikan dukungan terhadap KTT ILWP, juga menuntut referendum di tanah Papua.

Sebalum Menhan berkomenter soal Papua pasca KTT ILWP, ada beberapa pejabat Negara yang telah lebih dulu berkomentar. Mulai dari politisi di Senayan –Priyo Budi Santoso, T.B Hasanuddin, Tantowi Yahya– para peneliti –Ikrar Nusa Bahkti, Dewi Fortunar Anwar dan Muridan Widjojo –juga aktivis hak asasi manusia –Haris Ashar, Poengky Indarty, Al Araf, Matius Murib, Olga Hamadi– dan bahkan beberapa petinggi Negara di tubuh militer seperti Hendropriyono (Mantan Kepala BIN), Budi Susilo (Gubernur Lemhanas), dan bahkan sampai Letjend (Purn) Bambang Darmono, juga organisasi mahasiswa di Indonesia, salah satunya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). GMNI melakukan aksi di Bandung, dan melakukan long march ke Kantor DPRD setempat untuk meminta pemerintah pusat serius terhadap Papua, tetapi menolak referendum di tanah Papua (http://tv.liputan6.com/main/ read/6/1061282/0/gmni-tolak- intervensi-asing-di-papua).

Kita kembali lagi pada komentar Menhan yang bisa saya katakan penuh provokasi, juga tak pantasi disampaikan diatas. Saya berusaha menganalisis dari sudut pandang orang Papua, juga aktivis yang selama ini pro pada kemerdekaan Papua.

Tidak benar, dan sangat rancuh jika dikatakan kegiataan separatis didanai oleh dana Otsus. Apa buktinya? Bagaimana separatis bisa dapat akses untuk menikmati dana Otsus? Sejauh mana kinerja intelijen dalam membuktikannya? Ataukah ini sebuah bahasa provokasi dari Menhan melihat ketuhan Negara Indonesia yang diambang kehancuran? Dan kalau mau dicermati, BPK juga tak menyatakan bahwa ada indikasi digunakan untuk separatis. Kita semua tahu persis, sejak Otsus diundang-undangkan pada tahun 2001, memang porsi dana untuk Papua semakin meningkat –kurang lebih 28 trilIun hingga tahun 2011 (http://www.detiknews.com/ read/2011/08/13/181122/ 1703121/10/menhan-indikasikan- dana-otsus-papua- diselewengkan-untuk-makar? 9922032). Pejabat-pejabat Papua bersama pemerintah pusat yang selama ini memegang kendali dana tersebut. Mulai dari perencanaan anggaran, mencairkan, hingga sampai menggunakannya, bahkan mereka sama-sama (mungkin) ikut menikmati

Kalau dikatakan kegiataan seperatis didanai oleh dana Otsus adalah hal yang sama sekali tidak benar, dan kontradiktif dengan fakta yang terjadi selama ini. Tentu ini menimbulkan banyak pertanyaan besar dikalangan rakyat Papua, terutama orang asli Papua sendiri. Panglima OPM di Puncak Jaya Goliat Tabuni tidak pernah tahu apa itu dana Otsus, bahkan berapa jumlah yang diberikan pemerintah pusat untuk rakyat Papua. Lambert Pekiki, Panglima OPM Wilayah perbatasan juga tak pernah tahu ada dana Otsus, apalagi menikmatinya, juga termasuk “meminta jatah” pada pemerintah pusat, juga pemerintah daerah. Apalagi Benny Wenda di Inggris, tidak mungkin “menikmati” dana Otsus, atau menggunakan dana Otsus dalam membiayai kampanye-kampanye dia selama di Inggris, termasuk membiayai KTT ILWP Oxford lalu.

Saya justru menduga, komentar Menhan sebenarnya ditujukan pada pejabat-pejabat di Papua –mulai dari Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, juga kepala-kepala dinas baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten, bahkan mungkin saja termasuk Wakil Rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Kita semua tahu, yang selama ini bersentuhan langsung dengan Otsus Papua adalah pejabat-pejabat diatas. Jika memang benar komentar Menhan merujuk pada pejabat-pejabat di Papua, pertanyaan kritis yang harus dijawab, apakah Menhan (baca;Jakarta) selama ini kategorikan pejabat-pejabat di Papua sebagai separatis? Bagaimana seorang separatis bisa mendukung penjajahan Indonesia atas orang Papua? Bagimana Menhan dapat membuktikan bahwa mereka memang, dan adalah separatis? Atau Menhan anggap mereka sebagai musuh negara selain OPM? Kalau begitu, bukankah mereka juga harus “ditumpas” seperti OPM?

Masih menyangkut komentar Menhan yang menyatakan hanya sebagian kecil orang Papua yang dukung kemerdekaan Papua. Ini agak rancuh juga jika dikaitkan dengan fakta rill di lapangan saat ini. Bayangkan saja, dalam sehari secara serentak di seluruh tanah Papua, Jawa dan Bali, bahkan sampai di Sulawesi diperkirakan 20.000 massa orang Papua menyampaikan sikap mendukung KTT ILWP yang tujuannya tidak lain mendukung kemerdekaan Papua, dan meminta referendum segera dilakukan di tanah Papua yang tentu berujung pada kemerdekaan (http://knpbsentanidotorg. wordpress.com/2011/08/03/knpb_ soronghundreds-of-papuans-in- sorong-supports-ktti-by-ilwp- in-london-uk/). Apakah fakta ini tak bisa membenarkan, bahwa hampir sebagian besar rakyat Papua di tanah Papua, dan juga yang sedang berada di luar Papua menginginkan kemerdekaan dari Negara Indonesia? Ataukah, komentar Menhan dikarenakan laporan intelijen yang tak akurat? Atau bisa saja intelijen bekerja, tapi secara tak professional? Atau jangan-jangan Menhan ingin menyelamatkan wajah pemerintah Indonesia, juga dirinya dimata dunia internasional, dan masyarakat Indonesia pada khususnya.

Kalau mau dilihat kebelakang, bukan di tanggal 02 Agustus saja rakyat Papua melakukan aksi demonstrasi menuntut referendum, tapi ia sudah dilangsungkan berungkali sejak tahun 1969, dan lebih masif lagi setelah memasuki era reformasi. Saya sendiri tak pernah menyaksikan aksi massa dalam jumlah besar yang meminta dana Otsus ditambah, meminta pembangunan infrastruktur diutamakan, atau meminta perlakukan khusus Negara terhadap orang Papua dalam bingka NKRI. Kisruh soal Pilkada yang terjadi di Puncak, Papua, dengan menewaskan belasan orang Papua, tak bisa menjadi ukuran menilai orang Papua pada umumnya mendukung Otsus, juga mendukung kebijakan pemerintah di tanah Papua. KNPB sendiri yakin ada pihak-pihak yang berusaha mengacaukan situasi Papua, terutama untuk gagalkan aksi demo damai yang akan digelar sebagian besar rakyat Papua saat itu. Pemerintah Indonesia harusi akui telah gagal membangun Papua sejak masuk dan lakukan invasi sejak 1 Mei 1963. Kurang tepat, bahkan saya bisa katakan salah jika mengatakan yang mendukung kemerdekaan Papua adalah hanya segelintir orang saja.

Apalah arti sebuah jabatan Menteri Pertahanan, jika tak dapat menyampaikan fakta yang terjadi di tanah Papua secara tepat dan akurat. Mungkin saja akan ada banyak orang mencemoh cara-cara diplomasi yang tak elegan, juga tak professional yang ditunjukan Menhan secara pribadi, dan pemerintah Indonesia pada umumnya, terutama terkait situasi Papua, juga tuntutan orang Papua yang dari waktu ke waktu semakin nampak ke permukaan.

Semangat perlawanan yang dilakukan rakyat Papua melalui wadah KNPB, juga DAP, dan gerakan-gerakan pemuda, bahkan TPN dan OPM akan dan terus dilakukan. Pemerintah tentu harus mengakui telah gagal (baca: tak mampu) urus tanah Papua, dan juga harus bijak “menghadapi” carai-cara perlawanan yang dilakukan orang Papua secara elegan, manusiawi, dan juga bermartabat. Negara akan dianggap “kalah” dalam pertarungan jika hadapi tuntutan rakyat Papua dengan cara-cara militeristik, juga propaganda murahan lewat media massa, salah satunya seperti yang telah tunjukan oleh Menhan Republik Indonesia, Purnomo Yugiantoro.

*Penulis Sekjend Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini telah dimuat di Harian Bintang Papua,Edisi 16 Agustus 2011.

Baca Selengkapnya......

Thursday, August 11, 2011

Militer di Puncak Jaya dan Dialog Bermartabat

Oleh Oktovianus Pogau*

KEBERADAAN aparat militer TNI AD –dari Batalyon Infateri (Yonif) 753/Arga Vira Tama (AVT) Nabire dan Batalyon Infateri (Yonif) 751/Berdiri Sendiri Sentani– di Distrik Tingginanmbut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua telah meresahkan warga setempat.

Pasalnya, kehadiran mereka dengan jumlah yang cukup banyak membuat masyarakat setempat tak aman hidup, bahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari sekalipun. (The Jakarta Globe, 12 Juli, 2011).

Samuel P Huntington (2003) dalam buku “Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil” mengatakan militer profesional adalah mereka yang mampu jalankan tugas negara dengan sebaik-baiknya, tanpa korbankan warga sipil –termasuk membuat mereka takut untuk hidup.

Aktivis hak asasi manusia (HAM) melaporkan bahwa militer selalu mengintai setiap aktivitas warga sipil di wilayah tersebut. Bahkan, secara terang-terangan ada yang dituding sebagai anggota separatis.

Wartawan dan aktivis HAM juga tidak luput dari pengawasan. Bahkan, beberapa aktivis HAM lebih memilih keluar dari Puncak Jaya karena merasa sangat terancam.

Korban Warga Sipil


Kontak senjata antar militer dan orang tak dikenal sudah berlangsung lama. Dalam beberapa kali, militer juga menembak warga sipil –padahal mereka tak tahu menahu tentang aktivitas kelompok separatis.

Rumah-rumah penduduk sipil sering jadi sasaran operasi. Stigma separatis terus legalkan aparat militer untuk bertindak semena-menanya. Padahal, stigma tersebut tak bisa dibuktikan kebenarannya.

Akibatnya, banyak warga sipil setempat lebih memilih mengungsi ke wilayah diluar Puncak Jaya.

Peristiwa terhangat, pada 12 Juli, pukul 06.00 WIT lalu, terjadi lagi kontak senjata antar militer dan orang tak dikenal. Tanpa sebab, dilaporkan militer mendatangi warga sipil di setiap rumah, dan menembak yang dicurigai sebagai separatis.

Warga sipil yang menjadi korban adalah Ny. Dekimira (50 tahun), seorang Ibu terkena tembakan pada kaki sebelah kanan, Anak kandungnya Jitoban Wenda (4 tahun), juga terkena tembak pada kaki sebelah kiri. Dua anak lainnya tetangga Dekimira, Dekimin Wenda (4 tahun), dan Dimison Wenda (8 tahun), keduanya terkena peluru pada kaki bagian kiri.

Setelah kejadian, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Panglima Mayjen TNI Erfi Triasunu kepada media di Jayapura membenarkan peristiwa tersebut. Ia menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM) berada dibalik aksi-aksi tersebut.

Jika benar pelakunya OPM, maka kenapa aparat militer tidak melakukan pengejaran hingga menangkap, dan juga dapat meminta pertanggung jawaban?

Selama ini aparat menuding OPM berada dibalik serangkaian kasus, tapi tak bisa membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, yang sering ditangkap dan disiksa adalah warga sipil –kasus dua orang petani, Tunaliwor Kiwo dan Kindeman Gire yang disiksa dan hampir dibunuh oleh militer Indonesia adalah sebuah fakta yang tak bisa terelahkan.

Konfrensi Perdamaian Papu
a

Situasi di Puncak Jaya sangat kontras dengan pernyataan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto, di Jayapura pada 5 Juli lalu saat membuka Konfrensi Perdamaian Papua (KPP).

Dalam sambutan ia menyatakan pentingnya menciptakan Papua sebagai tanah damai, dan tekad pemerintah dalam melakukan komunikasi konstruktif dalam menyelesaikan tiap masalah di Papua.

Kalau begitu, pertanyaannya, kenapa kebijakan operasi militer masih terus ditempuh dalam menyelesaikan tiap konflik di Puncak Jaya.

Apakah hal yang rumit pemerintah Indonesia membuka ruang berdialog dengan pihak-pihak yang selama ini dianggap berseberangan ideologi (baca: menginginkan kemerdekaan dari Indonesia).

Tekad dan komitmen pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Papua tanah damai tak bisa hanya sebatas komentar-komentar di media massa, seminar, lokakarya, bahkan konferensi sekalipun.

Ia harus dibuktikan dengan tindakan nyata, juga kebijakan yang memang dapat ciptakan Papua sebagai tanah damai kedepannya.

HAM –untuk hidup aman dan damai– warga sipil di Puncak Jaya harus di dahulukan dari segala kepentingan –termasuk kepentingan keutuhan Negara Indonesia sekalipun.

Banyak orang ragu akan kinerja (baca: profesionalitas) militer di Puncak Jaya, dan menuding telah melakukan berbagai pelanggaran HAM berat jika pelaku penembakan aparat TNI pada 25 Juni lalu tak bisa diungkap ke publik.

Militer harus dapat membuktikan bahwa OPM selama ini berada dibalik serangkaian kasus tersebut. Atau jangan-jangan ada pihak lain diluar TNI maupun OPM. Siapa?

Dialog Bermartabat

Cara terbaik yang dapat ditempuh saat ini adalah aparat militer (baca: pemerintah Indonesia) membuka ruang dialog yang lebih bermartabat dengan kelompok yang selama ini berseberangan ideologi.

Jalan kekerasan (baca: operasi militer) yang telah lama ditempuh justru tak akan menyelesaikan konflik di Puncak Jaya, dan bukan tidak mungkin justru menambah konflik baru yang tensinya akan semakin meningkat.

Tiap perbedaan pandangan di dalam Negara demokrasi adalah hal yang wajar, dan tak pantas dihadapi dengan kekerasan, bahkan moncong senjata.

Komitmen pemerintah Indonesia ciptakan Papua tanah damai, dan secara khusus di Puncak Jaya masih akan terus dipertanyakan.

*Penulis warga Papua, tinggal di Jakarta dan kelolah sebuah kelompok diskusi yang dinamakan "Honai Study Club"

Baca Selengkapnya......

Wednesday, August 03, 2011

Catatan Kritis Untuk Bupati Nabire (bagian pertama)

Kemana Larinya Dana Pendidikan Untuk Mahasiswa?

Oleh Oktovianus Pogau*

HAMPIR 12 tahun –sejak sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA)– saya tinggal di kota Nabire. Telah merasakan menjadi orang Nabire. Dan merasa memiliki kota ini. Sebagai kaum muda yang peduli pada kota ini, saya merasa terpanggil untuk menulis sebuah catatan. Catatan kritis (baca: masukan) untuk bupati, juga wakil bupati Nabire terpilih saat ini.

Catatan ini sebagai bentuk dukungan moril saya pada kepemimpinan bupati dan wakil bupati yang telah dilantik sejak 4 Mei 2010 silam –berarti sudah 1 tahun 3 bulan. Pada bagian pertama dari catatan ini adalah terkait sektor pendidikan. Bagaimana kebijakan kongkrit bupati dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), salah satunya perhatian terhadap mahasiswa-mahasiswi asal Nabire yang sedang mengenyam studi di berbagai kota –baik di Papua maupun luar Papua.

Tekad dan Komitmen Bupati


Bupati Nabire, Isaias Douw, S.Sos, dalam wawancara eksklusif dengan Tabloid Mingguan Suara Perempuan Papua (TSPP) di Jayapura pernah mengatakan bahwa dirinya maju dan dilantik menjadi bupati Nabire bukan untuk mencari kekayaan, tetapi melayani masyarakat kota Nabire. Ia juga sekaligus mengajak semuah pihak –pemerintah dan masyarakat luas– untuk membuat kasih pada sesame melalui tugas masing-masing. (Baca Tabloid Mingguan Suara Perempuan Papua, Edisi XXI/4-11 Me 2011).

Juga dalam media yang sama katanya “Secara khusus kepada anak-anak muda di sekolah, di kampus, di jalanan, di terminal, di rumah, ketahuilah bahwa manusia dan bangsa-bangsa hanya dapat dibentuk selagi muda. Mereka tidak dapat diperbaiki lagi sesudah menjadi tua. Jadilah pelopor, bukan pengekor! Pemuda hendaknya tampil sebagai agen perubahan, minimal untuk pribadi Anda. Itu adalah tantangan Anda dan kita bersama untuk membangun kabupaten ini (Nabire) dan secara umum Papua.”

Dari kutipan pernyataan diatas, saya melihat paling tidak bupati ingin menyampaikan beberapa hal, pertama; saya (Isaias) menjadi bupati Nabire bukan untuk mencari harta kekayaan (secara tidak langsung berikan pernyataan tegas bahwa tidak akan melakukan tindakan korupsi), kedua; Papua, secara khusus Nabire dapat dibangun oleh orang-orang muda (baca: pemuda dan mahasiswa) yang memiliki SDM yang handal, ketiga; pemuda dan mahasiswa dimanapun berada harus belajar dengan sungguh-sungguh, agar kedepannya dapat berpartisipasi dalam membangun Nabire, keempat; dengan belajar sungguh-sungguh, pemuda dan mahasiswa tentu mampu menjawab tantangan untuk Papua, dan Nabire secara khusus dikemudian harinya.

Saya kira sebuah pernyataan yang sangat baik, dan patut diacungkan jempol. Paling tidak bupati Nabire sudah menunjukan kemauan besar –komitmen, tekad, serta kesungguhan– dalam membangun kota Nabire, khususnya meningkatkan kecerdasan atau memajukan kualitas SDM masyarakat kota Nabire, khususnya lagi bagi pemuda dan mahasiswa.

Dalam program pembangunan lima tahun ke depan Kabupaten Nabire, sektor pendidikan mendapat perhatian yang cukup. Pada berbagai media massa bupati Nabire menyatakan hal itu. Juga komitmen dirinya dalam peningkatan SDM masyarakat Nabire. Memang harus demikian, bahwa pendidikan perlu mendapat perhatian yang ekstra serius, karena ia tentu akan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, juga masyarakat kota Nabire.

Kontras Dengan Pernyataan

Tapi, bagaimana jika pernyataan bupati Douw di media, juga dalam berbagai pertemuan kontras dengan realitas di lapangan. Apakah seorang bupati telah berbohong? Humbar janji? Atau justru membangun opini publik agar ia dianggap peduli, dan juga memperhatikan sektor pendidikan? Kita akan lihat sama-sama apa yang kontras, dan sudah harus menjadi perhatian bupati secepat mungkin.

Saya akan menunjukan beberapa fakta yang tentu dapat mengantarkan kita untuk pertanyakan komitmen dan tekad bupati Nabire. khususnya dalam sector pendidikan, dan komitmen memajuka SDM masyarakat kota Nabire, khususnya lagi perhatian bupati untuk pemuda dan mahasiswa asal Nabire di berbagai kota studi.

Hampir semua bupati –baik definitiv maupun karateker– di wilayah Papua Tengah –Paniai, Dogiya, Deiya, dan Intan Jaya– telah menunjukan tekad dan komitmen mereka dalam meningkat kualitas SDM. Mereka juga secara serius memperhatikan, dan juga memenuhi kebutuhan mahasiswa-mahasiswi mereka diberbagai kota studi –termasuk di kota Jawa dan Bali. Kebijakan setiap kepala daerah tersebut benar-benar menjawab kebutuhan pendidikan untuk daerah, juga untuk pemuda dan mahasiswa mereka.

Komitmen keempat kepala daerah (baca: bupati) di daerah-daerah diatas terbukti nyata ketika mereka mengirim team (baik dari pemerintah, juga legislatif) untuk mengunjungi seiap mahasiswa. Tujuan utama adalah memberikan dana akhir studi bagi mahasiswa semester akhir, mengurusi pemondokan (asrama mahasiswa atau kontrakan) serta memberikan dana pengembangan organisasi.

Salah satu contoh adalah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Intan Jaya. Bupati Maximus Zonggonau bersama ketua DPRD, Manfred Sondegau, juga anggota DPRD yang membidangi pendidikan, kepala bagian kesejahteraan sosial, beserta bendahara daerah telah mengunjungi mahasiswa mereka di hampir semua daerah, juga termasuk di Jawa dan Bali. Mereka berhasil mendata nama-nama seluruh mahasiswa. Dan sekembalinya dari pendataan, biaya pemondokan, juga biaya pendidikan kepada tiap mahasiswa telah dikirimkan melalui nomor rekening. Cara ini dianggap cukup berhasil, walaupun kabar yang saya dapat, hanya baru 30% yang terealisasikan.

Pemda Dogiya, Deiya dan Paniai juga melakukan cara yang sama. Telah mendatangi, melihat, serta langsung memenuhi kebutuhan tiap mahasiswa di setiap wilayah. Dengan kunjungan seperti itu, paling tidak mahasiswa telah merasakan benar-benar diperhatikan oleh Bupati, juga secara umum oleh pemda. Tanggun jawab pemerintah daerah memang benar-benar harus di wujud nyatakan dengan tindakan kongkrit. Sebab, pemuda dan mahasiswa merupakan tulang punggung kemajuan sebuah daerah, yang tentu harus mendapatkan perhatian dan pembinaan.

Bagaimana Dengan Nabire?

Nah, sekarang bagaimana dengan Kabupaten Nabire? Apakah bupati Nabire melakukan kebijakan yang sama dengan cara yang dilakukan beberapa bupati yang telah disebutkan diatas? Atau juga ikut berpartisipasi dalam mendukung peningkatan kualitas SDM untuk kaum pemuda dan mahasiswa asal Kabupaten Nabire di tiap wilayah Indonesia? Jawabannya, sampai saat ini tidak ada dana pendidikan yang sampai pada mahasiswa.

Pertanyaannya, kemana larinya dana pendidikan untuk mahasiswa? Kabarnya, hingga awal bulan Agustus ini perhatian dari bupati Isaias Douw selaku orang nomor satu di Nabire tak nampak. Hampir semua mahasiswa asal Nabire –baik yang berada di Papua juga di Jawa dan Bali– terus mempertanyakan dana pendidikan tersebut, khususnya alokasi untuk pendidikan mahasiswa. Juga menagih “sebuah janji” terkait komitmen dan tekad dalam meningkatkan SDM masyarakat kota Nabire yang telah digembar-gemborkan bupati Nabire saat ini.

Padahal, kalau mau diamati lebih lanjut, Kabupaten Nabire telah berdiri lama dibandingkan Intan Jaya, Dogiyai, dan juga Deiya. Tentu Nabire mendapat porsi anggaran yang lebih besar. Termasuk dana untuk peningkatan SDM di sektor pendidikan. Dan apalagi beberapa daerah tersebut belum ada bupati definitif seperti Nabire, kecuali Paniai. Mereka masih berada di bawah bupati karateker.

Ini tentu menjadi pertanyaan besar untuk bupati Nabire? Kenapa bisa demikian? Apakah memang dana pendidikan untuk mahasiswa Nabire tidak ada? Atau telah dialokasikan tetapi tidak sampai pada mahasiswa? Atau telah dialokasikan, tetapi disalurkan dengan bentuk dan cara yang berbeda? Saya sendiri tak mau menduga secara asal-asalan. Tetapi paling tidak bupati harus memberikan penjelasan, juga pernyataan terkait hal ini. Hanya seorang bupati yang bisa menjelaskan semuanya, apalagi saat ini bupati memiliki kewenangan (kekuasaan) tertinggi melebihi kewenangan kepala dinas pendidikan sekalipun.

Kondisi mahasiswa asal Nabire di berbagai kota studi –baik di Papua maupun Jawa dan Bali – saat ini seperti ayam yang kehilangan induk. Bingung kepada siapa harus berharap, juga kepada siapa harus bertanya. Bahkan yang lebih miris lagi, hampir semua mahasiswa asal Nabire menumpang tinggal di setiap kontrakan atau asrama dari pemda Paniai, Dogiyai, Deiya, atau Intan Jaya. Tentu ini sebuah fakta yang sangat menggenaskan.

Dana Pendidikan

Dari salah satu sumber terpercaya menyatakan bahwa jumlah dana pendidikan yang telah dianggarkan untuk Nabire di tahun 2011 adalah 6 milyar. Ini tentu tidak mengherankan, sebab misalkan Kabupaten Dogiyai saja, untuk tahun anggaran 2011 pemerintah daerah setempat telah anggarkan sebanyak 4 milyar (Papua Post Nabire, 06 April 2011). Tentu tidak mengherankan jika kabupaten yang telah memiliki bupati definitif seperti Nabire mendapat anggaran yang begitu besar.

Sikap seorang bupati yang pandai “membual” lewat berbagai pernyataan di media massa, tentu harus dipertanggung jawabkan. Jika tak punya niat baik, atau tidak serius dalam meningkatkan kualistas SDM, termasuk membantu pemuda dan mahasiswa di berbagai kota studi di Indonesia, maka tak harus berkomentar sembarang. Pernyataan yang tak benar di media massa tentu menjadi bumerang bagi bupati sendiri, juga untuk jenjang karirnya dikemudian hari.

Lebih baik diam dan bekerja, dan menunjukan fakta kerja di lapangan, dari pada memberikan berbagai pernyataan, tapi tidak sesuai dengan fakta dilapangan. Ini tentu menunjukan siapa seorang bupati, dan sejauh mana integritas yang dimiliki. Memang benar, bahwa belum genap dua tahun memerintah, tapi perlu diingat juga, dua tahun bukan merupakan waktu yang singkat untuk memaksimalkan semua sektor, secara khusus sektor pendidikan.

Akhir kata, semua belum terlambat, artinya masih ada waktu untuk membuktikan bahwa Douw-Magai memang serius, dan benar-benar ingin membangun Kabupaten Nabire, khususnya dalam sektor pendidikan.

Caranya adalah penuhi tuntutan mahasiswa dengan memberikan biaya sesuai kebutuhan mereka –baik untuk mahasiswa di Papua juga di Jawa maupun Bali. Saya hanya takut, jika tidak dipenuhi, dampak buruknya akan dirasakan sendiri oleh bupati selaku orang nomor satu di Kabupaten Nabire. Semoga ada langkah bijak. Amakane. (BERSAMBUNG)

*Oktovianus Pogau adalah mahasiswa asal Kabupaten Nabire, saat ini studi di Jakarta.


Baca Selengkapnya......