Thursday, August 11, 2011

Militer di Puncak Jaya dan Dialog Bermartabat

Oleh Oktovianus Pogau*

KEBERADAAN aparat militer TNI AD –dari Batalyon Infateri (Yonif) 753/Arga Vira Tama (AVT) Nabire dan Batalyon Infateri (Yonif) 751/Berdiri Sendiri Sentani– di Distrik Tingginanmbut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua telah meresahkan warga setempat.

Pasalnya, kehadiran mereka dengan jumlah yang cukup banyak membuat masyarakat setempat tak aman hidup, bahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari sekalipun. (The Jakarta Globe, 12 Juli, 2011).

Samuel P Huntington (2003) dalam buku “Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil” mengatakan militer profesional adalah mereka yang mampu jalankan tugas negara dengan sebaik-baiknya, tanpa korbankan warga sipil –termasuk membuat mereka takut untuk hidup.

Aktivis hak asasi manusia (HAM) melaporkan bahwa militer selalu mengintai setiap aktivitas warga sipil di wilayah tersebut. Bahkan, secara terang-terangan ada yang dituding sebagai anggota separatis.

Wartawan dan aktivis HAM juga tidak luput dari pengawasan. Bahkan, beberapa aktivis HAM lebih memilih keluar dari Puncak Jaya karena merasa sangat terancam.

Korban Warga Sipil


Kontak senjata antar militer dan orang tak dikenal sudah berlangsung lama. Dalam beberapa kali, militer juga menembak warga sipil –padahal mereka tak tahu menahu tentang aktivitas kelompok separatis.

Rumah-rumah penduduk sipil sering jadi sasaran operasi. Stigma separatis terus legalkan aparat militer untuk bertindak semena-menanya. Padahal, stigma tersebut tak bisa dibuktikan kebenarannya.

Akibatnya, banyak warga sipil setempat lebih memilih mengungsi ke wilayah diluar Puncak Jaya.

Peristiwa terhangat, pada 12 Juli, pukul 06.00 WIT lalu, terjadi lagi kontak senjata antar militer dan orang tak dikenal. Tanpa sebab, dilaporkan militer mendatangi warga sipil di setiap rumah, dan menembak yang dicurigai sebagai separatis.

Warga sipil yang menjadi korban adalah Ny. Dekimira (50 tahun), seorang Ibu terkena tembakan pada kaki sebelah kanan, Anak kandungnya Jitoban Wenda (4 tahun), juga terkena tembak pada kaki sebelah kiri. Dua anak lainnya tetangga Dekimira, Dekimin Wenda (4 tahun), dan Dimison Wenda (8 tahun), keduanya terkena peluru pada kaki bagian kiri.

Setelah kejadian, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Panglima Mayjen TNI Erfi Triasunu kepada media di Jayapura membenarkan peristiwa tersebut. Ia menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM) berada dibalik aksi-aksi tersebut.

Jika benar pelakunya OPM, maka kenapa aparat militer tidak melakukan pengejaran hingga menangkap, dan juga dapat meminta pertanggung jawaban?

Selama ini aparat menuding OPM berada dibalik serangkaian kasus, tapi tak bisa membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, yang sering ditangkap dan disiksa adalah warga sipil –kasus dua orang petani, Tunaliwor Kiwo dan Kindeman Gire yang disiksa dan hampir dibunuh oleh militer Indonesia adalah sebuah fakta yang tak bisa terelahkan.

Konfrensi Perdamaian Papu
a

Situasi di Puncak Jaya sangat kontras dengan pernyataan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto, di Jayapura pada 5 Juli lalu saat membuka Konfrensi Perdamaian Papua (KPP).

Dalam sambutan ia menyatakan pentingnya menciptakan Papua sebagai tanah damai, dan tekad pemerintah dalam melakukan komunikasi konstruktif dalam menyelesaikan tiap masalah di Papua.

Kalau begitu, pertanyaannya, kenapa kebijakan operasi militer masih terus ditempuh dalam menyelesaikan tiap konflik di Puncak Jaya.

Apakah hal yang rumit pemerintah Indonesia membuka ruang berdialog dengan pihak-pihak yang selama ini dianggap berseberangan ideologi (baca: menginginkan kemerdekaan dari Indonesia).

Tekad dan komitmen pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Papua tanah damai tak bisa hanya sebatas komentar-komentar di media massa, seminar, lokakarya, bahkan konferensi sekalipun.

Ia harus dibuktikan dengan tindakan nyata, juga kebijakan yang memang dapat ciptakan Papua sebagai tanah damai kedepannya.

HAM –untuk hidup aman dan damai– warga sipil di Puncak Jaya harus di dahulukan dari segala kepentingan –termasuk kepentingan keutuhan Negara Indonesia sekalipun.

Banyak orang ragu akan kinerja (baca: profesionalitas) militer di Puncak Jaya, dan menuding telah melakukan berbagai pelanggaran HAM berat jika pelaku penembakan aparat TNI pada 25 Juni lalu tak bisa diungkap ke publik.

Militer harus dapat membuktikan bahwa OPM selama ini berada dibalik serangkaian kasus tersebut. Atau jangan-jangan ada pihak lain diluar TNI maupun OPM. Siapa?

Dialog Bermartabat

Cara terbaik yang dapat ditempuh saat ini adalah aparat militer (baca: pemerintah Indonesia) membuka ruang dialog yang lebih bermartabat dengan kelompok yang selama ini berseberangan ideologi.

Jalan kekerasan (baca: operasi militer) yang telah lama ditempuh justru tak akan menyelesaikan konflik di Puncak Jaya, dan bukan tidak mungkin justru menambah konflik baru yang tensinya akan semakin meningkat.

Tiap perbedaan pandangan di dalam Negara demokrasi adalah hal yang wajar, dan tak pantas dihadapi dengan kekerasan, bahkan moncong senjata.

Komitmen pemerintah Indonesia ciptakan Papua tanah damai, dan secara khusus di Puncak Jaya masih akan terus dipertanyakan.

*Penulis warga Papua, tinggal di Jakarta dan kelolah sebuah kelompok diskusi yang dinamakan "Honai Study Club"

Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

Post a Comment

Komentar anda...