OCTHO- Kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Hussein Obama telah usai, namun pemerintah dan mayarakat Indonesia tentu berharap ini bukan kali terakhir ia mengunjungi Indonesia. Saat berpidato di kampus Universitas Indonesia, Depok, ia menyatakan bahwa Indonesia adalah bagian dari dirinya.
Wajar jika Obama mengatakan demikian. Ia pernah tinggal di Indonesia selama empat tahun. Saat itu ia ke Indonesia bersama Ibunya, Ann Dunham dan Ayah tirinya, Lolo Soetoro, yang juga orang Indonesia. Ayah tirinya di paksa meninggalkan kuliah di Hawaii, dan diwajibmiliterkan ke Papua Niugini (Papua) oleh pemerintah Indonesia.
Terlepas dari masa kecil Obama di Indonesia, kita juga perlu memikirkan banyak sisi perihal kedatangan orang nomor satu di negara Paman Sam ini. Siapa dia saat ini? Ada kepentingan apa di Indonesia? Dan tujuaan apa ia datang?
Obama tempo dulu, berbeda sekali dengan Obama sekarang. Ia dulu hanya seorang anak “ingusan” yang mungkin tak ada pengaruhnya. Bahkan, bisa jadi sama sekali tak di perhitungkan karena hanya seorang imigran biasa.
Tetapi sekarang berbeda. Ia adalah Presiden ke-44 di negara Adikuasa macam AS. Ia memimpin Negara yang punya power sangat besar untuk mengatur dunia. Ia juga orang nomor satu di negara berpenduduk terbanyak ketiga.
Dengan demikian, tentulah maksud kedatangan ia ke Indonesia tidak seperti yang di pikirkan banyak masyarakat Indonesia. Ia sebenarnya tidak “pulang kampung,” walaupun ia mengatakan bahwa Indonesia adalah kampung halamannya.
Jika Indonesia termasuk kampung halamannya, kenapa ia tidak mengunjungi SD Negeri 01 Menteng? Kenapa ia tidak bersilaturahmi dengan teman-teman masa kecilnya? Atau kenapa ia tidak menemui keluarga ayah tirinya yang telah lama di Indonesia?
Nah, karena itu perlu kita pahami , bahwa Ia datang ke Indonesia atas nama Negara AS dan memperjuangkan kepentingan nasional AS juga. Bukan kepentingan pribadi.
Bayangkan saja, Obama hanya 18 jam di Indonesia. Berbeda dengan kunjungannya ke India, New Delhi, yang memakan waktu hampir tiga hari. Bahkan ketika di New Delhi, ia mengunjungi beberapa tempat bersejarah, termasuk Monumen Makam Humayun yang menurut beberapa sumber telah mengilhami penciptaan bangunan Taj Mahal.
Mungkin saking tidak pentingnnya Indonesia di mata pemerintah AS, mengunjungi taman makam Pahlawan di Kalibata, yang telah menjadi agenda awal Gedung Putih juga di batalkan. Kunjungan sudah singkat, malah di persingkat lagi.
Kalau begitu, seberapa pentingkah Indonesia di pemerintah AS dan Obama? Jelas tidak penting. Kenapa? Ada tiga hal menurut hemat saya.
Pertama; Karena posisi Indonesia saat ini hanya sebagai “konsumen kebijakaan” AS dan dunia, bukan pembuat kebijakaan. Indonesia belum punya daya tawar yang kuat di tingkat dunia internasional. Singkat kata, Indonesia di anggap sebagai pengikut setia yang akan taat pada semua kepentingan AS sampai kapanpun.
Kedua; Indonesia tak dapat membantu AS dalam pemulihan laju pertumbuhan ekonomi mereka setelah keguncangan krisis perbankan tiga tahun lalu. Karena kebutuhaan AS masa kini adalah melakukan perbaikaan ekonomi agar masih mendapat tempat dan menjadi yang paling kuat di dunia.
Ketiga; Posisi Indonesia saat ini hanya sebagai penonton, bukan pemain dalam percaturan global. Seorang penonton tak bisa mengatur pertandingan, mengarahkan pertandingan, apalagi sampai ikut membuat kebijakaan, pemainlah yang punya kewenangan luas.
Di negara-negara Asia, AS beranggapaan hanya China yang bisa menjawab kebutuhaan mereka. Makanya jangan heran, jika China adalah negara pertama di Asia yang di kunjungi Obama setelah terpilih. Indonesia adalah negara ketiga yang di kunjungi, itupun setelah beberapa kali membatalkan kunjungannya.
Jika punya daya tawar yang kuat dalam percaturan global, tentu AS dan seorang Obama akan berpikir ulang jika hanya mengunjungi Indonesia dalam belasan jam. Pasti tiga hari, atau bahkan bisa jadi empat hari.
Apa yang harus di lakukan agar Indonesia di anggap penting oleh AS? Caranya simpel saja. Membangun kekuataan ekonomi negara secara internal dengan matang. Membangun kerja sama dengan negara-negara sosialis yang tidak berpikir untuk kepentingan semata. Dan membangun kekuataan ekonomi yang berbasis kerakyataan. Ini menjadi langkah awal untuk menjadi pemain utama di percaturan global.
Memang berapa lama ia mengunjungi Indonesia bukan ukuran menilai Indonesia penting atau tidak, tetapi paling tidak Obama dan pemerintah AS sadar bahwa banyak hal yang telah di lakukan pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk menyambut kedatangannya yang hanya 18 jam.
Menyimak pidato Obama di Kampus Universitas Indonesia, tentu bisa di simpulkan bahwa kedatangan dia ke Indonesia hanya ingin memulihkan citra masyarakat AS di mata umat muslim, bahwa AS tidak berniat perang melawan muslim. Lebih tepatnya, politik simbolik yang di lakukan Obama ke Indonesia.
Kira-kira langkah apa yang akan di lakukan SBY-Boediono agar Indonesia dianggap penting oleh AS jika melakukan kunjungan di lain waktu? Kita tunggu saja.
*Oktovianus Pogau adalah aktivis Aliansi Mahasiswa Papua, tinggal di Jakarta.
Monday, November 22, 2010
Pentingkah Indonesia di Mata AS?
Thursday, November 11, 2010
Obama, Indonesia dan Papua
DALAM buku yang berjudul “The Audicity of Hope - Thoughts On Reclaiming The American Dream” yang ditulis langsung oleh Barack Obama telah sedikit menggambarkan bagaimana semasa ia dan keluarganya tinggal di Indonesia.
Dalam buku tersebut, Obama juga menuliskan pandangannya tentang politik di Indonesia. Ia juga bercerita bagaimana punya hobi berenang di sungai dan menunggang kerbau di sawah dengan anak-anak pribumi Indonesia. Obama memerlukan kurang lebih 10 halaman di dalam buku tersebut untuk mengisahkan kenangan dan pandangannya tentang Indonesia.
Kunjungan ke Indonesia
Sudah dua kali Obama membatalkan kunjugannya ke Indonesia. Pertama, kunjungan kenegaraan yang dijadwalkan 22 hingga 24 Maret 2010 di batalkan karena ia sedang fokus memperjuangkan Undang-undang Jaminan Kesehatan dengan Kongres AS.
Kedua, Gedung Putih membatalkan lagi rencana kunjungan Obama karena ia sedang sibuk dan memberikan perhatian penuh dalam menyelesaikan krisis bocornya sumur minyak milik British Petroleum (BP) di Teluk Meksiko.
Dan untuk kali yang ketiga orang nomor satu di negara Paman Sam ini direncanakan akan mengunjungi Indonesia. Inipun jika tidak ada halangan. Banyak hal yang akan di bicarakan, termasuk kerja sama Militer Amerika Serikat dengan pasukan militer Indonesia (Kopassus). Kerja sama ini pernah di putuskan pada tahun 1998, karena Kopassus di duga melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur, namun kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Robert Gates pada 22 Juli 2010 ke Indonesia membuat kerja sama ini kembali terjalin.
Obama secara pasti di jadwalkan akan mengunjungi Indonesia selama dua hari satu malam, yakni; pada tanggal 9 hingga 10 November 2010 mendatang. Selain bertemu dengan Presiden SBY di Istana Negara, Ia juga di rencanakan akan mengunjungi Mesjid Istiqlal, memberikan ceramah kepada umat muslim di Indonesia. (Media Indonesia, 29/10/2010).
Belajar dari Obama
Jika melihat dua perihal tertundanya kedatangan Obama di Indonesia hanya karena ia lebih memilih menyelesaikan permasalahaan di dalam negeri. Memprioritaskan agenda negara untuk kepentingan rakyatnya. Kemudian mengunjungi mereka yang terkena musibah, dan memberikan perhatian penuh hingga semua pulih kembali.
Selain itu, Obama juga sadar, ia menjadi orang nomor satu di negara besar macam Amerika Serikat karena ia di pilih langsung oleh rakyat, bukan melalui money politik, money laundering dan lain sebagainya yang sudah merupakan hal lumrah di negara “demokrasi” macam Indonesia.
Yang menjadi pertanyaan, adakah pemimpin di negeri ini yang dapat mengikuti keteladanan dan sikap Obama? Seorang pemimpin negara yang begitu peduli dan bertanggung jawab pada rakyatnya.
Wasior Hingga Mentawai
Pada hari Senin, 04 Oktober 2010 Kabupaten Wasior, Papua Barat hancur luluh-lantakan akibat banjir Bandang. Ratusan korban melayang. Rumah-rumah warga rusak total. Sekolah-sekolah juga hancur berantakan. Enam hari kemudian Presiden Yudhoyono yang di jadwalkan akan mengunjungi daerah ini secara mendadak membatalkan kunjungannya.
Tiga hari setelah pembatalan kunjungan, tepatnya pada hari Rabu, tanggal 13 Oktober 2010, Presiden SBY melakukan kunjungannya ke Wasior, Papua Barat. Tetapi yang anehnya, ia hanya mengunjungi tempat tersebut dan berbicara di depan korban banjir bandang selama tiga jam. Tidak lebih dari itu. Waktu seperti ini sangatlah tidak cukup.
Lain halnya dengan kunjungan Wakil Presiden Indonesia, Boediono di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Beliau mengunjungi tempat tersebut dan berbicara dengan para pengungsi letusan Gunung Merapi hanya lima menit, setelah itu melanjutkan perjalanannya. Padahal ia telah di tunggu oleh para pengungsi sejak pagi hari.
Dan ada yang lebih aneh lagi. Anggota badan kehormatan DPR RI secara beramai-ramai akan melakukan studi banding ke beberapa tempat di luar negeri. Semua menggunakan fasilitas dan uang rakyat. Bukankah lebih mulia para anggota dewan yang terhormat mengunjungi para korban bencana Tsuname di Mentawai? Mereka sedang berduka karena semua harta benda, termasuk sanak-saudara mereka yang telah hilang di bawah amukan badai Tsuname.
Timbul pertanyaan, apakah ini model pemimpin maupun wakil rakyat yang peduli pada rakyat? Seorang pemimpin yang ideal adalah mereka yang peduli pada rakyatnya ketika membutuhkan uluran tangan.
Maka tidak salah, jika kita berharap kunjungan Presiden Barack Obama di Indonesia ini akan memberikan pelajaran penting bagi para petinggi negara ini, termasuk kepada wakil rakyat, agar dapat memperhatikan hak azasi maupun kebutuhaan warga negaranya secara menyeluruh.
Obama dan Papua
Semasa Obama kecil hidup di Indonesia (sejak tahun 1967 hingga 1971) Papua sedang “bergejolak.” Status Papua saat itu tidak jelas, antara berdiri sendiri, dan bergabung ke dalam negara Indonesia. Beberapa operasi di langsungkan, termasuk Operasi Militer. Tujuannya agar Papua dapat di rebut dari penjajahaan Belanda.
Tapi yang menjadi pertanyaan, kenapa Obama kecil sama sekali tidak menyinggung soal Papua dan masyarakatnya dalam buku yang ia tulis? Menulis tentang Provinsi yang terletak di wilayah paling timur negara Indonesia, tempat dimana PT Freeport McMoran Copper &Gold Inc, perusahaan Multi-internasional milik Amerika Serikat sedang beroperasi saat ini.
Atau ia justru tidak tahu ada daerah yang di diami ras Melanesia, ras yang kurang lebih serumpun dengan dia. Mungkin bisa jadi juga ia terlalu kecil untuk berpikir pada sesama, apalagi berpikir tentang Papua yang saat itu sangat jauh, dan tak terkontrol oleh media masa.
Nah, dalam kunjungan Obama ke negara Indonesia kali ini, akankah ia turut membicarakan masalah krisis kemanusian yang terjadi di tanah Papua?
Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq berharap Presiden Amerika Serikat Barrack Obama tidak membahas persoalan Papua, dalam rangkaian kunjungan kerjanya ke Indonesia. Ia juga meminta agar pemerintah Amerika Serikat menghargai pemerintah Indonesia, karena menurutnya, bahwa persolaan Papua adalah persoalaan dalam negeri dan akan di selesaikan juga dari dalam negeri. (Media Indonesia, 29/10/2010)
Beberapa lembaga HAM di dunia internasional seperti Human Rights Watch (HRW), Asia Human Rights Commission (AHRC) dan Amensty International juga sering menyeruhkan kepada dunia internasional untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang sering di lakukan oleh Militer Indonesia di Papua. Ini pula yang mungkin akan menjadi perhatiaan presiden Barack Obama, jika ia akan datang ke Indonesia dan berbicara soal Papua dengan pemerintah Indonesia.
Beberapa minggu lalu publik di Indonesia dan dunia di kagetkan dengan video penyiksaan yang beredar di situs Youtube dengan judul: "Indonesia Military Ill-Treat and Torture Indigenous Papuans.” Video ini menunjukan bagaimana Militer Indonesia menyiksa dua warga sipil yang di duga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto dalam jumpa pers seusai rapat terbatas di kantor Presiden 22 Oktober 2010 lalu membernarkan bahwa ada penyiksaan dua warga sipil tersebut, dan mengatakan bahwa pelakunya adalah anggota Militer Indonesia. (Media Indonesia, 22/10/2010)
Manfaat Kunjungan
Kunjungan presiden negara super power kali ini semoga dapat memberikan manfaat penting. Bagaimana hubungan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat yang telah terbangun lama bisa lebih di tingkatkan lagi.
Selain itu, ada harapan yang terpenting, adalah bagaimana membicarakan krisis kemanusiaan yang selama ini terjadi di seluruh Indonesia, terlebih khusus Maluku dan Papua. Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat harus bersepakat dan membicarakan dengan jelas dalam pertemuaan ini, bahwa tidak akan melakukan tindakan maupun perbuataan yang melanggar hak-hak warga masyarakat untuk hidup damai dan tenteram di Negara mereka sendiri.
Dalam pertemua ini, baik Obama maupun SBY perlu sadar, bahwa masih banyak aparat Militer yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakatnya sering bertindak di luar tindakan manusiawi. Artinya, harus diakui, masih banyak warga Negara Indonesia yang merasa tidak damai hidup di Negara mereka sendiri.
Selama hak-hak mereka masih di langgar, selama itu pula perdamaiaan tidak akan pernah terwujud. Dan selama itu pula konflik di Indonesia akan terus-menerus terjadi. Setelah pertemuaan penting ini, semoga ada hasil menggembirakan yang di capai bagi penegakan HAM di seantoro Indonesia, khususnya Papua. Wellcome Obama!!
*Oktovianus Pogau adalah seorang Jurnalis dan pemerhati HAM, tinggal di Jakarta
Tulisan ini sempat di muat koran Jurnal Nasional
Monday, November 08, 2010
Amerika Serikat Bertanggung Jawab Terhadap Konflik di Tanah Papua
ALIANSI MAHASISWA PAPUA (AMP)
SIARAN PERS
(JAKARTA, SENIN 08 November 2010) - Menyambut kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Hussein Obama di Jakarta, ratusan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) akan melakukan aksi demo secara damai dan mulai long march dari kantor Walhi, Jln. Tegal Parang Utara, No. 14 hingga kantor PT Freeport Indonesia, Plaza 89, Kuningan Jakarta, (09/11) mendatang.
Menurut ketua umum Aliansi Mahasiswa Papua, Rinto Kogoya, bahwa tujuan demo ini adalah meminta Amerika Serikat, dalam hal ini Presiden Barack Hussein Obama bertanggung jawab terhadap segala permasalahaan yang terjadi di tanah Papua, terutama masalah status Politik Bangsa Papua yang tidak jelas hingga kini.
“Amerika Serikat memiliki kepentingan sehingga menganeksasi Papua secara paksa ke dalam wilayah teritorial Indonesia melalui pelaksanaan PEPERA yang cacat hukum dan moral di tahun 1969. Sebagian besar rakyat Papua menolak hasil PEPERA tersebut,” katanya.
Sementara itu, Viktor Kogoya dari Aliansi Mahasiswa Papua mengatakan bahwa Amerika Serikat juga bertanggung Jawab terhadap kerusakaan lingkungan dan hutan yang terjadi di tanah Papua, karena menurutnya banyak perusahaan raksasa dari Amerika Serikat yang menanamkan investasinya di tanah Papua tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang bagi masyarakat setempat.
“Bukti paling nyata adalah operasi tambang PT Freeport McMoran Copper & Gold Inc yang telah merusak lingkungan dan hutan milik suku Amugme dan Kamoro di Timika, Papua. Saat ini mereka merasa terancam hidup di tanah kelahiraan mereka sendiri.
Kami tidak ingin karena kepentingan ekonomi Amerika Serikat dan pemerintah Indonesia, justru rakyat Papua yang di korbankan. Ini tentu akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara pemerintah dan masyarakat Papua,” jelas Viktor.
Sementara itu, Oktovianus Pogau juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua meminta Amerika Serikat bertanggung Jawab terhadap segala bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang terjadi di tanah Papua, karena telah menjalin hubungan kerja sama yang baik, bahkan turut melatih aparat Militer Indonesia (Kopassus).
“Bukti pelanggaran HAM yang di lakukan aparat Militer Indonesia dapat di lihat melalui dua buah video penyiksaan yang beredar di Internet beberapa waktu lalu. AMP minta AS segera menghentikan kerja sama Militer dengan pemerintah Indonesia, karena banyak rakyat Papua yang di siksa secara tidak manusiawi oleh aparat Militer Indonesia,” jelas Oktovianus.
Dua buah video penyiksaan ini di publikasikan oleh Asian Human Rights Commission (AHRC) yang berdomisil di Bangkok melalui situs Youtube. Beberapa hari kemudian, setelah pertemuaan dengan Presiden Yudhoyono di Istana Negara, Menko Polhukam Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto di depan wartawan membenarkan adanya anggota Militer yang menjadi pelaku penyiksaan dua orang warga sipil yang di duga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kabupaten Puncak Jaya, Papua.
Oktovianus juga mengatakan bahwa UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (red: termasuk Papua Barat) telah gagal total, karena itu pemerintah Amerika Serikat di minta segera menghentikan bantuaan dana Otsus untuk Papua melalui pemerintah Indonesia.
“Pendonor dana Otsus paling besar untuk Papua adalah Amerika Serikat, karena itu kami minta Amerika Serikat segera hentikan bantuan dana tersebut, karena jelas-jelas Otsus telah gagal total di tanah Papua,” tambahnya.
Rakyat Papua telah tiga kali mengembalikan UU Otsus Papua kepada pemerintah pusat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Jayapura, namun nyatanya hingga saat ini Otsus masih berlaku di tanah Papua. “Ini menjadi pertanyaan, sebenarnya siapa yang menikmati dana Otsus itu? Jika rakyat Papua menikmati dana Otsus itu, kenapa mereka masih menjadi warga masyarakat yang paling miskin di Indonesia.
Rakyat Papua merasa Otsus bukanlah solusi, namun Otsus menjadi kutuk yang membuat orang Papua semakin terancam,” tegas Oktovianus.
Ia juga mengharapkan bahwa kedatangan Obama pada tanggal 9 hingga 10 November nanti bukan saja membina hubungan kerja sama yang baik dengan pemerintah Indonesia, namun Obama lebih serius memperhatikan konflik dan krisis kemanusiaan yang terjadi di tanah Papua, seraya mengambil tindakan kongkrit tuntuk mengatasinya.
“Kami berharap Barrack Obama bisa melakukan kunjugan ke tanah Papua selain mengunjungi Jakarta, agar Ia bisa mengetahui pasti terkait persoalaan yang sedang di hadapi masyarakat disana,” tambah Oktovianus.
Mengakhiri komentarnya, Oktovianus mengatakan bahwa tuntutan rakyat Papua saat ini hanya satu, yakni; minta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan referendum seperti yang pernah di lakukan di Timor Leste pada tahun 1999 silam.
“Biarkan kami menentukan nasib kami sendiri, apakah tetap ingin ikut dengan Negara ini, atau justru ingin membentuk Negara sendiri,” paparnya singkat.(***)