Thursday, April 23, 2009

Papua Zona Darurat Ulah Majelis Rakyat Papua (MRP)


OCTHO- Dalam amanat UU No. 21 Tahun 2001 pasal ke 20 berbunyi panjang lebar mengenai tugas dan tanggung jawab yang MRP embani sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. Meskipun secara de Jure dan de Facto MRP hadir agak terlambat, yakni 3 tahun kemudian setelah adanya UU Otsus, yakni tahun 2004 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2004, tertanggal, 23 Desember 2004.

Secara garis besar Tugas utama MRP dibentuk sesuai dengan amanat UU No 21 Tahun 2001 adalah dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama (pasal 1 butir ke-6). Yang mana semuanya ini mengarahkan kepada pembebasan manusia asli Papua sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia dan hakiki.

Sehingga kerja dan peran dari MRP sangat di dambakan oleh semua pihak terlebih khusus orang asli Papua sendiri. Dimana dengan hadirnya MRP di harapakan dapat mengakat segala ketertingagalan segala martabat dan derajat orang Papua yang selama ini di injak-injak oleh oknum kapitalis yang ingin tetap menjajah dan menguasi orang Papua.

“ade waktu saya di Jakarta, saya sempat bertemu dengan bang Marijan yang biasa maen iklan kuku bima di TV tu, dia bilang begini. “saya dengar katanya di Papua telah di bentuk MRP kha? Dengan nada yang agak keras dirinya mengatakan bahwa, MRP itu artinya Mati Rakyat Papua (MRP). Yang menurutnya MRP hadir akan menghabiskan dana rakyat Papua sekaligus membuat rakyat kecewa dan kecewa dengan kinerja mereka yang kalang kabuat, terang pak Daundi di Makasar beberapa saat lalu.

Pemahaman mereka terhadap MPR adalah bukan sebuah lembaga yang mengakat harkat, derajat dan martabat orang asli Papua, melainkan sebuah lembaga yang akan berada dan merugikan orang asli Papua. Dengan segala bentuk kinerja yang tidak kurun membaik.

Secara garis besar, baik dari anak-anak sampai opa-opa memahami peran dan tugas MRP di Papua sama dengan pemahaman bang Marijan. MPR bukan sebagai penanggung jawab hak-hak adat masyarakat asli Papua, melainkan perampas hak-hak rakyat Papua. MRP mengambil porsi untuk pembangunan segala sector di Papua, MRP tidak berperan semestinya. MRP jadi beban bagi banyak rakyat Papua. Yang ujung-ujungnya membuat rakyat kecewa dan kecewa.

Saat Internatiional Parlmenet For West Papua (IPWP) di luncurkan di London-Inggris 15 hingga 17 Oktober lalu, MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua seharunya mempunyai peran untuk menyosialisasikan hal ini kepada khayalak umum. Bukan DAP, PDP dan beberapa Front dan sebagainya. MRP di bentuk memunyai badan hukum yang kuat, dengan kuatnya badan hukum itu MRP harus lebih leluasa bergerak. Bukan menutup diri bagai burung yang sayapnya patah.

Dewan Adat Papua (DAP) yang ada hanyalah salah satu dewan tidak berbadan hokum secara resmi yang didirikan di oleh bangsa papua sendiri. Presedium Dewan Papua (PDP) juga sama hal-nya dengan DAP. MRP sebagai lembaga cultural resmi yang di bentuk harus bertanggung jawab penuh dalam segala tindakan yang di buat maupun di adakan oleh rakyat asli Papua. Orang istilahnya MRP adalah “mama dan papa” dari pada orang asli Papua.

42 orang yang telah di pilih oleh rakyat Papua untuk duduk di MRP harus bertanggung jawab semua itu. Dalam Koran Cenderawasih Post beberapa saat lalu ketua MRP Agus Alua membantah keras peryataan keras Pangdam Cenderawasih yang menyatakan dengan jelas agar MRP jangan ikut dalam perpoltikan.” Siapa bilang kami tidak boleh ikut dalam perolitkan, kami juga punya hak untuk menyuarakan itu” terang Agus dalam Cenderawasi Post membantah pernyataan Pangdam Cenderawasih .

Mana kejantananmu pak Agus, pernyataan gombal yang melindung keluarga dan nama baik tidak usah di sebarluaskan untuk melindungi diri. Apalagi pernyatan tersebtu paling berpoltisi sekali. Peryataan paling memalukan yang pernah di keluarkan oleh pejabat yang katanya berjuang untuk hak-hak kemanusian untuk Papua kalau seandainya semua orang melakukan vote.

Yang rakyat minta saat ini, adalah dimana realisasi dari pernyataan dan janji-janji dari MRP kala itu. Ketika Buchtar Tabuni dan Sebby Sembon di tangkap oleh Polda Papua tanpa prosedur yang jelas kalian hanya membekap mulut kalian begitu saja, bak tak ada tanggung jawab dan tugas moril. Kalian sebagai lembaga resmi yang di bentuk oleh pemerintah pusat harus berperan penting dalam segala tindakan seperti itu.

Malahan saat hal itu terjadi beberapa anggota DPRP yang angkat biacara dengan melawan kebejatan dan premanisme yang di tunjukan oleh Polda Papua dan antek-anteknya. Sebenarnya DPRP tidak patas berbicara demikian, karena DPRP telah memorsi tugas orang lain. MRP sebagai lebagai cultural rakyat Papua harus memperhatikan ini dengan keras.

MRP hadir di Papua hanya mencitpkan zona darurat di Papua. Tom Beanel Pemimpin Besar Papua Barat saat mentandatangin deklarasi Papua zona darurat senin (01/12) di lapangan makam Theys, Sentani berbicara dengan jelas ketidakmampun beberapa lembaga kultural hak-hak adat Papua melindungi rakyatnya. Sehingga dengan muda Papua zona darurat di bentuk oleh kaum kapitalis yang ingin dan ingin tetap menjajah orang asli Papua.

Beberapa lembaga resmi yang telah dibentuk membiarkan rakyatnya menderita dan menangis tersedu-sedu bak tak ada orang tua. MRP membuat situasi dan kondisi di Papua kacau balau. Kualitas kerja yang tidak kurun baik dari waktu ke waktu membuat rakyat Papua semakin kesal dan kecewa terhadap kinerja mereka.

Agus Alua dan anggotanya menebar isu dengan media masa bagai pahlawan yang akan melindungi hak-hak dasar orang Papua. MRP tidak pernah mendorong DPRP untuk mengesahkan beberapa Perdasi dan Perdasus untuk melindungi hak dasar orang Papua. Beberapa Perdasi dan Perdasus yang di bentuk hanya untuk kepentinga birokarat. Bahkan lebih memalukan kinerja dan komitemen MRP untuk memajukan Papua, yang mana saat pemilihan angora DPRP beberapa saat lalu beberapa anggota MRP lebih memilih untuk menyalonkan diri ke DPRP. Rakyat yang matanya buta saja yang bisa pelih eks MRP duduk di DPRP.

Rakyat walaupun tidak semua bisa mengkaji isi Otsus dan Tap MRP yang di berikan, tetapi sudah bisa menilai berdasarkan kualitas dan kinerja kerja yang tidak kunjung baik. Baik dan tidaknya kualitas kinerja dari seorang anggota MPR-pun di lihatkan berdasarkan kinerja suara hati. Bukan karena asal-asal bersuara dengan kepentingan di belakang yang sangat tinggi.

Lagi-lagi zona darurat yang MRP ciptakan di Papua terkait keberpihakan mereka terhadap Militer yang selalu mengenosida orang Papua. MRP ikut tertawa geli ketika melihat anak bangsa papua di siksa dan di bunuh dengan semena-menanya oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

MRP tidak pernah bersuara, dalam hal ini membela suara rakyat orang asli Papua ketika beberapa masa mendatangi kantor DPRP yang menyayangkan jumlah Militer di Papua yang hampir sebanding dengan jumlah rakyat asli Papua. Sebenarnya dalam menyuarakan ini MRP yang punya hak dan kewenangan, tetapi lagi-lagi MRP bertindak seperti tikus dalam kandang.

MRP harus berada atau berjalan tanpa terikat oleh siapapun. Karena MRP adalah lembaga yang menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di bumi Papua. Tidak bisa lembaga duduk makan satu meja dengan para pembunuh, penindas dan penjilat. Mereka-lha musuh bubuyutan dari MRP, sehingga “jaga jarak” sangat penting.

MRP sebagai lembaga cultural asli rakyat Papua, hanya terdiam membisu ketika beberapa mahasiswa di tindak seperti binatang oleh aparat keamaan yang tidak tau peri kemanusian. “kasus abepura berdarah yang meninggalkan sangat banyak kesan, dimana banyak mahasiswa yang di culik, dibunuh dan di perkosa tidak pernah di tindak lanjut, malahan tidak lanjut yang mereka lakukan di Makasar tidak ada keberpihakan terhadap orang asli Papua yang sangat di rugikan, MRP dorang kerja apakah sehingga buta dengan hal ini,” terang Nolly Kobogau salah satu Mahasiswa Universitas Cenderawasih beberapa saat lalu.

Beberapa saat lalu sebelum pembentukan MRP, sudah banyak tindakan serta aksi yang mahasiswa Papua lakukan untuk menolak tegas keptusan dari Presiden Republik Indonesia, toh akhirnya MRP tetap di sahkan juga. Mahasiswa dan pelajar Papua yang berdemonstran sudah paham betul dengan ketidakbecusan MRP ketika di bentuk nanti.

Mereka (red, mahasiswa) sudah paham dengan kepentingan-kepentingan yang akan di ciptakan ketika para “penjilat” yang nanti mengaku dirinya sebagai wakil rakyat yang akan mengakat harkat, martabat dan jati diri orang Papua. Orang Papua sangat benci dengan penjilat, seperti mereka yang duduk di MRP saat ini.

Ketua MRP dan anggotanya lebih banyak tinggal di Jayapura menikmati segalanya yang ada dari pada sekali waktu berkeliling ke kampong-kampung di Papua untuk melihat langsung segala keluharan menyangkut hak-hak asli orang Papua yang kadang di injak-injak dan di abaikan. Mereka yang di dusun-dusun perlu adanya uluran tangan melalui beberapa kunjungan.

Tugas MPR sebenarnya seperti itu, bukan duduk di Jayapura seenak. Keliling setiap saat dengan mobil mewah. Pertimbangan yang MRP akan berikan kepada Gubernur Papua, Ketua DPRP terpilih serta anggota DPR RI yang di usulkan bukanlah pertimbangan yang murni muncul dari aspirasi rakyat. MRP dorang kerja apakah, kita rakyat kecil sangat bingung dengan dorang pu kerja nih. Atau jangan-jangan dorang kerja makan uang saja lagi,” urai salah satu bapak di Abepura-Jayapura beberapa saat lalu mengkritisi kinerja MRP yang tidak kurun membuahkan hasil..

Saat Perdasi dan Perdasus di buat, MRP tidak pernah angkat bicara. Giliran 23 Milyar lebih dana untuk pemberdayaan orang Papua di lenyapakan dengan dalih pembuatan Perda, MRP kalang kabut. “kami sebagai lembaga cultural orang asli Papua, akan memberi pertimbangan kepada beberapa Perdasi dan Perdasus yang telah DPRP buat, “kata salah satu anggota MRP seperti di kutip Papua Post beberapa saat lalu.

MRP buta dan kalang kabut dengan hal ini. Zona darurat yang ingin MRP ciptakan dengan para penjilat di negeri Papua semakin terlihat. MRP dan para penjilat tidak pernah sadara dan paham, kalau manusia Papua manusia yang dicitptakan serupa dan segambar dengan Allah sendiri. Telah mereka lupakan beberapa amanat Undang-undang yang mereka buat sendiri. Hokum di Indonesia telah mati, hal itu bisa kita gambarkan dengan kegombalan hokum Indonesia yang selalu di jadikan ukuran untuk menindak tegas para pelanggara Undang-Undang itu.

Gambaran ketidakpuasan rakyat Papua terhadapa kinerja MRP yang kalang kabut bisa terlihat ketika puluhan ribu masa mendatangi kantor MRP di Jayapura beberapa saat lalu menyampaikan ketidakpuasaanya kepada kinerja MRP yang selalu bermain api dengan para “penjilat” di negeri ini untuk tetap membuat orang Papua terbelakang dan tertindas.

MRP harus sadari penuh, apa tugas dan tanggung jawab utama mereka. Harus koreksi juga, saat ini mereka sedang berada di posis, jalan dan arah mana. Tulisan yang sederhana ini hanya di buat sebagai bahan acuan untuk kembali ke jalur atau rel yang benar. Karena tugas media atau pers adalah mengarahkan ketidabecusan dari sebuah lembaga untuk kembali ke jalan yang benar.

Tulisan ini dibuat bukan berarti menghakimi MRP sebagai lembaga “murahan” yang bekerja setengah hati. Bukan mengkritisi beberapa tindakan gombal yang semakin membuat rakyat asli Papua tersingkirkan, tetapi lebih kepada pembenahan agar MRP “insaf” dengan tugas utamanya.

Tidak ada jalan lain yang MRP bisa lalui, selain membela dan memberdayakan orang asli Papua. Selain itu MRP harus bertanggung jawab penuh dengan segala tidakan yang di lakukan secara biadap oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. MRP harus membenci dan meluruskan para penjilat yang selalu dan selalu membinasakan orang Papua, karena rakyat asli Papua juga benci dan dendam dengan hal itu.

MRP harus menunjukan kualitas dan kinerja mereka dengan berbagai langkah dan tindakan yang bisa di jadikan ukuran untuk rakyat menilai. Menjadi wakil rakyat yang duduk di MRP bukanlah pekerjaan muda, tetapi ini sebuah pekerjaan yang sangat berat, karena bertentangan dengan mereka yang punya kepentingan dari segalanya yang ada di bumi Papua. (Penulis Adalah Siswa SMA Kristen Anak Panah dan Jurnalis Muda Papua)

Tulisan ini baru saja di muat di Tabloid Jubi, Edisi cetak.

Sumber gambar : www.tabloidjubi.com


headerr

Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

Post a Comment

Komentar anda...