Wednesday, August 18, 2010

Julian, Nasibmu Sungguh Malang (1)

Kisah nyata seorang anak Papua yang rela menggadaikan cinta, kasih sayang, dan pelukan hangat seorang Ibu dengan pendidikan. Sekarang jejak langkah, bahkan pusara sang ibu dan ayah yang ia cintai tak pernah di temui. Ia seperti hidup sendiri. Hidup tanpa siapa-siapa. Tangisan selalu menemani perjalanan hidupnya. Sungguh malang nasib anak ini.

OCTHO- BELASAN tahun silam lahir seorang bayi kecil. Ia di beri nama Julian oleh kedua orang tuanya. Bayi kecil ini sangat lucu. Ia sedikit imut dan ganteng. Kedua bola matanya bening. Hidungnya sedikit mancung. Bibirnya agak tebal. Ia lahir melengkapi kebahagiaan orang tuanya saat itu.

Julian lahir di sebuah kampung kecil. Terletak di daerah pegunungan Papua. Nama kampung itu adalah Mbamogo. Tepatnya kampung ini terletak di Kabupaten Intan Jaya. Sebuah daerah operasi baru yang di mekarkan dua tahun lalu oleh pemerintah.

Ayah Julian adalah seorang kepala suku. Seorang kepala suku di wajibkan untuk menikah lebih dari seorang istri. Ayah Julian menikahi sembilan orang istri, termasuk ibu Julian. Mereka hidup bahagia. Ayah Julian sangat berwibawa dalam mengendalikan kehidupan rumah tangga.

Julian memilki dua orang saudara perempuaan dan dua orang saudara laki-laki. Julian sendiri adalah anak bungsu. Kedua saudara perempuaan Julian telah berkeluarga. Sedangkan seorang saudara laki-laki yang kedua telah berpulang ke rumah bapak. Dan saudara laki-laki yang seorang lagi menjadi pekerja upahan di daerah Timika, Papua.

Kehidupan di kampung Mbamogo saat itu sangat menyenangkan. Ada dua gunung yang menjulang tinggi. Terdapat dua aliran sungai. Mengalir dengan derasnya. Air di sungai ini cukup jernih. Sungai dan Gunung adalah tempat bermain bagi Julian dan anak-anak di kampung itu.

Sungai di kampung Julian tidak sama dengan sungai di perkotaan yang telah tercemar limbah pabrik atau perusahaan. Mereka merawat sungai itu sebagai tempat kehidupan dan bermain. Gunung juga demikian. Ia di rawat dan di lestarikan semampunya.

Apa saja yang di inginkan Julian pasti terwujud. Mungkin bisa di maklumi karena ayah Julian adalah seorang kepala suku yang mempunyai segalanya. Julian sangat di sayangi oleh siapa saja, lebih-lebih oleh ayahnya sendiri.

Sejak kecil ia pandai berbicara menurut beberapa orang. Analisa katanya sangat tajam. Padahal saat itu ia belum memasuki jenjang pendidikan kanak-kanak.
Pada suatu waktu, Julian, Ibu, dan kedua saudara perempuaannya pergi memanen hasil di kebun. Kebun mereka tidak jauh dari rumah. Julian dengan sigapnya pernah berkomentar.

“Ibu, kasihaan yah, anak-anak yatim piatu yang telah kehilangan orang tua sejak kecil, bagaimana dengan kehidupan mereka nanti di hari esok.”

Sontak Ibu dan kedua sauara perempuaanya kaget. Mereka heran karena Julian kecil bisa berpikir sesuatu yang tak banyak orang pikirkan. Julian kecil telah memiliki semangat kemanusiaan yang tinggi.

Tutur katanya lebih mengarah kepada kepeduliaan kepada orang-orang yang tidak di kenalinya. Ia menunjukan semangat untuk mencintai dan peduli kepada orang lain yang tidak mampu. Ia mungkin kelak akan menjadi relawan kemanusiaan.

Julian kecil tumbuh menjadi anak yang cerdas, pintar dan manja. Ia di manja oleh siapa saja. Baik oleh ibunya, saudara-saudaranya, bahkan oleh masyarakat sekitar tempat ia tinggal. Julian seperti menjadi obat. Ia juga seperti menjadi “malaikat kecil” bagi setiap orang yang bersamanya. Ia tumbuh dengan penuh semangat dan bahagia.

Julian berumur empat tahun. Ia memilkii pergaulaan yang sangat luas. Ia bergaul dengan siapa saja. Ia tak memandang orang. Ia juga tak memandang latar belakang keluarga, status, bahkan agama sekalipun.

Tiba saatnya Julian berusaha memahami dunia sekitarnya. Namun tidak lengkap, jika Julian tak berusaha untuk mendapatkan pendidikan agar mengenal dunia yang belum pernah di kenalnya. Dunia globalisasi. Harapan itu ia pendam dalam hati. Tak ada seseoranpun yang tahu tentang harapan itu.

==============================================================================

HARAPAN Julian untuk menempuh pendidikan nampaknya akan terwujud. Sebuah yayasan membuka taman kanak-kanak di tempat Julian tinggal. Jaraknya sekitar 20KM dari tempat Julian. Jika berjalan kaki ke ketempat tersebut bisa mencapai delapan jam perjalanan.

Kebetulan kakak Julian yang saat itu sedang menjadi pembina asrama di yayasan dan sekolah tersebut. Ia mendaftarkan Julian untuk menjadi murid baru. Keinginan itu sebentar lagi akan terwujud. Keinginan untuk mengetahui perkembangan dunia yang nyata dan realistis.

Namun rasanya berat, ketika harus meninggalkan segalanya di kampung halaman. Mulai dari kemewaan hidup, alam yang indah sebagai anugerah pencipta, sahabat-sahabat, dan yang terakhir keluarga Julian sendiri.

Tekad yang kuat akhirnya menjadikan semua itu nyata. Julian pergi. Pergi meninggalkan semua kenangan indah di kampung halaman. Pergi meninggalkan cinta, kasih sayang, dan pelukan hangat semua orang yang ia cinta. Ia juga rela tidak mendapatkan kasih sayang, pelukan dan ciuman dari sang ibu.

Kepergiaanya Julian sepertinya membuat kampung Mbamogo muram. Ia pergi tanpa pamit secara resmi. Kesenangaan untuk mendapatkan pendidikan telah memaksanya untuk melupakaan semua kenangan indah di kampung halamannya.

Julian kecil pergi diantar langsung oleh ayah dan Ibunya. Julian sangat bahagia. Ia bahagia karena sebentar lagi mengenal dunia yang baru. Dunia yang belum pernah ia ketahui. Ia bahagia karena sebentar lagi mengenal dunia pendidikan. Dunia yang sebentar lagi akan mengubah segala pola pikirnya.

Julian tinggal di Asrama sambil menempuh pendidikan. Taman kanak-kanak Cenderawasih nama sekolahnya. Banyak suka duka yang ia alami. Ia di kenalkan pada dunia yang baru. Dunia yang tidak dia duga sebelumnya. Apakah ia tetap bertahan?….BERSAMBUNG





Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

Post a Comment

Komentar anda...