OCTHO- Jika di hitung-hitung, sudah hamper sembilan tahun UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua hadir di tanah Papua. Ia hadir untuk mengatasi banyak persoalaan, terutama masalah kesenjangan sosial antara daerah Papua dengan daerah lainnya di Indonesia.
UU Otsus juga merupakan bentuk penghargaan tertinggi pemerintah Indonesia kepada masyarakat Papua, khususnya penduduk asli. Dengan prinsip itu, UU Otsus diharapkan mampu memberikan kesempatan, bahkan memperluas ruang partisipasi masyarakat asli Papua dalam segala bidang pembangunan.
Namun, dalam implementasinya masih banyak rakyat Papua yang beranggapan Otsus telah gagal. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Kinerja MRP
Agar Otsus dapat berjalan dengan optimal, pemerintah pusat telah membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga repsentatif cultural orang asli Papua. Ia hadir dua tahun setelah Otsus di undang-undangkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 54 tahun 2004, tertanggal, 23 Desember 2004.
Kehadiran MRP juga merupakan “kado” berharga bagi seluruh rakyat Papua karena di berikan bertepatan dengan perayaan hari natal untuk umat nasrani.
Secara garis besar fungsi dan tugas utama MRP adalah dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama (pasal 1 butir ke-6).
Mengacu pada semangat itu, keanggotaan MRP terdiri dari orang-orang asli Papua yang berasal dari wakil-wakil adat, wakil-wakil perempuan, dan wakil-wakil agama. Saat ini anggota MRP berjumlah 41 orang, di tambah empat orang pimpinan, berarti seluruhnya berjumlah 45 orang.
Hingga saat ini kinerja MRP dianggap buruk. Pada tanggal 11 Februari tahun 2008 lalu, masyarakat Papua bersama mahasiswa pernah mendatangi kantor MRP, mereka meminta lembaga ini di bubarkan karena bekerja tidak optimal. (Cenderawasih Post, 12 Agustus 2008)
Dana Otsus
Kehadiran Otsus juga di barengi dengan kucuran dana dari pemerintah Pusat yang jumlah tidak sedikit. Harapannya dana itu bisa digunakan untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain di Indonesia.
Semisal 2,4 trilyun (tahun 2004), 4,8 trilyun (tahun 2006), 5,3 trilyun (tahun 2007), 5,5 trilyun (tahun 2008), 5,3 trilyun (tahun 2009), 5,2 trilyun (tahun 2010) dan untuk ABPD Propinsi Papua tahun 201I membutuhkan 5,8 trilyun.
Dana diatas diperuntukan untuk bagi pembiayaan berbagai sektor yang rawan dan begitu tertinggal, seperti; pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat Papua. Tetapi yang mengherankan, masih saja terjadi in-efisiensi yang berpeluang untuk dikorupsi oleh pejabat lokal.
Menteri Dalam Negeri, Gemawan Fauzi beberapa waktu lalu berkomentar bahwa dana Otsus untuk Papua pada tahun berikut akan di tambah. Ini sebuah langkah bijak yang harus di manfaatkan untuk kemajuaan Provinsi Papua.
Tidak Tepat Sasaran
Hingga saat ini pemakaiaan dana Otsus juga dianggap tidak tepat sasaran. Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH pernah mengatakan dalam bukunya “Kami Yang Menanam, Kami Yang Menyiram, Tuhan-lah yang Menumbuhkan” bahwa sekitar 80% dana Otsus digunakan untuk pembiayaan aparatur pemerintah Provinsi dan Kabupaten.
Ia juga menggambarkan bagaimana para pejabat Papua sering berfoya-foya dengan uang Otsus, padahal banyak rakyat mereka yang hidup sangat miskin. Seharunya para pejabat berpikir bahwa dana Otsus di peruntukan bagi masyarakat mereka yang miskin. (Suebu, Barnabas. 2007)
Pemberiaan dana block grant bagi masyarakat Papua juga merupakan sebuah kebijakan yang tidak tepat. Mengapa? Karena dana block grant diberikan tanpa tupoksi yang jelas dari pemerintah provinsi. Hal ini tentu memboros anggaran, karena akan di gunakan tidak tepat sasaran oleh masyarakat di kampung-kampung.
Akibat penggunaan dana Otsus yang tidak tepat sasaran, kehidupan masyarakat Papua sangat terpuruk. Infrastruktur di Papua juga tak begitu menjanjikan. Coba bandingkan dengan Provinsi Jawa Barat yang berpenduduk lebih dari 40 juta, dengan APBD hanya kurang dari Rp 10 triliun, namun infrastrukturnya memang jauh lebih baik. Bagaimana dengan penduduk Papua yang hanya sekitar 4 juta, namun mendapatkan dana APBD 22 trilyun.
Evaluasi Otsus
Evaluasi menyeluruh perlu di lakukan terhadap amanat UU Otsus. Penggunaan dana Otsus Papua juga perlu segera diaudit. Ini merupakan langkah yang tepat untuk mendukung implementasi Otsus beberapa tahun kedepan.
Selain mengaudit penggunaan dana Otsus, pemerintah pusat juga perlu membentuk sebuah lembaga independen, yang tugasnya mengontrol dan mengawasi setiap penggunaan dana Otsus. Lembaga ini di harapakan tidak terikat dengan birokrasi pemerintahaan.
Presiden SBY juga dalam beberapa media pernah memberikan pernyataan, dimana meminta Otsus segera di evaluasi, termasuk mengaudit penggunaan dana Otsus. Yang perlu di perhatikan adalah evaluasi dari sisi manajemen, anggaran, hingga pengawasaannya.
Semoga evaluasi dan audit dana Otsus merupakan langkah paling bijak untuk mendukung UU Otsus Papua ke depannya. Rakyat Papua masih tetap menanti jalan yang paling baik untuk perubahaan kesejahteraan hidup mereka. Semoga saja.
*Oktovianus Pogau adalah Jurnalis Lepas, tinggal di Jakarta
Ket Gambar : Ketua MRP berbicara di depan masa yang mengembalikan UU Otsus Papua beberapa waktu lalu.
Sunday, October 31, 2010
Kenapa UU Otsus Papua di Nilai Gagal?
Siapa Yang Bobrok?
OCTHO- BUKU Alkitab di anggap sebagai kitab suci orang Kristen maupun katholik. Maka penulisan maupun terjemahaan buku suci ini haruslah benar dan tepat, hal ini juga agar kesuciaan Alkitab bisa di pertanggung jawabkan dan bahkan bisa di buktikan.
Tapi saya juga ingin menunjukan sedikit "kebobrokan" penulisan maupun penerjamaan Alkitab. Penerjemah yang "bobrok" atau justru para penulis alkitab yang "bobrok", kalian bisa menentukan penilaiaan dan sikap sendiri.
Injil Matius
Dalam Injil Matius 4:1-11 tentang bagaimana Iesus (Jesus) di cobai iblis di padang gurun; Cobaan pertama; Iblis minta batu di rubah jadi roti, Yesus menolak dengan tegas.
Kedua; Iblis membawa Yesus ke bubungan bait Allah, dan menyuruh Ia menjatuhkan diri, Yesus juga menolak.
Dan ketiga; Iblis memperlihatkan kepada Yesus kemegahaan kerajaan-kerajaan di dunia, dan akan memberikan kepada Yesus jika Ia sujud menyembah Iblis, namun lagi-lagi Yesus menolak dengan menyuruh Iblis pergi dari hadapanNya.
Masih topik yang sama, tentang pencobaan Yesus di padang gurun, tetapi kita lihat pada kitab injil yang berbeda.
Injil Lukas
Injil Lukas pasal 4; 1-13 juga menceritakan tentang pencobaan Yesus di padang gurun setelah berpuasa 40 hari lamanya.
Cobaan pertama sama dengan bunyi injil Matius, yakni; Iblis menyuruh Yesus mengubah batu menjadi roti, dan Yesus menolak.
Nah, yang berbeda di pencobaan yang kedua, Injil lukas menulis bagaimana Iblis menunjukan kepada Yesus kemegahaan kerajaan-kerajaan di dunia, dan akan memberikan jika Yesus sujud menyembah dia. Ini berbeda dengan pencobaan kedua pada kitab Matius, yang mana mengatakan bahwa Yesus di bawahd ke bubungan bait suci oleh Iblis.
Dan yang ketiga juga berbeda dengan yang di tulis Injil matius, pada pencobaan ketiga; Iblis membawah Yesus ke bubungan bait Allah dan menyuruh Yesus menjatuhkan diri.
Siapa Yang Salah?
Jadi, Injil Matius menulis berbeda, dan Injil Lukas juga menulis berbeda. Saya sendiri masih bingung, siapa yang bersalah. Injil lukas yang salah, Injil matius yang salah, atau justru penerjemah yang salah.
Ini patut kita diskusikan. Saya kira topik yang menarik. Semakin kita kritis, semakin kita bisa membuktikan sebuah "buku" yang di anggap kitab suci agama nomor satu di dunia ini.
salam,
Thursday, October 28, 2010
Bukan
OCTHO- Tentunya tidak ada manusia di dunia ini yang menginginkan datangnya sakit penyakit. Sebuah peristiwa dimana kita memandang hidup tak akan berarti lagi. Semua orang benci pada peristiwa ini. Termasuk saya sendiri.
Tapi fakta harus berkata lain. Ia menganjurkan saya untuk cinta pada penyakit, dan sayang pada obat-obatan untuk mengatasi sakit tersebut.
Saya masih ingat, tanggal 06 Juni 2010, pukul 12.00 Wib lembaran baru itu harus di buka. Dokter di RS Soetomo, Surabaya memvonis saya mengidap sebuah penyakit. Vonis ini seakan-akan mengatakan bahwa dunia ini tidak selamanya putih.
Tak perlu saya menuliskan apa penyakit tersebut. Cukup hanya “beberapa” saja yang tahu. Saya tak ingin memberatkan orang lain. Dan karena itu saya tak ingin mereka tahu, termasuk kau. Kalian tidak boleh berpikir tentang saya. Pikirkan hal yang bisa kaliaan pikirkan.
Menurut saya, ini sebuah pukulan berat yang harus di tanggung. Sempat bertanya pada dunia, “Kenapa sakit ini datang ketika saya jauh dari mereka semua.”
Sampai saat ini tak ada jawabannya. Kalaupun ada, penjelasaannya tak pernah saya pahami. Intinya, mengisyaraktkan bahwa kau harus menanggung sendiri hingga tuntas penyakit tersebut.
Siapa yang mau di salahkan dengan penyakit ini. TUHAN? Diri sendiri? Orang tua? Atau justru perjuangan pembebasaan. Tak mau menyalahkan siapapun. Saya juga tak mau salahkan takdir.
Kenyataan yang telah terjadi itu harus di hadapi. Menyesalkan yang telah terjadi memang pantas. Sangat pantas. Menyesali adalah bagiaan terkecil dari pertobataan manusia, termasuk saya sendiri.
Bagiaan dari sebuah penyesalaan juga telah saya jalani. Menangis, marah pada sakit penyakit, marah pada siapa saja yang membuat kecewa. Semua itu telah di lalui. Saya lalui semua itu dengan baik dan bahkan juga tidak baik.
Hari ini adalah hari Rabu tanggal 27 Oktober 2010. Saya juga bingung, kenapa di hari ini saya ingat untuk menuliskan hal ini.
Sudah hampir empat bulan juga saya bertahan untuk minum obat. Banyak suka dan duka yang di hadapi. Semua itu di jalani dengan penuh tawa dan canda. Semua itu membuat saya semakin dewasa. Saya dewasa dalam berpikir, bertindak serta menentukan pilihaan.
Saya akan tetap bertahan. Menghabiskan sisa hidup ini. Karena hidup ini hanya ada dua pilihaan, “pergi” cepat atau “pergi” lambat. Keduanya sama saja, tergantung kapan waktu kau yang tepat. Supaya kepergiaan kau berarti, buatlah hal-hal yang dapat bermanfaat bagi orang lain.
Sampai kapan? Sampai kau merasa bahwa kau telah menjadi orang yang berguna dan berarti bagi orang lain. Lakukanlah kerja-kerja itu. Menulis ketika ada yang harus di tuliskan, dan bukan untuk di kasihani. Sekali lagi bukan.
*Menuliskan ketika harus di tuliskan.
Tuesday, October 12, 2010
Negara Indonesia Bertanggung Jawab Atas Insiden Penembakan Warga sipil di Baliem, Wamena
OCTHO- Diatas tanah leluhur mereka sendiri, rakyat Papua tidak pernah merasa hidup nyaman. Selalu saja ada teror, intimidasi, bahkan sampai pada pembunuhaan. Peristiwa-peristiwa seperti ini di lakukan oleh aparat Militer Indonesia secara teranga-terangaan, maupun secara tersembunyi, semua di lakukan untuk memusnahkan orang asli Papua. Ini menandakan bahwa negara tidak pernah menerima dan mengakui rakyat Papua.
Insiden penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian (KP3 Bandar Udara Wamena) pada tanggal 4 September 2010 lalu, di Kabupaten Wamena merupakaan bukti nyata. Peristiwa ini menewaskan satu orang warga sipil dan beberapa lagi mengalami luka-luka berat. Mereka adalah anggota PETAPA di Wamena. Ini merupakaan tindakan tidak terpuji, sekaligus merupakaan murni tindakan kejahataan manusia (pelanggaran HAM berat) yang di lakukan aparat Militer Indonesia.
Sebelum terjadi penembakan di Wamena, beberapa waktu lalu juga terjadi penembakan oleh anggota Brimob Detasemen C Manokwari di Provinsi Papua Barat terhadap warga sipil setempat. Peristiwa ini menyebabkan dua warga sipil tewas, dan satu mengalami luka-luka kritis. Aparat Militer di tanah Papua memang sangat jahat dan kejam.
Insiden penembakan di Wamena bermula dari penyitaan topi PETAPA (penjaga tanah adat Papua), dan sejumlah uang Rp 40.000.000, yang berujung pada korban nyawa manusia yang tak berdosa. Berawal dari adu mulut antara masyarakat dan aparat kepolisiaan, dan pengejaran oleh polisi, dan akhirnya terjadi penembakan tersebut. Hal ini di lakukan tanpa tembakan peringataan, maupun berusaha menggunakan cara-cara damai. Dalam peristiwa ini Ismail Lokobal (34) meninggal seketika, karena tiga peluru bersarang di dadanya. Kemudian Amos Wetipo (42) tertembak di kepala, Frans Lokobal (36) tertembak di bagiaan pinggang. Tragedi ini berlangsung pukul 08.00 Wit.
Insiden penembakan masyarakat Papua adalah benar dan sesuai dengan pernyataan Ali Murtopo pada tahun 1967 yang mengatakan bahwa “Kami tidak membutukan manusia Papua, tetapi kami hanya butu kekayaan alam yang ada di tanah Papua, kalian orang Papua minta kepada Amerika untuk carikan tempat lain untuk merdeka”. Maka Sejak kehadiran Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 hingga sekarang, pemerintah datang bukan sebagai sebuah Negara yang bisa melindungi, memberdayakan dan membanguna masyarakat adat Papua, tetapi datang sebagai penjajah yang membunuh dan memusnahkan orang asli Papua.
Akhirnya creeping genocide (pemusnahan etnis secara merangkak perlahan) sedang terjadi. Kami akan menjadi minoritas dan punah diatas tanah-air kami. Indikator-indikator terjadinya creeping genocide antara lain: masyarakat asli Papua dibunuh oleh senjata api, senjata tajam, senjata tumpul, senjata cair (minuman keras), senjata virus (HIV/AIDS), penyakit malaria dan lainnya, kemungkinan adanya pembunuhan akibat rekayasa kriminal (kriminalisasi) termasuk pembunuhan karakter;
Orang asli Papua juga saat ini merasa menjadi minoritas di atas tanah kelahiran mereka sendiri. Kita lihat saja secara demografi populasi rakyat bangsa Papua tidak berkembang secara signifikan, baik dari kualitas maupun kuantitas. Hal itu dapat dibuktikan, bahwa pada tahun 1969 populasi orang asli Papua berjumlah ± 800.000 jiwa, sekarang pada tahun 2010 berjumlah ± 1,5 juta jiwa. Jika di bandingkan dengan Papua Timur ( Papua Neuw Guinea ) yang sama ras pada tahun 1969 populasi berjumlah ± 900.000 jiwa sekarang populasi berjumlah ± 7 juta jiwa kurung waktu yang sama.
Undang-undang Otonomi Khusus, Undang-undang otonomi daerah (Otda) dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di Tanah Papua sejak tahun 1969 sampai sekarang (tahun 2010) tidak dapat menjamin masa depan hak hidup rakyat bangsa Papua. Rakyat bangsa Papua Barat populasinya secara demografi semakin termarjinalkan menjadi minoritas dan cenderung menuju kepunahan akibat creeping genocide.
Maka kami koalisi mahasiswa peduli pelanggaran HAM Papua atas insiden penembakan 4 Oktobor 2010 dan secara umum atas pelanggaran HAM yang di lakukan Negara di tanah Papua meminta agar;
1. Negara Indonesia (SBY-Boediono) bertanggung jawab penuh atas insiden penembakan tiga orang masyarakat adat di lembah Baliem, Kabupaten Wamena, Papua.
2. Kami menuntut otak-otak pelaku skenario untuk di tangkap dan di adili, di antaranya Kapolda Kapolda Papua, Irjen Polisi Bekto Suprarto dan Kapolres Jayawijaya, Kombes Pol I Gade Sumerta.
3. Kami menuntut Negara Indonesia untuk menghentikan segala kekerasan, baik; intmidasi, teror dan pembunuhaan yang dilakukan oleh TNI/Polri di seluruh tanah Papua.
4. Segera cabut status Daerah Operasi Militer (DOM) yang masih di berlangsungkan di seluruh tanah Papua.
5. Lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional maupun Nasional segera melakukan investigasi secara khusus atas penembakan di Wamena, dan secara menyeluruh di tanah Papua.
Demikiaan pernyataan sikap dan tuntutan kami, atas perhatian dan kerja sama, kami mengucapkan banyak terima kasih.
Kordinator Umum Aksi
Vincentsius Lokobal
SIARAN PERS
KOALISI MAHASISWA PEDULI PELANGGARAN HAM PAPUA
Untuk Segera Diterbitkan
Negara Indonesia bertanggung jawab atas penembakan warga sipil yang terjadi Baliem, Kabupaten Wamena, Provinsi Papua pada tanggal 4 Oktober 2010, pukul 08.00 Wit. Dan termasuk segala pelanggaran berat HAM yang sudah sering terjadi tanah Papua sejak Papua di integrasikan pada tanggal 1 Mei 1963.
Insiden penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian (KP3 Bandar Udara Wamena) merupakaan bukti nyata negara tidak bisa melindungi dan mengayomi masyarakat Papua. Bahkan kami bisa mengatakan, Negara tidak ingin hidup berdampingan secara damai dan aman dengan masyarakat Papua.
Insiden ini menewaskan satu orang warga sipil dan beberapa lagi mengalami luka-luka berat. Mereka adalah anggota PETAPA di Wamena. Ini merupakaan tindakan tidak terpuji, sekaligus merupakaan murni tindakan kejahataan manusia (pelanggaran berat HAM) yang di lakukan aparat Militer Indonesia.
Sebelum terjadi penembakan di Wamena, beberapa waktu lalu juga terjadi penembakan oleh anggota Brimob Detasemen C Manokwari di Provinsi Papua Barat terhadap warga sipil setempat. Peristiwa ini menyebabkan dua warga sipil tewas, dan satu mengalami luka-luka berat. Aparat Militer di tanah Papua memang sangat jahat dan kejam.
Insiden penembakan di Wamena bermula dari penyitaan topi PETAPA (penjaga tanah adat Papua), dan sejumlah uang Rp 40.000.000, yang berujung pada korban nyawa manusia yang tak berdosa. Berawal dari adu mulut antara masyarakat dan aparat kepolisiaan, dan pengejaran oleh polisi, dan akhirnya terjadi penembakan tersebut.
Hal ini di lakukan tanpa tembakan peringataan, maupun berusaha menggunakan cara-cara damai. Dalam peristiwa ini Ismail Lokobal (34) meninggal seketika, karena tiga peluru bersarang di dadanya. Kemudian Amos Wetipo (42) tertembak di kepala, Frans Lokobal (36) tertembak di bagiaan pinggang. Tragedi ini berlangsung pukul 08.00 Wit.
Seharusnya pemerintah Indonesia melalui aparat Militer melindungi, mengayomi, dan menjaga masyarakat di tanah Papua, bukan justru membunuh mereka dengan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi. Jika Negara tidak punya niat baik untuk membangun dan menjaga masyarakat Papua, sudah tentu dampaknya akan berbahaya bagi keutuhaan Negara kesatuan republic Indonesia.
Kami minta, lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) yang berdomisil di dunia Internasional seperti; Amensty International maupun Human Rights Watch (HRW) perlu melakukan investigasi menyeluruh terkait pelanggaran berat HAM yang di lakukan oleh Negara terhadap masyarakat adat di tanah Papua. Negara Indonesia harus membuka diri dari intervensi lembaga-lembaga hak asasi manusia internasional.
Kita mengiginkan Papua menjadi tanah damai, tetapi jika Negara melalui aparat kepolisian melakukan tindakan terpuji yang dapat menimbulkan konflik, kami kira percuma kita degungkan jargon Papua tanah damai. Kedamaiaan hanya akan terwujud, jika Negara sadar dan mengakui masyarakat adat di tanah Papua punya hak untuk hidup dan berkembang.
Jakarta, 7 Oktober 2010
Kordinator Umum
Vincentsius Lokobal