Thursday, March 31, 2011

Mengenang Pencarian Suaka ke Australia


“Merasa Tidak Aman Hidup di Daerah Sendiri”

PADA tanggal 20 Januari 2006, kira-kira pukul 18.00 waktu Australia, 43 warga asal Papua menggunakan speed boat dari Kabupaten Merauke, dan berhasil tiba di pantai terpencil Cape York di Australia timur laut.

Empat diantara rombongan tersebut adalah anak-anak, beberapa lagi aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM), selebihnya warga Papua yang merasa terancam hidup ditanah sendiri.

Hampir lima hari empat malam mereka diatas speed boat. Tujuannya jelas, meminta perlindungan dari pemerintah Australia, karena mereka tidak merasa aman hidup di Negara Indonesia.

Rombongan ini dipimpin Herman Wainggai, salah satu pimpinan West Papua National Authority (WPNA). Selama ini Herman dikenal sebagai salah satu tokoh pemuda yang giat mengkampayekan kemerdekaan bagi bangsa Papua. Kampanye Herman juga meluas hingga ke luar negeri.

Dua media besar di Australia, The Sidney Mornig Herald, dan The Australian serta beberapa media internasional memuat berita kedatangan 43 pencari suaka pada halaman utama Koran mereka saat itu.

Pemerintah Indonesia sangat kaget mendengar berita tersebut. Di Jakarta Departemen Luar Negeri (Deplu) langsung memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer. Tujuannya menyampaikan keberatan dan protes terkait pemberiaan visa tinggal sementara dari pemerintah Australia kepada warga Papua tersebut.

Di Australia lain hal. Presiden Susilo Bambang Yudhoyo segera memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk Australia, Hamzah Thayeb di Canbera,.

Kedatangan 43 pencari suaka asal Papua ini tidak terjadi begitu saja. Dan bukan tujuan mencari sensasi atau dukungan interansional belaka.

Pemerintah Indonesia, melalui aparat militer selama ini memang melakukan tindakan brutal di Papua. Tindakan yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak azasi manusia (HAM) berat.

Pelanggaran HAM berat di Papua terjadi sejak tahun 1963. Saat itu Papua masih sebagai daerah sengketa. Daerah yang tak bertuan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Unitied Nations Temprary (UNTEA) untuk mempersiapkan segalanya menuju referendum bagi Papua ditahun 1969.

Maksud referendum dari PBB adalah setiap orang Papua berhak menentukan nasib mereka sendiri. Apakah ingin ikut Indonesia. Ikut Belanda atau jutru berdiri sendiri. Istilahnya satu orang satu suara (one man, one vote), sesuai isi salah satu pasal New York Aggrement 1969.

Tapi ini dimanipulasi oleh pemerintah Indonesia. Mereka memilih 1025 orang untuk mewakili 800.000 orang Papua. Jumlah orang yang berhak memilih juga ditentukan oleh militer Indonesia. Semua berlangsung dibawah todongan moncong senjata militer Indonesia.

Profesor Pieter Drooglever, sejarahwan Belanda dalam buku “Tindakan Pilihan Bebas” menguraikan secara gamblang manipulasi sejarah yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui penentuan pendapat rakyat.

Ia menyatakan Papua berhak menentukan nasib sendiri menjadi Negara merdeka. Hal ini berangkat dari tindakan pemerintah Belanda yang sudah pernah memberikan kemerdekaan kepada rakyat Papua. Bahkan sudah membentuk stukutur Negara merdeka. Negara Papua Barat.

Berdirinya Papua menjadi sebuah Negara baru dibenarkan oleh Presiden Sukarno saat mengeluarkan tri komando rakyat (Trikora) di Jogjakarta. Pasal pertama dari trikora tersebut adalah “Bubarkan Negara bonek bentukan colonial belanda”.

Secara tidak langsung, seorang Presiden Indonesia sendiri menyatakan bahwa Papua adalah sebuah Negara merdeka.

Jadi, pilihan Herman Wainggai bersama 42 orang pencari suaka tersebut tidaklah salah. Yang salah adalah pemerintah Indonesia. Dimana selama ini tidak berlaku adil terhadap masyarakat Papua. Dan menggunakan cara-cara kekerasaan, serta tindakan represif untuk menghadapi tuntutan rakyat Papua.

Kedatangan mereka ke Australia mendapat sambutan hangat dari masyarakat internasional, maupun pemerintah Australia. Walau mendapat tekanan dari pemerintah Indonesia melalui presiden SBY, pemerintah Australia tetap memberikan visa tinggal bagi mereka.

Tindakan pemerintah Australia memberikan visa tinggal bagi 43 orang pencari suaka memang tepat. Ia juga dijamin deklarasi universal tentang hak asasi manusia pada pasal ke-14. Isinya, setiap orang dapat mencari suaka jika ada tuntutan dan jika disetujui dapat dinikmatinya.

Misalnya, pada tahun 1973 ketika di Chile terjadi kudeta dan lebih dari 1000 orang masuk ke gedung-gedung perwakilan diplomatik di negara tersebut untuk meminta suaka diplomatik. Ini dijamin oleh undang-undang internasional.

Jika pelanggaran HAM berat terus terjadi di Papua. Kekerasan dikedepankan dalam menghadapi rakyat Papua. Serta proses genocida terus dijalankan secara terselubung, ini merupakan bom waktu bagi pemerintah Indonesia.

Saat ini jumlah masyarakat Papua telah menjadi minoritas ditanah mereka sendiri (48%) dari jumlah keseluruhan. Populasi penduduk asli juga tak kunjung berkembang. Penyebabnya pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah Indonesia hingga banyak yang menjadi korban. Serta pengungsian besar-besaran (mencari suaka) ke Negara PNG dan Australia yang dilakukan sebagian besar warga Papua.

Sampai kapan pemerintah Indonesia menggunakan cara-cara damai dan bermartabat dalam menyelesaikan setiap permasalahan di Papua.

Sampai kapan orang Papua akan dihargai layaknya manusia. Berikan kami kebebasan. Bebas untuk hidup. Bebas untuk menentukan hak dan nasib kami sendiri. (***)

Tulisan ini telah dimuat di Majalah Cermin Papua

Sumber gambar: Google

Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

Post a Comment

Komentar anda...