OCTHO – Buctar Tabuni, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sekaligus salah satu tahanan Politik di Papua mengatakan bahwa mereka akan mengembalikan bendera merah putih kepada Negara kesatuan republic Indonesia, jika Negara tidak memperhatikan hak-hak adat rakyat Papua, termasuk ha-hak politik.
“Kami akan mengembalikan merah putih kepada Negara Indonesia, jika mereka tidak memperhatikan haki-hak adat dan hak-hak politik kami,” jelas bucthar di hadapan Menteri Hukum dan HAM, kemarin (Sabtu/05) di LP Abepura, Jayapura.
Pernyataan Bucthar di dasarkan pada kenyataan, dimana persoalan politik dan hak asasi manusia orang asli Papua tidak pernah di perhatikan oleh Negara Indonesia. “Negara harus memperhatikan seluruh tahanan politik yang ada di tanah Papua, sebab kami juga mempunyai hak dan kewenangan untuk hidup,”urainya.
Sementara itu Menteri Hukum dan HAM, Patrlalis Akbar mengatakan bahwa apa yang di sampaikan oleh Buctar Tabuni akan menjadi perhatian utama mereka. “Kami akan memperhatikan apa yang di katakan oleh saudara Buctar,”jelasnya.
Menteri Hukum dan HAM juga mengatakan bahwa kunjungan mereka juga untuk memperhatikan segala aspirasi dan keluhan yang di sampaikan oleh para tahanan di lembaga permasyarakatan Abepura.
“Kami akan memperhatikan apa yang menjadi keluhan, kebutuhan, dan aspirasi para tahanan di Lapas Abepura,” urainya saat memberikan penjelasan. (op)
Sumber: Tabloid Jubi Online
Saturday, May 15, 2010
Bucthar Tabuni : Kami Akan Kembalikan Merah Putih
Friday, May 14, 2010
Mahasiswa Uncen Palang Kampus Sambil Berdemo
Kampus Uncen milik orang asli Papua, sudah tentu kesempatan untuk mendapatkan pendidikan juga harus di berikan kepada mereka . Kenyataan ini mengalami kendaia, tuntutan mahasiswa cuma satu, kembalikan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan.
OCTHO- Mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua berdemo ke kampus sekaligus mereka memalang kampus mereka, terkait penerimaan mahasiswa baru di kampus Uncen yang menurut mereka lebih di dominasi oleh orang non-Papua, Jumat (14/05) kemarin.
Benyamin Gurik, Kordinator aksi mengatakan bahwa kampus Uncen adalah kampus orang asli Papua, oleh karena itu penerimaan mahasiswa baru harus lebih berpihak kepada anak-anak aslis Papua itu sendiri. “Kampus ini milik orang asli Papua, oleh karena itu penerimaannya harus berpihak kepada orang asli Papua,“ tegasnya.
Lebih lanjut menurut Gurik, visi dan misi Uncen sudah jelas, bahwa ingin memberdayakan anak-anak asli Papua, oleh karena itu harus di wujud nyatakan komitmen itu.
Gurik juga mengatakan bahwa, sistem penerimaan mahasiswa baru yang bersifat online tidaklah memihak kepada orang asli Papua, karena tidak banyak orang asli Papua yang paham akan dunia teknologi, dalam hal ini dunia internet. Selain itu juga banyak orang asli Papua yang hidupnya di daerah-daerah pedalaman, pesisir dan pegunungan, sudah tentu tidak terdapat fasilitas internet di sana.
Kebijakan kampus yang membuka pendaftaran mahasiswa baru dengan system Online sudah tidak relevan, dan tidak pas untuk anak-anak asli Papua, kami kira manajemen kampus memahani persoalan ini, pungkas mereka saat menyampaikan pendapatnya.
Setelah secara bergantian masa menyampaikan orasi, akhirnya mereka diterima oleh pembantu rektor satu, Festus Simbiak bersama dengan beberapa dekan fakultas di ruang Auditorium. Dalam arahanya pembantu rector satu mengatakan bahwa tuntutan yang di sampaikan oleh mahasiswa akan di bicarakan dengan pihak kampus, dalam hal ini kepada rektor juga.
“Kami sudah tentu akan mengakomodir tuntutan ini, nanti kita akan lihat sama-sama di akhir pengumuman. Tungguh saja hingga ada hasil yang jelas,” urainya menjelaskan.
Setelah pembantu rector satu menjelaskan terkait tuntutan mereka, dengan tentang masa membubarkan diri. “Kami akan kawal dan tunggu sampai ada hasil penerimaan mahasiswa yang di umumkan secara resmi,” tegas salah satu pendemo kepada media ini. (oP)
Thursday, May 13, 2010
Pedagang Asli Papua Harus Diperhatikan
OCTHO- Kurang lebih 9 tahun lamanya pedagang asli Papua, LSM dan pihak gereja yang tergabung dalam Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP) berjuang untuk mendapatkan fasilitas pasar. Tuntutannya hanya satu, pemerintah segera realisasikan pembangunan pasar dan fasilitasnya bagi pedagang asli Papua. Tuntutan dalam bentuk demo ini pernah mereka layangkan ke Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakila Rakyat Daerah (DPRD) Kota Jayapura, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan terakhir sampai juga ke Kantor Gubernur Provinsi Papua, Gedung Negara, di Dok II Jayapura.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua telah hadir cukup lama, namun wajah dan roh dari pada UU ini sama sekali tidak menyentuh pedagang asli Papua. Amanat Otsus berbicara banyak tentang pemberdayaan orang asli Papua di atas tanah leluhur mereka sendiri, namun apa kata, sampai saat ini hal itu tidak pernah di jalankan oleh pemerintah.
Pemerintah selama ini beranggapan bahwa tuntutan pedagang asli Papua untuk mendapatkan fasilitas pasar adalah tuntutan yang biasa-biasa saja, padahal tidak, ini sebuah tuntutan yang lahir dari sanubari hati, dimana ingin menunjukan bahwa pedagang asli Papua mampu dan dapat bersaing secara sehat dengan para pedagang non-Papua.
Sebuah kenyataan yang menggenaskan, saat ini semua sektor perekonomian dan pasar di kuasai oleh penduduk non-Papua. Kehadiran mereka telah menyingkirkan penduduk asli secara tidak langsung, di tambah lagi dengan kepercayaan pemerintah daerah maupun provinsi yang berlebihan pada mereka. Pedagang asli Papua di buat betul-betul tidak berdaya. Menjadi pertanyaan, inikah wajah Otonomi Khusus yang sebenarnya?
Harus kita akui, ketika melihat ekonomi pasar di kuasi oleh penduduk non-Papua, sebenarnya kesalahan utama terletak pada pemerintah daerah maupun provinsi yang tidak pernah “berani” mempercayakan pedagang asli Papua untuk maju, mandiri serta bersaing secara sehat dengan pedagang non-Papua. Pejabat birokrasi yang berhubungan langsung dengan pemberdayaan ekonomi lebih pintar membual dari pada menepati janjinya.
Mengapa pembangunan pasar dan fasilitas yang lebih baik perlu untuk pedagang asli Papua, sudah tentu semua untuk mengakomodir kepentingan pedagang asli Papua yang selama ini terpinggirkan di atas tanah leluhur mereka. Banyak di antara mereka yang telah menjadi korban, beberepa di antara telah meninggal dunia, mereka seperti; Ibu Ice Kayame, Maria Yogi, Ibu Numberi dan masih ada beberap lagi yang belum kami data secara jelas. Identitas dari pada rakyat Papua harus ada, sehingga sudah tentu konsep dan pembangunan pasar harus mengarah kepada identitas orang asli Papua itu sendiri.
Konsep dan jenis pasar yang telah di usulkan sendiri harus ada 5 lantai. Lantai 1-2 untuk menjual berbagai bahan makanan yang berjenis basah, seperti; lauk pauk, sayur mayur, buah-buah, singkong, ubi, keladi, dll. Sedangkan lantai 3-4 untuk tempat menjual berbagai aksesoris, benda-benda antic, seni budaya, seni ukir, baju batik dan kerajianan tangan ala Papua, dan lantai yang terakhir adalah untuk sebuah kantor, ruang koperasi, serta tempat pendidikan untuk anak-anak usia dini.
Pemerintah memunyai hak, memunyai kewenangan, serta memunyai kapasitas tertinggi untuk kemajuan ekonomi di Papua, amanat Otsus memberi jaminan soal itu. Jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah pusat masih berwenang, itu tidak-lah benar. Selama ini pemerintah tidur soal pekerjaan mulia ini, pekerjaan memberdayakan ekonom atau pedagang asli Papua sendiri.
Yang menjadi pertanyaan saat ini, kemana orang-orang Papua yang pintar, pandai serta bergelar tinggi-tinggi, yang katanya mempunyai konsep yang bagus untuk pembangunan dan pemberdayaan rakyat Papua? Bukankah banyak dari antara mereka yang telah “terselip” masuk di struktur pemerintahan (birokrasi). Jangan sampai, ada imits dari masyarakat luas, bahwa segala “kelebihan” itu di pakai untuk membual, berbohong untuk korupsi, menjarah, bahkan sampai merampok uang rakyat kecil.
Pemerintah harus insaf dan memberikan perhatian yang penting terhadap tuntutan ini, tuntutan ini lahir dari tangisan, kerinduan, serta sebuah harapana, dimana pedagang asli Papua dapat maju dan berkembang di atas tanah leluhur mereka sendiri. Mungkin sudah saatnya pemerintah membangun sebuah kepercayaan, salah satunya dengan cepat realisasikan janji-janji yang pernah di kumandangkan saat pemilihan kepala daerah di langsungkan beberapa tahun silam.
Aksi demo yang di lakukan dari tahun ke tahun oleh pedagang asli Papua, akhirnya telah sedikit membuahkan hasil, dimana saat Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, S.H saat menerima masa pada tanggal 15 September 2009 lalu di Gedung Negara, Dok II Jayapura, yang mana mengatakan dengan jelas bahwa akan segera memfasilitasi agar pembangunan pasar bagi pedagang asli Papua segera di realisasikan.
Tindak lanjut dari pada pernyataan itu, maka kami tetap menuntut terus, agar janji dari pada gubernur Papua segera di realisasikan. Hal ini juga agar kepercayaan public kepada seorang pimpinan di daerah Papua tidak begitu saja menurun. Semoga aspirasi, harapan dan keinginan pedagang asli Papua ini secepatnya di realisasikan.
Jayapura, 15 Mei 2010
Sumber gambar: kompas cetak
Wednesday, May 12, 2010
Catatan Seminar Publik Pro dan Kontra Integrasi Papua Kedalam NKRI
Kalangan rakyat Papua menyatakan bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI belum selesai, tentu hal ini bersebarangan dengan pendapat segelintir orang Papua yang menyatakan, bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI sudah selesai. Siapa benar dan siapa salah??
Pendahuluan
OCTHO- Melalui sebuah wadah pergerakan anak-anak muda Papua yang begitu peduili dengan persoalan di tanah Papua, yakni; Komite Nasional Papua Barat (KNPB) baru saja di selenggarakan seminar public sehari yang bertemakan “Pro dan Kontra Integrasi Papua Kedalam wilayah NKRI”. Sudah tentu ini merupakan sebuah batu loncatan, dimana dengan berani mampu menghadirkan mereka yang selama ini begitu pro dan kontra terhadap integrasi Papua ke dalam wilayah NRKI.
Para pembicara yang hadir sekaligus memberikan materinya dalam seminar public kali ini sangat beragam, mulai dari yang pro seperti; Nicolas Messet (Tokoh Papua) dan Jimmy Demianus Ijie (Wakil Ketua DPR Papua Barat dan yang kontra seperti; Edison Waromi, S.H (Presiden Eksekutif WPNA) dan Pdt. Socrates Sofyan Yoman, S.Th (Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Papua).
Selain itu, hadir pula Laos Kalvin Rumayom, S.Sos salah satu staf pengjar di Universitas Cenderawasih, yang memberikan pandangannya mengenai hubungan Internasional dan Hukum Internasional. Tampak hadir sebagai moderator seminar public, Matius Murib, dari Komnas HAM untuk wilayah Papua. Dan hadir juga para wartawan berbagai media local dan nasional. Sedangkan public yang mengikuti seminar kali ini di perkirakan 400-an orang.
Pro dan Kontra
Antara yang pro dan kontra tidak akan pernah bertemu, apalagi jika kedua-duanya memiliki kepentingan tertentu, di tambah dengan egonya yang berlebihan. Kedua kalangan ini memilki paradigma yang berbeda terhadap persoalan dan konflik di Papua. Perbedaan ini sudah tentu harus di satukan, dan penulis sendiri tidak yakin, dengan seminar seperti ini akan mempersatukan kedua pandangan tersebut.
Kalangan yang telah menyatakan integrasi telah selesai sering mengemukakan pendapat mereka, bahwa NKRI adalah harga mati. Kalangan ini lebih setuju, jika membangun Papua dalam amanat Otsus. Mereka lebih setuju merdeka internal orang Papua, seperti bebas mendapat pendidikan, bebas dari sakit penyakit, bebas dan korupsi, dan lain sebagainya.
Dilain kesempatan, mereka juga sering menerbitkan beberapa paper, essay dan juga buku, diantaranya adalah salah satu buku yang di terbitkan oleh Pusat Studi Nusantara, dengan Judul “Integrasi Sudah Selesai, Komentar Kritis Atas Papua Road Map”. Dalam buku ini beberapa orang Papua menjadi penulis, seperti Jimmy Demianus Ijie (Wakil Ketua DPR Papu Barat), Julian Yap Marey (Mantan Tokoh OPM), J.R.G Djopari (staf pengajar di Jakarta, sekalgus mantan duta besar Indonesia untuk PNG) dan masih ada beberapa anak muda lainnya yang begitu pro terhadap integrasi.
Dalam buku kecil itu, kebetulan saat itu penulis sempat menghadiri launching buku di Universitas Gadja Mada (UGM), UTC, Lantai II, Yogjakarta, mereka menyatakan dengan jelas, integrasi adalah sebuah persoalan yang tidak perlu di bicarakan, karena toh, Papua sudah final ikut dengan NKRI. Selain itu, Integrasi Papua terbukti tidak bermasalah, dengan kompromi politik yang di lakukan oleh beberapa demokrat Papua dan Jakarta untuk menghadirkan Otsus di Papua.
Sedangkan kalangan yang menyatakan bahwa Integrasi belum selesai selalu mengatakan bahwa Papua Merdeka adalah harga mati, mereka masih bersikeras bahwa pelaksanaan PEPERA tahun 1969 tidak demokratis, dan selain itu berlangsung di bahwa ancaman, todongan Militer Indonesia. Sudah tentu ini sudah melanggar HAM dan konvensi internasional, tentang hak-hak untuk menentukan nasib sendiri. Terbukti, hanya 1025 orang saja yang di pilih oleh pemerintah Jakarta, bukan di pilih oleh orang Papua.
Menurut mereka, Integrasi Papua ke dalam NKRI yang tidak final, dan hal ini juga pernah di teriakan oleh segelintir orang yang saat ini sedang meneriakan bahwa integrasi Papua ke dalam sudah final. Dan kenapa mereka berbalik arah, mungkin uang, jabatan, kedudukan, bahwa nama baik, membuat mereka harus berbalik arah. Untuk mendukung opini mereka, kembali sebuah buku di terbitkan, dengan Judul “Integrasi Belum Selesai, Komentar Kritis Atas Papua Road Map” penulisnya hanya seseorang, yakni Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Papua, Pdt. Socrates Sofyan Yoman.
Dalam launching buku tersebut, Yoman mengatakan dengan jelas integrasi Papua ke dalam NKRI belum selesai, dan menimbulkan banyak masalah yang sudah tentu mengorbankan rakyat Papua. Gereja sebagai pelindung dan pengayom domba-domba yang sedang dan akan punah, sekiranya perlu memberikan perhatian. Dokumen-dokumen penting dari PBB, dan beberapa Negara yang pernah ikut menangani masalah Papua menjadi bukti kuat Yoman untuk menulis buku tersebut. Kehadiran buku tersebut juga bentuk komentar kritis terhadap buku Papua Road Map, yang di terbitkan oleh lembaga penelitian Indonesia.
Pro Integrasi
Integrasi tanah Papua ke dalam NKRI telah final, dan tidak perlu di bicarakan, saat ini yang kita pikir bagaimana membangun Papua yang lebih baik ke depannya. Mungkin kalimat diatas yang sering di ungkapkan oleh beberapa orang Papua yang begitu pro dengan NKRI atau pro dengan Integrasi.
“Saat integrasinya Papua ke dalam NKRI, sudah merupakan keputusan final yang di ambil oleh beberapa petinggi beberapa Negara yang pernah ada di Papua, New York Agrement hanya bentuk akal-akalan agar orang Papua dapat memercayai tekad dan keseriusan Amerika untuk menyelesaikan masalah Papua,” tegas Nicolas Messet, salah satu pemateri dalam seminar public kemarin, Selasa (11/05).
Menurut Messet juga, sekarang sudah saat orang Papua bangkit dan bukan membicarakan integrasi lagi, tetapi membicarakan Otonomi Khusus, agar kedepannya kehidupan kita lebih baik lagi. “Otsus adalah solusi final dimana suatu wujud kompromi politik antara Jakarta dan Papua dalam menjawab tuntutan merdeka, dan tekad pemerintah dalam mempertahankan integrasi wilayah NKRI” imbuh messet.
Messet juga bersikeras bahwa tidak ada Negara di dunia ini yang ingin membantu Papua, khususnya membicarakan isu referendum atau merdeka, PBB juga demikian. “Mereka hanya akan bersedia membantu, jika isu HAM, kesehatan, kelaparan, sakit penyakit, pemanasan global dan lain sebagainya yang ada di Papua. G-20 lebih menaruh perhatian mereka pada isu-isu di atas, bukan soal referendum seperti tuntutan rakyat Papua,” pungkas Messet.
Messet juga mengatakan bahwa sejak dirinya berkeliling ke beberapa Negara Asia Pasific, tidak ada yang memberikan respon baik terhadap kemerdekaan bahkan dukungan mereka untuk Papua Merdeka, ini menandakan isu referendum bukanlah isu utama di dunia internasional, khususnya kalangan Negara Asia Pasifik.
“Hasil kongres Papua II pada tahun 2000 telah menghasilkan kompromi politik, resolusinya telah lahir OtonomI Khusus, oleh karena itu tidak perlu kita perdebatkan lagi soal integrasi Papua, mari kita pikir Otsus, dimana membangun Papua yang lebih baik,” tegas Messet.
Sementara itu Jimmy Demianus Ijie bependapat senada dengan Messet soal integrasi Papua. yang menurutnya, bahwa integrasi Papua adalah final, dan tidak perlu untuk di bicarakan lagi. “Papua sah bagian dari NKRI,” tegasnya lantang.
Saya sangat pesimis Papua akan Merdeka, dan karena itu saya mendukung integrasi Papua ke dalam NKRI, seraya berbalik untuk membangun Papua dalam bingkai dan amanat Otsus. “Pesimis saya muncul atas sebuah realitas yang selama ini terjadi di tanah Papua dan Papua Barat. Kita masih sering mengkotak-kotakan kita sendiri, dan saat itu pula, persatuan tidak akan pernah tercapai. Saya pesimis Papua bisa merdeka,” jelasnya.
Orang Papua saat ini butuh bersatu, jika tidak jangan pernah bermimpi untuk sebuah perubahan. “Teman-teman yang masih bertahan pada prinsipnya silakan jalan, saya tetap mendukung, namun saya pribadi sangat pesimis dengan perjuangan rakyat Papua. Pergerakan anak muda di era ini lebih baik dari pada pergerakan anak-anak muda dulu,” urainya menjelaskan.
Kontra Integrasi
Edison Waromi, Presiden West Papua National Autority (WPNA) yang menjadi salah satu pemateri dalam seminar public ini mengatakan bahwa integras belum selesai dan tidak sah. Oleh karena itu persoalan ini patut di bicarakan kembali. “Integrasi tidak selesai karena dalam prosesnya banyak ketimpangan,” tegasnya.
“Orang Papua terus menuntut pemerintah Indonesia untuk membicarakan sola integrasi, karena proses inilah yang telah mengorbankan rakyat Papua. Dan akar masalahnya sebenarnya terletak pada proses ini. kami menjadi korban dari kepentingan Negara Indonesia dan Negara barat,” tambahnya.
Edison juga mengatakan bahwa, dalam sumpah pemuda yang menjadi awal lahirnya pemuda Indonesia tidak pernah ada orang Papua dan tidak ada juga keterwakilan pemuda Papua di sana. Ini harus menjadi perhatikan kita bersama, jangan asal-asal mengatakan bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI adalah sudah final, tegasnya menjelaskan.
Dalam New York Agrement pada pasal 20 menjelaskan bahwa satu orang satu suara, bukan satu orang mewakili beberapa orang, apalagi menggunakan sistem musyawarah. Tapi hal ini yang di putarbalikan pemerintah Indonesia, dimana memilih beberapa orang Papua saja untuk menyarakan hak-hak hampir 800 ribu orang Papua saat pepera berlangsung.
“Untuk menyelesaikan masalah dan konflik di Papua bukan melalui Otsus, tetapi melalui sebuah dialog internasional. Dialog antara pihak-pihak yang pernah terlibat di Papua, seperti Amerika, Belanda bahkan PBB sendiri,” urainya.
Sementara itu pemateri berikutnya, Socrates Sofyan Yoman yang juga Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di tanah Papua menjelaskan soal integrasi yang tidak selesai dari perspektif gereja. “Gereja punya tugas melindungi, mengayomi dan menyelematkan domba-domba yang akan punah dari tanah Papua,” jelasnya.
Stigma separatis yang di berikan oleh pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua adalah senjata ampuh untuk memusnahkan orang Papua. Kami bukan pemberontak, bahkan kita tidak pernah membuat keributan, justru pemerintah Indonesia-lah yang datang bikin rebut di daerah kami.
“Dengan tegas saya minta kepada pemerintah Indonesia untuk stop memberikan label separatis kepada rakyat Papua, kami manusia beradab yang tahu diri. Justru kalian yang tidak tahu diri. Jangan ada satupun domba di Papua di korbankan demi menyelamatkan kepentingan Negara di tanah Papua, ini tidak boleh terjadi, jelas Yoman geram.
Yoman yang juga telah menulis Sembilan buah buku, dan beberapa di antaranya telah di sita pengadilan negeri juga menjelaskan bahwa gereja Tuhan di Papua bertugas untuk membicarakan karya penyelematan Tuhan, sekaligus menjaga domba-dombanya dari terkaman singa-singa lapar. “Gereja Tuhan harus membicarakan tentang kebebasan, karena Tuhan datang ke dunia untuk memberikan kebebasan kepada siapa saja,” terangnya.
Banyak gereja tabuh membicarakan tentang Papua, mungkin karena mereka takut tidak dapat dana Otonomi Khusus dari pemerintah, justru ini yang salah. Pribadi saya gereja harus betul-betul menjadi pelita yang dapat menyinari dunia, bukan menyinari lingkungan gerejanya saja. “Kalau ada hamba Tuhan yang takut bicara tentang Papua, sudah bisa di tebak, dia ingin jatah dana Otonomi Khusus dari pemerintah,” imbuhnya di sambut tertawa pada hadirin.
Integrasi belum selesai, dan gereja bertugas penting untuk ikut ambil bagian dalam membicarakan proses ketimpangan itu. Akhirinya menjelaskan.
Penutup
Mendukung atau tidaknya Integrasi adalah hal yang wajar. Setiap orang mempunyai pandangan, pemahaman serta pendapat yang berbeda. Tapi, yang di sayangkan, jangan karena sebuah kepentingan, justru mengorbankan rakyat Papua yang tidak berdosa.
Segelintir orang Papua memandang integrasi sudah final, jika iya, kenapa awal mula saat berada pada posisi yang tidak menentu, ikut memperjuangkan suara ini, yang gaungnya-pun di kampanyekan ke Negara-negara barat dan Asia Pasifik sana. Dan ketika merasa hidup serba kekuarangan dengan pekerjaan mulia itu, langsung berbalik arah, sambil merangkul musuh, inikan seperti sebuah lelucon.
Uang, jabatan, kedudukan dan nama baik sudah tentu mempengaruhi beberapa orang Papua yang dulunya lantang berteriak untuk Papua Merdeka untuk kembali ke dalam pangkuan NKRI. Hal ini sangat jelas dan nyata. Coba lihat saja, mereka yang mendukung pro akan integrasi pada umumnya berada pada level atau tingkat hidup yang sangat menyenangkan.
Kita harus melihat suara masyarakat akar rumput yang belum tersentuh oleh pembangunan, dan itu sudah tentu menjadi ukuran untuk membenarkan, kira-kira integrasi telah selesai atau belum selesai. Membangun wacana integrasi telah selesai atas dasar kita memiliki koneksi yang luas dengan Jakarta adalah hal yang paling konyol dan sudah tentu akan berbuntut pada konflik internal orang Papua.
Sebaiknya tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain, apalagi khayalak umum yang masih sangat awam soal retreorika dan kepentingan. Sepengetahuan mereka, ini yang benar dan ini yang salah, mereka tidak tau istilah “abu-abu” atau juga istilah “hitam-putih”.
Untuk yang begitu pro dengan integrasi, jangan sekali-kali membohongi hati nurani, karena sampai kapanpun hati nurani tidak bisa di bohongi. Kebenaran itu mutlak, tidak ada benar setengah, tidak ada benar 80% dan juga tidak ada benar 10%. Kami masyarakat akar rumput tidak pantas menghakimi, karena hanya Tuhan yang patut menghakimi umat manusia.
Dan untuk yang begitu kontra dengan dialog, tetap berjuang, dan tetaplah bersuara, jika sanubari hati mengatakan demikian. masyarakat akar rumput yang selama ini menjadi korban penjajahan dunia internasional dan pemerintah Indonesia tetap menantikan sebuah solusi, solusi yang paten, solusi yang membebaskan. Tuhan bangsa Papua selalu ada di pihak kita, di pihak yang benar. Selamat merefleksikan.
Oktovianus Pogau, seorang Jurnalis yang tinggal di Jayapura. Dapat di hubungi melalui emailnya: oktovianus_pogau@yahoo.co.id dan weblog http://pogauokto.blogspot.com
Monday, May 10, 2010
Pujian Atas Kebesaran TUHAN
Tuhan itu besar, sangat besar. Tidak ada yang sebesar dirinya. Tidak ada yang sehebat dirinya.
OCTHO- Kau telah menuntun aku, tuntun aku sampai jalan yang memang benar-benar terang. Engkau tidak pernah menghitung dosa dan kesalahan aku, engkau juga tidak pernah menghitung segala pelanggaran aku, engkau selalu merangkul aku, merangkul untuk menjadi manusia yang dapat membawah sebuah perubahan.
Sekarang aku telah engkau pimpin, engkau telah pimpin sampai pada tingkat yang sangat tidak pernah aku sadari. Kalau di pikir, apalah arti diriku, orang tidak berguna, tidak berdaya, dari latar belakang keluarga yng sungguh miskin, bahkan tidak punya apa-apa, apalagi mereka engkau telah panggil.
Saya tahu, dengan kejadian itu, engkau mengajari aku untuk lebih mandiri, memandang dunia sebagai sebuah ladang pengembangan diri, sudah tentu harus melibatkan engkau, sudah tentu harus melalui bantuan tanganmu, engkau luar biasa, engkau sungguh luar biasa, semua engkau lakukan tepat pada waktunya, kadang sukar di bayangkan…
Aku bukan seorang penjabat Negara, sehingga harus di kenal, aku juga bukan seorang anak yang berasal dari kerajaan, jadi sangat tidak pantas di kenal. Namun aku bersyukur, aku di kenal oleh mereka. Ini semua berkat kau ada dalam hidupku, berkat kau ada dalam darah dagingku, berkat kau adalah dalam pikiranku, dan berkat kau ada dalam perkataanku, dan yang terakhir adalah berkat kau adalah dalam segala tulisanku…
KAU adalah TUHAN, TUHAN adalah TUHAN. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang dapat menyamai kebeasaran, keagungan, dan kehebatanmu, engkau adalah RAJA, segala raja. TUHAN segala Tuhan, bapa segala bape. Engkau sungguh sangat luar biasa, dan itu terbukti sangat luar biasa. Engkau sangat di kagumi, karena segala karya penciptaanMU…..
Kadang kami susah membayangkan kehebatan, kebesaran, serta keagunganmu, sungguh, engkau TUHAN yang sangat suci, TUHAN yang sungguh mulia, sangat sungguh mulia. Tidak pernah terbayang, ketika kau rela mati, MATI untuk tebus segala dosa dan salah manusia.
Kami sadari, semua yang kami lakukan, semua yang kami kerjakan, dan semua yang kami korbankan tidak akan sebanding dengan segala karya penciptaanmu.
TIDAK PERNAH kubayangkan, kau membuat semua ini tepat pada waktunya, kadang manusia sukar membayangkan semua karya peciptaan itu. Ini sebuah anugerah TERBESAR yang adak dalam dunia, ada dalam segala hayatan dan ingatan Kita.
Sekarang saya sedang melangkah, melangkah untuk sebuah kebutuhan, kebutuhan rakyat Papua, kebutuhan tanah air. Hanya engkau yang mampu, hanya engkau yang sangat-sangat mampu, hanya engkau yang dapat, dapat memastikan, dapat menghendaki, dan dapat menyatakan semua rencana itu. Saya menyerahkan segalanya, segala keputusan, segala rancangan, dan segala kebutuhan ke dalam pintu baitmu, saya sangat percaya, percaya akan engkau. Percaya akan segala kemampuan yang kau buat.
Besok akan tiba di Jayapura, besok akan bertemu siapa saja, mereka bisa jadi setan, bahkan bisa jadi malaikat. Aku tidak punya indera keenam untuk membedakan semua itu, aku tidak mampu membedakan semua itu. Engkau mampu, engkau mempu menentukan, dan engkau mampu membedakan, bantu akau, tolonglah aku, aku ingin kau yang menjadi pribadi dalam hidupku.
Terima kasih TUHAN, terima kasih, kau memang hebat, dan sangat2 hebat.
Bandara Internasional, Soekarno Hatta, Jakarta.
Sabtu, 08 Mei 2010, Pukul 20:34 wib
Wednesday, May 05, 2010
Cabut Undang-Undang yang dapat Mempidanakan Kritik
OCTHO- Pemerintah Indonesia harus mencabut sejumlah undang-undang yang memberi peluang gugatan pidana kepada para aktivis, wartawan, konsumen dan lain-lain yang mengkritik penjabat publik dan tokoh masyarakat, ungkap Human Rigths Watch dalam laporan terbaru yang di terbitkan kemarin, Selasa (04/05).
Laporan 91 halaman dengan judul “Kritik Menuai Pidana; Konsekuensi Hak Asasi Manusia dari Pasal Pencemaran Nama Baik di Indonesia,” mendokumentasikan berbagai kejadian di mana pasal-pasal pencemaran nama baik, fitnah dan penghinaan di gunakan untuk membungkam kritik terbuka.
Elaine Person, selaku wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch mengatakan bahwa gugatan pencemaran nama baik merupakan senjata ampuh bagi orang-orang yang ingin membungkam kritik di Indonesia.
“Seharusnya pemerintah memberikan dukungan kepada para pengukap fakta dan menjamin kebebasan terhadap mereka yang mengemukakan pendapat secara damai, bukan malah menghukumnya,” ungkap Elaine.
Lebih lanjut menurut Elaine, proses penyedikan dan pengadilan atas gugatan pencemaran nama baik dapat menimbulkan dampak yang merusak bagi mereka yang di tuduh melakukannya. “Hukuman penjara membuat orang harus berpikir dua kali sebelum menyerukan protes terhadap korupsi dan berbagai penyimpangan kekuasaan” tambah Elaine.
Elaine juga mengatakan, bahwa “Undang-undang pencemaran nama baik merusakan demokrasi, supermasi hukum, dan kebebasan berekspersi di Indonesia,” Ujarnya. “Seharusnya pemerintah tidak memenjarakan mereka yang cukup berani mengukapkan pikiran dan pendapat.”
Dengan demikian, Human Rights Watch mendesak Indonesia mencabut undang-undang pencemaran nama baik, menggantinya dengan hukum pencemaran perdata guna mengakomodasi kebebasan berekspresi dari pembatasan tak perlu. Sementara itu, para penjabat dilarang mengajukan tuntutan pidana terkait kritik yang di nilai mencemarkan nama baik mereka dalam kapasitasnya sebagai penjabat resmi, tegas Human Rights Watch.
Beberapa orang yang di panggil terkait pengaduan pencemaran nama baik, seperti Prita Mulyasari, karena mengirim surat elektronik kepada kolegenya yang mengeluh layanan medis yang dia terima. Bersihar lubis, wartawan senior di vonis melakukan pencemaran nama baik dan di jatuhi hukuman percobaan karena menulis kolom opini yang mengkritik keputusan kejaksaan agung melarang buku pelajaran sejarah di edarkan ke sekolah-sekolah. Dan masih banyak lagi. (op)
Saturday, May 01, 2010
Mahasiswi Asal Kaimana Ditemukan Sudah Tak Bernyawa
OCTHO- Salah satu Mahasiswi asal Kabupaten Kaimana, Elisabeth Jesika Isir (25) yang telah menyelesaikan pendidikan strata satu, dan sedang mengambil kursus Bahasa Inggris dan Komputer di kota studi Yogyakarta di temukan sudah tak bernyawa lagi, Sabtu (01/05) kemarin.
Mayat korban di temukan di daerah Timoho, APMD dekat rel kereta api dengan posisi badan tengkurap serta sudah tak bernyawa lagi. Tempat temuan mayat adalah lokasi yang sering dilalui korban ketika pulang dari tempat kursus menuju tempat tinggalnya. “Kami menemukan mayat dengan posisi tengkurap dan tak bernyawa,” kata teman-teman korban via telepon seluler kepada media ini tadi malam.
Lebih lanjut menurut mereka, kemungkinanan korban di pukuli dengan benda tajam hingga memar di sekujur tubuhnya, terutama kepala dan perut korban. “Ada memar di sekujur tubuh korban, kami duga korban di pukuli pakai benda tajam hingga meninggal,” tambah mereka menjelaskan.
Setelah menemukan mayat tersebut, korban langsung di bawah ke Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta untuk di otopsi. Hingga saat ini mereka masih menunggu hasil visum dari dokter terkait penyebab meninggalnya korban . “Kami sedang menunggu hasil visum yang akan keluar pada hari senin besok,” kata mereka.
Ketika di singgung mengenai kemungkinan adanya tabrakan kereta api, di bantah tegas oleh teman-teman korban. “Kami sangat tidak percaya korban kena tabrak kereta api, itu omong kosong. Sudah jelas-jelas korban di pukuli hingga memar dan meninggal,” jelas mereka dengan nada kesal.
Menurut mereka, pemerintah DIY dan Kapolda DIY harus bertanggung jawab terhadap kasus ini, karena sudah ada banyak kasus yang pernah terjadi, namun tidak ada penyelesaiaannya. “Kami minta aparat penegak hukum dan pemerintah daerah memberikan perhatian terhadap kasus ini, karena ini bukan yang pertama kali terjadi, tetapi sudah berulang-ulang terjadi, dan korbannya anak-anak Papua yang sedang menempuh pendidikan,” tegas mereka.
Sampai saat ini mayat korban masih di semayamkan di Asrama Kamasan, Jln. Tarumanegara. Keluarga korban, teman-teman dan kenalan korban masih berkumpul untuk melihat korban untuk yang terakhir kalinya. Rencananya korban akan di berangkatkan ke daerah asal pada hari senin (03/05) besok. (op)
Foto ilustrasi