OCTHO- HARI itu tanggal 3 Juli 2010, pukul 19.45. Suasana jalan Pasar Minggu cukup ramai. Kendaraan umum maupun pribadi masih lalu lalang. Kemacetan juga masih nampak. Banyak pedagang asongan menjajankan dagangan mereka. Roman wajah para pedagang sedikit berharap ada orang yang menghampiri mereka.
Dari kejauhaan muncul seorang pemuda Papua. Dia sedikit bertubuh atletis. Ia adalah Alfred Pigai, lelaki suku Mee. Umurnya lebih tua enam tahun. Tingginya kurang lebih 160 cm. Malam itu Ia mengenakan kemeja ala Militer dengan Jaket hitam, belakangnya bertuliskan “STIPAN-Kab Nabire” Ia sahabat saya ketika di Nabire, Papua.
Penampilannya cukup kren. Rambutnya di potong cepak. Suaranya bernada tenor, tidak Bass seperti pemuda Papua lainnya. Kulitnya lebih hitam dari penyanyi kondag macam Edo Kondogolit. Rambutnya keriting. Sudah bisa di tebak Ia adalah bangsa rumpun Melanesia. Hidungnya tidak begitu mancung seperti Brad Pitt. Ia dengan cepat menghampiri saya.
“Kawan koi ada disini juga ehh,” sapanya.
“Sudah hampir sebulan disini,” saya menjawabanya.
Saya cukup mengenal dia. Ia pemuda yang cukup pandai dan tangkas. Ia menghargai setiap perbedaan. Ia juga sangat patuh dan taat pada ajaran agamanya. Saya mengenalnya ketika ia menjadi ketua pemuda di sebuah Gereja. Ia sangat radikal pada ajaran agama Katolik. Hobinya menyanyi dan tinju.
Ia mematuhi ajakan untuk ke tempat saya tinggal. Kami menumpang angkot tujuan Kampung Melayu. Angkot itu warna biru gelap. Pada kaca depan dan samping tertulis nomor 16. Mobil itu sudah sangat tua, dan tidak layak lagi beroperasi. Saya tidak ingat persis nomor polisi angkut itu. Dalam perjalanan pulang kami saling bertukar pikiran tentang kehidupan di Jakarta.
“Kawan hidup di kota Jakarta sangat susah, semua-semua butuh uang. Apalagi seperti saya yang orang tua tak mampu. Tapi syukur, biaya kuliah saya sudah di bereskan oleh pemerintah daerah,” katanya menjelaskan.
Dia memberikan nasihat sekaligus pandangan karena saya baru tiba di Jakarta untuk kuliah. Saya mendengar dengan penuh cermat. Ia sendiri sudah hampir tiga tahun di Jakarta. Katanya Ia akan wisuda pada bulan Oktober tahun ini. Ia sendiri kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahaan (STIPAN) yang beralamat di Jalan Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Saya memancingnya berbicara soal rasis yang masih sering terjadi di Jakarta. Dengan sigap Ia berbicara tentang banyak pengalaman yang sudah sering di alaminya. Ia juga mengatakan bahwa hal-hal seperti itu sudah sering terjadi di pulau Jawa, bukan di Jakarta saja.
“Banyak orang kulit putih akan menutup hidung dengan tissue atau kain jika ada orang kulit hitam berambut keriting di dalam sebuah angkutan umum, saya sangat tersinggung bahkan terpukul dengan perlakuaan seperti ini, namun apa boleh buat?” urainya.
Ia juga menjelaskan tentang perlakukaan para teman-temannya di kampus. “Jika mereka melihat orang kulit hitam dan berambut keriting maka mereka akan menghindar jauh, saya sendiri bingung apa sebab demikian, padahal saya tidak mengganggu mereka,” jelasnya.
Ternyata diskirminasi itu masih nampak. “Ketika memberikan sebuah argument atau pertanyaan pada dosen, teman-teman yang kulit putih akan berujar pada saya bahwa orang kulit hitam harus belajar bahasa Indonesia dengan baik dulu baru tanya,” tambahnya.
“Bagaimana kau menanggapi tindakan mereka,” tanya saya. “Walau sakit hati, saya kira jangan kita terlalu ambil pusing, biarkan saja, itu urusan mereka sendiri,” jawabnya. Selain itu dia juga mengatakan bahwa orang kulit putih tidak bisa menerima kehadiran orang kulit hitam ras Melanesia di Negara Indonesia.“
Kami berbicara panjang lebar tentang perlakukan rasis dari orang kulit putih terhadap orang kulit hitam di negara Indonesia. Beberapa orang kulit putih yang di dalam angkutan umum turut mendengarkan, termasuk sopir angkot. Alfred berkomentar dengan penuh semangat. Ia dan saya menyimpulkan bahwa perlakuan rasis seperti ini sungguh ironis. Ini bagiaan dari melanggar hak azasi orang kulit hitam untuk hidup di negara demokrasi macam Indonesia.
Maka, tidaklah heran, jika orang kulit hitam (ras Melanesia) menuntut untuk memisahkan diri dari NKRI. Ras Melanesia dan ras Melayu memang sangat berbeda. Perbedaan itu sangat sukar di persatukan.
Gambar sumber Google
Tulisan ini tugas saat mengikuti kelas Jurnalis Sastrawi di Yayasan Pantau.
Wednesday, August 04, 2010
Rasialisme Itu Masih Nampak
Label:
HAM,
MAHASISWA PAPUA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Komentar anda...