OCTHO- Banyak orang mendegungkan model dialog damai antara pemerintah Indonesia (selanjutnya baca; pemerintah) dan orang Papua sebagai solusi dalam penyelesaikan segala masalah di Papua. Bahkan yang mengherankan lagi, sudah terbentuk team khusus untuk memperjuangkan konsep ini sampai ke Jakarta.
Koran Kompas, Edisi Kamis 03 September 2009 tertera judul "Tokoh Papua: Beri JK Mandat Jembatani Dialog Kebangsaan". Hal ini di tandai dengan perjuangan 10 tokoh masyarakat Papua menghadap Wapres Jusuf Kalla untuk melaporkan berbagai permasalahan di Papua. Ke 10 tokoh masyarakat Papua tersebut; mantan rektor Universitas Cendrawasih August Kafiar, anggota DPD Ny Ferdinanda ibo Yatipau, Ketua Presidium Dewan Papua Tom Beanal, anggota DPR-RI Simon P Morin, John Djopari, Anthonius Rahail, Frits Kirihio, Max Demeitouw dan Joel Rohrohmana.
10 tokoh masyarakat Papua yang menemui wakil presiden Jusuf kalla, intinya dimana meminta beliau untuk memediasi proses berlangsungnya dialog antara pemerintah dan orang Papua, dengan tujuan menyelesaikan konfik yang terjadi di Papua secara bermartabat. Banyak pertimbangan dalam memilih pak Jusuf Kalla, karena pengalaman beliau yang telah berperan aktif dalam mendamaikan berbagai konflik di Indonesia, diantaranya Aceh dan Poso.
Kepergian 10 orang, yang di klaim sebagai tokoh msayarakat Papua sudah tentu sangat-sangat membingungkan generasi muda, dan rakyat Papua. Ada kepentingan apa di balik semua itu? Bahkan para diplomat yang memegang kepercayaaan penuh rakyat Papua-pun sedemikian kaget, hal ini terlihat dengan komentar beberapa orang Papua yang berada di luar negeri dalam Milis Komunitas Papua.
Namun perlu diketahui, tidak banyak yang berpikir, apakah masyarakat akar rumput yang selama ini menjadi korban kekerasan, ketidakadilan, serta korban kekelaman sejarah menerima dengan lapang dada model dialog damai itu? Model dialog yang konsepnya di bawah Simon Maureen dan kawan-kawannya ke Jakarta.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam bukunya “Papua Road Map (PRM)” boleh saja menyatakan bahwa dialog antara Jakarta-Papua adalah solusi akhir dari segala solusi. Tidak ada yang salah dengan gagasan itu, bahkan tidak ada yang timpang dengan gagasan itu. Sudah tentu ide serta gagasan ini muncul untuk pemenuhan kebutuhan rakyat Papua yang selama ini kosong.
Selain itu Dr. Neles Tebay dengan bukunya “Dialog Jakarta-Papua, Sebuah Perspektif Papua” boleh saja mengklaim yang sama, dimana model dialog damai satu-satunya jalan untuk menyelesaikan segala masalah di Papua, termasuk kesenjangan sosial yang terjadi di tanah Papua.
Setelah di amati, memang benar, bahwa LIPI dengan pater Neles Tebay sepaham untuk mengakat wacana dialog damai sebagai proses penyelesaian masalah yang terjadi di Papua. banyak alasan yang di beberkan, diantara kegagalan Otonomi Khusus (Otsus) serta jenjang sosial yang terjadi antara penduduk asli Papua dan non Papua yang tidak imbang. Dan memang itu betul.
Tetapi yang saat ini jadi pertanyaan, apakah model dialog itu akan betul-betul menyelesaikan masalah di Papua. dan apakah model dialog itu sebuah kerinduan terbesar yang selama ini menjadi harapan terbesar rakyat Papua dari waktu ke waktu. Ataukah model dialog antara Jakarta-Papua yang LIPI dan pater Neles Tebay tawarkan hanya-lah sebuah menu pesanan elit-elit dari Jakarta.
Satu yang perlu di pahami, sampai kapan-pun rakyat Papua yang selama ini menjadi korban ketidakadilan, korban kekerasan, serta korban kekelaman sejarah tidak akan pernah menerima sebuah konsep dialog damai yang arahnya tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Otsus telah menenggelamkan mimpi-mimpi indah rakyat asli Papua untuk melihat sebuah perubahan hidup yang lebih baik lagi. Otsus membuat semua kacau balau, Otsus membelenggu, bahkan sampai pada sebuah kesimpulan Otsus telah memusnahkan rakyat Papua. hal ini bisa di simpulkan ketika tebaran virus HIV/AIDS yang dengan gampangnya sampai kepada rakyat Papua. walau dana Otsus Triliyunan rupiah, proses pembiaran tetap diberlakukan.
Mungkin tujuan tidak lain, memusnahkan etnis Melanesia dari tanah yang penuh dengan susu dan madu. Dalam berbagai data kongrkit yang di himpun berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Papua memang demikian, proses pembiara di lakukan oleh pemerintah pusat, dengan tujuan tidak lain tetap menjajah rakyat Papua.
Dalam beberapa tulisan sebelumnya saya pernah mengatakan bahwa rakyat Papua akan menerima dengan lapang dada model dialog damai antara Jakarta-Papua, apabila di dalamnya membicarakan kedaulatan rakyat Papua. Karena akar masalah dari konflik di Papua adalah masalah kedaulatan yang di gagalkan Amerika, Indonesia, serta PBB sebagai lembaga tertiggi di dunia.
Mewakili masyarakat akar rumput, saya mau katakan, sampai kapan-pun rakyatPapua tidak akan pernah mau menerima model dialog itu, jika saja arah dari dialog itu tetap beradalam dalam wilayah NKRI. Serta model dialog yang terkesan di ambil oleh “musuh” rakyat Papua.
Kita mungkin tunggu perkembangan, apakah memang betul-betul JK bersedia menjadi mediator dalam dialog, yang berarti membuka lembaran penjajahan terselubung di bumi Papua.
Sumber Gambar:
Saturday, September 05, 2009
Quo Vadis Dialog Jakarta-Papua?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Komentar anda...