OCTHO- Langkah pemerintah Pusat untuk memberikan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) pada 9 tahun silam awalnya di anggap sebagai langkah yang tepat. Banyak orang sudah menggembar-gemborkan kehadiran UU Otsus yang katanya akan memberikan perubahan bagi orang asli Papua. Otsus di anggap sebagai “malaikat” yang akan membawah terang.
Selain itu, undang-undang Otsus merupakan bentuk penghargaan tertinggi pemerintah Indonesia kepada masyarakat, khususnya penduduk asli Papua sendiri. Dengan prinsip itu, undang-undang Otsus di harapkan mampu memberikan kesempatan, bahkan memperluas ruang partisipasi masyarakat asli Papua dalam segala bidang pembangunan.
Otsus sejatinya ditujukan untuk mengatasi masalah kesenjangan antara daerah Papua dan daerah lainnya di Indonesia. Karena selama ini bisa kita pandang, Papua daerah yang paling tertinggal dan terbelakang dari daerah lainnya di Indonesia. Selain itu, Otsus secara politis dimaknai sebagai alat penyeimbang atas seluruh persoalan dan titik kompromi politik antar Pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua dalam penyelesaian masalah Papua secara bermartabat.
Kehadiran Otsus juga di barengi dengan kucuran dana dari pemerintah Pusat yang jumlah tidak sedikit. Dana Otsus dikucurkan oleh pemerintah Indonesia triliunan rupiah. Dari tahun ke tahun meningkatnya sangat signifikan semisal 2,4 trilyun (tahun 2004), 4,8 trilyun (tahun 2006), 5,3 trilyun (tahun 2007), 5,5 trilyun (tahun 2008), 5,3 trilyun (tahun 2009) dan untuk ABPD Propinsi Papua tahun 2010 membutuhkan 5,2 trilyun. Dana itu diperuntukan untuk pembiayaan berbagai sektor yang rawan dan begitu tertinggal dari daerah lainnya di Indonesia, seperti; sektor Pendidikan, sektor kesehatan, sektor perekonomian, sektor kebudayaan dan masih banya lagi. Tetapi, masih saja terjadi in-efisiensi yang berpeluang untuk dikorupsi.
Jika dana itu di gunakan secara baik dan efisien, sudah tentu akan nampak sebuah perubahan. Dan yang menjadi pertanyaan, sekian banyak dana itu di gunakan untuk apa saja? Karena toh, kehidupan penduduk asli Papua masih sangat memprihatinkan. Disini itikad baik dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dalam mengelolah dana Otsus itu kembali di pertanyakan?
Amanat Otsus juga menghendaki agar di bentuk sebuah lembaga representasi kultural orang asli Papua yang dapat memperhatikan hak-hak adat, hak-hak hidup dan hak-hak orang asli Papua yang lainnya. Maka dengan Keputusan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2004, tertanggal, 23 Desember 2004 lahir Majelis Rakyat Papua (MRP). Dalam amanat UU No. 21 Tahun 2001 pasal ke 20 berbunyi panjang lebar mengenai tugas dan tanggung jawab yang MRP embani sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua.
Secara garis besar Tugas utama MRP dibentuk sesuai dengan amanat UU No 21 Tahun 2001 adalah dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama (pasal 1 butir ke-6). Yang mana semuanya ini mengarahkan kepada pembebasan manusia asli Papua sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia dan hakiki.
Orang asli Papua telah menaruh segala kepercayaan kepada MRP, yang mana dapat membawah segala aspirasi dan keinginan orang asli Papua untuk di sampaikan kepada pemerintah, baik pusat maupun provinsi. Dipundak MPR terdapat segala keluh kesah orang asli Papua, berarti MRP mempunya tanggung jawab moril yang begitu besar kepada rakyat Papua.
Beberapa masukan, pertimbangan serta keputusan yang MRP berikan kepada pemerintah kadang kala di abaikan, hal ini sudah tentu menurunkan tingkat kepercayaan rakyat Papua kepada MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. bahkan ada kalangan yang meneriakan agar MRP di bubarkan, hal ini wajar, karena selama ini MRP di anggap tidak “bertaring” kepada pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua.
Dengan melihat ketertinggalan, ketidakadilan, serta ketidakberhpihakan pemerintah pusat maupun provinsi kepada orang asli Papua, maka MRP dengan segala niat baiknya mengacu pada amanat UU Otsus melahirkan sebuah keputusan dengan Nomor: 14/MRP/2009 tentang penetapan orang asli Papua sebagai syarat khusus dalam penentuan bakal calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di tanah Papua. Ini sebuah langkah baik yang sudah tentu akan mengangkat harkat, derajat dan martabat orang asli Papua, sekaligus merupakan sebuah bentuk pemberdayaan anak-anak asli Papua diatas tanah kelahiran mereka sendiri.
Pemerintah Provinsi, dalam hal ini Gubernur Provinsi Papua sebagai kepala daerah sekaligus Pembina politik di tanah Papua sudah harus mendukungnya. Dan bila perlu ikut memperjuangkannya hingga ke pemerintah pusat. Karena jika SK MRP No 14 tidak di penuhi dalam bentuk sebuah Perdasus, sudah tentu akan melahirkan bentuk kekecewaan yang besar di kalangan penduduk asli Papua. Selain itu arus imigrasi baik yang resmi maupun tidak resmi akan membuat orang asli Papua tersingkir, bisa jadi akan menjadi minoritas di atas tanah ini.
Lahirnya SK MRP No.14 ini untuk menjawab amanat Otsus, dimana orang asli Papua dapat menjadi tuan di atas tanah kelahirannya sendiri. SK MRP No.14 ini tidak jatuh dari langit, bahkan SK ini juga bukan untuk menjawab kepentingan segelintir orang, tetapi in merupakan sebuah jawaban untuk jutaan rakyat Papua yang bergumul dan berdoa di tanah ini. SK MRP No.14 juga lahir karena bentuk pergumulan panjang seluruh rakyat asli Papua.
Kami sangat berharap pemerintah provinsi maupun pusat dapat memperhatikan hak-hak kami, dimana menjadi tuan di atas tanah sendiri. semoga!
Thursday, May 20, 2010
Pemerintah Harus Serius Terhadap Papua
Label:
PAPUA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
tidak di jawa tidak di papua semua sama nasibnya... rata2 telinga dan mata mereka yang duduk diatas tertutup batu cadas. sebagai masyarakat indonesia sudah selayaknya kita harus bisa jeli dan bijaksana dalam memilih pemimpin kita. kalau di jawa, silahkan mereka menggunakan "money politic" untuk mencari dukungan tapi pilihan tetap pada kata hati dan nurani kita.
ReplyDelete