Monday, August 30, 2010

Mumi dan Nilai Budaya Masyarakat Wamena

OCTHO- PAPUA bukan kaya akan sumber daya alamnya saja, namun dari segi warisan dan keunikan budaya juga tanah ini cukup kaya. Salah satunya adalah keberadaan mumi di tanah Papua. Nilai budaya dari mumi juga cukup penting untuk di perhatikan.

Jika berbicara tentang sejarah keberadaan mumi, orang pasti mengira hanya terdapat di Mesir, yakni; mumi para Firaun. Ternyata mumi tidak hanya terdapat di Mesir, namun ada juga di Indonesia bagian timur, tepatnya di Provinsi Papua.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan pada akhir tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an, terdapat tujuh mumi di Kabupaten Wamena, Provinsi Papua. Ketujuh mumi tersebut berada di beberapa Distrik yang tersebar di Kabupaten Wamena.

Mumi


Menurut Wikipedia Indonesia mumi adalah sebuah mayat yang diawetkan, dikarenakan perlindungan dari dekomposisi oleh cara alami atau buatan, sehingga bentuk awalnya tetap terjaga. Ini dapat dicapai dengan menaruh tubuh tersebut di tempat yang sangat kering atau sangat dingin, atau ketiadaan oksigen, atau penggunaan bahan kimiawi.

Tujuannya tidak begitu pasti, namun dipercayai sebagai sebuah simbol penghargaan masyarakat setempat terhadap seseorang yang dinilai telah berjasa dan memberikan kontribusi penting.

Biasanya mumi dikeringkan atau diawetkan menggunakan bahan kimia atau bahan pengawet khusus. Cara ini terjadi pada mumi para Firauan di Mesir, namun berbeda dengan mumi di Wamena. Ia terlebih dahulu diawetkan menggunakan ramuan tradisional sejenis daun, dan di keringkan di genting honai (red; rumah tradisional) dengan cara diasapi.

Di perkirakan mumi bisa bertahan dalam jangka waktu yang begitu lama, yakni; ratusan hingga ribuaan tahun. Keberadaan mumi juga di yakini sebagai simbol kepercayaan masyarakat sekitar pada leluhur, alam dan nenek moyang mereka.


Mumi Wamena

Suku yang mendiami Wamena adalah suku Dani. Mereka terkenal karena kebiasaan mereka yang suka berperang. Mereka di yakini sebagai suku terbesar di Papua. Pada umumnya mereka tinggal di daerah pegunungan dan lemba-lembah Papua. Keberadaan mumi hanya ditemukan daerah mereka.

Tujuh mumi yang terdapat Kabupaten Wamena, tepatnya di Kecamatan Kurulu, utara Kota Wamena sebanyak sebanyak 3 mumi; Kecamatan Assologaima, barat Kota Wamena sebanyak 3 mumi, serta satu mumi di Kecamatan Kurima. Semua berjumlah enam mumi.

Mumi yang terletak di Kecamatan Kurima adalah satu-satunya mumi perempuan. Ia tidak pernah di perlihatkan kepada masyarakat luas maupun kepada para wisatawan. Masyarakat sekitar meyakini jika ia perlihatkan secara bebas, akan berdampak buruk bagi keberlangsungan hidup mereka.

Ada dua mumi yang di dapat di perlihatkan secara umum, namun tentunya harus membayar dengan harga 20.000 rupiah hingga 30.000. Mumi tersebut adalah; mumi Werupak Elosak di Desa Aikima, dan Wimontok Mabel di Desa Yiwika, keduanya berada di Distrik Kurulu.

Ratusan hingga ribuan wisatawan berdatangan tiap tahunnya ke tempat ini. Selain dari dalam negeri, banyak juga yang datang dari luar negeri. Jika tidak menyaksikan upacara perang suku, mengunjung keberadaan mumi sudah tentu menjadi pilihan utama mereka.

Upacara adat biasanya berlangsung pada bulan Agustus, yakni; menjelang penyambutan hari kemerdekaan republic Indonesia. Biasanya acara seperti ini di lakukan atas inisiatif pemerintah daerah setempat. Banyak pendapatan asli daerah di hasilkan dari kedatangan para wisatawan ini.

Ketokohan Mumi

Mumi dikalangan masyarakat Dani tidak hanya menjadi sebuah simbol atau pajangan, namun lebih dari pada itu ia adalah sebuah tokoh besar yang patut di kenang sepanjang masa. Mereka meyakni mumi akan berada di tengah-tengah masyarakat, bahkan bersama-sama dengan mereka jika suatu waktu ada perang suku.

Tidak semua mayat atau jasad yang diperbolehkan menjadi atau dijadikan mumi. Hanya yang mempunyai jasa besar terhadap suku seperti kepala suku atau panglima perang yang secara adat diizinkan menjadi mumi.

Misalnya, Mumi Wimontok Mabel. Ia adalah seorang kepala suku besar. Wimontok mempunyai arti perang terus. Karena semasa hidupnya ia kepala suku perang yang ahli strategi. Wimontok meninggal akibat usia tua dan memberi wasiat kepada keluarganya agar jasadnya diawetkan.

Hal itu di turuti oleh keluarganya. Ia diawetkan hingga sekarang. Umurnya bisa di pastikan sudah hampir 384 tahun. Jasadnya selalu di rawat. Setiap lima tahun sekali diadakan upacara oleh masyarakat setempat.

Mumi Werupak Elosak juga demikian. Saat ini ia berumur 232 tahun. Pakaian tradisional yang ia kenakan, seperti koteka, masih utuh. Ia adalah panglima perang dan meninggal akibat luka tusukan sege (tombak).

Lukanya pun masih terlihat jelas hingga kini. Jasad Werupak dijadikan mumi, selain untuk menghormati jasa semasa hidupnya, juga karena Werupak sendiri yang meminta. Ia ingin supaya mayatnya diawetkan.

Hanya seorang tokoh penting yang jasadnya bisa di keringkan menjadi sebuah mumi, selain dari itu tidak. Kebiasaan masyarakat Wamena, jika seseorang telah meninggal, ia pasti akan di bakar, tujuannya agar jejaknya tidak di temukan lagi.
NIlai Adat

Masyarakat Wamena pada umumnya sangat menghargai nilai-nilai adat dan budaya. Sejak turun temurun mereka telah diajarkan bagaimana menghargai dan menghormati seorang tokoh (red; kepala suku). Mereka beraggapan arah hidup mereka hanya dapat diarahkan oleh seorang tokoh tersebut.

Bukti mereka menghargai nilai adat dan budaya juga terlihat dari kepatuhaan mereka untuk mengeringkan jasad dari seseorang yang telah meninggal. Padahal belum tentu semua orang sepakat dengan usulan tersebut.

Musibah atau bencana dapat menimpah mereka jika tidak taat dan patuh terhadap seorang tokoh. Kebiasaan perang suku juga masih sering terjadi dan Wamena. Keberadaan mumi juga di pandang sebagai berkah besar bagi masyarakat setempat. Inilah keunikan budaya di negara Indonesia.

Harapannya keberadaan mumi di Wamena masih terus dipelihara. Sekiranya perhatian pemerintah juga masih tetap di harapkan. Semoga keunikan dan warisan budaya lain yang belum di angkat dari bumi cenderawasih masih tetap di perhatikan lagi.

*Oktovianus Pogau adalah Jurnalis Lepas di Papua


Baca Selengkapnya......

Wednesday, August 18, 2010

Julian, Nasibmu Sungguh Malang (1)

Kisah nyata seorang anak Papua yang rela menggadaikan cinta, kasih sayang, dan pelukan hangat seorang Ibu dengan pendidikan. Sekarang jejak langkah, bahkan pusara sang ibu dan ayah yang ia cintai tak pernah di temui. Ia seperti hidup sendiri. Hidup tanpa siapa-siapa. Tangisan selalu menemani perjalanan hidupnya. Sungguh malang nasib anak ini.

OCTHO- BELASAN tahun silam lahir seorang bayi kecil. Ia di beri nama Julian oleh kedua orang tuanya. Bayi kecil ini sangat lucu. Ia sedikit imut dan ganteng. Kedua bola matanya bening. Hidungnya sedikit mancung. Bibirnya agak tebal. Ia lahir melengkapi kebahagiaan orang tuanya saat itu.

Julian lahir di sebuah kampung kecil. Terletak di daerah pegunungan Papua. Nama kampung itu adalah Mbamogo. Tepatnya kampung ini terletak di Kabupaten Intan Jaya. Sebuah daerah operasi baru yang di mekarkan dua tahun lalu oleh pemerintah.

Ayah Julian adalah seorang kepala suku. Seorang kepala suku di wajibkan untuk menikah lebih dari seorang istri. Ayah Julian menikahi sembilan orang istri, termasuk ibu Julian. Mereka hidup bahagia. Ayah Julian sangat berwibawa dalam mengendalikan kehidupan rumah tangga.

Julian memilki dua orang saudara perempuaan dan dua orang saudara laki-laki. Julian sendiri adalah anak bungsu. Kedua saudara perempuaan Julian telah berkeluarga. Sedangkan seorang saudara laki-laki yang kedua telah berpulang ke rumah bapak. Dan saudara laki-laki yang seorang lagi menjadi pekerja upahan di daerah Timika, Papua.

Kehidupan di kampung Mbamogo saat itu sangat menyenangkan. Ada dua gunung yang menjulang tinggi. Terdapat dua aliran sungai. Mengalir dengan derasnya. Air di sungai ini cukup jernih. Sungai dan Gunung adalah tempat bermain bagi Julian dan anak-anak di kampung itu.

Sungai di kampung Julian tidak sama dengan sungai di perkotaan yang telah tercemar limbah pabrik atau perusahaan. Mereka merawat sungai itu sebagai tempat kehidupan dan bermain. Gunung juga demikian. Ia di rawat dan di lestarikan semampunya.

Apa saja yang di inginkan Julian pasti terwujud. Mungkin bisa di maklumi karena ayah Julian adalah seorang kepala suku yang mempunyai segalanya. Julian sangat di sayangi oleh siapa saja, lebih-lebih oleh ayahnya sendiri.

Sejak kecil ia pandai berbicara menurut beberapa orang. Analisa katanya sangat tajam. Padahal saat itu ia belum memasuki jenjang pendidikan kanak-kanak.
Pada suatu waktu, Julian, Ibu, dan kedua saudara perempuaannya pergi memanen hasil di kebun. Kebun mereka tidak jauh dari rumah. Julian dengan sigapnya pernah berkomentar.

“Ibu, kasihaan yah, anak-anak yatim piatu yang telah kehilangan orang tua sejak kecil, bagaimana dengan kehidupan mereka nanti di hari esok.”

Sontak Ibu dan kedua sauara perempuaanya kaget. Mereka heran karena Julian kecil bisa berpikir sesuatu yang tak banyak orang pikirkan. Julian kecil telah memiliki semangat kemanusiaan yang tinggi.

Tutur katanya lebih mengarah kepada kepeduliaan kepada orang-orang yang tidak di kenalinya. Ia menunjukan semangat untuk mencintai dan peduli kepada orang lain yang tidak mampu. Ia mungkin kelak akan menjadi relawan kemanusiaan.

Julian kecil tumbuh menjadi anak yang cerdas, pintar dan manja. Ia di manja oleh siapa saja. Baik oleh ibunya, saudara-saudaranya, bahkan oleh masyarakat sekitar tempat ia tinggal. Julian seperti menjadi obat. Ia juga seperti menjadi “malaikat kecil” bagi setiap orang yang bersamanya. Ia tumbuh dengan penuh semangat dan bahagia.

Julian berumur empat tahun. Ia memilkii pergaulaan yang sangat luas. Ia bergaul dengan siapa saja. Ia tak memandang orang. Ia juga tak memandang latar belakang keluarga, status, bahkan agama sekalipun.

Tiba saatnya Julian berusaha memahami dunia sekitarnya. Namun tidak lengkap, jika Julian tak berusaha untuk mendapatkan pendidikan agar mengenal dunia yang belum pernah di kenalnya. Dunia globalisasi. Harapan itu ia pendam dalam hati. Tak ada seseoranpun yang tahu tentang harapan itu.

==============================================================================

HARAPAN Julian untuk menempuh pendidikan nampaknya akan terwujud. Sebuah yayasan membuka taman kanak-kanak di tempat Julian tinggal. Jaraknya sekitar 20KM dari tempat Julian. Jika berjalan kaki ke ketempat tersebut bisa mencapai delapan jam perjalanan.

Kebetulan kakak Julian yang saat itu sedang menjadi pembina asrama di yayasan dan sekolah tersebut. Ia mendaftarkan Julian untuk menjadi murid baru. Keinginan itu sebentar lagi akan terwujud. Keinginan untuk mengetahui perkembangan dunia yang nyata dan realistis.

Namun rasanya berat, ketika harus meninggalkan segalanya di kampung halaman. Mulai dari kemewaan hidup, alam yang indah sebagai anugerah pencipta, sahabat-sahabat, dan yang terakhir keluarga Julian sendiri.

Tekad yang kuat akhirnya menjadikan semua itu nyata. Julian pergi. Pergi meninggalkan semua kenangan indah di kampung halaman. Pergi meninggalkan cinta, kasih sayang, dan pelukan hangat semua orang yang ia cinta. Ia juga rela tidak mendapatkan kasih sayang, pelukan dan ciuman dari sang ibu.

Kepergiaanya Julian sepertinya membuat kampung Mbamogo muram. Ia pergi tanpa pamit secara resmi. Kesenangaan untuk mendapatkan pendidikan telah memaksanya untuk melupakaan semua kenangan indah di kampung halamannya.

Julian kecil pergi diantar langsung oleh ayah dan Ibunya. Julian sangat bahagia. Ia bahagia karena sebentar lagi mengenal dunia yang baru. Dunia yang belum pernah ia ketahui. Ia bahagia karena sebentar lagi mengenal dunia pendidikan. Dunia yang sebentar lagi akan mengubah segala pola pikirnya.

Julian tinggal di Asrama sambil menempuh pendidikan. Taman kanak-kanak Cenderawasih nama sekolahnya. Banyak suka duka yang ia alami. Ia di kenalkan pada dunia yang baru. Dunia yang tidak dia duga sebelumnya. Apakah ia tetap bertahan?….BERSAMBUNG





Baca Selengkapnya......

Tuesday, August 17, 2010

65 Tahun Indonesia Merdeka, Bagaimana Dengan Papua?

OCTHO- Hari ini rakyat Indonesia merayakaan kemerdekaan mereka. Sebenarnya Indonesia belum bisa di sebut negara merdeka. Masih banyak rakyatnya yang merasa di jajah, terutama rakyat Papua. Saya menulis ini sebagai kado ulang tahun untuk republik yang masih menjajah rakyatnya.

Arti kemerdekaan sesungguhnya adalah setiap warga negara merasa di berlakukan adil oleh negara. Yang menjadi soal saat ini, negara sengaja tidak berlaku adil pada semua warga negaranya, terutama kaum minoritas. Negara memperlakukan mereka sebagai kelas nomor dua, bukan kelas yang sama-sama harus di hargai.

Mereka kadang menjadi korban ketikadilaan. Konflik terus menerus di ciptakan untuk mereka. Perlakuaan semena-mena aparat tetap di tunjukaan. Ketidakadilaan tetap di pelihara. Aparat penegak hukum dan kaum mayoritas bekerja sama untuk berlaku tidak adil pada kaum minoritas. Apa jadinya negeri ini sepuluh hingga dua puluh tahun mendatang?

Indonesia di Jajah

Hampir tiga setengah abad lamanya Negara Indonesia di jajah. Ia di jajah oleh beberapa negara besar yang ada di Eropa. Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia, seperti; Inggris, Portugis, Spayol, Jepang dan Belanda yang paling lama.

Pemerintah Inggris mulai menguasai Indonesia sejak tahun 1811 pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles (TSR) sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia. Ketika TSR berkuasa sejak 17 September 1811, ia telah menempuh beberapa langkah yang dipertimbangkan, baik di bidang ekonomi, social, dan budaya.

Penyerahan kembali wilayah Indonesia yang dikuasai Inggris dilaksanakan pada tahun 1816 dalam suatu penandatanganan perjanjian. Pemerintah Inggris diwakili oleh John Fendall, sedangkan pihak dari Belanda diwakili oleh Van Der Cappelen. Sejak tahun 1816, berakhirlah kekuasaan Inggris di Indonesia. Kembali belandai menjajah Indonesia. Mereka paling lama, tahun 1602 sampai tahun 1942.

Kemudian Jepang, masa pendudukan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Yang namanya penjajah jelas akan tidak berlaku adil pada yang di jajah. Hal itu juga yang di rasakan oleh rakyat Indonesia pada masa penjajahaan. Mereka sering di perlakukan tidak adil, wanitanya di perkosa, bahkan banyak dari antara mereka yang di bunuh.

Di banding beberapa negara besar di Asia, Indonesia adalah salah satu negara yang di jajah paling lama. Coba bayangkan, di jajah hampir tiga setegah abad lamanya.

Kado Amerika Serikat

Indonesia meraih kemerdekaan berkat pertolongan negara adidaya, yakni; Amerika Serikat. Setelah sebelas hari Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan delapana hari di Nagasaki, kemerdekaan negara Indonesia akhirnya terwujud.
Artinya, Indonesia tidak berjuang secara susah payah untuk mendapatkan kemerdekaan, tetapi kemerdekaan negara Indonesia adalah kado berharga dan tak ternilai harganya yang di berikan secara tidak langsung oleh negara Amerika Serikat.

Senjata nuklir "Little Boy" dijatuhkan di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, diikuti dengan pada tanggal 9 Agustus 1945, dijatuhkan bom nuklir "Fat Man" di atas Nagasaki. Kedua tanggal tersebut adalah satu-satunya serangan nuklir yang pernah terjadi di dunia. John Hersey dalam laporan tentang Hiroshima memparkan tentang semua peristiwa kelam itu.

Saat itu mata dunia tertuju kepada tragedi bersejarah di Jepang. Amerika Serikat di klaim sebagai negara yang jahat dan biadab. Mereka memusnahkan semua yang ada di Hirosima. Mata negara penjajah di dunia juga sedang tertuju kepada Hiroshima. Bahkan beberapa negara yang sedang menjajah justru melepaskan daerah jajahaan mereka untuk merdeka. Indonesia adalah salah satu contoh negara jajahaan Jepang yang mendapatkan kemerdekaan.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 negara Indonesia memproklamirkan kemerdekaan mereka dari Jepang. Sebelumnya Jepan telah menandatangi surat menyerah. Dunia internasional mengakui kemerdekaan itu. Seantoro rakyat Indonesia, kecuali Papua juga turut bangga dengan kemerdekaan itu.

Mengisi Kemerdekaan


Babak perjuangan untuk meraih kemerdekaan telah di lewati, sekarang bagaimana mengisi kemerdekaan itu. Pergumulan paling berat adalah mengisi sebuah kemerdekaan yang telah di perohleh Negara Indonesia.

Soekarno sebagai sang proklamtor menjadi presiden. Hatta menjadi wakil. Mereka memimpin dengan cukup bijak. Walau beberapa isu penting tentang kedekataan Soekarno dengan agen intelejen Amerika sering nampak. Banyak peristiwa penting yang di lewati. Selama 20 Tahun Soekarno memimpin.

Tahun 1966 kekuasaan Soekarno tumbang. Surat perintah sebelas maret di gunakan oleh Soeharto untuk memimpin Indonesia. Partai Komunis saat itu di tudung sebagai separatis yang akan mengganggu keamanan negara. Mayor Jenderal Soeharto menjadi otak untuk penumpasaan itu. Keberhasilaannya membawanya menjadi orang nomor satu.

Selama 32 Tahun memimpin dengan Otoriter akhirnya Soeharto tumbang. Mahasiswa bersama rakyat Indonesia mengakhiri kediktatoran Soeharto. Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.

Habibi memimpin hanya dua bulan tujuh hari . Setelah itu pemilu ulang di lakukan, Abdurhaman Wahid terpilih. Gus Dur tak bertahan lama. MPR mendesak Gus Dur untuk mundur. Megawati mengantikannya. Pemilu berikutnya juga di langsungkan, SBY akhirnya terpilh, hingga yang berikut lagi tetap terpilih.

Hampir enam orang yang telah memimpin negeri ini. lima di antaranya pria, dan seorang wanita. Tidak semua memperhatikan persoaalan yang terjadi di Papua dengan cermat dan bijak, hanya Gus Dur seorang diri yang di anggap sedikit peka dan peduli terhad persoalan di Papua.

Papua

Saat negara Indonesia di proklamirkan, Papua tidak turut di dalamnya. Sabang sampai Amon saat itu menjadi wilayah negara Indonesia. Sumpah palapa, sumpah pemuda dan beberapa sumpah pemuda Indonesia yang lain tidak pernah ada keterwakilan Papua. Ini menandakan bahwa Papua bukanlah bagiaan dari negara Indonesia.

Tahun 1961 Papua pernah memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Saat itu mereka di bantu oleh negara belanda dengan sebutan Papua Raad. Dengan lagu hai tanahku Papua, lambang burung mambruk, bendera bintang kejora serta bentuk pemerintah sendiri. Tri komando rakyat, salah satunya berbunyi bubarkan negara boneka buataan Belanda, Indonesia juga pernah mayakni bahwa Papua adalah sebuah negara.

Tahun 1969 atas usulan Elswot Bungker, akhirnya penentuaan pendapat rakyat di berlangsungkan. Saat itu usulaanya satu orang Papua memberikan satu suaranya, bukan beberapa orang Papua mewakili seluruh rakyat Papua, tetapi pemerintah Indonesia berlaku tidak adil, mereka menunjuk 1025 orang Papua untuk memberikan suara mereka mewakili 800.000 orang Papua.

UNTEA, badan khusus PBB yang di tugaskan untuk memantau perkembangan di Papua juga tak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah Indonesia menekan semua gerak-gerik mereka. Ruang demokrasi di tutup rapat. Mereka tidak menghargai hak setiap orang untuk berpendapat, termasuk utusan PBB sendiri.

Hasil pepera akhirnya memutuskan bahwa rakyat Papua ikut dengan negara Indonesia. Mereka yang memberikan suaranya mewakili rakyat Papua adalah orang-orang pilihan pemerintah Indonesia. Mereka di ancam akan di bunuh jika tak mendukung Papua. Mereka memilih di bawah tekanan.

Penjajahaan di Papua

Setelah Papua integrasi ke dalam negara Indonesia secara sepihak banyak problem yang terjadi. Misalnya, militer mencurigai masih banyak orang Papua menghendaki kemerdekaannya sendiri. Mereka di kejar, di interogasi bahkan banyak dari antara mereka yang dibunuh.

Pelanggaran HAM oleh aparat militer sering terjadi di Papua. Semua berlangsung atas nama kepentingan negara. Orang Papua di anggap tidak penting untuk hidup. Pemerintah lebih mementingkan kekayaan alam orang Papua dari pada manusiaanya. PT Freeport Indonesia menjadi lahan yang paling menguntungkan bagi pemerintah Indonesia.

Pertumbuhaan penduduk Papua tak nampak. Program keluarga berencana yang di canangkan oleh pemerintah pusast, hal itu hanyalah akal-akalan untuk menekan penduduk asli Papua. Transmigrasi terus diberlangsungkan di Papua. Orang Papua sungguh tidak berdaya. Orang Papua memang betul-betul di buat tidak berdaya.

UU Otsus hanyalah bentuk penjajahaan baru. Pemerintah Indonesia menaruh kecurigaan yang besar terhadap rakyat Papua, dampaknya Otsus tidak di implementasikan secara baik dan konsekuen. Uang Otsus hanya di nikmati oleh pejabat Papua dan pemerintah Jakarta.

Peraturan daerah khusus yang di buat oleh pemerintah daerah untuk menjaga hak-hak adat masyarakat lokal juga selalu di curigai. Pemerintah selalu beralasan untuk tidak menyetujui Perdasi maupun Perdasus seperti itu. Rakyat Papua di anggap manusia yang tidak berguna dan tidak perlu di didik.

Rakyat kecil yang seharusnya menikmati dana Otsus tetap terpinggirkan. Betul-betul di buat tidak berdaya. Pemekaraan malah menimbulkan penyakit baru. Banyak uang Otsus di alokasikan untuk membuka daerah pemekaran. akhirnya lebih banyak uang Otsus di nikmati oleh birokrasi pemerintah dan aparat negara.

Rakyat Papua masih tetap di jajah. Di jajah oleh sistem yang tidak memihak. Sepertinya keadilaan tidak pernah ada untuk rakyat Papua. Penjajahaan itu membuat orang Papua sebagai kaum lemah yang sungguh tak berdaya.

Menuntut Merdeka

Maka pantaslah jika rakyat Papua menuntut hak mereka untuk memisahkan diri, arti lain menuntut merdeka. Semua rakyat Papua, termasuk pejabat-pejabat birkorasi pemerintah sudah muak dengan pemerintah pusat yang tidak pernah menghargai rakyat Papua sebagai manusia beradab.

Pemerintah Indonesia merdeka, berarti rakyat Papua juga harus merdeka. Semua orang, termasuk rakyat Papua juga berhak menentukan nasib sendiri. Tidak ada seseorang-pun yang bisa menghalangi hak setiap orang. Negara di dunia manapun mengakui hak-hak itu.

Pemerintah Indonesia perlu membuka diri dan merefleksikan kembali kegagalan mereka dalam membangun Papua. Menyadari bahwa tidak siap memipin sebuah daerah yang di sebut Papua. Ini juga sudah menunjukan kedwasaan mereka sebagai negara demokrasi. Dunia sedang menanti sikap pemerintah Indonesia.

Hari ini negara Indonesia senang karena telah merdeka. Tetapi bagaimana dengan rakyat Papua yang saat ini sedang murung bahkan sedang menangis karena belum merdeka. Semoga pemerintah Indonesia sadar akan ketidakmampuaan itu. Hanya satu kebutuhaan, rakyat Papua butuh kemerdekaan. Selamat ulang tahun. Selamat bersenang-senang untuk rakyat Indonesia.

*Penulis adalah Aktivis HAM, tinggal di Jakarta

Sumber Gambar; Desaign Pribadi

Baca Selengkapnya......

Monday, August 16, 2010

Cerita Dengan Wanita Papua

OCTHO- Pertama kali kami pernah bertemu di Bogor. Tepatnya tanggal 24 Juni 2010, kira-kira pukul 02.30. Pertemuaan itu sepintas. Tanpa basa-basi maupun obrolan panjang.

Saat itu ia datang bersama beberapa temannya dari Jakarta. Tujuaan mereka dan saya sama, yakni; untuk menghadiri acara yang di buat teman-teman Mahasiswa dari Nabire dan Paniai.

Malam itu ia menggenakan sweeter putih. Celana panjang blue jeans. Ia agak malu-malu. Namun ia terlihat agak cekatan. Ia cukup ramah pada siapa saja. Termasuk kepada saya.

Nama wanita itu adalah Lisa. Umurnya 22 tahun. Hidungnya mancung. Parasnya cukup elok. Rambutnya yang keriting tak begitu panjang. Ia tak biarkan rambutnya terurai begitu saja. Ia sengaja mengikat rambutnya agar tampak rapi.

Siapapun yang memandangnya pasti tergoda. Ia salah satu anggrek hitam dari Papua yang nan cantik. Ia mengaku berasal dari daerah pegunungan Papua, tepatnya di Wamena.

Ia dan saya saling kenal lewat jejaring sosial (facebook). Setelah pertemuaan pertama, saya berusaha membangun komunikasi dengan ia. Tak sia-sia, ia rela mengirimkan nomor HaPe lewat FB. Sejak itu kami sering berkomunikasi.

Saya mengajaknya untuk bertemu. Saya ingin bertukar pikiran sekaligus bisa mengenal ia lebih dekat. Ia sepakat. Kamipun merencanakan pertemuaan di Mall Cilandak, daerah Jakarta Selatan.

Pukul 16.00 saya telah tiba. Nampaknya ia belum datang. Sembari menunggu, saya menghabiskan waktu di Toko Buku Gramedia yang terletak di lantai satu bagian depan.
Gramedia di Mall Cilandak agak unik dan berbeda. Perbedaan dengan Gramedia lain karena pertama; terletak di lantai paling bawah. Kedua; buku-buku yang di jual tak begitu bermutu. Ketiga; kebanyakan menjual buku-buku keagamaan.

Saya membeli dua buah novel. Harganya relative sangat murah. Mungkin karena novel lama, atau mungkin juga karena novel tak bermutu. Novel pertama seharga Rp.12.500 dan novel kedua harganya Rp.10.000. Kedua novel yang saya beli bertema tentang bagaimana terjadinya beberapa pembunuhaan sadis di sekitar manusia.

Saya sebenarnya tak begitu suka membaca novel. Namun pelajaran Jurnalisme Sastrawai yang saya dapatkan di Yayasan Pantau dua minggu lalu paling tidak menganjurkan saya untuk membaca novel-novel. Alasannya sederhana, karena kita bisa mendapatkan kosa kata baru dalam dunia penulisaan naratif.

Serasa lama menunggu, saya bergegas ke tempat makan ala orang Amerika, yakni; Kentucky Fried Chicken (KFC) di lantai dua. Tempat makan ini tampak sepi sekali, maklum, belum waktu berbuka puasa. Hanya ada beberapa anak kecil yang di temani orang tuanya sedang bermain-main bola kecil.

Saya telah beritahu lisa agar ia datang ke tempat makan. Tak menunggu lama lagi. Sekitar lima menit ia telah datang.

“Hallo Okto,” katanya menyapa saya dari belakang.

Ia tampak lebih cantik. Hidung mancung. Bibirnya tipis dan seksi. Sepertinya ia pernah memakai lipstick. Ia menggenakan kaos putih. Rambutnya yang keriting di sisir rapi dan diikat. Ia memegang tas kecil, warnanya ungu muda. Ia wanita Papua yang cantik menurutku.

Kami saling bersalamaan. Saya mempersilakannya duduk. Saya mengajak dia makan, namun ia menolak secara halus, sepertinya telalu cepat untuk makan malam, memang benar, waktu saat itu menunjukan pukul 17.20. Ia dan saya sepakat untuk tak makan. Saya mengusulkan untuk cari minuman yang bisa menemani obrolan kita.

Di samping KFC ada tempat minum. Kebanyakan menjual minuman dingin. Ia telah memesan dua gelas es kelapa. Karena letaknya di jalan, dan banyak orang yang lalu lalang, saya mengusulkan agar berpindah tempat. Ia sepakat. Kami menuju ke tempat yang lebih santai serta tak begitu ramai.

Tepat di Pintu masuk utama, lantai II, belok kiri tedapat coffe break. Kami sedang menuju kesana. Ia dan saya sama-sama menyukai tempat ini. Saya menemani ia memesan dua gelas coffe dingin.

Ada tiga pelayan disitu. Seoarng pria dan dua orang wanita. Baju mereka berseragam dan warnanya kuning Tampaknya mereka begitu ramah, mungkin sudah di anjurkan untuk bersikap demikian.

Kami bergegas mencari tempat duduk. Meja dan kursi di dalam ruangan ini sangat romantis. Hampir semua meja berwarna pink. Kursinya juga demikian. Ia dan saya juga duduk di kursi yang warna pink, mejanya juga berwarna pink. Hanya ada satu kursi di samping kami yang berwarna orange.

Kami memulai cerita. Saling menyapa. Saling mengenal. Mengenal lebih jauh. Ia mulai bercerita. Saya juga bercerita. Ia begitu dewasa untuk diajak ngobrol. Tak banyak wanita Papua yang seperti dia.

Sorotan matanya begitu tajam. Tutur katanya di susun sedemikiaan rapi. Senyumnya juga memesona. Gerak-geriknya sesuai dengan arah tutur katanya. Ia dewasa dalam menghadapi pria seperti aku. Saya mendengarkan dengan penuh seksama.

Ia bercerita tentang keluarganya. Ayahnya telah pensiun dari kerja. Ibunya juga demikiaan. Ia anak ke dua dari empat bersaudara. Kakaknya yang pertama telah berkeluarga. Kedua adiknya tinggal bersama kedua orang tua mereka di Timika, Papua.
Walaupun ia orang Wamena bukan berarti ia paham bahasa Wamena. Ia mengaku sejak lahir hingga besar di kota Jayapura.

“Saya pernah ke Wamena sekali waktu saat masih duduk di kelas III SMA, tapi tidak tahu bahasa daerah,” katanya.

Ia juga bercerita banyak hal tentang karier cintanya. Mulai dari bercinta dengan pria yang “sama marganya” sampai pria yang berbeda asal dan daerah. Ia mengaku sejak SMA tak pernah pacaran.

“Ayah saya sangat keras. Waktu SMA tak boleh pacaran dan memang di larang,” kata dia.

Ia juga bercerita tentang pendidikan. Mulai dari tempat ia sekolah, sampai pada tempat kuliahnya saat ini. Ia mengaku awalnya tak menyangka bisa kuliah, karena kondisi ekonomi orang tuanya. Namun karena berkat TUHAN-nya ia dapat melanjutkan ke perguruaan tinggi.

“Paling cepat bulan Oktober 2010 dan paling lambar bulan Januari tahun 2011 akan selesai kuliah,” katanya.

Ia mengatakan setelah selesai kuliah pingin melanjutkan lagi, tetapi jika tidak ia akan kembali ke Papua dan mengabdi untuk saudara-saudara di sana.

Ia bercerita dengan sangat sopan. Semua pertanyaan saya di jawab. Ia pandai bercerita dan bertutur. Ia orang yang tepat untuk di ajak bicara.

Ia bercerita banyak hal tentang dia, saya juga demikiaan. Kami saling mengenal. Ia mengenal saya, saya juga mengenal dia. Pertemuaan yang tak mungkin bisa terulang kembali.Saya harap ini bukan akhir dari pertemuaan kita tetapi awal.

TIdak terasa sudah dua jam lebih kami bercerita. Minuman dingin di meja pink sudah mulai habis juga. Tampknya Mall Cilandak semakin ramai. Banyak orang mulai berdatangan karena akan berbuka puasa.

Dari raut wajahnya terlihat bawah ia senang. Ia senang karena bisa bercerita dengan orang baru yang tak di kenalnya awal. Saya juga demikiaan. Senang bisa bercerita dengan dia. Bercerita dengan orang baru yang belum pernah saya kenal.

Jarum jam menunjukan pukul 19.30. Kami harus berpisah. Kami menumpang taxi express. Menuju ke tempat tinggalnya, setelah itu saya melanjutkan perjalanan saya ke tempat saya tinggal. Ia berpamitan dan turun dari taxi.

Senang punya teman bicara yang begitu sopan, ramah, periang dan santun. Ternyata sikap, sifat dan pembawaan seseorang dapat membangkitkan semangat. Semgat untuk hidup. Semangat untuk berjuang. Dan semangat untuk memulai perjalanan cinta yang baru.

Baca Selengkapnya......

Sunday, August 15, 2010

MIFEE dan Ancaman Bagi Masyarakat Adat

OCTHO- Untuk mendukung program food estate, pemerintah pusat telah membuat sejumlah payung hukum yang dianggap penting, tujuaanya tidak lain, menarik investor swasta termasuk asing ke dalam negeri agar dapat menangani masalah krisis ketahanan pangan.

Salah satu payung hukum yang dibuat adalah Instruksi Presiden No 5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate). Memasuki Tahun 2010 kemarin, Kementerian Pertanian merancang peraturan pemerintah (PP) tentang food estate atau pertanian tanaman pangan dengan skala sangat luas. Sebelumnya, persoalan ini sudah dimasukkan dalam Perpres No 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup Dan Terbuka.

Program Food Estate sendiri merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan yang berada di suatu kawasan lahan yang sangat luas. Secara sederhana konsep Food Estate layaknya perkampungan industri pangan.

Saat ini diperkirakan ada 7,13 juta hektar lahan yang dianggap terlantar di Indonesia. Kabupaten Merauke, Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang dipandang layak untuk diberlakukakan program food estate dengan lahan seluas 1,6 Juta ha.

Merauke Target Program Food Estate

Kabupaten Merauke, Provinsi Papua adalah target utama pemerintah untuk mengembangkan food estate. Program Merauke Integrate Food Energy Estate (MIFFE) sendiri secara resmi telah dicanangkan oleh Bupati Merauke, Jhon Gluba Gebze pada perayaan HUT kota Merauke ke 108 tanggal 12 Februari 2010 lalu.

Merauke memiliki cadangan lahan pertanian mencapai 2,49 juta ha, terdiri dari lahan basah sekitar 1,937 juta ha dan lahan kering 554,5 ribu ha. Bahkan lahan yang ada hampir semua datar, sehingga cocok untuk usaha pertanian skala luas. Sedangkan lahar sekitar 1,63 juta ha yang potensi untuk pengembangan food estate. Dari luasan itu, ada sekitar 585.000 ha lahan areal penggunaan lain (APL) yang sudah mendapat persetujuan Kementerian Kehutanan.

Beberapa distrik di Merauke merupakan kawasan sentral produksi. Untuk tanaman padi berada di Merauke, Semangga, Kurik, Tanah Miring, Okaba dan Kimaam. Komoditi kedele berada di Jagebob, Malind, Muting, Elikobel, Okaba dan Kimaam. Sedangkan jagung di distrik Semangga, Jagebob, Muting, Elokobel, Okaba, dan Kimaam.

MIFEE dan Konglomerat

Kabarnya, untuk mendukung program Merauke Food Estate akan ada 36 investor yang menanamkan modalnya di Merauke. Sekitar 28 di antaranya adalah investor asal dalam negeri dan sisanya adalah investor asing. Menurut Serikat Keadilan dan Perdamaiaan (SKP) Merauke, beberapa perusahan besar telah mulai beroperasi sejak bulan Mei lalu.

Misalkan, perusahan milik Prabowo Subianto, PT Kertas Nusantara yang memperoleh lahan investasi paling besar yakni; 154.943 ha Hutan Tanaman Industri (HTI). Perusahan ini hadir dengan surat rekomendasi 522.1/2700 tanggal 23-10-2008. Secara khusus perusahaan ini bergerak dibidang pembuataan kertas dan bubur kertas, kantor pusatnya berada di Menara Bidakara, Jakarta Pusat.

Daerah operasi mereka meliputi beberapa distrik, seperti Ngguti, Okaba dan Tubang. Kehadiran PT Kertas Nusantara sendiri sudah tentu akan membuka hutan yang cukup besar, dikhawatirkan akan terjadi konfiik antara masyarakat adat setempat dengan pihak perusahan.

Selain itu, Medco Group perusahan milik Arifin Panigoro melalui anak usaha PT Medco Papua Industri Lestari telah menanamkan investasinya juga di Merauke. Kehadiran mereka dengan surat rekomendasi No.522.2/415 Tanggal 18-02-2010, beroperasi di Distrik Kaptel dan Ngguti. Lahan yang akan dibuka untuk energi biomassa (industri produksi energi) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebesar 169.000 ha.

Medco Group dan Arifin Panigoro hadir dengan tiga misi utama yakni; memperluas eksplorasi, meningkatkan produktifitas lapangan yang sudah ada, serta, memperketat balancing portfolio. Medco Group sudah tentu akan beroperasi dalam waktu yang cukup lama di Merauke.

Tidak ketinggalan, Keluarga Wiliam Soeryadjaya yang juga pernah menjadi orang nomor dua terkaya di Indonesia menanamkan investasinya di Merauke. PT Agro Lestari dengan anak perusahan PT Papua Agro Lestari sendiri bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Perusahan ini mendapat lahan operasi seluas 39,8 ha, dengan surat keputusan. No 08 tanggal 16 Januari tahun 2007. Wilayah operasi mereka meliputi sebagian besar Distrik Ulilin.

Selain ketiga konglomerat kelas kakap diatas, masih ada beberapa orang lagi yang menanamkan investasinya di Merauke berskala besar, sebut saja Tommy Winata pemilik Kelompok usaha Artha Graha Network melalui anak usahanya PT Sumber Alam Sutera (SAS), kemudian Aburizal Bakrie dari kelompok Bakrie Group dan beberapa lagi.

Kehadiran beberapa perusahaan yang dimiliki konglomerat asal Indonesia semoga dapat membawah wajah baru perekonomian Indonesia, khususnya Papua. Jangan seperti penanganan lumpur Lapindo yang tidak selesai dan menimbulkan masalah hingga saat ini.

Tanggapan LSM dan Gereja

Menurut Septer J. Manufandu, Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua bahwa “Program Merauke Integrated Food dan Energy Estate (MIFEE) yang membuka lahan 1,6 juta hektar merupakan ancaman baru kerusakan hutan dan terjadi marjinalisasi hak-hak masyarakat adat Marind” tegasnya.

Sementara Lindung Pangkali dari Foker LSM Pokja REED mengatakan bahwa “perlu ada Perdasus pengolahan hutan yang berbasis masyarakat adat. Jika ada instrument hukum maka akan lebih mudah mengawasi pelaksanaan MIFEE di kemudian hari,” katanya.

Direktur Serikat Keadilan dan Perdamaiaan (SKP) Merauke, Pastor Decky Ogi MSC dalam kesempatan saat mempersentasekan hasil penilitiaanya pernah menyatakan bahwa dampak dari pada kehadiran MIFEE sudah tentu akan merugiakan masyarakat adat setempat.

Sementara itu, Diana Gebze dari Solidaritas Masyarakat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) mengatakan bahwa “Kami tolak kehadiran MIFEE di Merauke, karena ini akan menggusur hak-hak adat masyarakat Marind dan hanya untuk kepentingan imprealisme,” pungkasnya dalam siaran pers mereka beberapa waktu lalu di Jayapura, Papua.

Berharap Pada MIFEE

Kehadiran program MIFEE di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua sudah tentu merupakan program pemerintah pusat dan tidak bisa ditolak kehadirannya. Tujuan utamanya cukup baik, yakni; mengatasi krisis ketahanan pangan yang akan terjadi di Indonesia, terlebih khusus di tanah Papua.

Namun yang sangat disayangkan, jangan sampai kehadiran MIFE menggusur hak-hak adat, hutan dan budaya masyarakat setempat. Banyak pengalaman pahit yang telah membuat masyarakat adat di Papua trauma.

Semoga Presiden Yudhoyono masih ingat pada pidatonya di Kopenhagen akhir tahun 2009 lalu. Saat itu ia mengajak pemimpin dunia untuk menginjeksi logika ekonomi baru (new economic logic) dalam konsep pembangunan ekonomi. Konsep new economic logic versi Presiden Yudhoyono itu adalah mempertahankan tegakan hutan jauh lebih menguntungkan daripada menebang.

Pemerintah perlu serius memperhatikan hak-hak masyarakat adat Marind. Pemerintah jangan membuat peraturan yang berpihak kepada pemodal, sembari mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengatur hak-hak hidup, hutan dan adat harus dibuat. Ini mengantisipasi keberlangsungan hidup masyarakat adat Marind di Merauke, Papua kedepannya.

Masyarakat adat sedang menanti keseriusan pemerintah. Kita sama-sama akan melihat, apakah kehadiran MIFEE menjadi ancaman atau berkah bagi masyarakat adat Marind di Merauke, Papua.

Gambar TABLOID JUBI



*Penulis adalah Aktivis HAM di Papua.

Baca Selengkapnya......

Monday, August 09, 2010

Antara Kuliah dan Menyanyi

OCTHO- Pada hari Kamis, 5 Agustus, pukul 21.00 kami bertemu. Seperti orang Papua lainnya, lelaki ini kulitnya hitam. Rambutnya keriting dan di potong agak rapi. Hidungnya cukup mancung. Malam itu Ia mengenakan kaos oblong warna kuning terang. Penampilannya jelas tak begitu rapi.

Dia adalah Mugu Zonggonau. Saya pertama kali mengenalnya lewat beberapa tembang lagu yang pernah dia nyanyikannya. Ia lahir di Kabupaten Paniai, Bibida. Umurnya lebih tua lima tahun dari saya. Ia menghabiskan masa kecil di beberapa tempat; Paniai, Nabire, Timika dan Manado.

“Saya selalu pindah-pindah tempat tinggal, bosan juga” pungkasnya.

Berbekal ijasah sekolah menengah atas dari SMA Lokon Internasional, Manado, Mugu datang ke Surabaya untuk menempuh pendidikan tinggi. Katanya tinggal di Jawa agak berat, karena harus menyesuaikan diri dengan kehidupan di kota besar.

“Saya datang ke Surabaya dengan biaya dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Amugme dan Kamoro (LPMAK) di Timika,” tuturnya.

LPMAK adalah sebuah lembaga sosial yang di bentuk oleh PT Freeport Indonesia pada tahun 1996. Lembaga ini di bentuk untuk memberdayakan masyarakat yang ada di sekitar areal operasi PT FI. PT FI beri dana 1% untuk di kelolah oleh LPMAK. Kehadiran lembaga ini telah turut berperan penting dalam kemajuaan pendidikan di Timika. Banyak anak-anak Papua yang telah dibiayai oleh lembaga ini untuk menempuh pendidikan di luar Papua.

Selain kuliah, ada hal yang luar biasa dari Mugu, Ia sering tampil untuk menyanyi di beberapa tempat. Bahkan dia sudah menciptakan beberapa lagu.

“Sudah ada beberapa lagu yang telah direkam menjadi sebuah kaset.”

Album perdana Mugu di keluarkan pada bulan November tahun 2009 lalu, judulnya; The Exchonicles. Ada beberapa lagu yang dinyanyikan sendiri, sedangkan beberapa lagi dibantu oleh seorang sahabat. Ia juga mengaku kaset rekaman itu telah dipasarkan untuk umum.

Lelaki suara emas asal Kabupaten Intan Jaya juga mengukapkan bahwa sangat berat membagi waktu antara rekaman dan kuliah. Malahan katanya ia sering dimarahi dosen karena nilai kampus semakin buruk.

“Saya kadang lebih utamakan menyanyi dari pada aktivitas kuliah di kampus. Ini yang parah,” jelasnya.

Dia juga mengatakan bahwa selama ini yang menjadi kendala adalah terbentur masalah dana. Jika kami memilki dana, sudah pasti akan rekaman lagi, dan sekaligus perbanyak beberapa kaset rekaman.

“Saya berharap ada yang bisa membantu kami dalam hal keuangan, biar bakat saya bisa di asah lagi sekaligus bisa tetap menghibur banyak orang,” imbuhnya.

Selain menyanyi, Mugu juga punya bakat bermain musik. Menyanyi dan music adalah dua sisi kehidupan yang tak bisa di pisahkan. Ia mengatakan akan tetap menaikit tangga kehidupan. Ngomong-ngomong mana yang lebih penting, menyanyi atau kuliah yah?

Baca Selengkapnya......

Thursday, August 05, 2010

Kenapa Rakyat Papua Menuntut Referendum?

OCTHO- Tuntutan rakyat Papua untuk memisahkann diri dari NKRI semakin nampak. Yang menjadi pertanyaan, kenapa orang Papua menuntut memisahkan diri, padahal dana Otsus sekian banyak bergulir ke Papua tiap tahunnya. Bukankah Otsus sudah “memerdekakan” orang Papua?

Dewan Adat Papua (DAP) bersama rakyat Papua pada tanggal 12 Agustus tahun 2005 pernah mengembalikan UU Otsus kepada pemerintah pusat melalui DPR Papua. Mereka berjalan sejauh 12KM dari Abepura sampai ke Jayapura dengan kekuataan massa 10.000 orang. Mereka kecewa, karena UU Otsus tidak member manfaat apa-apa.

Beberapa tahun kemudian tutuntan itu semakin nampak, bahkan lebih radikal lagi, dimana lembaga yang di bentuk negara juga ikut bersuara. Pada tanggal 28 Juni 2010 lalu massa Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FORDEM) bersama rakyat Papua berjalan sejauh 12 KM dari Abepura ke Jayapura, tepatnya di kantor DPR Papua, mereka mengembalikan Otsus karena gagal, dan dan memilih opsi referendum sebagai solusi.

Apa yang salah dari UU Otonomi Khusus? Dan kenapa rakyat Papua minta referendum? Di bawah ini saya menuliskannya.

Merasa Bukan Bagian Dari NKRI

Rakyat Papua merasa mereka bukan bagian dari NKRI. Banyak perbedaan yang sangat nampak antara mereka dengan orang non-Papua. Perbedaan itu juga paling nampak dari segi sosial dan budaya rakyat Papua dengan orang non-Papua.

Mereka sadar, perbedaan itu tidak mungkin di satukan dengan bangsa lainnya di manapun, termasuk bangsa Indonesia. Mulai dari cara hidup mereka yang berbeda sampai pada kebiasaan hidup yang berbeda pula. Perbedaan warna kulit dan rambut juga menjadi pertimbangan. Mereka beranggapan bahwa mereka ras Melanesia yang tentunya sangat berbeda dengan ras melayu.

Selain itu, orang Papua juga merasa tidak pernah di libatkan dalam pembangunan. Kehadiran UU Otsus bukan justru memberikan kesempatan kepada rakyat Papua mengembangkan dirinya, namun lebih memberikan kesempatan kepara orang non-Papua untuk berkarya. Sudah tentu rakyat Papua akan semakin terpuruk, dan orang non-Papua yang akan maju dan berkembang.

Diperlakukan Tidak Adil dan Diskriminatif

Banyak kebijakan pemerintah pusat yang dinilai tidak adil dan diskriminatif terhadap rakyat Papua. Pemerintah lebih mementingkan ekonom dari luar Papua dari pada orang asli Papua sendiri. Bukan menyangkut bidang ekonomi saja, beberapa bidang juga demikian. Mereka merasa diperlakukan sangat tidak adil dan penuh diskriminatif. Padahal UU Otsus telah berbicara banyak tentang sistem permberdayaan masyarakat lokal.

Contohnya lagi, kebijakan pembangunan transmigrasi yang menganaktirikan penduduk lokal. Kebutuhan para transmigran yang akan menempati sebuah tempat di sediakaan dengan baik, lahan di sediakaan juga, tapi bagaimana dengan nasib penduduk lokal, apakah pemerintah memperhatikan mereka juga?

Kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan investor swasta dan asing yang lebih mempunyai banyak modal juga sering kali menjadi masalah. Padahal investor asing tak begitu paham dengan sifat, karakter dan cara hidup masyarakat setempat.

Tidak Pernah Menikmati Sumber Kekayaam Alam


Banyak investor asing yang tertarik menanamkan investasinya di Papua. Mereka tahu, kalau Papua adalah daerah yang memilki banyak kekayaan alam. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah ikut mendukung upaya itu.

Misallkan, PT Freeport Indonesia adalah salah satu perusahan Multinasional pertama yang menanamkan investasinya di bumi Amungsa, Papua. Mereka telah beroperasi sejak tahun 1967, dua tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diberlangsungkan. Berarti sudah hampir 35 Tahun mereka di tanah Papua.

Selain PT Freeport Indonesia, adalagi Briths Petroleum (BPT) perusahaan yang menambang gas di Teluk Bintuni, Papua. Keduaanya menjadi icon perusahaan asing yang lainnya di tanah Papua. BTP juga sama, telah lama hadir di bumi cenderawasih, namun manfaat apa yang mereka berikan menjadi pertanyaan?

Perusahaan asing yang ada di Papua lebih mementingkan kepentingan bisnis mereka dari pada memperhatikan hak-hak adat masyarakat setempat. Bahkan suku Amugme yang konon di beri janji macam-macam oleh petinggi PT Freeport Indonesis saat akan beroperasi saat ini hidup sangat terpuruk. Orang Papua tidak menikmati hasil kekayaan alamnya sendiri.

Selalu Ditindas dan Dibunuh

Orang Papua selalu ditindas dan dibunuh atas nama pembangunan diatas tanah mereka. Perebutan lahan antara pemerintah dengan masyarakat, investor dengan masyarakat paling sering terjadi dan menelan korban jiwa dari masyarakat sipil yang begitu banyak.

Tumpukan pelanggaran HAM sejak Papua integrasi ke dalam NKRI juga belum pernah di selesaikan. Misalkan, kasus Wamena dan Wasior berdarah yang menelan korban jiwa sangat banyak juga tidak pernah di selesaikan hingga saat ini. Masih menjadi pertanyaan, apakah pelaku-pelaku tersebut kebal terhadap hukum atau justru hukum yang takut untuk menyentuh mereka?

Kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay, tokoh adat sekaligus tokoh politik orang Papua di tahun 2001 juga belum pernah di selesaikan hingga saat ini. Rakyat Papua hanya butuh keadilaan dari pemerintah Indonesia. Kenapa yang mencuri ayam satu ekor saja bisa di sentuh oleh hukum, namun para pembunuh tak bisa tersentuh oleh hukum?

Tidak Menerima Pelaksaanaan PEPERA

Penentuaan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua adalah sebuah rekayasa yang di lakukan Amerika Serikat, Indonesia, Belanda dan PBB. USA memilki kepentingan dari segi ekonomi, yakni; untuk menanamkan investasinya di tanah Papua.

Menjadi pertanyaan, kenapa PT Freepornt Indonesia di ijinkan beroperasi di Papua pada tahun 1967 padahal PEPERA baru akan di laksanakan pada tahun 1969. Jadi PT Freepornt Indonesia hadir di Papua dua tahun sebelum Papua integrasi ke dalam NKRI.

Pelaksanaan PEPERA juga tidak demokrasi dan melanggar hukum internasional karena rakyat Papua tidak di libatkan secara penuh untuk menentukan hak-hak mereka. Saat itu pemerintah Indonesia memilih 1025 orang dan beberapa orang dari luar Papua untuk menentukan pilihan. Saat itu meraka berada di bawah ancaman dan todongan Militer Indonesia.

Sejarahwan belanda Prof Drooglever dalam bukunya “Een Daad van Vrije Keuz : De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelfbeschikkingsrecht” telah menguraikan panjang lebar tentang kegagalan pelaksanaan PEPERA di tanah Papua secara baik dan benar. Jadi sampai saat ini orang Papua tidak pernah menyetujui integrasinya Papua ke dalam NKRI.

Pemerintah Perlu Membuka Diri

Tuntutan untuk memisahkan diri akan terus nampak ke permukaan. Pemerintah Indonesia perlu segera membenahi diri, agar tuntutan ini juga tidak berdampak luas kepada dunia Internasional.

Mungkin kita masih ingat, bagaimana pada tahun 2005 lalu 37 anggota Kongres Amerika yang menyurati langsung presiden Indonesia perihal memohon pembebasan kedua tahanan politik di Papua; keduanya adalah Filep Karma dan Yusak Pakage.

Amerika Serikat dan Dunia internasional betul-betul akan respon pada setiap persoalan di Papua. Saat kedatangan Eni Faleomavaega ke Indonesia dan Papua, beliau menyatakan bahwa mendukung UU Otsus di Papua, tapi bagaimana jika masyarakat Papua sudah menolak dan mengembalikan Otsus kepada pemerintah pusat?

Jawaban apa yang akan pemerintah berikan kepada anggota Kongres Amerika atau dunia internasional menyangkut kegagalan Otsus di tanah Papua? Sedia payung sebelum hujan itu penting. Pemerintah perlu membuka diri dan menerima apa yang menjadi keinginan rakyat Papua, sebelum tiba bom waktu itu.

Sumber gambar Google

Baca Selengkapnya......

Wednesday, August 04, 2010

Rasialisme Itu Masih Nampak

OCTHO- HARI itu tanggal 3 Juli 2010, pukul 19.45. Suasana jalan Pasar Minggu cukup ramai. Kendaraan umum maupun pribadi masih lalu lalang. Kemacetan juga masih nampak. Banyak pedagang asongan menjajankan dagangan mereka. Roman wajah para pedagang sedikit berharap ada orang yang menghampiri mereka.

Dari kejauhaan muncul seorang pemuda Papua. Dia sedikit bertubuh atletis. Ia adalah Alfred Pigai, lelaki suku Mee. Umurnya lebih tua enam tahun. Tingginya kurang lebih 160 cm. Malam itu Ia mengenakan kemeja ala Militer dengan Jaket hitam, belakangnya bertuliskan “STIPAN-Kab Nabire” Ia sahabat saya ketika di Nabire, Papua.

Penampilannya cukup kren. Rambutnya di potong cepak. Suaranya bernada tenor, tidak Bass seperti pemuda Papua lainnya. Kulitnya lebih hitam dari penyanyi kondag macam Edo Kondogolit. Rambutnya keriting. Sudah bisa di tebak Ia adalah bangsa rumpun Melanesia. Hidungnya tidak begitu mancung seperti Brad Pitt. Ia dengan cepat menghampiri saya.

“Kawan koi ada disini juga ehh,” sapanya.

“Sudah hampir sebulan disini,” saya menjawabanya.

Saya cukup mengenal dia. Ia pemuda yang cukup pandai dan tangkas. Ia menghargai setiap perbedaan. Ia juga sangat patuh dan taat pada ajaran agamanya. Saya mengenalnya ketika ia menjadi ketua pemuda di sebuah Gereja. Ia sangat radikal pada ajaran agama Katolik. Hobinya menyanyi dan tinju.

Ia mematuhi ajakan untuk ke tempat saya tinggal. Kami menumpang angkot tujuan Kampung Melayu. Angkot itu warna biru gelap. Pada kaca depan dan samping tertulis nomor 16. Mobil itu sudah sangat tua, dan tidak layak lagi beroperasi. Saya tidak ingat persis nomor polisi angkut itu. Dalam perjalanan pulang kami saling bertukar pikiran tentang kehidupan di Jakarta.

“Kawan hidup di kota Jakarta sangat susah, semua-semua butuh uang. Apalagi seperti saya yang orang tua tak mampu. Tapi syukur, biaya kuliah saya sudah di bereskan oleh pemerintah daerah,” katanya menjelaskan.

Dia memberikan nasihat sekaligus pandangan karena saya baru tiba di Jakarta untuk kuliah. Saya mendengar dengan penuh cermat. Ia sendiri sudah hampir tiga tahun di Jakarta. Katanya Ia akan wisuda pada bulan Oktober tahun ini. Ia sendiri kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahaan (STIPAN) yang beralamat di Jalan Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Saya memancingnya berbicara soal rasis yang masih sering terjadi di Jakarta. Dengan sigap Ia berbicara tentang banyak pengalaman yang sudah sering di alaminya. Ia juga mengatakan bahwa hal-hal seperti itu sudah sering terjadi di pulau Jawa, bukan di Jakarta saja.

“Banyak orang kulit putih akan menutup hidung dengan tissue atau kain jika ada orang kulit hitam berambut keriting di dalam sebuah angkutan umum, saya sangat tersinggung bahkan terpukul dengan perlakuaan seperti ini, namun apa boleh buat?” urainya.

Ia juga menjelaskan tentang perlakukaan para teman-temannya di kampus. “Jika mereka melihat orang kulit hitam dan berambut keriting maka mereka akan menghindar jauh, saya sendiri bingung apa sebab demikian, padahal saya tidak mengganggu mereka,” jelasnya.

Ternyata diskirminasi itu masih nampak. “Ketika memberikan sebuah argument atau pertanyaan pada dosen, teman-teman yang kulit putih akan berujar pada saya bahwa orang kulit hitam harus belajar bahasa Indonesia dengan baik dulu baru tanya,” tambahnya.

“Bagaimana kau menanggapi tindakan mereka,” tanya saya. “Walau sakit hati, saya kira jangan kita terlalu ambil pusing, biarkan saja, itu urusan mereka sendiri,” jawabnya. Selain itu dia juga mengatakan bahwa orang kulit putih tidak bisa menerima kehadiran orang kulit hitam ras Melanesia di Negara Indonesia.“

Kami berbicara panjang lebar tentang perlakukan rasis dari orang kulit putih terhadap orang kulit hitam di negara Indonesia. Beberapa orang kulit putih yang di dalam angkutan umum turut mendengarkan, termasuk sopir angkot. Alfred berkomentar dengan penuh semangat. Ia dan saya menyimpulkan bahwa perlakuan rasis seperti ini sungguh ironis. Ini bagiaan dari melanggar hak azasi orang kulit hitam untuk hidup di negara demokrasi macam Indonesia.

Maka, tidaklah heran, jika orang kulit hitam (ras Melanesia) menuntut untuk memisahkan diri dari NKRI. Ras Melanesia dan ras Melayu memang sangat berbeda. Perbedaan itu sangat sukar di persatukan.

Gambar sumber Google
Tulisan ini tugas saat mengikuti kelas Jurnalis Sastrawi di Yayasan Pantau.

Baca Selengkapnya......

Aparat Kepolisian Menembaknya!

OCTHO- SAMPAI saat ini saya masih tetap tidak percaya. Saya melihat dengan jelas darah segar keluar dari tubuh seseorang. Darah itu keluar semakin lama semakin mengental dan berbentuk gumpalan. Nyatanya songsongan peluru aparat telah menempel pada paha kiri dan rusuk kanan. Kedua diameter songsongan peluru itu hampir sama, sekitar 3cm lebarnya. Saya hampir muntah melihat itu.

Hari itu tanggal 24 Juni tahun 2009. Jarum jam di dinding kamar menunjukan pukul 14:00 Wit. Suhu di dalam ruangan kamar lumayan panas. Kipas angin yang pernah dibeli dua bulan lalu memang telah rusak. Saya hanya berharap pada angin bebas dari jendela kamar. Mobil dan motor masih lalu lalang di luar halaman rumah. Anak-anak sekolah juga telah beranjak dari sekolah. Keheningan itu hampir saja tiba.

Siang itu saya baru pulang setelah mengikuti sebuah seminar bertema pendidikan, memang tidak sampai selesai, jujurnya saya bolos. Saya Kelelahan dan ingin tidur. Belum lama memejamkan mata, seorang sahabat yang juga seorang Jurnalis menelpon. “Ada penembakan di KPR Siriwini, kau harus datang,” katanya lewat telepon selelur.

Saya bergegas bangun dan siap. Kembali memeriksa tas, mempersiapkan catatan kecil dan pulpen. Kamera digital, canon 9,0 Megapixel selalu menjadi sahabat yang berbicara melalui gambar. Saya bergegas pergi. Menuju tempat kejadian.

Menesuri sepanjang Jln. RE Martadinata yang sangat panjang, kurang lebih 20 KM. Jalan ini walau telah di aspal namun masih di temui banyak lobang. Para kontraktor tidak mengerjakan proyek ini dengan baik. Mungkin hampir semua kontraktor di Indonesia demikian, tidak bekerja sungguh-sungguh untuk masyarakat. Kelihatannya mereka lebih mementingkan profit.

Motor Jupiter MX Biru yang saya gunakan melaju dengan kecepatan tinggi. Saya tidak ingat persis DS motor itu. Kurang lebih 10 menit saya tiba di tempat kejadian. Mengejutkan, ternyata Melkias Agapa (38) warga Kelurahaan Siriwini telah meninggal dunia. Ia meninggal tepat pukul 14:00 Wit. Dia di baringkan di depan tanah sambil di bungkus dengan tenda berwarna biru. “Dia telah di tembak oleh Polisi,” ujar keluarga dekatnya dengan nada yang kesal sambil merintih.

Kronologisnya Agapa sakit malaria tropika. Dia demam berat. Mungkin jengkel dengan penderitaannya, Ia marah-marah pada semua anggota keluarganya. Pukul 02:00 dini hari, Ia bahkan memutuskan kabel listrik dalam rumah. Dalam kegelapan, Ia keluar dari rumah. Dia menghilang beberapa jam. Ketika kembali, sekitar pukul 13.30, ada motor polisi parkir dekat rumah. Dia ambil kunci motor itu. Menurut keluarga, polisi ingin ambil kunci dan menangkapnya. Pihak keluarga minta kepada Agapa agar kunci motor tersebut untuk diserahkan kepada pihak kepolisian. Dia menolak.

Akhirnya tragedy yang tidak di inginkan terjadi. Aparat Kepolisian Resort Nabire yang kira-kira berjumlah empat orang menangkapnya. Ia di ikat pada sebuah tiang depan rumahnya. Ia di tembak mati secara sadis di depan keluargannya. Delapan hantaman peluru Jenis AK 16 bersarang di rusuk kanan dan paha kirinya. Seketika Ia tewas.

Masyarakat sekitar yang awalnya belasan orang, sudah kumpul hingga ratusan orang. Akvis HAM, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat serta Tokoh pemuda telah berkumpul juga. Mereka menggotong mayat dan long march sejauh 10 KM menuju kantor Polisi. Mereka berorasi secara bergantian di halaman kantor Polisi. Keluarga mengatakan bahwa mereka sangat terpukul. Aparat kepolisiaan diminta mempertanggung jawabkan perbuatannya. Akhirnya mereka bersepakat, anggota Polisi yang melakukan perbuataan tidak terpuji itu di pecat. Seluruh biaya pemakaman hingga biaya untuk keluarga di tanggung oleh aparat kepolisiaan. Saya pribadi memang tidak terima dengan kesepakatan itu. Entahlah, apa boleh buat!

Foto dokumen pribadi.
Tulisan ini tugas saat mengikuti kelas Jurnalis Sastrawi di Yayasan Pantau.




Baca Selengkapnya......

Ia Adalah Manusia Setengah Dewa

OCTHO- Untuk melupakan kepergiaannya di perlukan waktu berbulan-bulan. Ia seperti sang dewa. Ia juga telah menjadi tempat “pujaan” banyak orang. Masyarakat Indonesia dan dunia sangat mengenalnya. Ia telah menyampaikan pesan sang pencipta kepada dunia, bahwa hidup adalah kebersamaan. Ia patut di kenang sampai kapanpun.

Ia adalah Abdurrhaman Wahid alias Gus Dur, lelaki kelahiran Jombang 07 September 1940 silam. Kabar meninggal Gus Dur berhembus pada tanggal 30 Desember 2009 lalu. Ia telah pergi untuk selamanya. Banyak orang tidak menyangka beliau akan pergi secepat itu.

Ia telah menyatukan banyak perbedaan di negeri ini. Ia juga telah membuka ruang demokrasi yang sebesar-besarnya bagi seantoro masyarakat Indonesia. Selama Ia memimpin, mengikuti apa kata hari nurani adalah paling penting, dari pada mengedepankan nasionalisme bangsa, tapi di sisi lain justru mengobankan rakyatnya.

Saat memimpin, Ia seorang Presiden yang tidak otoriter seperti Soeharto. Memakai tangan besi memerintah negeri. Menggunakan kekuataan Militer untuk membungkan demokrasi. Mengatasnamakan kesejahteraan untuk tetap memerintah. Mengatasnamakan amal ibadah untuk meraup yang bukan hak keluarga mereka.

Ia juga tidak munafik seperti Megawati Soekerno Putri. Atas nama nasionalisme status DOM diberlakukan di Aceh dan Papua. Pelanggaran HAM terus menerus di lakukan dengan dalih stabilitas keamanan nasional. Lebih sering berbual dari pada mengatakan apa yang benar.

Dan Ia juga tidak seperti Susilo Bambang Yudhoyono. Tidak bijak mengambil keputusan. Lebih patuh pada kebijakan kapitalisme dan imprealisme. Tidak sepenuhnya menjalankan sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat. Rakyat dikorbankan demi kepentingan negera. Kapitalisme dan Imprealisme makmur, rakyat tetap sengsara. Sungguh ironis.

Gus Dur sangat berbeda. Selama memerintah Ia tidak seperti beberapa Presiden di atas. Ia sangat mencitai demokrasi. Demokrasi yang Ia cinta adalah demokrasi penuh, bukan setengah-setengah. Ia mencintai multiras, multietnik dan multiagama. Ia sungguh-sungguh cinta pada rakyatnya.

Ia mencinta agama. Namun ia tidak cinta pada agamanya saja, namun semua agama di cintainya. Disini terlihat kedewasaan seorang Gus Dur. Sungguh, Ia sangat dewasa. Ia adalah tokoh, sekaligus pahlawan masyarakat Indonesia sepanjang hayat.

Ia mencintai rakyat Papua. Awalnya nama Papua adalah Irian Jaya, yang nama ini adalah stigma buruk yang penjajah berikan pada rakyat disana. Tahun 2003 secara resmi Ia mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua seperti tuntutan rakyat di sana. Ia juga mencintai Aceh. Status DOM mulai tidak di berlakukan lagi di sana. Ia mencintai Papua dan Aceh yang kadang di anak tirikan oleh negara Indonesia.

Maka pantaslah, jika menyebut Ia adalah manusia setengah dewa seperti lagu yang di nyanyikan oleh Iwan Fals. Ia adalah manusia setengah dewa yang memperhatikan rakyatnya yang bukan dewa. Kita berharap banyak pemimpin di negeri ini yang sepertinya, yakni; menjadi manusia setengah dewa yang peduli pada rakyatnya.

Tulisan ini adalah tugas saat mengikuti bimbingan Jurnalisme Sastrawi di Yayasan Pantau.
Sumber Gambar Google

Baca Selengkapnya......