Wednesday, August 17, 2011

Menguji Kebenaran Komentar Menhan; Propoganda dan Tidak Benar

Oleh Oktovianus Pogau*

Menarik simak komentar Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yugiantoro dalam detik.com dan Cyber News pada 13 Agustus lalu menyangkut situasi di tanah Papua. Komentarnya, pertama; ada indikasi dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua (termasuk Papua Barat) telah digunakan untuk mendukung kegiataan separatis. Ia mengacu pada laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengatakan sejumlah dana mengendap dan tak terpakai (http://www.detiknews.com/ read/2011/08/13/181122/ 1703121/10/menhan-indikasikan- dana-otsus-papua- diselewengkan-untuk-makar). Kedua; perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memisahkan diri dari Indonesia hanya di dukung segelintir orang Papua, dan karena itu tak begitu berbahaya bagi keutuhan Negara Indonesia (http://suaramerdeka.com/v1/ index.php/read/news/2011/08/ 13/93559/Usulan-Referendum- OPM-Tak-Didukung-Mayoritas- Rakyat-Papua).

Komentar tersebut berkaitan dengan situasi Papua –terutama situasi politik– yang semakin masif disuarakan dari kampung-kampung hingga kota-kota, bahkan sampai di dunia Internasional. Pada 02 Agustus, di Oxford, Inggris berlangsung Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) dengan tema “Jalan Menuju Kemerdekaan Papua Barat”. Konfrensi ini di prakarsai oleh International Lawyers for West Papua (ILWP) yang diketuai Melinda Janki, pengacara Internasional dari Guyana, Amerika Serikat dan Benny Wenda pemimpin kemerdekaan Papua di Inggris. ILWP sendiri merupakan lembaga yang menghimpun 64 pengacara tingkat internasional dan akan menggungat sah dan tidaknya PEPERA 1969 di Makahmah Internasional secara hukum melalui Negara Vanuatu. Jennifer Robinson, pengacara Julian Assanges pendiri situs Wikileaks termasuk dalam anggota ILWP (http://www.ilwp.org/index. php?option=com_content&view= article&id=33:west-papua-the- road-to-freedom-2nd-august- 2011-oxford-uk&catid=5:news& Itemid=9).

Untuk mendukung KTT ILWP di Oxford, Inggris secara serentak masyarakat Papua yang dikordinir Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melakukan aksi demonstrasi damai. Dua isu utama yang disuarakan; mendukung KTT ILWP dan menuntut referendum di tanah Papua.

Di Jayapura dipusatkan di Lingkaran, Abepura. Hampir 5.000 massa ikut dalam kelompok ini. Di Wamena massa berkumpul sejak pagi hari di lapangan Sinapuk dengan jumlah kurang lebih 3.000. Di Manokwari berlangsung dari Kampus Universitas Negeri Papua (UNIPA) hingga Kantor Dewan Adat Papua (DAP). Di Sorong berlangsung di kantor DAP setempat. Di Yahukimo berlangsung di kantor DPRD setempat. Di Nabire dilangsungkan kegiatan doa di Taman Gizi. Di Timika dilaksanakan di lapangan Timika Indah. Dan Merauke sendiri dibatalkan karena sehari sebelumnya telah ada sweeping oleh aparat kepolisian –berujung pada penangkapan beberapa aktivis KNPB Wilayah Merauke.

KNPB Konsulat Indonesia di Jawa dan Bali melakukan aksi yang sama. Massa yang sebagian besar mahasiswa Papua mulai long march dari Bundaran Hotel Indonesia hingga Istana Negara. Dan sempat terjadi insiden penangkapan seorang aktivis pro demokrasi Indonesia atas nama Surya Anta dari Partai Pembebasan Rakyat (PPR) oleh aparat kepolisian setempat (http://maxlaneonline.com/ 2011/08/05/908/). Di Wilayah Indonesia tengah –Manado dan Makassar – juga dilangsungkan aksi doa bersama oleh mahasiswa Papua. Semua aksi massa dengan tujuan memberikan dukungan terhadap KTT ILWP, juga menuntut referendum di tanah Papua.

Sebalum Menhan berkomenter soal Papua pasca KTT ILWP, ada beberapa pejabat Negara yang telah lebih dulu berkomentar. Mulai dari politisi di Senayan –Priyo Budi Santoso, T.B Hasanuddin, Tantowi Yahya– para peneliti –Ikrar Nusa Bahkti, Dewi Fortunar Anwar dan Muridan Widjojo –juga aktivis hak asasi manusia –Haris Ashar, Poengky Indarty, Al Araf, Matius Murib, Olga Hamadi– dan bahkan beberapa petinggi Negara di tubuh militer seperti Hendropriyono (Mantan Kepala BIN), Budi Susilo (Gubernur Lemhanas), dan bahkan sampai Letjend (Purn) Bambang Darmono, juga organisasi mahasiswa di Indonesia, salah satunya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). GMNI melakukan aksi di Bandung, dan melakukan long march ke Kantor DPRD setempat untuk meminta pemerintah pusat serius terhadap Papua, tetapi menolak referendum di tanah Papua (http://tv.liputan6.com/main/ read/6/1061282/0/gmni-tolak- intervensi-asing-di-papua).

Kita kembali lagi pada komentar Menhan yang bisa saya katakan penuh provokasi, juga tak pantasi disampaikan diatas. Saya berusaha menganalisis dari sudut pandang orang Papua, juga aktivis yang selama ini pro pada kemerdekaan Papua.

Tidak benar, dan sangat rancuh jika dikatakan kegiataan separatis didanai oleh dana Otsus. Apa buktinya? Bagaimana separatis bisa dapat akses untuk menikmati dana Otsus? Sejauh mana kinerja intelijen dalam membuktikannya? Ataukah ini sebuah bahasa provokasi dari Menhan melihat ketuhan Negara Indonesia yang diambang kehancuran? Dan kalau mau dicermati, BPK juga tak menyatakan bahwa ada indikasi digunakan untuk separatis. Kita semua tahu persis, sejak Otsus diundang-undangkan pada tahun 2001, memang porsi dana untuk Papua semakin meningkat –kurang lebih 28 trilIun hingga tahun 2011 (http://www.detiknews.com/ read/2011/08/13/181122/ 1703121/10/menhan-indikasikan- dana-otsus-papua- diselewengkan-untuk-makar? 9922032). Pejabat-pejabat Papua bersama pemerintah pusat yang selama ini memegang kendali dana tersebut. Mulai dari perencanaan anggaran, mencairkan, hingga sampai menggunakannya, bahkan mereka sama-sama (mungkin) ikut menikmati

Kalau dikatakan kegiataan seperatis didanai oleh dana Otsus adalah hal yang sama sekali tidak benar, dan kontradiktif dengan fakta yang terjadi selama ini. Tentu ini menimbulkan banyak pertanyaan besar dikalangan rakyat Papua, terutama orang asli Papua sendiri. Panglima OPM di Puncak Jaya Goliat Tabuni tidak pernah tahu apa itu dana Otsus, bahkan berapa jumlah yang diberikan pemerintah pusat untuk rakyat Papua. Lambert Pekiki, Panglima OPM Wilayah perbatasan juga tak pernah tahu ada dana Otsus, apalagi menikmatinya, juga termasuk “meminta jatah” pada pemerintah pusat, juga pemerintah daerah. Apalagi Benny Wenda di Inggris, tidak mungkin “menikmati” dana Otsus, atau menggunakan dana Otsus dalam membiayai kampanye-kampanye dia selama di Inggris, termasuk membiayai KTT ILWP Oxford lalu.

Saya justru menduga, komentar Menhan sebenarnya ditujukan pada pejabat-pejabat di Papua –mulai dari Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, juga kepala-kepala dinas baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten, bahkan mungkin saja termasuk Wakil Rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Kita semua tahu, yang selama ini bersentuhan langsung dengan Otsus Papua adalah pejabat-pejabat diatas. Jika memang benar komentar Menhan merujuk pada pejabat-pejabat di Papua, pertanyaan kritis yang harus dijawab, apakah Menhan (baca;Jakarta) selama ini kategorikan pejabat-pejabat di Papua sebagai separatis? Bagaimana seorang separatis bisa mendukung penjajahan Indonesia atas orang Papua? Bagimana Menhan dapat membuktikan bahwa mereka memang, dan adalah separatis? Atau Menhan anggap mereka sebagai musuh negara selain OPM? Kalau begitu, bukankah mereka juga harus “ditumpas” seperti OPM?

Masih menyangkut komentar Menhan yang menyatakan hanya sebagian kecil orang Papua yang dukung kemerdekaan Papua. Ini agak rancuh juga jika dikaitkan dengan fakta rill di lapangan saat ini. Bayangkan saja, dalam sehari secara serentak di seluruh tanah Papua, Jawa dan Bali, bahkan sampai di Sulawesi diperkirakan 20.000 massa orang Papua menyampaikan sikap mendukung KTT ILWP yang tujuannya tidak lain mendukung kemerdekaan Papua, dan meminta referendum segera dilakukan di tanah Papua yang tentu berujung pada kemerdekaan (http://knpbsentanidotorg. wordpress.com/2011/08/03/knpb_ soronghundreds-of-papuans-in- sorong-supports-ktti-by-ilwp- in-london-uk/). Apakah fakta ini tak bisa membenarkan, bahwa hampir sebagian besar rakyat Papua di tanah Papua, dan juga yang sedang berada di luar Papua menginginkan kemerdekaan dari Negara Indonesia? Ataukah, komentar Menhan dikarenakan laporan intelijen yang tak akurat? Atau bisa saja intelijen bekerja, tapi secara tak professional? Atau jangan-jangan Menhan ingin menyelamatkan wajah pemerintah Indonesia, juga dirinya dimata dunia internasional, dan masyarakat Indonesia pada khususnya.

Kalau mau dilihat kebelakang, bukan di tanggal 02 Agustus saja rakyat Papua melakukan aksi demonstrasi menuntut referendum, tapi ia sudah dilangsungkan berungkali sejak tahun 1969, dan lebih masif lagi setelah memasuki era reformasi. Saya sendiri tak pernah menyaksikan aksi massa dalam jumlah besar yang meminta dana Otsus ditambah, meminta pembangunan infrastruktur diutamakan, atau meminta perlakukan khusus Negara terhadap orang Papua dalam bingka NKRI. Kisruh soal Pilkada yang terjadi di Puncak, Papua, dengan menewaskan belasan orang Papua, tak bisa menjadi ukuran menilai orang Papua pada umumnya mendukung Otsus, juga mendukung kebijakan pemerintah di tanah Papua. KNPB sendiri yakin ada pihak-pihak yang berusaha mengacaukan situasi Papua, terutama untuk gagalkan aksi demo damai yang akan digelar sebagian besar rakyat Papua saat itu. Pemerintah Indonesia harusi akui telah gagal membangun Papua sejak masuk dan lakukan invasi sejak 1 Mei 1963. Kurang tepat, bahkan saya bisa katakan salah jika mengatakan yang mendukung kemerdekaan Papua adalah hanya segelintir orang saja.

Apalah arti sebuah jabatan Menteri Pertahanan, jika tak dapat menyampaikan fakta yang terjadi di tanah Papua secara tepat dan akurat. Mungkin saja akan ada banyak orang mencemoh cara-cara diplomasi yang tak elegan, juga tak professional yang ditunjukan Menhan secara pribadi, dan pemerintah Indonesia pada umumnya, terutama terkait situasi Papua, juga tuntutan orang Papua yang dari waktu ke waktu semakin nampak ke permukaan.

Semangat perlawanan yang dilakukan rakyat Papua melalui wadah KNPB, juga DAP, dan gerakan-gerakan pemuda, bahkan TPN dan OPM akan dan terus dilakukan. Pemerintah tentu harus mengakui telah gagal (baca: tak mampu) urus tanah Papua, dan juga harus bijak “menghadapi” carai-cara perlawanan yang dilakukan orang Papua secara elegan, manusiawi, dan juga bermartabat. Negara akan dianggap “kalah” dalam pertarungan jika hadapi tuntutan rakyat Papua dengan cara-cara militeristik, juga propaganda murahan lewat media massa, salah satunya seperti yang telah tunjukan oleh Menhan Republik Indonesia, Purnomo Yugiantoro.

*Penulis Sekjend Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Konsulat Indonesia, tinggal di Jakarta.

Tulisan ini telah dimuat di Harian Bintang Papua,Edisi 16 Agustus 2011.

Artikel Yang Berhubungan



1 comment:

Komentar anda...