Sunday, May 29, 2011

Kenapa Ada Tapol di Negara Merdeka?

DALAM negara merdeka, tak boleh ada tahanan politik (tapol). Ia hanya boleh ada di negara yang “merasa” belum merdeka. Negara yang tak menganut paham demokrasi. Serta Negara yang tak mengakui sepenuhnya kemerdekaan negara mereka sendiri.

Tapi bagaimana jika di Negara merdeka macam Indonesia, Negara yang dikenal paling demokrasi setelah Amerika Serikat dan India masih ditemui tapol?

Menurut Bambang Widjojanto (2011), tapol adalah mereka yang ditahan di rumah tahanan atau tempat pembuangan (kamp konsentrasi), karena memiliki ide-ide atau pandangan yang dianggap menentang pemerintah atau membahayakan kekuasaan sebuah negara.
Tapol ditahan karena tindakanya yang dianggap berlawanan dengan garis-garis pemikiran dan kebijakan pemerintah, berbeda dengan tahanan kriminal yang ditahan karena tindakannya melanggar hukum atau melakukan tindakan kejahatan.

Dalam sebuah laporan berjudul “Kriminalisasi Aspirasi Politik” Human Rights Watch (HRW) mengatakan pemerintah Indonesia telah menahan sedikitnya 100 orang Papua maupun Maluku. Mereka ditahan karena perbedaan pandangan politik dengan pemerintah.

Tapol Papua dan Maluku

Di Papua, jumlah tapol menurut Human Rights Watch (HRW) berkisar 50 orang. Sedangkan menurut Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemkumhan) Papua, Nazarudin Bunas, sedikitnya ada 34 orang Papua yang menjadi tapol. (Media Indonesia, 10 Juli 2010)

Dari sekian banyak tapol tersebut, yang paling menonjol adalah Filep Jacob Semuel Karma (51). Ia telah ditahan di penjara Abepura selama lima tahun. Pada Mei 2005, pengadilan negeri Abepura menyatakan bersalah dengan tuduhan makar setelah mengorganisir aksi pro-kemerdekaan pada 1 Desember 2004, dan dihukum 15 tahun penjara.

Karma memimpin massa untuk menyampaikan ketidakpuasaan terhadap pemerintah Indonesia atas pelanggaran hak azasi manusia yang terjadi di Papua. Ia juga minta pemerintah segera bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Namun aksi Karma dianggap sebagai tindakan melawan “keutuhan” Negara Indonesia.

Sampai saat ini Karma masih ditahan. Sipir penjara juga kerap kali melakukan tindakan tak terpuji. Mulai dari memukul, menendang, hingga menyiksa mereka, juga terhadap Karma.

Selain Karma, ada juga Buchtar Tabuni, Simon Tuturop, Tadeus Weripang, Roni Ruben Iba, Ferdinan Pakage, Cosmos Yual, Linus Hiluka, Yason Wonda, Thomas Ukago, dan masih banyak lagi. Sampai saat ini mereka masih ditahan dengan status tapol.

Jika dihitung, tapol Maluku lebih banyak dibanding tapol Papua. Mereka tersebar di beberapa penjara Maluku, juga di pulau Jawa. Mereka paling menderita dibanding tapol Papua. Harus jauh dari Istri, anak, serta sanak saudara.

Salah satu dari mereka adalah Johan Teterisa. Ia memimpin 27 penari membawa bendera RMS sebagai tanda protes terhadap pemerintah Indonesia pada 29 Juni 2007, di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Stadion Merdeka, Ambon. Para penari seketika ditangkap dan dibawa ke markas Detasemen Khusus 88/Anti-Teror di Tantui, Ambon, tempat mereka mengalami penyiksaan.

Kejaksaan negeri menuntut Teterisa dan lebih dari 50 rekannya dengan dakwaan makar di bawah pasal 106 dan 110 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pengadilan negeri Ambon memvonis bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup. Teterisa terkejut ketika mendengar putusan itu.

Asmara Nababan (alm), mantan sekjen Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta, mengatakan hakim di pengadilan Ambon tidak mempertimbangkan fakta bahwa Teterisa melakukan aksi tanpa kekerasan.

“Para hakim harus mempertimbangkan tindakan itu lebih sebagai aspirasi politik daripada tindakan yang mengancam jiwa,” kata Nababan kepada Jakarta Post.
“Dia hanya membentangkan bendera RMS dan tidak membawa senjata.” Pengadilan Ambon menghukum 19 penari karena makar, menjatuhkan vonis antara 10 dan 20 tahun penjara. Dalam tingkat kasasi, hukuman Teterisa dikurangi menjadi 15 tahun.

Baik tapol Papua, maupun Maluku ditahan ketika menyampaikan pendapat maupun aspirasi politik mereka kepada pemerintah Indonesia. Ada yang dengan cara demonstrasi, aksi boikot, tarian, bahkan aksi mogok sipil. Semua itu dilakukan tanpa melakukan tindakan kriminal.

Di dalam Negara yang menjunjung tinggi semangat demokrasi, bukankah cara-cara seperti itu dibenarkan? Dan ini juga merupakan tindakan partisipasi politik dari warga masyarakat tersebut.

Cabut Pasal Makar dan Bebaskan Tapol


Baik tapol Papua, maupun Maluku ditahan dengan pasal makar—kategori kejahatan terhadap keamanan Negara—yang sebenarnya tidak relevan lagi diterapkan di dalam Negara merdeka dan berdemokrasi macam Indonesia.

Secara historis, ide untuk memunculkan pasal-pasal makar dalam KUHP pada abad ke 19, ketika itu menteri kehakiman Belanda secara terang-terangan menyatakan penolakan terhadap usul penggunaan makar sebagai peraturan untuk masyarakat seluruhnya. Dia menyatakan, peraturan dibawah ini, dengan sendirinya dinyatakan hanya berlaku bagi kebutuhan masyarakat kolonial, jelas tidak diperuntukkan bagi Negara-negara eropa, termasuk untuk negara Indonesia saat ini.

Dalam sejarahnya, KUHP tentang pasal-pasal makar telah teradopsi oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda dari pasal 124a British Indian penal code tahun 1915 yang di India sendiri sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Indian supreme court dan East Punjab High Court karena dinilai bertentangan dengan pasal 19 konstitusi India tentang kebebasan untuk memiliki dan menyatakan pendapat.

Sementara di Belanda sendiri ketentuan demikian dipandang tidak lagi demokratis karena bertentangan dengan gagasan freedom of expression and opinion, sehingga hanya dapat diberikan toleransi untuk diberlakukan di daerah jajahan, in casu Hindia Belanda.

Setelah puluhan tahun Indonesia merdeka dari Belanda maka tentulah pasal tersebut tidak tepat digunakan bagi warga Negara Indonesia termasuk di Papua maupun Maluku, karena kedua wilayah ini bukanlah daerah koloni Indonesia.

Ada dua pasal yang paling menonjol dari KUHP tentang makar. Pertama; pasal 104 KUHP. Ia berbunyi “Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

Kedua; pada pasal 107 KUHP ayat (1) berbunyi “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Ayat (2) berbunyi “Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

Pasal makar sendiri dikenakan pada pihak atau seseorang yang pertama; melakukan kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden, kedua; kejahatan terhadap pemerintah, atau badan-badan pemerintah, ketiga; melakukan pemberontakan.

Jika diamati, mereka tak pernah melakukan tindakan yang merugikan, menyesatkan, serta membahayakan keutuhan Negara. Juga termasuk ancaman pada seorang kepala negara. Mereka hanya menyampaikan sebuah “kekecewaan” terhadap pemerintah.

Pasal makar sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28E ayat (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Juga di ayat (3) berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat kebebasan untuk memiliki dan menyatakan pendapat.”

Pemerintah Indonesia perlu mencabut pasal-pasal dalam KUHP yang sering dipakai mempidanakan setiap individu karena aktivitas yang sah secara damai, agar hukum pidana di Indonesia sesuai dengan standar internasional.

Pasal makar tak pantas diterapakan di Papua maupun Maluku jika kedua wilayah ini “masih” dianggap bagian dari Indonesia. Juga harus bebaskan setiap tapol yang masih ditahan. Mereka memunyai hak untuk hidup, berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat sesuai amanat konstitusi Negara ini.

Jika pemerintah tak segera mencabut pasal-pasal tersebut, kemungkinan tuntutan lain, termasuk tuntutan untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia akan terus dikumandangkan oleh seantoro warga Papua dan Maluku. Lebih baik mencegah dari pada mengobati. Semoga.

Baca Selengkapnya......