Friday, October 24, 2008

Hidup Itu Menyenangkan

TEMAN-TEMAN tau nggak, tadi saya gembira sekali disekolah. Entah apa penyebabnya. Kegembiraan dan kebahagiaan itu muncul begitu saja. Bukan karena guru pelajaran bahasa Indonesia nggak masuk, bukan juga karena nggak terlambat masuk sekolah, terlebih bukan karena nggak ngantuk dikelas (maaf bongkar kebooh nihh)

Tapi tau nggak, apa penyebabnya? Ingat persisi, 2 hari lalu saya baru menyelesaikan sebuah artikel. Bertepatan dengan semakin dekatnya PILKADA di daerah kami. Artikel itu berisi tentang beberapa kesalahan dan kebobrokan pemerintah daerah dan KPUD ditempat saya dalam persiapan menyambut pesta demokrasi (kayak jago politik aja)

Sempat saya kirim artikel itu ke sebuah Koran di tempat kami, alangkah kagetnya, paginya tulisan saya telah berhasil dimuat. Tapi sayangnya tidak semua dimuat (bersambung) karena kebanyakaan. Ketika pulang sekolah siangnya saya sempat di telvon oleh beberapa teman saya karena kekaguman mereka terhadap tulisan itu (bukan sombong lho)

Secara pribadi, saya baru anak kemarin yang baru kenal dunia tulis menulis rasanya sangat senang. Bukan sekali saja tulisan saya dimuat seperti itu, udah banyak sekali tulisan yang dimuat. Namun saya merasa, bahwa tulisan itu lebih objektif, lebih mengena, lebih memberi pemahaman di tengah situasi yang semakin memanas.

Kalau mau dibilang dari hasil tulisan itu, tidak ada sepersenpun yang saya dapatkan (bukan berarti menagih lhoooo) namun ketika ide, gagasan, argument saya tersampaikan ke public bagi saya itu suatu kegembiraan yang sangat luar biasa. Dimana emosi, beban, serta pergumulan pengamtan saya bisa tersalurkan.

Jangan salah lhoo, orang yang banya ide tetapi tidak pernah keluarkan ide bisa saja orang itu gila. Makanya jangan heran kalau lihat beberapa perampok dan maling di pejara adalah lulusan sarjana. Semua itu bukan karena keinginan mereka, tetapi karena tidak tersalurkannya ide dan gagasan mereka dalam suatu ajang atau kegiatan.

Bagi saya menulis adalah obat yang paling mujarab. Dimana menulis tidak membuat kita kecewa, tidak membuat kita dendam, tidak membuat kita jengkel. Percaya tidak percaya coba aja kalau amarah dan dendam kita disimpan terus menerus apa jadinya. Bagi saya menulis itu membebasakan, menulis itu membangkitkan, menulis itu mengubah peradabaan.

Jadi pertanyaan, kenapa tidak semua orang suka menulis. Saya ingat persisi tulisan saya yang pertama kali, saat itu kelas dua SMP. Dimana dimading sekolah guru bahasa Indonesia kami memasang sebuah topic menarik untuk kami tulis. Saya ingat persis, topic yang diangkat pada saat itu mengenai kasus lumpur lapindo. Pada saat itu walaupun baru awal saya menulis, ibuguru saya sempat acungkan jempol dengan tulisa itu.

Mungkin itu awal mula saya tertarik dengan dunia tulis menulis. Orang yang suka menulis sadar tidak sadar butuh yang namanya penghargaan. Sayapun demikian, apabila tidak mendapat penghargan dari orang lain saya akan marah dan marah, (malu ahhhh) tapi nggak juga kok, tergantung bagaimana penilaian orang pada saya.

Teringat salah satu tulisan Yermias Degey, penulis muda dari Papua yang sempat dipublikasikan di majalah selangkah, dimana banyak membeberkan tentang pengaruh yang dapat ditimbulkan dari tulis menulis. Satu istilah penting yang di pakai dalam tulisan itu adalah mengenai “Budaya bisu”

Di Negara ini yang tidak bisu Cuma Presiden dan Jurnalis. Presiden dengan segala maunya bisa perintahkan apa saja untuk dilakukan. Mentri-mentrinya hanyalah bawahan yang taat pada segala aturan dan tata tertib yang diperintahkan oleh sang presiden. Sehingga sampai kapanpun yang namanya presiden adalah seorang pemegang kekuasaan, orang yang selalu bicara dan bicara. Zaman gini kalau mau andalkan musyawarah itu omong kosong belaka.

Yang berikutnya adalah seorang jurnalis. Saya yakin, orang jurnalis dalam hidupnya selalu bahagia dan bahagia karena selalu bersuara. Dimana bersuara mengukap dendamnya, mengukap ketidabenaran menurut kasatmatanya, mengukap banyak hal yang membebasakan dirinya.

Bukan berarti dengan tulisan ini saya memaksa para pembaca untuk menjadi jurnalis, lagian bagi saya menulis bukanlah karir yang akan saya tekuni terus menerus, melainkan tempat lari dan bersandar dirinya saya ketiak banayk goncangan.

Jadi gimana mau tetap terbelenggu dengan budaya bisu, ataukah mau keluar dari dunia itu? Tergantung pilihan kita, karena salah memilih juga dapat membuat kita tidak bahagia dalam menjalani hidup. Yang mana asyik, tetap dalam kebisuaan ataukah keluar dari budaya itu menjadi orang yang bebas. Tergantung anda.


Artikel Yang Berhubungan