BEBERAPA saat lalu waktu saya pulang dari Jakarta saya diberi sebuah kado dari seorang penulis, menurutku itu kado terspesial yang saya terima. Entah mengapa, kado itu sekarang membuka wawasan dan pemahaman saya tentang pendidikan di negeri ini. Dan bagiku kado itu adalah ajakan untuk saya agar peduli dan menangisi nasib pendidikan di Negeri ini.
Mau tau apa kadonya, kadonya adalah sebuah buku seperti judul diatas “Orang Miskin Dilaranga Sekolah.” Karangan penulis muda Eko Prasetyo. Yang di terbitkan oleh Insist Press beberapa saat lalu.
Membaca buku tersebut betul-betul membuka wawasan maupun pemahaman saya tentang kebobrokan Pendidikan di Indonesya yang bagaimana pendidikan selalu dijadikan sebagai berbagai ajang, mulai dari ajang bisnis, ajang politk, bahkan ajang untuk bersandar diri.
Wajah pendidikan di Indonesia betul-betul suram, dimana biaya pendidikan menmpuk setiap tahun naik, adapun berbagai biaya itu seperti biayai pramuka, biaya musik, musik daftar ulang, uang buku serta uang kegiatan wisata.
Kemana 20% dana APBN itu, kemana dana BOS, kemana dana pendidikan yang lainnya. Sekarang pendidikan merupakan jalur yang sangat alternative untuk mendapatkan pemasukan, mendapatkan kedudukan, mendapatkan jabatan. Disini di umpamakan pendidikan seperi barang jual beli yang sekali-kali dapat membuat orang kaya mendadak.
Setiap tahun ajaran baru, dari bulan Juli-Agustus, jangan heran kalau di tayangkan di berbagai media masa banyak keluarga tidak mampu (orang miskin) yang selalu gantung diri, bunuh diri, dan lain sebagainnya.
Tidak ingat persis itu tanggal berapa, beberaa saat lalu saya menyaksikan di siaran TV Metro dimana seorang bapak yang kerja hari-harinya sebagai penarik becak, rela menggantung diri di pohon dibelakang gubuknya, lantara apa? Karena tidak mampu membiayai ketiga anaknya yang sedang menempuh pendidikan.
Lantaran begini terus, apa ingin pendidikan di Indonesia ini menghasilnya perampok dan penjahat yang membunuh setiap orang miskin yang ada. Eko Prasteyo memakai istilah “sapi perah” untuk mereka yang suka menguras dan menguras biaya sekolah.
Janji manis Presiden disaat masa kampanye hanyalah omong kosong belaka. Omongan yang dibuat-buat supaya dirinya dapat menikamati berbagai kemewahan fasilitas sebuah istana. Janji manis itu setelah terpilih jadi Presiden hanyalah jadi madu pahit yang siap dibuang.
Beberapa saat lalu ketika saya pulang dari Jakarta, sempat kapal yang kami tumpangi sandar di pelabuhan makasar. Saya dengan terkesima (maklum orang kampong) melihat-lihat keindahan kota makasar. Sempat juga singgah di beberapa pantainya yang sangat menarik.
Selayang pandang, alangkah kagetnya saya melihat beberapa spanduk terpasang di jalan-jalan. Saya sempat tanya ke teman saya “apa sekarang mendekati pilkada” jawabnya dengan lantang, yah betul.”
Beberapa spanduk yang terpasang dengan jelas menulis Bahwa biaya pendidikan akan digratiskan secara menyeluruh mulai dari SD, SMP.SMA, serta Perguruan Tinggi. Bagi saya membaca ini merupakan janji-janji omong kosong yang selalu ditebarkan oleh siapa saja. Tapi yang mengejutkan juga disitu terpampang tulisan, bagi orang miskin biaya pengobatan akan di gratiskan,
Sedikit berpikir dari dalam hari terkecil saya bertanya-tanya, aa bisa budaya ini bisa hilang dari Indonesia. Sebelumnya maafkan saya, kalau saya katakna ini sebagai budaya bangsa ini. Suatu kebiaasaan atau budaya yang telah lama tumbuh berkembang, tidak mungkin akan berindah atau ditanggalkan begitu saja.
Saya setujua kalau spanduk atau tulisan itu diatas baliho hanya mengatakan kalau mereka akan meringankan biaya sekolah, bukannya menggratiskan biaya sekolah. Meringankan biaya sekolah aja belum, mana mungkin langung mau gratis. Inikan argument yang sangat lucu, dan bagi kalangan banyak yang baca akan teratawa karena menutut mereka memalukan.
Itu dari penulisan itu ingin mengukapkan kepada public, agar orang miskin tidak dijadikan sebagai lahan untuk bisnis. Sedangkan mereka sendiri selalu terlantar dan terhina-hina dimana-manapun mereka berada. Semoga suara Pak Eko adalah suara rakyat miskin.
Friday, October 24, 2008
Orang Miskin : Kami Ingin Sekolah
Label:
ARTI HIDUP,
ARTIKEL,
BUKU