OCTHO- SAMPAI saat ini saya masih tetap tidak percaya. Saya melihat dengan jelas darah segar keluar dari tubuh seseorang. Darah itu keluar semakin lama semakin mengental dan berbentuk gumpalan. Nyatanya songsongan peluru aparat telah menempel pada paha kiri dan rusuk kanan. Kedua diameter songsongan peluru itu hampir sama, sekitar 3cm lebarnya. Saya hampir muntah melihat itu.
Hari itu tanggal 24 Juni tahun 2009. Jarum jam di dinding kamar menunjukan pukul 14:00 Wit. Suhu di dalam ruangan kamar lumayan panas. Kipas angin yang pernah dibeli dua bulan lalu memang telah rusak. Saya hanya berharap pada angin bebas dari jendela kamar. Mobil dan motor masih lalu lalang di luar halaman rumah. Anak-anak sekolah juga telah beranjak dari sekolah. Keheningan itu hampir saja tiba.
Siang itu saya baru pulang setelah mengikuti sebuah seminar bertema pendidikan, memang tidak sampai selesai, jujurnya saya bolos. Saya Kelelahan dan ingin tidur. Belum lama memejamkan mata, seorang sahabat yang juga seorang Jurnalis menelpon. “Ada penembakan di KPR Siriwini, kau harus datang,” katanya lewat telepon selelur.
Saya bergegas bangun dan siap. Kembali memeriksa tas, mempersiapkan catatan kecil dan pulpen. Kamera digital, canon 9,0 Megapixel selalu menjadi sahabat yang berbicara melalui gambar. Saya bergegas pergi. Menuju tempat kejadian.
Menesuri sepanjang Jln. RE Martadinata yang sangat panjang, kurang lebih 20 KM. Jalan ini walau telah di aspal namun masih di temui banyak lobang. Para kontraktor tidak mengerjakan proyek ini dengan baik. Mungkin hampir semua kontraktor di Indonesia demikian, tidak bekerja sungguh-sungguh untuk masyarakat. Kelihatannya mereka lebih mementingkan profit.
Motor Jupiter MX Biru yang saya gunakan melaju dengan kecepatan tinggi. Saya tidak ingat persis DS motor itu. Kurang lebih 10 menit saya tiba di tempat kejadian. Mengejutkan, ternyata Melkias Agapa (38) warga Kelurahaan Siriwini telah meninggal dunia. Ia meninggal tepat pukul 14:00 Wit. Dia di baringkan di depan tanah sambil di bungkus dengan tenda berwarna biru. “Dia telah di tembak oleh Polisi,” ujar keluarga dekatnya dengan nada yang kesal sambil merintih.
Kronologisnya Agapa sakit malaria tropika. Dia demam berat. Mungkin jengkel dengan penderitaannya, Ia marah-marah pada semua anggota keluarganya. Pukul 02:00 dini hari, Ia bahkan memutuskan kabel listrik dalam rumah. Dalam kegelapan, Ia keluar dari rumah. Dia menghilang beberapa jam. Ketika kembali, sekitar pukul 13.30, ada motor polisi parkir dekat rumah. Dia ambil kunci motor itu. Menurut keluarga, polisi ingin ambil kunci dan menangkapnya. Pihak keluarga minta kepada Agapa agar kunci motor tersebut untuk diserahkan kepada pihak kepolisian. Dia menolak.
Akhirnya tragedy yang tidak di inginkan terjadi. Aparat Kepolisian Resort Nabire yang kira-kira berjumlah empat orang menangkapnya. Ia di ikat pada sebuah tiang depan rumahnya. Ia di tembak mati secara sadis di depan keluargannya. Delapan hantaman peluru Jenis AK 16 bersarang di rusuk kanan dan paha kirinya. Seketika Ia tewas.
Masyarakat sekitar yang awalnya belasan orang, sudah kumpul hingga ratusan orang. Akvis HAM, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat serta Tokoh pemuda telah berkumpul juga. Mereka menggotong mayat dan long march sejauh 10 KM menuju kantor Polisi. Mereka berorasi secara bergantian di halaman kantor Polisi. Keluarga mengatakan bahwa mereka sangat terpukul. Aparat kepolisiaan diminta mempertanggung jawabkan perbuatannya. Akhirnya mereka bersepakat, anggota Polisi yang melakukan perbuataan tidak terpuji itu di pecat. Seluruh biaya pemakaman hingga biaya untuk keluarga di tanggung oleh aparat kepolisiaan. Saya pribadi memang tidak terima dengan kesepakatan itu. Entahlah, apa boleh buat!
Foto dokumen pribadi.
Tulisan ini tugas saat mengikuti kelas Jurnalis Sastrawi di Yayasan Pantau.
Wednesday, August 04, 2010
Aparat Kepolisian Menembaknya!
Label:
HAM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wah octo, terima kasih ya tulisanmu memberi pengetahuan bagi saya. teruslah menulis biar semakin banyak orang yang tahu. salam.
ReplyDelete