OCTHO- Konflik Aceh di selesaikan melalui perundingan (perjanjian Helsinki). Konflik di Papua juga perlu mendapat perhatiaan yang serius. Model penyelesaiaan apa yang akan di pakai pemerintah Indonesia?
“Semua pejabat pemerintahaan, termasuk seorang Gubernur adalah mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), bagaimana mau menyampaikan aksi protes jika UU Otsus telah gagal?”
Ini ungkapan seorang sahabat yang berasal dari Aceh ketika saya tanya mengenai implementasi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh dan tanggapan pemerintah daerah setempat. Ia tampaknya kesal dengan implementasi Otsus Aceh, namun tak bisa berbuat banyak.
UU Otsus Aceh
Ia juga mengatakan bahwa implementasi UU Otsus Aceh hingga saat ini sangat buruk. Banyak kesepakataan yang di langgar oleh pemerintah Indonesia. Bahkan menurutnya lagi, dana Otsus yang jumlahnya sekian banyak lebih di pakai untuk pembiayaan pejabat pemerintahaan, bukan masyarakat lokal.
Awalnya, mereka berharap perjanjian Helsinki yang di buat tidak hanya menguntungkan pihak anggota GAM saja, tetapi seluruh lapisan masyarakat bisa keluar dari ketertinggalan. Jika manfaatnya hanya di rasakan oleh eks GAM, apalah arti UU Otsus bagi masyarakat Aceh.
Otsus untuk Aceh sejatinya di berikan untuk mengatasi berbagai persoalaan di Aceh, termasuk meredam isu kemerdekaan Aceh yang muncul dari waktu ke waktu. Selain Aceh, Papua juga mendapat perlakuaan yang khusus dari pemerintah Indonesia dengan di berikannya UU Otsus.
Walau banyak orang mengatakan UU Otsus Aceh gagal, toh, permasalahaan ini tidak pernah di soroti. Perhatian media massa, baik dalam negeri maupun luar negeri lebih tertuju bagiamana membenah diri setelah Aceh terkena tsuname dan berlangsungnya kesepakataan Helsinki tersebut. Sekarang Aceh benar-benar aman, tidak ada letupan-letupan konflik yang menuju disintergrasi yang perlu di ributkan
Otsus Papua
Papua juga mendapat perlakuaan yang khusus dari pemerintah Indonesia. Tapi masih banyak mayarakat Papua bingung, dimana kekhususan itu. Karena kita bisa lihat sendiri, masih banyak kebijakaan dan keputusan yang di laksanakan secara sepihak oleh pemerintah pusat.
Tanggal 28 Juli kemarin, masyarakat Papua dengan tegas mengembalikan UU Otsus, dan hanya satu tuntutan mereka, yakni; referendum segera bagi rakyat Papua. Memang tuntutan yang cukup aneh menurut pemerintah Indonesia, dimana terlalu dini jika meminta referendum.
Masyarakat Papua telah sepakat, dimana menyatakan UU Otsus Papua telah gagal total. Sudah hampir tiga kali massa rakyat Papua mendatangi kantor DPR Papua untuk mengembalikan UU Otsus. Ini sudah parah. Pemerintah harus berbenah diri sebelum dampaknya meluas.
Desakan Kongres Amerika dan pemerintah Vanuatu juga makin nampak setelah mengetahui UU Otsus gagal di Papua. Dunia internasional sudah tidak percaya kepada keseriusaan pemerintah Indonesia.
Referendum
Pemerintah Indonesia harus jeli memerhatikan tuntutan rakyat Papua, referendum bukan berarti mereka meminta merdeka. Karena toh, dalam kesempatan itu akan ada pilihaan. Memilih merdeka (pisah dengan Indonesia) atau memilih tetap ikut negara Indonesia.
Sudah pasti PBB akan di libatkan dalam prosesi ini. Mengulang peristiwa yang pernah terjadi Timor Leste. Memilih merdeka atau ikut dengan Negara Indonesia adalah hak setiap orang, khususnya masyarakat asli Papua sendiri.
Referendum juga merupakaan solusi yang diambil jika pemerintah Indonesia tidak cakap atau mampu dalam mengatasi persoalaan di Papua. Dalam beberapa waktu, PBB sudah pasti akan turun untuk mengadakan pilihaan referendum. Mekanisme internasional mengaturnya dengan sangat jelas, khusus bagi daerah-daerah konflik di dunia.
Pada tanggal 02 September kemarin, aksi masa rakyat Papua dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) juga menyatakan bahwa UU Otsus Papua telah gagal total. Mereka juga menolak tegas dialog Jakarta-Papua. Dan ujung-ujungnya meminta mengadakan referendum bagi rakyat Papua.
Nah, sekarang niat baik pemerintah Indonesia saja yang sedang di nantikan. Apakah bersedia menggelar referendum bagi rakyat Papua dengan melibatkan PBB, atau justru menyelesaikan masalah di Papua dengan model penyelesaiaan yang lain.
Perundingan
Jika tidak memilih referendum, pilihaan berikutnya adalah apakah menggelar dialog atau perundingan. Kita perlu memahami, bahwa dialog dan perundingan sangat berbeda. Berbeda dari tujuaan, maksud serta niatnya.
Konflik di Aceh di selesaikan dengan perundingan, bukan berarti permasalahaan Papua juga harus di rundingkan. Konflik Aceh berbeda dengan konflik di Papua. Latar belakang tuntutan untuk menggelar referendum juga sangat berbeda dengan Aceh.
Rakyat Papua minta referendum bukan karena alasan ketidakadilaan, kesejahteraan, dan lain-lain, melainkan karena memang rakyat Papua merasa sudah pernah merdeka sejak tahun 1963 silam. Sejak saat itu Papua Raad memfasilitasi kemerdekaan untuk rakyat Papua.
JIka mengaitkan dengan konteks perundingan Aceh, tentu tak relevan untuk Papua. Jika berbicara berunding, berarti akan ada win-win solution. Jika merujuk pada keinginan rakyat Papua, win-win solution tentu tidak efektif karena rakyat Papua saat ini menjadi pihak yang korban, bukan pihak yang mengorbankan.
Menyelesaikaan masalah Papua dengan perundingan tentu tidak mungkin. Sangat tidak mungkin. Sebab tidak ada yang perlu di rundingkan. Jika berunding, berarti untung dan rugi dari perundingan juga akan di pikirkan. Dan sudah pasti sukar untuk terwujud, dalam kesempatan tersebut konflik Papua akan terus meluas.
Menggelar Dialog
Yang rakyat Papua butuh saat ini, adalah pemerintah Indonesia membuka diri, termasuk menggelar dialog internasional yang bersifat memberikan pilihaan bagi rakyat Papua. Entah mereka memilih ikut Negara Indonesia atau memilih menentukan nasib sendiri adalah hak setiap orang.
Dan yang paling penting juga bagaimana tindakan atau niat baik pemerintah Indonesia untuk memberdayakan rakyat Papua. Implementasi UU Otsus perlu di perhatikan secara serius. Jakarta dan SBY harus berkomitmen terhadap itikad baiknya untuk menyelesaikan masalah di tanah Papua.
Minimal pemerintah Indonesia mengakui rakyat Papua sebagai warga Negara Indonesia yang sah, dan bersikap adil terhadap mereka. Mungkin ini akan sedikit menyelematkan wajah Indonesia di mata Negara asing. Kita masih menantikan, apa tindakan dan tekad pemerintahaan SBY-Beodiono. Pilihaan, menggelar dialog atau biarkan masalah Papua tetap terkatung-katung.
Sunday, September 19, 2010
Perundingan Untuk Aceh, Bagaimana Papua?
Thursday, September 09, 2010
Apa Solusi Untuk Papua?
“Anda mungkin berusia 38 tahun, seperti saya saat ini, dan pada suatu hari, suatu peluang yang luar biasa besar menghampiri Anda, yang meminta Anda untuk mengambil sikap, memperjuangkan prinsip-prinsip, isu-isu, dan penyebab yang penting. Dan Anda menolak melakukannya karena takut, karena Anda ingin hidup lebih lama, karena Anda takut kehilangan pekerjaan, atau karena Anda takut dikritik, takut kehilangan popularitas, atau bahkan Anda takut ditikam oleh seseorang, bahkan sampai takut rumah Anda dibom, sehingga Anda memutuskan untuk tidak mau mengambil sikap untuk memperjuangkannya. Hmm.. Anda mungkin bisa berlanjut terus dan hidup hingga berusia 90 tahun, namun sesungguhnya Anda sudah mati di usia 38. Dan nafas yang tersisa sejak Anda usia 38 sebenarnya hanyalah seperti pemberitahuan yang tertunda tentang kematian awal dari jiwa Anda. (Kutipan Pidato singkat, Dr. Marthin Luther King, Jr)
RAKYAT Papua telah ditawar dengan berbagai “paket kebijakan” yang katanya merupakan solusi. Semua solusi itu, setelah dikaji ternyata tidak akan menjawab keinginan luhur bangsa Papua. Paket solusi yang ditawarkan kepada rakyat Papua hanyalah pepesan kosong. Malahan bukan cerita basi lagi, kalau banyak orang Papua beranggapan bahwa pemberian beberapa paket solusi itu hanyalah sebuah penjajah di era modern. Ini yang patut jadi pertanyaan, kira-kira solusi apa lagi yang patut kita kedepankan untuk menjawab keinginan luhur bangsa Papua. Perang sudah pasti akan jadi solusi?
Prolog
Konflik yang berlangsung di Tanah Papua seperti datangnya arus gelombang laut, yang tidak tahu-menahu kapan waktu istrahatnya. Konflik yang satu baru saja terjadi dan belum juga diselesaikan, muncul lagi konflik baru yang tidak jelas siapa dalangnya. Dan karena itu, tentunya konflik lama yang telah terjadi dilupakan begitu saja, padahal sudah menjadi sebuah keharusan untuk menuntaskan kasus tersebut sampai selesai.
Orang Papua yang tidak tahu menahu dalam memainkan sebuah konflik, terkadang dituding sebagai oknumnya. Yang akhir-akhirnya proses persidangan yang panjang dan alot adalah wajah hukum Indonesia dalam penyelesaiannya. Orang Papua, pemilik tanah adat Papua dibuat betul-betul tidak berdaya. Kaki tangannya diikat, bahkan mata pun ditutup tanpa alasan yang jelas. Orang Papua dibuat lumpuh, tuli bahkan mati rasa terhadap segala ancaman penjajah.
Banyak pengamat “buta” sering menyimpulkan bahwa dalang utama konflik di Papua adalah Tentara Pembebasan Nasional (TPN) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang berkeliaran di hutan-hutan Papua. Bagi pengamat “gombal” yang kadang menyimpulkannya, beranggapan bahwa TPN dan OPM dibentuk untuk menimbulkan konflik, padahal tidak demikian. Keberadaan TPN dan OPM sendiri sebagai jembatan pereda konflik yang terjadi dan meresahkan masyarakat Papua.
Ada yang menimbulkan kecurigaan, karena sistematisnya konflik yang terjadi, sepertinya telah diseting oleh kelompok terdidik yang telah lama paham akan sebuah permainan. Dan dalam pengamatannya, jejak-jejak dari pada sebuah konflik yang diciptakan kadang tak jelas, sudah bisa dibaca, ada yang bermain untuk mengelabui semua itu.
Konflik yang sedang terjadi di Papua jika dibiarkan tumbuh subur begitu saja, bukan tidak mungkin rakyat Papua dan ras-nya akan musnah diatas tanah sendiri. Dan sudah tentu, ini bukan bagian dari pada sebuah kehidupan yang katanya membangun masyarakat Papua, tetapi bagian dari penjajahan. Yang sedang menjajah, tidak pernah memberi ruang gerak untuk sebuah kebebasan kepada yang dijajah, dan yang sedang dijajah pun tidak pernah menginginkan dijajah terus.
Hal ini sudah tentu menimbulkan konflik yang berkepanjangan, dan bukan tidak mungkin ujung pangkalnya pun tidak akan pernah ditemukan. Dan sudah tentu, rakyat Papua sebagai pihak yang berada pada posisi yang lemah dan tak berdaya, hanya jadi korban amukan penjajah yang lebih kuat.
Harus ada solusi yang bisa menjawab semua keresahan. Harus ada solusi yang memberikan sebuah jawaban untuk membebaskan rakyat Papua dari semua aspek. Dan solusi itu sendir harus disepakati, harus disetujui bahkan harus diiyakan oleh kedua pihak yang sedang bertikai. Kedua pihak, dan terutama pihak yang sedang dijajah harus mendapat “angin segar” dari solusi tersebut. Omong kosong kalau solusi yang ditawarkan hanya ingin mengelabui semua kejahatan, hanya ingin merubah imej dari seorang pencuri sebagai seorang alim.
Untuk menyelesaikan konflik di Papua yang berkepanjangan harus ada solusi, dan kita perlu acungkan jempol, karena banyak paket, gagasan, bahkan ide telah diberikan oleh pemerintah pusat, dan beberapa lembaga kajian yang perlu terhadap persoalan di Papua. Secara tidak langsung, bisa kita simpulkan bahwa memang mereka peduli dengan persoalan Papua.
Yang pertama dari sederatan paket itu adalah solusi Otsus dengan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus). Kedua, solusi percepatan pembangunan dengan Undang-Undang Nomor 54 Tahun 2004, solusi pemekaran daerah dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2008, bahkan sampai pada solusi dialog (dibuat oleh berbagai lembaga kajian, serta intelektual Papua sendiri). Ini mungkin paket yang ditawarkan dengan dalih akan memberi sebuah kebebasan kepada raykat Papua. Tapi, apa benar demikian?
Dalam pembahasan kali ini saya akan sedikit melihat tentang solusi Otsus dan solusi dialog yang katanya akan menjadi akhir dari segala konflik yang terjadi di Papua. Saya tidak akan membahas solusi pemekaran, solusi percepatan pembangunan serta solusi yang lainnya karena memang betul telah dinilai gagal.
Otsus, Solusi Untuk Papua?
Mantan Presiden Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarno Putri saat menerima Gubernur Papua, (Alm) J.P. Salossa dan rombongan Panitia Pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di Istana Negara kala itu menyatakan bahwa Otsus adalah solusi terakhir untuk menyelesaikan konflik di Papua yang katanya tidak ada solusi lain selain Otsus.
Presiden RI saat ini, DR. Susilo Bambang Yudhoyono juga mendengungkan pernyataan yang sama. Bahwa Otsus adalah jalan terakhir yang harus dipikirkan bersama untuk memberikan kesejahteraan dan pembangunan bagi rakyat Papua.
“Kita harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Di dalam rumah tangga selalu ada masalah, tapi pasti ada solusinya. Ada sejumlah isu yang harus kita letakan secara tepat dan menyelesaikan dengan bijak dalam semangat kepentingan bersama, dan Otonomi Khusus sebagai pilihan kita untuk mengelolah Papua dengan lebih baik,” kata Presiden SBY sebelum pertemuan di Istana Negara bersama 29 Tokoh Adat dan DPRP Papua kala itu.
Patut diberikan apresiasi, karena keberanian kedua petinggi negara ini menyatakan demikian. Namun mengecewakan, kata yang tepat ketika mengamati jalannya implementasi Otsus selama hampir 8 tahun di Papua. Bukan rahasia umum bahwa Otsus malah memperbudak, bahkan membunuh orang asli Papua sendiri. Namun, saya tidak akan panjang lebar membahas soal ini.
Yang sangat disayangkan, kenapa bisa pemerintah Indonesia , bahkan mungkin saja Presidennya tidak paham terhadap akar persoalan Papua yang sebenarnya. Saya tidak tahu apa mereka paham, atau mereka sengaja tidak memahami, atau sudah paham juga tetapi sengaja dibuat tidak paham. Semua itu hanya bisa dijawab oleh mereka.
Sebenarnya akar persoalan yang mendasari semua gejolak, bahkan konflik di Papua tidak dipahami baik oleh semua mereka kala itu. Omong kosong, kalau rakyat menginginkan Otsus kala itu. Bagi rakyat, kehadiran Otsus sama saja dengan menghadirkan serigala yang telah ditawan ratusan tahun.
Yang diinginkan rakyat Papua adalah melihat Papua bebas. Dalam arti kedaulatan yang telah dianeksasi oleh Indonesia , Amerika dikembalikan untuk menjadi bagian hidup yang terpenting dari rakyat Papua. Melihat Papua merdeka adalah harapan terbesar rakyat Papua.
Presidium Dewan Papua (PDP) yang mendapat mandat dari rakyat Papua saat itu mata hatinya dibutakan dengan pembicaraan uang Otsus yang nantinya akan bertebaran milyaran bahkan triliunan rupiah sana-sini. PDP dibuat kalang kabut dengan dalih kehadiran Otsus akan merubah wajah Papua, sampai saat ini saya sendiri masih bingung, apa yang membuat PDP begitu antusias menerima kehadiran Otsus?.
Dalam sebuah kesempatan, pernah bercerita panjang lebar dengan beberapa orang tua mengenai tanah dan nasib bangsa Papua. Ada satu ungkapan, sekaligus pertanyaan yang saat itu sangat menggugah hati saya. Saya sempat berpikir bahwa siapa yang sebenarnya salah disini. Tapi mungkin hanya mereka pelaku yang bisa menjawabnya.
“Kami sudah kasih hati (kepercayaan, mandat, tangisan, air mata, bahkan harapan) kami untuk PDP perjuangkan, karena kami ingin sebuah kebebasan. Tapi kami bingung, apa yang mereka hasilkan dari semua usaha itu? Realisasi dari janji-janji mereka yang kami butuhkan saat ini. Terima kasih kalau memang demikian, dimana mereka melacuri kepercayaan kami.”
Ini suara hati seorang bapak di sebuah pedalaman yang menyadarkan saya. Mereka menilai PDP telah gagal membawa, memperjuangkan, dan gagal menghidupi mereka dengan kepercayaannya. Yang mereka tahu, PDP pernah berjanji kepada tanah, rakyat, dan nenek moyang orang Papua bahwa mereka akan memperjuangkan semua aspirasi rakyat Papua dengan sungguh-sungguh tanpa diboncengi kepentingan tertentu.
Mungkin PDP dan komponennya yang selama ini sedikit membual kepada tanah dan rakyat Papua perlu berbenah diri, seraya minta maaf atas semua salah, dosa, dan kegagalan menjawab harapan dan kerinduan hati mereka. Saya tidak nyatakan kinerja PDP tidak becus, tapi saya ingin menasehati agar berbenah diri dan tunjukan kerja yang sesungguhnya. Ada satu yang menarik dari penggalan kata Pdt. Anes Kafiar, bahwa “siapa yang bermain mata dengan tanah ini (Papua), akan dikedipkan juga oleh tanah ini”.
Mungkin sebuah nubuatan singkat, yang praktek lapangannya memang telah nyata dan betul-betul terbukti. Wafatnya Pemimpin Besar Bangsa Papua, Theys Hiyo Eluay, kata beberapa pemangku adat karena persolaan demikian, dimana menerima Otsus yang menjadi musuh utama rakyat dan tanah Papua. Tapi entahlah, semua telah berlalu. Tidak perlu untuk diributkan, seraya berbenah diri untuk kearah perubahan yang lebih baik lagi.
Banyak yang berpikir, terutama Kapitalis dan antek-anteknya, bahwa menyelesaikan masalah Papua, berarti juga mengakhiri kejayaan mereka di Tanah Papua. Mana mungkin mereka sepaham dan konsisten untuk membangun Papua. Jargon demi pembangunan yang mereka dengungkan setiap saat melalui Otsus, tidak lebih dari pada penjajahan terselubung..
Paparan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang Papua yang nampaknya akan serius membangun Papua, ternyata hanya sebuah pepesan kosong. Icon kapitalisme dan antek-anteknya hanya berbangga diri, ketika media massa dan Presiden membuka mulut.. Bagi mereka, ini sudah tentu menjamin proyek yang telah mereka jalankan di Tanah Papua.
Seperti menyanyikan lagu lama lagi, kalau saja Otsus masih dipertahankan keberadaannya sebagai sebuah paket yang akan memberikan sebuah kesejahteraan kepada rakyat Papua. Dalam beberapa media massa baik Nasional maupun Internasional santer dipublikasikan bahwa Otsus telah gagal, Otsus telah mati, bahkan Otsus tidak pernah memberi solusi paten kepada rakyat Papua seperti yang didengungkan selama ini.
Jadi, kita harus sepakat, Otsus bukan solusi untuk Papua. Otsus bukan menjawab kerinduan rakyat Papua. Dewan Adat Papua (DAP) sudah pernah berusaha untuk mengembalikan paket Otsus itu ke Jakarta karena memang dinilai bahwa Otsus tidak untuk rakyat Papua. Tapi sungguh aneh, Jakarta dengan cara liciknya tetap memaksakan rakyat Papua untuk tetap menerima Otsus.
Bagi orang Papua, Otsus telah gagal, karena Otsus itu memang bukan sebuah solusi penyelesaian konflik.
Dialog, Solusi Untuk Papua?
Setelah berbagai pengamat, entah dari Jakarta maupun orang asli Papua sendiri mengamati jalannya Otsus dengan segala ketidakpuasannya, maka ada paket baru lagi yang mereka tawarkan yaitu paket dialog. Bagi mereka, sudah mungkin dan pasti, dialog akan menyelesaikan masalah di Papua. Bahkan bagi mereka, mungkin dialog akan menyelesaikan segala persoalan yang dialami rakyat Papua.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari gagasan dialog itu. Namun banyak ketimpangan yang bisa ditemukan, beberapa diantaranya model dialog yang tidak jelas, tujuan akhir yang tidak jelas, dan pemahaman dialog yang sempit. Agak bingung, apa yang membuat semua itu terbengkalai, ketidaktahuan, kesengajaan, kecemburuan, atau... mungkin hanya mereka yang bisa menjawabnya.
Kalau sudah begini, mungkin wacana dialog yang ramai dibicarakan hanya sebuah dengungan semangat, selain itu sedikit membalut luka batin orang Papua. Karena telah terlanjut membuat hati, bahkan pikiran orang Papua sakit ulah kapitalis yang dengan gila-gilaan menghabisi orang Papua.
Kita masih ingat, paket Dialog pertama kali ditawarkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui DR. Muridan Widjojo dkk yang dituangkan dalam ‘Papua Road Map’ atau yang disingkat dengan PRM. Perlu diacungkan jempol, sudah berani mengangkat “solusi” untuk menyelesaikan masalah Papua. Tapi apa benar itu sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah di Tanah Papua?
Kehadiran PRM sudah sedikit mengakat wacana, bahkan menyuarakan orang Papua ditengah situasi dan konflik yang berkembang. Kecurigaan dan ketikdapercayaan kepada salah satu paket yang ditawarkan tetap ada. Dan sudah tentu sukar untuk diterima juga, tapi patut diacungkan jempol, sudah berani menerobos hal itu, Walaupun kehadirannya sendiri diragukan banyak orang.
Setelah agenda solusi konflik untuk Papua, dialog yang dikeluarkan LIPI dengan esainya ‘Papua Road Map’ beredar luas, banyak orang Papua mempertanyakan tujuan utama gagasan tersebut. PRM bahkan diklaim oleh masyarakat Papua sebagai Otsus era berikutnya. Bagi orang Papua, PRM juga tidak beda jauh dengan Otsus. PRM juga akan membawa orang Papua tertindas dan terbengkalai, apabila memang terbukti dilaksanakan.
Setelah LIPI dan Muridan mengeluarkan PRM, disusul dengan munculnya gagasan dari DR. Neles Kebadabi Tebay, Pr berjudul “Dialog Jakarta-Papua, Sebuah Perspektif Orang Papua”. Buku ini tidak jauh berbeda dengan kajian LIPI, karena inti utamanya bagaimana mengedepankan dialog untuk sebuah penyelesaian masalah Papua. Dalam bukunya Pater Neles, sedikit agak ragu untuk menyatakan bahwa orang Papua bukan ingin dialog dengan posisi tetap berada dalam bingkai NKRI, tetapi dialog untuk sebuah kebebasan (merdeka). Ini yang tidak terlalu dibahas lebih jauh dalam buku tersebut.
Kita sebagai orang Papua tetap harus berbangga dengan hasil analisis Pater Neles yang sangat luar biasa. Dimana telah membangkitkan semangat orang Papua untuk melihat masa depan yang lebih cerah, adil, makmur, dan aman sentosa, walau prospeknya mungkin sukar mencapai hal itu dengan berbagai gagasannya.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa orang Papua tidak pernah menginginkan lagi untuk ikut dengan negara ini (NKRI). Karena itu, apapun paketnya yang ditawarkan kepada rakyat Papua, bukan sebuah solusi. Bukan pula sebuah angin segar. Orang Papua akan senang, bangga, bahkan bersuka cita, kala kedaulatan diakui, dan Papua berdiri sendiri sebagai sebuah negara merdeka.
Saya sangat ragukan paket dialog yang ditawarkan Muridan dan LIPI. Apa benar memberi solusi untuk rakyat Papua? Atau itu solusi yang berkedok pembunuhan, kejahatan, bahkan pemusnahan. Dampak kedepan dari paket gombal yang telah ditawarkan perlu dipikirkan. Memang paket dialog perlu dan sedang diusakan dengan mengedepankan kerja sama yang baik.
Jadi, stop pembunuhan, pembantaian, bahkan setiap pemusnahan berkedok dialog. Dalam sebuah kesempatan, saya pernah mengatakan kepada Pak Muridan, bahwa “Saat dialog yang Anda maksudkan sedang diusahakan untuk digapai, dan saat itulah tindakan penjajahan, penyiksaan, pembunuhan, bahkan sampai pemushana etnis Melanesia sedang dilakukan. Mungkin Anda berdosa, menggunakan sebuah strategi untuk memusnahkan manusia Papua”. Tidak tahu persis, dia tanggapi apa dengan komentar saya itu.
Orang Papua tidak ingin berlama-lama untuk melihat Papua Baru, Papua yang pemerintahannya dikepalai anak-anak bangsa Papua. Stop menipu rakyat Papua, kalau memang dialog hanya jadi topeng untuk membuka lebar sayap penjajahan di bumi Papua.
“Anak, mungkin besok atau lusa saya sudah meninggal dan akan menjadi tanah kembali. Ketika itu saya akan bertanya pada Tuhan, kapan rakyat dan bangsa Papua bebas akan kau bebaskan”, komentar seorang Bapak di Numbay beberapa waktu lalu. Kata yang sungguh mengiris jantung hati. Entahlah, mungkin harus demikian.
Akar persolana utama di Papua terletak pada kedaulatan bangsa Papua yang diambil paksa oleh Indonesia, melalui PEPERA 1969 dan beberapa instrument gombal yang melecehkan harga diri orang Papua. Yang saat ini jadi soal di Papua, kapan dan bersediakah mengembalikan kedaulatan di Papua?. Kalau bicara merdeka, bukan sekarang lagi, karena rakyat dan bangsa Papua sudah pernah merdeka tahun 1961 lalu..
Mungkin rakyat dan bangsa Papua akan sepakat, jika dialog yang ditawarkan mengarah kepada pengembalian kedaulatan yang telah dianeksasinya. Kalau dialog untuk tetap ikut dengan Jakarta , mungkin hanya orang awam yang sepakat dengan segala keputusan itu. Dan orang Papua bukan tipe itu. Sudah sangat banyak penipuan dengan berkedok pembangunan, jadi tidak mungkin rakyat Papua tergiur lagi dengan semua itu.
Dialog untuk ikut Indonesia , No! Dailog untuk pengembalian kedaulatan, Yes! !!
Perang, Solusi Untuk Papua
Perang mungkin sudah dan akan menjadi sebuah solusi untuk rakyat Papua, walaupun kenyataannya tidak semua siap dengan konsep ini. Saya yakin, banyak orang akan sangat menentang hal ini. Banyak orang bertanya, apa benar perang bisa menyelesaikan persoalan di Papua. Memikirkan keluarga, nasib, masa depan, bahkan kehidupan menjadi pertimbangan berat untuk meng-iya-kan gagasan perang sebagai sebuah solusi penyelesaian Papua.
Banyak orang menginginkan jalan damai. Banyak orang menginginkan jalan dialog. Banyak orang bahkan menginginkan jalan pengakuan. Tetapi mungkin hanya negara bodoh serta tidak mempunyai harga dirilah yang mau melaksanakan itu. Negara Indonesia merebut kemerdekaan dari penjajah dengan taruhan bahkan pengorbanan segala-galanya. Nyawa juga bahkan mereka pertaruhkan.
Tidak dengan dialog, tidak dengan pengakuan sepihak, kalaupun pengakuan yang di berikan Belanda kepada Indonesia setelah proses (perang) yang sangat panjang.
Banyak orang Papua bicara merdeka, tapi takut untuk mati. Banyak orang Papua bicara merdeka, tetapi takut untuk masuk penjara. Banyak orang Papua bicara merdeka, tapi banyak juga yang takut membicarakan hal ini. Bahkan banyak orang Papua bicara merdeka, tetapi merasa tabuh mengkampanyekannya.
Untuk tuan-tuan Tahanan Politik (Tapol), untuk tuan-tuan Narapidana Politik (Napol) rakyat Papua akui dan angkat topi untuk kesungguhan dan keberanian kalian memperjuangkan sebuah kebebasan. Dimana bui yang sangat menjijikan menjadi tempat peristrahatan kalian yang sangat lama. Tetapi rakyat Papua juga tidak mengatakan bahwa itu sebuah ukuran menilai keseriusan kalian, karena kadang prospeknya banyak sering bermain muka dua.
Untuk tuan-tuan intelektual, tuan-tuan mahasiswa, semesta rakyat Papua juga akui kesungguhan kalian dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan bangsa Papua. Rakyat Papua juga angkat topi yang sama, tapi rakyat Papua tidak mengatakan itu ukuran menilai keseriusan kalian untuk Papua. Karena masih banyak dan masih sering intelektual Papua yang jual sesamanya untuk kepentingan sesaat.
Dalam uraian ini, saya tidak akan bahas panjang lebar tentang strategi perang, mungkin kita semua sudah paham secara umum apa itu perang? Apa itu kekerasan? Dan apa yang dibutuhkan jika perang dibutuhkan untuk menyelesaikan itu? Berapa “kayu bakar” yang kita butuhkan? Serta keperluan lainnya. Mungkin untuk membahas hal ini, bisa kita bicara di diskusi pribadi-pribadi.
Kesalahan terbesar orang Papua adalah terlalu bermimpi besar untuk menantikan bantuan negara luar. Jangan bermimpi besar untuk Amerika Serikat datang memberi sebuah kemerdekaan kepada rakyat Papua. Mustahil! Bahkan sangat sukar, karena Amerika memiliki kepentingan besar di Papua. Amerika, negara yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia (HAM), tapi atas nama HAM, Amerika menjajah, memenjarakan, bahkan membunuh manusia di bangsa lain. Keberadaan PT Freeport Indonesia mungkin salah satu buktinya.
Kita juga jangan berharap besar terhadap negara Inggris akan mendesak Indonesia untuk memberikan kemerdekaan kepada rakyat Papua. Inggris pun sama memiliki kepentingannya di Tanah Papua. Beberapa perusahaan Multi-Internasional yang sedang beroperasi di Papua mungkin jadi penghambatnya. BP Bintuni merupakan perusahaan penghasil gas dan tambang terbesar, yang juga telah menghidupi Indonesia dan Inggris itu sendiri.
Saya juga boleh katakan jangan terlalu berharap kepada negara Vanuatu dan beberapa negara di kawasan Asia Pacifik lainnya yang kemerdekaan bangsanya baru kemarin pagi. Ingat suara mereka tidak terlalu berdampak, suara mereka tidak terlalu berpengaruh di PBB sana , walaupun memang betul mereka punya hak berbicara pada saat sidang seperti demikian.
Secara pribadi, saya juga ragu dengan keseriusan negara Australia untuk membantu bangsa dan rakyat Papua. Suaka politik yang setiap saat menumpuk di negara tetangga ini jangan dijadikan ukuran untuk mereka akan membantu kita. Kalau ada yang menggunakan ukuran itu, mungkin terlalu kerdil pikirannya. Kita bisa lihat peran Australia kepada Timor Leste, hanya membantu ketika memang kepentingannya sangat mendesak dan harus dipenuhi.. Australia sendiri memilki beberapa perusahan tambang di Timor Leste saat ini.
Suku Aborigin, penduduk Australia apakah mendapatkan tempat yang layak dari negara Australia ? Yang penting kita tidak berharap Papua dijadikan seperti suku Aborigin berikut, bahkan juga bukan tidak mungkin akan diperlakukan lebih jahat lagi apabila mereka telah berhasil membantu Papua dengan sebuah iming sesaat di Papua. Semoga tidak!
Yang bisa membuat Papua Bebas, Papua Merdeka, Papua diakui kedaulatannya hanya semesta rakyat Papua. Orang Papua yang harus bersatu, harus diberikan pemahaman, bahkan harus dijelaskan bahwa Papua Merdeka adalah karena mereka. Tidak ada negara jajahannya yang memberikan pengakuan kedaulatan tanpa menumpahkan darah.
Perang akan meruntuhkan segala keraguan bahwa Papua akan menjadi negara bebas. Perang sudah pasti akan membuka mata dunia. Perang sudah pasti menjadi sorotan PBB. Dan perang juga sudah pasti membumi-hanguskan segalanya di Papua untuk sesaat. Hanya si cebol yang selalu mengharapkan jatuhnya bulan, hanya orang bodoh saja yang mau memberikan Papua tanpa pertumpuhan darah, kata ini yang negara Indonesia ingin berikan apabila jalan dialog terus menerus didengungkan.
Ingat perkataan Ali Mustopa, bahwa jika orang Papua ingin merdeka, minta saja ke Amerika supaya bikin negara sendiri di bulan, dan jika Papua juga ingin merdeka, buat pulau tersendiri. Mereka ( Indonesia ) mengingingkan tanahnya orang Papua, mereka menginginkan segala kekayaan orang Papua, dan atas nama itupula, kapitalisme menjajakan kakinya di bumi Papua dengan segala kepentinganya.
Mantan Presiden Indonesia , Ibu Megawati Soekarno Putri juga pernah mengatakan bahwa “bukan Negara Indonesia lagi jika Papua telah bebas”. Itu berarti, bagaimanapun caranya Papua tidak akan pernah mau dipisahkan dari Indonesia , terutama melalui cara-cara lombo (lemah). Orang Papua harus mengambil tindakan, mengedepankan kekerasan menjadi jalan keluarnya.. Kalau tidak bertindak, tunggu ayam tumbuh gigi baru orang Papua akan bebas dan merdeka!
Perang merupakan solusi paten, walau banyak yang jadi korban dalam insiden ini.. Perang sudah akan menjadi solusi, walau generasi sekarang mungkin saja tidak akan menikmati kemerdekaan itu. Perang sudah akan jadi solusi, walau Papua akan menjadi tanah darah, untuk keadaan sesaat. Karena perlu diingat, saat kita sedang menanti proses dialog, dan saat itu pula kita sedang dihabisi. Kita sedang disumbat, kita sedang dikancing segala gerak-geriknya.
Dengan demikian, tepat yang dikatakan masyarakat Papua bahawa ‘Papua Road Map’ adalah strategi jitu untuk menjalankan aksi itu, aksi pemusnahan etnis Melanesia . PRM adalah pemenuhan kebutuhan sesaat pejabat Indonesia dan pejabat Papua yang wajahanya telah sangat-sangat kusam di dunia Internasional.
Perang sudah pasti akan jadi solusi untuk kebebasan rakyat dan bangsa Papua, tidak ada solusi lain. Guna apa Tentara Pembebasan Nasional (TPN) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dibentuk, kalau kinerja mereka tidak diharapkan?
Sudah menyatakan diri ingin pisah dari NKRI, berarti sudah menyatakan diri bahwa siap untuk mengorbankan segalanya untuk Tanah Papua. TPN/OPM dibentuk untuk mengembalikan kedaulatan bangsa Papua, dan perang adalah satu-satunya jalan untuk itu.
Kalau masih ada TPN dan OPM yang meragukan solusi perang untuk menyelesaikan masalah Papua, saya meragukan kesungguhannya. Patut kita tanyakan, dia dipiara oleh siapa? Atau jangan-jangan selama ini dia jadi “suanggi” untuk bangsa dan rakyat Papua. TPN dan OPM tidak usah ribut-ribut bahas soal dialog. Untuk urusan dialog, ada yang akan menempuh kesana, kalau memang konsep dialog tercapai.
Epilog
Otsus dan dialog bukan solusi untuk kebebasan rakyat Papua. Otsus dan dialog hanya menjadi hama perusak untuk menghancurkan orang Papua. Otsus dan dialog hanyalah perangkat yang menjerat, bahkan memusnahkan orang Papua dari tanah airnya.
Otsus dan dialog adalah aturan yang memanjakan Militer untuk tetap berkeliaran di Papua. Otsus dan dialog adalah strategi jitu BIN untuk memusnahkan orang Papua. Kehadiran Otsus seperti keluarnya serigala yang telah ditawan ratusan, bahkan ribuan tahun untuk menerkam rakyat Papua.
Otsus membuat mental, moral, bahkan hati nurani orang Papua rusak total. Otus menjadikan orang Papua tidak berdaya. Otus membuat orang Papua menjadi pencuri yang tidak tahu menahu, bahwa pencuri adalah dosa besar. Otsus bukan membawa solusi, tetapi malah menambah persoalan di Papua.
Dialog juga demikian, hanyalah penjajahan terselubung. Dan saat proses dialog itu sedang mau digapai, dan saat itu pula pembunuhan, penyiksaan, yang mengarahkan kepada pemusnahan akan diberlangsungkan. Dialog hanyalah penjajahan sesaat, dialog sudah pasti bukan sebuah solusi akhir. Yang anehnya, tawaran dialog melalui kajian LIPI datangnya dari LIPI, kita jangan mudah percaya dengan lembaga-lembaga bentukan pemerintah Indonesoia yang kadang diramalkan seperti malaikat.
Perang sudah pasti akan jadi solusi. Perang sudah pasti akan jadi solusi. Walaupun banyak yang harus direlakan, bahkan banyak orang yang harus dikorbankan. Perang menjawab keraguan, bahwa Papua akan merdeka. Perang menjawab solusi, bahwa Papua akan bebas!
Tidak ada negara manapun di dunia yang mendapatkan kedaulatan dengan bersantai-santai. Dengan melipat tangan. Dengan mengemis. Tetapi kedaulatan didapatkan dengan taruhan harga diri, taruhan nyawa.
Harga diri dipertaruhkan demi tanah air. Harga diri harus dipertaruhkan demi generasinya. Harga diri harus dipertaruhkan demi masa depan bangsa dan rumpunnya. Menderita sesaat untuk kebebasan yang selamanya sangat mulia.
Tidak ada pengorbanan yang tidak membuahkan hasil. Tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Tidak ada pengorbanan yang menjerumuskan manusia secara asal-asalan. Tetapi semua dilakukan dengan tujuan mulia, kebebasan selamanya. Merdeka selamanya.
Papua akan bebas. Papua akan merdeka. Papua akan terlepas. Papua akan berdaulat. Semua butuh pengorbanan. Semua butuh kesiapan. Semua butuh tekad. Semua butuh kesatuan. Semua butuh kerja sama. Semua butuh perang. Tidak perang, tidak akan menyelesaikan semua itu. Perlu diingat, tidak ada penjajah yang memberikan daerah jajahannya kepada pemiliknya dengan melalui proses dialog maupun proses yang tidak menumpahkan darah.
Harus kita katakana: “Demi tanah air Papua, saya siap mati. Demi tanah air Papua, saya siap berkorban. Demi tanah air Papua, saya siap melawan. Demi tanah air Papua, saya siap perang.”
Mata hati harus mengatakan tekad demikian. Mata hati harus mengarahkan kepada tujuan hidup. Mati hati harus sepaham dengan tujuan dan kerinduan bangsa dan leluhur Papua.
Papua akan bebas, Papua akan merdeka. Satukan tekad, tujuan, atur barisan, serta siap mengambil langkah itu. Langkah yang akan membebaskan. Langkah yang akan memerdekakan. Langkah yang akan menyatukan tekad dan tujuan semesta rakyat Papua untuk bebas berdaulat.
Mengakhiri tulisan ini, saya hendak mengutip pidato bersejarah Sheikh Mujibur Rahman pada tanggal 7 Maret 1971 di Lapangan Suhrawardy Udyan Bangladesh . “Perlawanan kita untuk kebebasan kita. Perlawanan kita untuk kemerdekaan kita. Perang kita untuk kemerdekaan kita. Perang kita untuk kebebasan kita.” ****