SEJAK Indonesia mengganti Hindia-Belanda, media makin terpusat ke Jawa. Rezim Soekarno menutup semua media yang dianggap berpihak Belanda. Nama baru diciptakan; pers perjuangan. Soeharto menciptakan istilah baru; pers pembangunan. Wujudnya berupa konglomerat media.
Kini batas jurnalisme tumpang tindih dengan propaganda, hiburan, iklan dan seni. Bias para wartawan, entah dengan negara, kebangsaan, agama maupun etnik, jadi bias.
Andreas Harsono, wartawan yang pernah meliput untuk The Jakarta Post, The Nation (Bangkok), The Star (Kuala Lumpur) dan Pantau (Jakarta) mengumpulkan 34 naskah berupa kritikan terhadap media di Indonesia dalam sebuah antologi dengan judul “Agama Saya Adalah Jurnalisme.”
Dalam antologi ini, Harsono juga mengkritik liputan media di negara Indopahit (terminalogi Indonesia keturunan Majapahit), yang tidak becus meliput soal konflik sosial maupun politik yang terjadi di Acheh maupun Papua. Memaksakan para wartawan untuk bersikap “nasionalis” atau “merah putih” sehingga tak buat wawancara sekaligus crosscek dengan pihak-pihak yang menginginkan sebuah kemerdekaan dari kolonialisme Indonesia, seperti; Gerakan Acheh Merdeka (GAM) di Acheh dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua.
Seorang wartawan harus mendahulukan jurnalisme dari segala kepentingan. Agamanya, kewarganegaraannya, kebangsaannya, ideologinya, latar belakang sosial, etnik, suku dan sebagainya, harus dia tinggalkan di rumah begitu dia keluar dari pintu rumah dan jadi wartawan (Halaman, 218).
Makin bermutu jurnalisme di dalam suatu masyarkat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarkat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat, kata Harsono mengutip pendapat Bill Kovach, kurator Nieman Foundation, sekaligus salah satu penulis buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” yang juga pernah mengajari Harsono menulis saat mendapat Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Amerika Serikat.
Mutu jurnalisme di Indonesia tambah buruk lagi ketika para wartawan, yang juga konglomerat media ikutan terlibat dalam perpolitikan nasional. Walaupun, seorang wartawan memunyai hak yang sama dengan warga masyarakat lainnya, tapi ini tentu menganggu independensi wartawan tersebut.
Misalkan, Goenawan Mohamad, wartawan terkemuka Indonesia, yang juga punya reputasi di dunia internasional, memutuskan bergabung dengan tim sukses Amien Rais, saat pemilihan umum tahun 2009 silam. Alwi Hamu, salah satu pemimpin Kelompok Jawa Pos, ikut bergabung dengan Jusuf Kalla. Kemudian Cyprianus Aoer, wartawan asal Manggarai, Pulau Flores, dan pemimpin redaksi harian Suara Pembaharuan jadi kandidat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk anggota parlemen (sekarang telah duduk di parlemen komisi x) (Halaman 169-170).
Salah satu dari sembilan elemmen jurnalisme adalah, loyalitas utama seorang wartawan adalah kepada warga masyarakat tempat ia berada. Wartawan bisa melayani warga dengan sebaik-baiknya apabila mereka bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Tapi, bagaimana jika ia telah ikut berpartisipasi dalam dunia politik? Tentu meragukan sekali independensinya? Siapa yang akan ia bela?
Dalam buku setebal 268 halaman ini, pada salah satu naskah dengan judul “Kupas Tuntas Media Palmerah” Harsono juga menyatakan pesimis kepada perkembangan media di Indonesia -- terutama konglomerat media Palmerah (Palmerah; merujuk pada satu tempat di Jakarta yang menjadi pusat media-media besar di Indonesia), yang sebagian besar peninggalan sistem Orde Baru, seperti; Jawa Pos, Kompas, Tempo, The Jakarta Post, RCTI, SCTV, Indosiar, TVRI, TPI. Mereka rata-rata berideologi fasisme, berorientasi komersial (secara berlebihaan) secara teknis belum mau pake standar jurnalisme internasional (byline, firewall, liputan media independen, menganggap wartawan kerja produksi alias kuli, nasionalisme sempit, dan sebagainya).
Dateline naskah-naskah dalam buku ini dibuat dari tahun 1999 hingga 2010, sambil penulis menyelesaikan bukunya A Nation in Name; Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Ia ditulis dari beberapa tempat berbeda, seperti; Banda Aceh, Cambridge, Ende, Jogjakarta, Londok, Merauke, Pontianak, Semarang, Singapura, dan sebagainya, namun kebanykan ditulis dari Jakarta. Ada empat tema besar yang diangkat, (1) laku wartawan (code of conduct); (2) Penulisan (writing); (3) dinamika ruang redaksi (newsroom diversity); serta (4) liputan (reporting).
Buku ini semakin menarik dibaca, karena penulis sendiri telah membuktikan dirinya sebagai seorang penulis handal yang telah berkarir di beberapa media Internasional. Buku ini juga semacam jadi buku panduan bagi mahasiswa, wartawan, serta masyarakat Indonesia yang peduli akan mutu jurnalisme di Indonesia.
Judul : Agama Saya Adalah Jurnalisme
Penulis : Andreas Harsono
Penerbit : Kanisius, Jogjakarta
Terbit : Desember 2010
Halaman : 268 Halaman
Harga : Rp. 50.000
Resensi ini telah di muat pada Koran Jurnal Nasional, tanggal 23 Januari 2011
Thursday, January 27, 2011
Mengkritik Mutu Jurnalisme di Indonesia
Label:
BUKU
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Benar. Mutu jurnalisme di Indonesia sangat jauh tertinggal di banding dengan negara luar. JANGAN jauh-jauh, coba bandingkan saja dengan Thailand.
ReplyDeleteMulai dari penggunaan Byline, sampai di independensi media yang baik dapat kita temui di negara ini. Beda dengan Indonesia. Media ikut mendukung, dan berjuang untuk sebuah kepentingan (kekuasaan).
Contoh, Metro TV dan Media Indonesia berjuang untuk Surya Paloh (dulu Golkar, skrng Nasdem), TV One berjuang untuk Aburizal Bakrie (Golkar, Kompas berjuang untuk jaga posisi dalam bisnis (memihak konglomerat) dan masih banyak lagi.
Semoga buku ini dapat memberikan sedikit perubahaan pada media di Indonesia. Selamat membaca.
wasalam,
JW
soalnya KODE ETIK tidak dilaksanakan dengan benar
ReplyDelete