Oleh Oktovianus Pogau*
SEJAK tahun 1967, dua tahun sebelum penentuan pendapat rakyat Irian Barat (sekarang Papua dan Papua Barat), PT Freeport Indonesia (PT FI) telah menandatangani kontrak kerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk mulai beroperasi di Kabupaten Mimika, Papua.
Jika dihitung, berarti, sudah hampir 44 tahun PT FI beroperasi di tanah suku Amugme dan Kamoro. Pada 25 tahun pertama beroperasi, pemerintah Indonesia juga mayarakat Papua tak menerima bagi hasil dari penambangan emas tersebut.
Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) memprediksi, setiap harinya kira-kira sekitar 300 kilogram emas dan 600 kilogram mineral berharga perak, serta tembaga dari 238.000 ton dihasilkan.
Hampir sebagian besar dikeruk dari lokasi tambang Grassberg di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut dekat Cartenz Piramid.
Manfaat dari kehadiran PT FI sendiri tak pernah dirasakan oleh masyarakat sekitar. Malahan, banyak pihak yang berpendapat bahwa kehadiran PT FI justru menambah konflik baru.
Buktinya dapat kita temui, bagaimana terus terjadi konflik antar warga masyarakat karena saling berebut dana kompensasi dari PT FI yang jumlah padahal tak begitu besar.
Kepentingan Militer
Bisa dibenarkan, bagaimana kehadiran PT FI justru menambah siklus konflik baru di tanah Amungsa. Semua bermula dari kepentingan negara dan aparat militer Indonesia . Aparat militer Indonesia dibayar mahal tiap tahunnya untuk menjaga asset-aset yang dimiliki PT FI.
Menurut laporan koran New York Times di tahun 2005, PT FI mengaku telah membayar sekitar 20 juta dollar AS kepada TNI untuk mengusir warga setempat secara paksa dari wilayah mereka sejak tahun 1998 hingga tahun 2004.
Dalam laporan yang sama, PT FI juga mengaku membayar sekitar 10 juta dollar AS kepada para jenderal, kolonel, mayor, dan kapten militer dan polisi. Bahkan dalam satu kasus, pimpinan militer, Letnan Kolonel Togap F. Gultom menerma sekitar 100.000 dollar AS, semua itu sebagai dana keamanan bagi PT FI di tanah Amugsa.
PT FI juga memunyai kedekatan dengan petinggi militer Indonesia—TNI/Polri—yang tentu telah ikut melahirkan banyak pelanggaran HAM di daerah sekitar tambang.
Hal ini pernah dikemukakan oleh Uskup Jayapura, Herman Munninghof dalam buku memoria passionis ketika tentara membunuh dengan menembak membabi buta dan membakar rumah-rumah penduduk di kampuang Wa dan Illaga tahun 1994 dan 1995.
Antropolog Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk PT FI dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari AS dalam laporan mereka yang berjudul “Human Rights Abuses by Freeport in Indonesia” di tahun 2002 memperkirakan, sebanyak 160 orang telah di bunuh oleh militer sejak tahun 1975-1997 di daerah tambang dan sekitarnya.
Menurut Ballard dan Abigail dalam laporan yang sama, bahwa militer membunuh warga sekitar dengan alasan menggangu operasi perusahan tambang tersebut.
Padahal selama ini masyarakat hanya menyatakan aksi protes terkait ketidakadilan yang dilakukan pemerntah Indonesia, termasuk keberadaan PT FI yang tidak memperhatikan hak-hak dasar masyarakat adat setempat.
Terakhir kali, di penghujung tahun 2009 , pemimpin besar rakyat Papua, Kelly Kwalik, pembela hak-hak dasar suku Amugme dan Kamoro di tembak mati oleh Densus 88 Antiteror bersama Brimob Polda Papua.
Ia di curigai sebagai “separatis” yang mengacaukan keberadaan perusahaan raksasa milik AS. Padahal tak ada bukti yang bisa membenarkan keterlibatan dia dalam segala konflik di areal pertambangan.
Ini juga memberikan pertanyaan tersendiri, bagaimana konflik di areal pertambangan PT FI akan berhenti, jika aparat militer yang seharusnya melindungi serta mengayomi masyarakat ikut menciptakan konflik untuk kepentingan institusi mereka.
Kerusakan Lingkungan
Peraih Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999, dan Anugerah Lingkungan Goldman pada 2001, mama Yoseph Alomang, yang juga tetua adat diantara suku-suku sekitar lokasi tambang pernah mengemukakan, bahwa kehadiran PT FI telah “merampok” seluruh hak-hak masyarakat adat sekitar.
Ungkapannya tidak berlebihan. Ini berangkat dari realitas, dimana Gunung Nemangkawi yang menjulang tinggi telah di bongkar habis. Emasnya dikeruk untuk kepentingan PT FI. Hutan di buka secara luas, hanya menyisihkan duka nestapa, yakni; limbah perusahaan (taling).
Menurut perhitungan PT FI sendiri, penambangan mereka dapat menghasilhkan limbah (taling) sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat terusan Terusan Panama).
Kebanyakan dari limbah tersebut di buang di pegunungan sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke daerah rendan basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang di telah di berikan status khusus oleh PBB.
Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan PT FI sejak tahun 1997, karena operasi mereka telah melanggar UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolahaan lingkungan hidup.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam laporan tahunan yang diterbitkan akhir tahun 2010 juga menemukan fakta terkait kerusakan lingkungan dan hutan yang dilakukan PT FI.
Mereka juga dinilai melanggar UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama pasal 6 ayat 1 dan 2.
Ketika lingkungan dirusak, tentu dampaknya bagi keberlangsungan hidup masyarat setempat. Terbukti, pada akhir 2003, ketika sebuah lubang penambangan runtuh di tambang Grasberg milik Freeport. Ia menewaskan 9 orang buruh tambang setempat..
Tutup atau Evaluasi
Konflik di areal PT FI tak akan pernah usai, jika PT FI terus membayar aparat militer untuk mengontrol segala aktvitas, termasuk mengusir secara paksa warga masyarakat sekitar yang seharusnya mendapatkan hak-hak mereka.
Salah satu contoh bisa kita temui akhir tahun 2010 lalu, saat tentara Indonesia menyiksa dua warga Papua yang di tayangkan dalam situs youtube. Video ini memberikan bukti, bahwa pelanggaran HAM masih terjadi di tanah Papua.
Cara-cara kekerasaan yang ditempuh aparat militer juga tak akan menyelesaikan konflik, ia justru menambak konflik baru yang lebih besar tensinya.
Maka, jalan paling baik adalah pemerintah melakukan evaluasi semua kontrak kerja sama dengan PT FI atau memilih ditutup ditutup untuk sementara waktu.
Pemerintah dan PT FI harus memastikan, bahwa hak-hak warga masyarakat benar-benar di hargai secara menyeluruh.
Aspek-asplek yang perlu dikaji jika evalusi menjadi pilihan, adalah, pertama; aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), baik itu oleh perusahaan maupun oleh negara.
Kedua, aspek ekologi pencemaran lingkungan yang sangat besar sekali terutama di bagian hilir dari bagian ekploitasi PTFI. Ketiga aspek sosial ekonomi masyarakat setempat.
Jika pemerintah memastikan ketiga aspek diatas telah terlaksana, bukan tidak mungkin kehadirannya akan memberikan manfaat penting bagi warga sekitar juga negara Indonesia.
Jika tidak, ini hanya akan seperti bom waktu, yang kapan saja bisa meledak. Ada pepatah bilang, "mencegah lebih baik dari pada mengobati". Semoga saja!
*Penulis warga masyarakat Papua cum Jurnalis lepas, tinggal di Jakarta.
Wednesday, April 27, 2011
Evaluasi atau Tutup PT Freeport Indonesia?
Monday, April 04, 2011
UU Otsus Gagal, Masyarakat Papua Minta Pemilihan MRP Dihentikan
PEMILIHAN keanggotaan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan amanat dari pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua diminta dihentikan. Pasalnya sudah hampir sepuluh tahun Otsus hadir, namun telah gagal mensejahterakan orang asli Papua.
Awal penolakan pemilihaan keanggotaan MRP bermula saat pemimpin gereja, Dewan Adat Papua (DAP), tokoh pemuda dan mahasiswa bersama MRP melakukan Musyawarah Besar (Mubes) pada tanggal 9-10 Juni tahun 2010 di kantor MRP, Kotaraja. Ia menghasilkan 11 rekomendasi kepada pemerintah pusat.
Sebelas rekomendasi itu adalah pertama, UU Otonomi Khusus (Otsus) No 21/2001 dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. Kedua, rakyat Papua menuntut dialog dengan pemerintah pusat yang dimediasi pihak internasional yang netral. Ketiga, rakyat Papua menuntut referendum menuju pembebasan politik.
Keempat, rakyat Papua menuntut pemerintah RI mengakui dan mengembalikan kedaulatan bangsa Papua Barat yang telah diproklamasikan pada 1 Desember 1961. Kelima, rakyat Papua mendesak agar dunia internasional mengembargo bantuan dalam pelaksanaan otsus di Papua. Keenam, dipandang tidak perlu untuk merevisi UU No 21/2001 jo UU No 35/2009 karena otsus terbukti telah gagal.
Ketujuh, seluruh proses pemilukada di tingkat kabupaten/kota se-Papua dan Papua Barat segera dihentikan. Kedelapan, Pemprov Papua dan Papua Barat seger menghentikan program transmigrasi dari luar serta melakukan pengawasan ketat terhadap arus migrasi penduduk dari luar tanah Papua. Kesepuluh, rakyat Papua mendesak segera dilepaskannya para tahanan politik dan narapidana politik asal Papua. Kesebelas, MRP dan masyarakat asli Papua mendorong PT Freeport Indonesia segera ditutup.
Melihat keengganan pemerintah menjawab 11 rekomendasi tersebut, pada tanggal 26 Januari 2011 para pemimpin gereja di Papua, yaitu Pendeta Drs Elly D. Doirebo, MSi, dari Sinode GKI Papua, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, MA, Ketua Gereja BAPTIS Papua, dan Pendeta Dr Benny Giay dari Sinode Gereja Kingmi Papua, mengeluarkan delapan Deklarasi Teologia.
Isi deklarasi tersebut, Pertama, sejak integrasi ke dalam Negara Indonesia, Papua menjadi wilayah bermasalah. Kedua, warga gereja telah mengarah pada proses genosida, terutama melalui kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada orang Papua dan operasi militer yang berujung pada rentannya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketiga, gereja mengakui dosanya karena tidak berdaya melawan kebijakan pemerintah pusat sebagai penjajahan internal dan perbudakan terselubung. Keempat, gereja berupaya menjawab tantangan warga gereja dan kembali kepada Alkitab dan sejarah gereja sebagai pedoman.
Kelima, gereja siap bertanggung jawab untuk menyuarakan teriakan warga gereja sebagai konsekuensi logis tugas kegembalaan dari panggilan gereja dalam mewartakan Firman Tuhan Allah. Keenam, Pemerntah Indonesia harus harus membuka dialog yang di mediasi oleh pihak ketiga.
Ketujuh, pihaknya menghimbau umat Tuhan di Tanah Papua untuk bangkit, kerjakan keselamatan dan nyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang sedang melakukan penjajahan internal dan pembasmian etnis serta perbudakan terselubung. Sedangkan poin kedelapan, warga umat Tuhan di Papua dan dimana saja, diajak untuk terus berdoa bagi para pimpinan gereja dalam solidaritas, agar menjadi teguh dalam menghadapi tantangan.
Dua hari setelah dilakukan deklarasi teologia, masyarakat Papua bersama tokoh-tokoh gereja mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), mereka membacakan deklarasi tersebut, sembari meminta kepada dewan untuk di sampaikan kepada pemerintah pusat di Jakarta.
“Pemerintah harus menjawab 11 rekomendasi MRP dulu,” tegas Pendeta Drs Elly D. Doire bo, MSi, dari Sinode GKI Papua di hadapan pimpinan DPRP.
Pendeta Socratez Sofyan Yoman, MA, Ketua Gereja BAPTIS Papua, kepada Koran Tempo di Jakarta mengukapkan bahwa gereja pada prinsipnya tetap menolak pemilihaan MRP yang sedang di langsungkan. “Kami tetap menolak pemilihan MRP jilid II. Pemerintah harus membuka ruang dialog dengan rakyat Papua, yang dimediasi oleh pihak ketiga,” katanya .
Penolakan MRP tidak hanya datang dari unsur pimpinan gereja, namun juga datang dari tokoh adat dan tokoh pemuda di tanah Papua.
Ketua umum Dewan Adat Papua (DAP), Fokorus Yoboisembut menuturkan bahwa DAP pada prinsip telah menolak paket UU Otsus yang diberikan pemerinta pusat sejak tahun 2001 silam. “UU Otsus telah kami tolak beberapa kali. Menolak Otsus, berarti menolak pembentukan MRP juga,” tandasnya.
Ia juga menuturkan, bahwa DAP tidak akan memberkan rekomendasi untuk wakil-wakil adat duduk di MRP. “Kami tetap minta 11 rekomendasi MRP di jawab pemerintah,” katanya.
Sementara itu Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Eksnas F-PEPERA PB), Selpius Bobii, menegaskan bahwa rakyat Papua tidak mengakui keberadaan MRP sebagai sebuah lembaga representative kultural orang Papua. Sebab selama satu periode berlalu, kehadiran MRP tidak lebih dari lembaga pelengkap kepentingan Jakarta di Tanah Papua.
“Bangsa Papua sudah menolak Otonomi Khusus, jadi untuk apa MRP yang adalah anak kandung Otonomi Khusus itu mau dibentuk lagi di Tanah Papua. Rakyat tetap menolak itu,” ujar Selpius Bobii.
Ia juga menyoroti pemilihan MRP yang penuh kontraversial. “Kami menilai, pemilihan MRP sangat kontroversial. Masyarakat Papua sudah menolak, tetapi Jakarta dan kaki tangannya di Papua tetap memaksa untuk menggenapi target politiknya. Ada apa sebenarnya? Kita harus cermati baik-baik kepentingan besar dibalik pembentukan MRP,” tandasnya.
Walau mendapat tantangan yang cukup keras dari masyarakat Papua, pemerintah pusat, melalui Badan Kesatuan Bangsa (Kesbang) tetap memaksakan pemilihan keanggotaan MRP di Papua. Keanggotaan MRP dalam UU Otsus dan PP Nomor 54/2004 tentang MRP, terdiri dari elemen adat, perempuan, dan agama. Pada periode mendatang, keanggotaan MRP terdiri atas 75 orang, meningkat dibanding periode lalu yang hanya 42 orang.
Sebanyak 75 anggota itu berasal dari tiga perempat jumlah anggota DPR Papua (56 orang) dan DPR Papua Barat (44 orang). Elemen adat, perempuan, dan agama memiliki jumlah kursi sama.
Anggota MRP dari elemen adat dipilih melalui musyawarah tingkat bawah atau masyarakat adat asli Papua, yang memiliki ulayat dalam sebuah kabupaten/kota yang difasilitasi panitia pemilihan kabupaten/kota. Hasilnya akan disatukan dan dimusyawarahkan lagi di tingkat wilayah adat yang difasilitasi Komisi Pemilihan Wilayah. Di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) terdapat 15 wilayah adat.
Pemilihan anggota dari elemen perempuan dilakukan oleh organisasi wanita yang diakui pemerintah. Sementara, pemilihan anggota dari elemen agama dilakukan lembaga keagamaan yang tercatat di Kantor Agama Papua dan Papua Barat.
Tugas dan wewenang MRP sendiri, antara lain, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur Papua. Selain itu, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon anggota MPR utusan daerah Papua yang diusulkan DPR Papua.
Wewenang yang tak kalah pentingnya, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yakni memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah khusus (raperdasus) yang diajukan DPR Papua bersama-sama dengan gubernur.
Sejak Otsus di undang-undangkan, sudah beberapa kali rakyat Papua menolak kehadiran Otsus. Pertama kalinya, pada tanggal 12 Agustus 2005, belasan ribu rakyat Papua bersama Dewan Adat Papua (DAP) melakukan long march dari kantor MRP di Kotaraja, menuju kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Jayapura.
Mereka berjalan sejauh 20 KM, sambil mengusung sebuah peti mati. Ia melambangkan kematian UU Otsus Papua, dan peti itu sempat diserahkan kepada anggota dewan untuk diteruskan sampai kepada pemerintah pusat di Jakarta.
Berikutnya, pada tanggal 18 Mei, tahun 2010 lalu, ribuan rakyat Papua bersama Forum Demokrasi Rakyat Papua (Fordem) mendatangi kantor MRP. Menyatakan kekecewaan terkait implementasi UU Otsus yang tidak memberikan manfaat apa-apa. Serta meminta pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap segala konflik, termasuk kegagalan UU Otsus yang hadir karena terlalu dipaksakan.
Kemudian, puncaknya pada tanggal 28 Juli 2010, hampir 12.000 masa rakyat Papua bersama Fordem Papua mendatangi kantor DPRP, kemudian di lanjutkan ke kantor Gubenur Papua. Meminta pertanggung jawaban dewan dan Gubernur terkait implementasi Otsus yang kacau balau. Dalam aksi kali ini, masa sempat tidur di kantor DPRP setelah gagal bertemu dengan Gubernur Papua.
Menteri Dalam Negeri, Gemawan Fauzi, kepada kantor berita Antara di Jakarta, mengemukakan, bahwa pemilihan anggota MRP di Papua akan tetap di langsungkan. Ia mengatakan pemilihan anggota MRP merupakan amanat Undang-Undang Otsus Papua. (op)
Gambar dari Fordem Papua
Friday, April 01, 2011
"Uncen Berdarah"
“Saudara-saudara diminta segera membubarkan diri. Sekali lagi diminta segera meninggalkan tempat,” kata aparat kepolisian dari mobil polisi menggunakan penggeras suara.
Saat itu tanggal 16 Maret 2006, kira-kira pukul 12.25 WIT. Himbauan tersebut tak diindahkan ratusan mahasiswa. Mereka tetap memilih duduk bertahan di jalan raya, tepat depan Gapura Kampus Universitas Cenderawasih, Jayapura.
Mereka duduk berhadapan dengan aparat berseragam polisi anti huru-hara. Aparat memegang pentungan, tongkat, hingga pistol. Jumlah mereka kira-kira 300-an orang. Ditambah dengan aparat intelejen yang berseregam preman kurang lebih 100-an orang. Jumlah keseluruhan hampir 400-an orang.
Aksi demo telah berlangsung tiga hari lamanya, yakni; sejak tanggal 14 Maret. Massa pendemo menamakan diri dari Parlemen Jalanan dan Front Pepera PB. Intinya, mereka menolak keberadaan PT Freeport Indonesia di tanah Papua.
Tiga tuntutan utama adalah, pertama, meminta PT Freeport Indonesia ditutup. Kedua, meminta pasukan TNI/Polri ditarik dari lokasi Freeport, dan ketiga, bebaskan 7 tahanan akibat bentrokan di Timika, Papua.
Tidak sampai hitungan menit setelah datangnya suara tadi, lima aparat kepolisian dari pengendalian masyarakat (Dalmas) Polda Papua keluar dari barisan. Tiga orang dari sebelah kiri massa, dan dua dari sebelah kanan. Tanpa komando yang jelas, mereka langsung menyemprot gas air mata ke arah massa.
Dengak sigap massa pendemo dibubar paksakan. Mereka dipukul. Dihajar hingga babak belur. Tidak pandang, laki-laki atau perempuan. Bahkan ada anak-anak kecil disekitar tempat para pendemo turut menjadi korban kebrutalan polisi.
Tidak terima dengan perlakuan aparat, mahasiswa balik serang. Polisi terus dihujani batu dan lemparan kayu. Tiga anggota polisi meninggal di tempat.
Mereka adalah Pratu Daud Soleman, Seorang Anggota Pengendali Massa (Dalmas), Brigadir Syamsudin (Brimob) dan Briptu Arisona Horota (Brimob).
Mereka tak kuasa dan kabur. Daud dan Syamsudin meninggal seketika. Arisona sempat dilarikan ke Rumah Sakit Daerah Abepura, sebelum meninggal dengan luka tusuk di pinggang dan luka-luka akibat lemparan batu.
Tragedi kemanusiaan yang dikenal dengan “Uncen Berdarah” ini berlangsung kurang lebih lima menit. Ratusan mahasiswa melarikan diri. Sekitar belasan diantara mereka menyebarang ke Negara tetangga. Mereka meminta suaka di Negara Papua New Guinea. Sejak tahun 2006 hingga saat ini beberapa masih tetap berada disana.
Kira-kira pukul 14.00 WIT, aparat kepolisian dibantu Brimob Polda Papua mampu menguasai Abepura hingga Jayapura. Kota ini sangat tegang. Aktivitas lumpuh total. Tak ada warga sipil yang berani keluar dari rumah. Anak-anak sekolah yang baru saja pulang enggan berkeliaran.
Sore harinya, aparat kepolisian di bantu TNI AD melakukan operasi besar-besaran. Puluhan asrama mahasiswa yang tersebar di Abepura, dan Jayapura didatangi aparat. Tanpa sebab dan akibat, mereka diangkut paksa ke kantor polisi. Mereka dipukuli secara brutal. Bahkan ada yang dipaksa jadikan tersangka.
Besoknya, sekitar pukul 08.00 WIT pagi, pasukan Brimob masih melakukan penyisiran dan penembakan membabi buta disekitar kawasan Abepura dan Kampus Uncen. Aksi tembakan ke udara ini berlangsung sekitar 1 jam dan sempat membuat warga sekitar ketakutan, terutama anak-anak.
Dengan menggunakan kendaraan roda dua dan empat, Brimob melakukan penyisiran di wilayah Abepura dan Kotaraja dengan mengeluarkan tembakan ke udara. Akibat dari tembakan 3 warga sipil terkena peluru nyasar yaitu Solehah (39) terkena peluru di paha kanan, Ratna Sari (12) terkena pada jari kaki kanan, dan Chatrin Ohee (9) terkena di bagian bahu kanan.
Selain itu tanpa komando, personil Brimob Papua melakukan sweeping terhadap setiap kendaraan yang melintas di jalan dekat Markas Brimobda Papua Kotaraja.
Dari 73 orang yang ditangkap saat aksi massa, setidaknya 10 orang telah dijadikan tersangkat. Dan hingga saat ini, beberapa masih menjalan hukuman. Namun, ditubuh aparat militer, tidak ada satupun yang dijadikan tersangka. Ini tentu tidak adil.
Aparat Militer telah melakukan pelanggaran HAM berat terhadap mahasiswa dalam peristiwa “Uncen Berdarah” , dan karena itu harus ada yang segera bertanggung jawab. Ini tentu menimbulkan sikap ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap Negara Indonesia.
Selpius Bobii, yang juga mantan tahanan politik kasus 16 maret, dan saat ini sebagai Sekjen Front PB kepada tabloid Jubi beberapa waktu lalu mengemukakan, bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas semua kerugian yang dialami korban pelanggaran HAM 16 Maret 2006.
Dan kepada Kapolda Papua agar segera mencabut Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap Hans Gebze serta membebaskan Tapol Napol Papua lainnya.
Awan hitam masih menggantung dilangit Papua. Kapan rasa keadilan masyarakat akan dipenuhi. Hingga kapanpun, rakyat Papua, terutama korban “Uncen Berdarah” menuntut keadilan dari Negara Indonesia.
Tuntutan keadilan harus berlaku pada siapa saja, tanpa pandang bulu. Orang Papua, maupun bangsa dan kelompok manapun.
Sampai kapanpun, rakyat Papua tetap menuntu keadilan dari pemerintah Indonesia. Dan meminta pertanggung jawaban Negara terhadap semua insiden brutal ini.
Tulisan ini telah dimuat di majalah Cermin Papua.
Sumber gambar Google.