Oleh Oktovianus Pogau*
SEJAK tahun 1967, dua tahun sebelum penentuan pendapat rakyat Irian Barat (sekarang Papua dan Papua Barat), PT Freeport Indonesia (PT FI) telah menandatangani kontrak kerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk mulai beroperasi di Kabupaten Mimika, Papua.
Jika dihitung, berarti, sudah hampir 44 tahun PT FI beroperasi di tanah suku Amugme dan Kamoro. Pada 25 tahun pertama beroperasi, pemerintah Indonesia juga mayarakat Papua tak menerima bagi hasil dari penambangan emas tersebut.
Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) memprediksi, setiap harinya kira-kira sekitar 300 kilogram emas dan 600 kilogram mineral berharga perak, serta tembaga dari 238.000 ton dihasilkan.
Hampir sebagian besar dikeruk dari lokasi tambang Grassberg di ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut dekat Cartenz Piramid.
Manfaat dari kehadiran PT FI sendiri tak pernah dirasakan oleh masyarakat sekitar. Malahan, banyak pihak yang berpendapat bahwa kehadiran PT FI justru menambah konflik baru.
Buktinya dapat kita temui, bagaimana terus terjadi konflik antar warga masyarakat karena saling berebut dana kompensasi dari PT FI yang jumlah padahal tak begitu besar.
Kepentingan Militer
Bisa dibenarkan, bagaimana kehadiran PT FI justru menambah siklus konflik baru di tanah Amungsa. Semua bermula dari kepentingan negara dan aparat militer Indonesia . Aparat militer Indonesia dibayar mahal tiap tahunnya untuk menjaga asset-aset yang dimiliki PT FI.
Menurut laporan koran New York Times di tahun 2005, PT FI mengaku telah membayar sekitar 20 juta dollar AS kepada TNI untuk mengusir warga setempat secara paksa dari wilayah mereka sejak tahun 1998 hingga tahun 2004.
Dalam laporan yang sama, PT FI juga mengaku membayar sekitar 10 juta dollar AS kepada para jenderal, kolonel, mayor, dan kapten militer dan polisi. Bahkan dalam satu kasus, pimpinan militer, Letnan Kolonel Togap F. Gultom menerma sekitar 100.000 dollar AS, semua itu sebagai dana keamanan bagi PT FI di tanah Amugsa.
PT FI juga memunyai kedekatan dengan petinggi militer Indonesia—TNI/Polri—yang tentu telah ikut melahirkan banyak pelanggaran HAM di daerah sekitar tambang.
Hal ini pernah dikemukakan oleh Uskup Jayapura, Herman Munninghof dalam buku memoria passionis ketika tentara membunuh dengan menembak membabi buta dan membakar rumah-rumah penduduk di kampuang Wa dan Illaga tahun 1994 dan 1995.
Antropolog Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk PT FI dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari AS dalam laporan mereka yang berjudul “Human Rights Abuses by Freeport in Indonesia” di tahun 2002 memperkirakan, sebanyak 160 orang telah di bunuh oleh militer sejak tahun 1975-1997 di daerah tambang dan sekitarnya.
Menurut Ballard dan Abigail dalam laporan yang sama, bahwa militer membunuh warga sekitar dengan alasan menggangu operasi perusahan tambang tersebut.
Padahal selama ini masyarakat hanya menyatakan aksi protes terkait ketidakadilan yang dilakukan pemerntah Indonesia, termasuk keberadaan PT FI yang tidak memperhatikan hak-hak dasar masyarakat adat setempat.
Terakhir kali, di penghujung tahun 2009 , pemimpin besar rakyat Papua, Kelly Kwalik, pembela hak-hak dasar suku Amugme dan Kamoro di tembak mati oleh Densus 88 Antiteror bersama Brimob Polda Papua.
Ia di curigai sebagai “separatis” yang mengacaukan keberadaan perusahaan raksasa milik AS. Padahal tak ada bukti yang bisa membenarkan keterlibatan dia dalam segala konflik di areal pertambangan.
Ini juga memberikan pertanyaan tersendiri, bagaimana konflik di areal pertambangan PT FI akan berhenti, jika aparat militer yang seharusnya melindungi serta mengayomi masyarakat ikut menciptakan konflik untuk kepentingan institusi mereka.
Kerusakan Lingkungan
Peraih Penghargaan Yap Thiam Hien pada 1999, dan Anugerah Lingkungan Goldman pada 2001, mama Yoseph Alomang, yang juga tetua adat diantara suku-suku sekitar lokasi tambang pernah mengemukakan, bahwa kehadiran PT FI telah “merampok” seluruh hak-hak masyarakat adat sekitar.
Ungkapannya tidak berlebihan. Ini berangkat dari realitas, dimana Gunung Nemangkawi yang menjulang tinggi telah di bongkar habis. Emasnya dikeruk untuk kepentingan PT FI. Hutan di buka secara luas, hanya menyisihkan duka nestapa, yakni; limbah perusahaan (taling).
Menurut perhitungan PT FI sendiri, penambangan mereka dapat menghasilhkan limbah (taling) sebesar kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk membuat terusan Terusan Panama).
Kebanyakan dari limbah tersebut di buang di pegunungan sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun ke daerah rendan basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan hujan tropis yang di telah di berikan status khusus oleh PBB.
Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali memperingatkan PT FI sejak tahun 1997, karena operasi mereka telah melanggar UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolahaan lingkungan hidup.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam laporan tahunan yang diterbitkan akhir tahun 2010 juga menemukan fakta terkait kerusakan lingkungan dan hutan yang dilakukan PT FI.
Mereka juga dinilai melanggar UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama pasal 6 ayat 1 dan 2.
Ketika lingkungan dirusak, tentu dampaknya bagi keberlangsungan hidup masyarat setempat. Terbukti, pada akhir 2003, ketika sebuah lubang penambangan runtuh di tambang Grasberg milik Freeport. Ia menewaskan 9 orang buruh tambang setempat..
Tutup atau Evaluasi
Konflik di areal PT FI tak akan pernah usai, jika PT FI terus membayar aparat militer untuk mengontrol segala aktvitas, termasuk mengusir secara paksa warga masyarakat sekitar yang seharusnya mendapatkan hak-hak mereka.
Salah satu contoh bisa kita temui akhir tahun 2010 lalu, saat tentara Indonesia menyiksa dua warga Papua yang di tayangkan dalam situs youtube. Video ini memberikan bukti, bahwa pelanggaran HAM masih terjadi di tanah Papua.
Cara-cara kekerasaan yang ditempuh aparat militer juga tak akan menyelesaikan konflik, ia justru menambak konflik baru yang lebih besar tensinya.
Maka, jalan paling baik adalah pemerintah melakukan evaluasi semua kontrak kerja sama dengan PT FI atau memilih ditutup ditutup untuk sementara waktu.
Pemerintah dan PT FI harus memastikan, bahwa hak-hak warga masyarakat benar-benar di hargai secara menyeluruh.
Aspek-asplek yang perlu dikaji jika evalusi menjadi pilihan, adalah, pertama; aspek pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), baik itu oleh perusahaan maupun oleh negara.
Kedua, aspek ekologi pencemaran lingkungan yang sangat besar sekali terutama di bagian hilir dari bagian ekploitasi PTFI. Ketiga aspek sosial ekonomi masyarakat setempat.
Jika pemerintah memastikan ketiga aspek diatas telah terlaksana, bukan tidak mungkin kehadirannya akan memberikan manfaat penting bagi warga sekitar juga negara Indonesia.
Jika tidak, ini hanya akan seperti bom waktu, yang kapan saja bisa meledak. Ada pepatah bilang, "mencegah lebih baik dari pada mengobati". Semoga saja!
*Penulis warga masyarakat Papua cum Jurnalis lepas, tinggal di Jakarta.
Wednesday, April 27, 2011
Evaluasi atau Tutup PT Freeport Indonesia?
Label:
OPINI,
PT Freeport Indonesia,
RENUNGAN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Komentar anda...