PEMILIHAN keanggotaan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan amanat dari pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua diminta dihentikan. Pasalnya sudah hampir sepuluh tahun Otsus hadir, namun telah gagal mensejahterakan orang asli Papua.
Awal penolakan pemilihaan keanggotaan MRP bermula saat pemimpin gereja, Dewan Adat Papua (DAP), tokoh pemuda dan mahasiswa bersama MRP melakukan Musyawarah Besar (Mubes) pada tanggal 9-10 Juni tahun 2010 di kantor MRP, Kotaraja. Ia menghasilkan 11 rekomendasi kepada pemerintah pusat.
Sebelas rekomendasi itu adalah pertama, UU Otonomi Khusus (Otsus) No 21/2001 dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. Kedua, rakyat Papua menuntut dialog dengan pemerintah pusat yang dimediasi pihak internasional yang netral. Ketiga, rakyat Papua menuntut referendum menuju pembebasan politik.
Keempat, rakyat Papua menuntut pemerintah RI mengakui dan mengembalikan kedaulatan bangsa Papua Barat yang telah diproklamasikan pada 1 Desember 1961. Kelima, rakyat Papua mendesak agar dunia internasional mengembargo bantuan dalam pelaksanaan otsus di Papua. Keenam, dipandang tidak perlu untuk merevisi UU No 21/2001 jo UU No 35/2009 karena otsus terbukti telah gagal.
Ketujuh, seluruh proses pemilukada di tingkat kabupaten/kota se-Papua dan Papua Barat segera dihentikan. Kedelapan, Pemprov Papua dan Papua Barat seger menghentikan program transmigrasi dari luar serta melakukan pengawasan ketat terhadap arus migrasi penduduk dari luar tanah Papua. Kesepuluh, rakyat Papua mendesak segera dilepaskannya para tahanan politik dan narapidana politik asal Papua. Kesebelas, MRP dan masyarakat asli Papua mendorong PT Freeport Indonesia segera ditutup.
Melihat keengganan pemerintah menjawab 11 rekomendasi tersebut, pada tanggal 26 Januari 2011 para pemimpin gereja di Papua, yaitu Pendeta Drs Elly D. Doirebo, MSi, dari Sinode GKI Papua, Pendeta Socratez Sofyan Yoman, MA, Ketua Gereja BAPTIS Papua, dan Pendeta Dr Benny Giay dari Sinode Gereja Kingmi Papua, mengeluarkan delapan Deklarasi Teologia.
Isi deklarasi tersebut, Pertama, sejak integrasi ke dalam Negara Indonesia, Papua menjadi wilayah bermasalah. Kedua, warga gereja telah mengarah pada proses genosida, terutama melalui kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada orang Papua dan operasi militer yang berujung pada rentannya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketiga, gereja mengakui dosanya karena tidak berdaya melawan kebijakan pemerintah pusat sebagai penjajahan internal dan perbudakan terselubung. Keempat, gereja berupaya menjawab tantangan warga gereja dan kembali kepada Alkitab dan sejarah gereja sebagai pedoman.
Kelima, gereja siap bertanggung jawab untuk menyuarakan teriakan warga gereja sebagai konsekuensi logis tugas kegembalaan dari panggilan gereja dalam mewartakan Firman Tuhan Allah. Keenam, Pemerntah Indonesia harus harus membuka dialog yang di mediasi oleh pihak ketiga.
Ketujuh, pihaknya menghimbau umat Tuhan di Tanah Papua untuk bangkit, kerjakan keselamatan dan nyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang sedang melakukan penjajahan internal dan pembasmian etnis serta perbudakan terselubung. Sedangkan poin kedelapan, warga umat Tuhan di Papua dan dimana saja, diajak untuk terus berdoa bagi para pimpinan gereja dalam solidaritas, agar menjadi teguh dalam menghadapi tantangan.
Dua hari setelah dilakukan deklarasi teologia, masyarakat Papua bersama tokoh-tokoh gereja mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), mereka membacakan deklarasi tersebut, sembari meminta kepada dewan untuk di sampaikan kepada pemerintah pusat di Jakarta.
“Pemerintah harus menjawab 11 rekomendasi MRP dulu,” tegas Pendeta Drs Elly D. Doire bo, MSi, dari Sinode GKI Papua di hadapan pimpinan DPRP.
Pendeta Socratez Sofyan Yoman, MA, Ketua Gereja BAPTIS Papua, kepada Koran Tempo di Jakarta mengukapkan bahwa gereja pada prinsipnya tetap menolak pemilihaan MRP yang sedang di langsungkan. “Kami tetap menolak pemilihan MRP jilid II. Pemerintah harus membuka ruang dialog dengan rakyat Papua, yang dimediasi oleh pihak ketiga,” katanya .
Penolakan MRP tidak hanya datang dari unsur pimpinan gereja, namun juga datang dari tokoh adat dan tokoh pemuda di tanah Papua.
Ketua umum Dewan Adat Papua (DAP), Fokorus Yoboisembut menuturkan bahwa DAP pada prinsip telah menolak paket UU Otsus yang diberikan pemerinta pusat sejak tahun 2001 silam. “UU Otsus telah kami tolak beberapa kali. Menolak Otsus, berarti menolak pembentukan MRP juga,” tandasnya.
Ia juga menuturkan, bahwa DAP tidak akan memberkan rekomendasi untuk wakil-wakil adat duduk di MRP. “Kami tetap minta 11 rekomendasi MRP di jawab pemerintah,” katanya.
Sementara itu Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Eksnas F-PEPERA PB), Selpius Bobii, menegaskan bahwa rakyat Papua tidak mengakui keberadaan MRP sebagai sebuah lembaga representative kultural orang Papua. Sebab selama satu periode berlalu, kehadiran MRP tidak lebih dari lembaga pelengkap kepentingan Jakarta di Tanah Papua.
“Bangsa Papua sudah menolak Otonomi Khusus, jadi untuk apa MRP yang adalah anak kandung Otonomi Khusus itu mau dibentuk lagi di Tanah Papua. Rakyat tetap menolak itu,” ujar Selpius Bobii.
Ia juga menyoroti pemilihan MRP yang penuh kontraversial. “Kami menilai, pemilihan MRP sangat kontroversial. Masyarakat Papua sudah menolak, tetapi Jakarta dan kaki tangannya di Papua tetap memaksa untuk menggenapi target politiknya. Ada apa sebenarnya? Kita harus cermati baik-baik kepentingan besar dibalik pembentukan MRP,” tandasnya.
Walau mendapat tantangan yang cukup keras dari masyarakat Papua, pemerintah pusat, melalui Badan Kesatuan Bangsa (Kesbang) tetap memaksakan pemilihan keanggotaan MRP di Papua. Keanggotaan MRP dalam UU Otsus dan PP Nomor 54/2004 tentang MRP, terdiri dari elemen adat, perempuan, dan agama. Pada periode mendatang, keanggotaan MRP terdiri atas 75 orang, meningkat dibanding periode lalu yang hanya 42 orang.
Sebanyak 75 anggota itu berasal dari tiga perempat jumlah anggota DPR Papua (56 orang) dan DPR Papua Barat (44 orang). Elemen adat, perempuan, dan agama memiliki jumlah kursi sama.
Anggota MRP dari elemen adat dipilih melalui musyawarah tingkat bawah atau masyarakat adat asli Papua, yang memiliki ulayat dalam sebuah kabupaten/kota yang difasilitasi panitia pemilihan kabupaten/kota. Hasilnya akan disatukan dan dimusyawarahkan lagi di tingkat wilayah adat yang difasilitasi Komisi Pemilihan Wilayah. Di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) terdapat 15 wilayah adat.
Pemilihan anggota dari elemen perempuan dilakukan oleh organisasi wanita yang diakui pemerintah. Sementara, pemilihan anggota dari elemen agama dilakukan lembaga keagamaan yang tercatat di Kantor Agama Papua dan Papua Barat.
Tugas dan wewenang MRP sendiri, antara lain, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur Papua. Selain itu, memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon anggota MPR utusan daerah Papua yang diusulkan DPR Papua.
Wewenang yang tak kalah pentingnya, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yakni memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan peraturan daerah khusus (raperdasus) yang diajukan DPR Papua bersama-sama dengan gubernur.
Sejak Otsus di undang-undangkan, sudah beberapa kali rakyat Papua menolak kehadiran Otsus. Pertama kalinya, pada tanggal 12 Agustus 2005, belasan ribu rakyat Papua bersama Dewan Adat Papua (DAP) melakukan long march dari kantor MRP di Kotaraja, menuju kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Jayapura.
Mereka berjalan sejauh 20 KM, sambil mengusung sebuah peti mati. Ia melambangkan kematian UU Otsus Papua, dan peti itu sempat diserahkan kepada anggota dewan untuk diteruskan sampai kepada pemerintah pusat di Jakarta.
Berikutnya, pada tanggal 18 Mei, tahun 2010 lalu, ribuan rakyat Papua bersama Forum Demokrasi Rakyat Papua (Fordem) mendatangi kantor MRP. Menyatakan kekecewaan terkait implementasi UU Otsus yang tidak memberikan manfaat apa-apa. Serta meminta pemerintah pusat bertanggung jawab terhadap segala konflik, termasuk kegagalan UU Otsus yang hadir karena terlalu dipaksakan.
Kemudian, puncaknya pada tanggal 28 Juli 2010, hampir 12.000 masa rakyat Papua bersama Fordem Papua mendatangi kantor DPRP, kemudian di lanjutkan ke kantor Gubenur Papua. Meminta pertanggung jawaban dewan dan Gubernur terkait implementasi Otsus yang kacau balau. Dalam aksi kali ini, masa sempat tidur di kantor DPRP setelah gagal bertemu dengan Gubernur Papua.
Menteri Dalam Negeri, Gemawan Fauzi, kepada kantor berita Antara di Jakarta, mengemukakan, bahwa pemilihan anggota MRP di Papua akan tetap di langsungkan. Ia mengatakan pemilihan anggota MRP merupakan amanat Undang-Undang Otsus Papua. (op)
Gambar dari Fordem Papua
Monday, April 04, 2011
UU Otsus Gagal, Masyarakat Papua Minta Pemilihan MRP Dihentikan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
menurut anda, OTSUS gagal karena apa? OPINI anda secara objektif di lapangan saat ini
ReplyDelete