Tuesday, July 28, 2009

Menyelesaikan Konflik di Papua Dengan Model Dialog Yang Bagaimana?


OCTHO- Mungkinkah dialog yang dimaksudkan banyak pengamat, akan menyelesaikan persoalan di Papua?. Karena perlu untuk diingat, aspirasi merdeka yang didengungkan rakyat Papua dari waktu ke waktu bukan meminta untuk tetap ikut dengan negara Indonesia , tetapi berdiri, bebas serta berdaulat sendiri sebagai sebuah negara yang telah merdeka. Tapi dalam prospeknya dialog yang ditawarkan adalah dialog damai untuk tetap ikut dengan negara ini.


Banyak pengamat mulai mendiskusikan bahkan sampai menyimpulkan bahwa penyelesaian konflik yang sedang terjadi dan berkembang di Papua harus diselesaikan dengan sebuah jalan dialog. Dalam artian, Jakarta dan orang Papua duduk satu meja, berbicara dari hati ke hati. Dengan tujuan yang sama, yaitu menyelesaikan konflik di Papua secara damai.

Dan memang betul, penyelesaian konflik yang berkembang dan sedang terjadi di Papua harus diselesaikan dengan jalan dialog dan damai. Karena bagaimanapun, penyelesaian konflik di Papua dengan cara-cara kekerasan, yang mana selalu mengerahkan TNI/POLRI tidak akan pernah menyelesaikan sebuah persoalan. Malahan, bukan tidak mungkin mereka akan menimbulkan persoalan baru lagi panjang prosesnya.

Karena itu, saya pribadi sendiri sebagai orang asli Papua yang sedang mencari keadilan di tanah ini, sangat sepakat, bahkan sangat gembira, kalau dialog ditawarkan berbagai pihak adalah jalan akhir untuk rakyat Papua.

Gagasan pertama tentang penyelesaian masalah Papua dengan jalan dialog, telah dipaparkan panjang lebar oleh DR. Neles Kebadabi Tebay, Pr dalam bukunya “Dialog Jakarta - Papua, Sebuah Perspektif Papua”. Buku tersebut diterbitkan baru-baru ini oleh Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura.

Perlu diacungkana jempol, dimana sangat berani membuat sebuah konsep dialog yang harapannya bisa diterima oleh Jakarat. Konsep dialog yang diulas dalam buku itu juga telah memberi pertanyaan kepada Jakarta , kira-kira dimana letak keseriusan untuk menyelesaikan masalah di Papua, kalau saja tidak terpenuhi konsep yang ditawarkan dalam buku itu patut diragukan keseriusan pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah Papua.

Sangat jelas dalam buku itu, disimpulkan proses penyelesaian konflik di Papua dengan dialog damai. Dan sudah tentu, itikiad baik dari orang Papua untuk meminta dialog yang tidak bersifat anarkis, bahkan brutal perlu diterima dan ditanggapai serius oleh Jakarta (pemerintah pusat). Karena ini juga sudah bagian dari junjung demokrasi, yang sudah termasuk ideologi terpenting dari negara ini.

Dalam buku itu, Pater Neles juga mengemukakan bahwa Otsus bukan solusi untuk orang Papua, tetapi hanya menjadi bumerang untuk menutup aspirasi “M” yang selalu orang Papua lontarkan. Otsus dibuat dengan berbagai kajian yang kiranya akan mengangkat harkat, derajat, dan martabat orang asli Papua, namun nyatanya tidak demikian.

Dengan demikian, perlu untuk bercermin diri, apa benar Otsus diberikan untuk kesejahteraan bagi masyarakat Papua? Apakah Otsus diberikan untuk penyelesaian konflik yang terjadi di Papua? Atau Otsus diberikan untuk memanjakan pejabat lokal? Entahlah, mungkin Jakarta telah mengetahui semua itu, namun sengaja berlagak tidak tahu persoalan yang terjadi di Tanah Papua.

“Saya kira orang Papua akan tenang dan bahagia, apabila Jakarta bersedia membuka diri untuk menyelesaikan masalah Papua dengan jalan dialog. Karena jalan ini adalah jalan terakhir, bukan Otsus, karena memang betul bahwa Otsus tidak membuat masyarakat Papua berkembang dan bertumbuh. Saya bisa simpulkan, Otsus malah memperbudak orang asli Papua,” demikian tanggapan seorang bapak menyikapi diluncurkannya buku karya Pater Neles Kebadabi Tebay yang dirasa akan memberikan “angin segar” bagi rakyat Papua.

Selain itu, gagasan berikut yang juga sangat berpengaruh dan tampaknya telah mengetuk hati para petinggi pusat adalah kajian ilmiah yang dibuat oleh DR. Muridan S. Widjojo, M.Si dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dengan judul bukunya “Papua Road Map (PRM), yang diterbitkan beberapa waktu lalu.

Sebenarnya kajian LIPI telah lebih dulu mengidentifikasikan konflik yang terjadi di Papua serta solusi penyelesaiannya. Namun peluncuran bukunya agak terlambat. Sehingga saya bisa katakan bahwa gagasan Pater Neles telah lebih dulu muncul ke publik, daripada gagasan LIPI.

Mengamati buku yang diluncurkan LIPI, saya kira ini merupakan sebuah kajian yang sangat luar biasa. Dimana secara tegas, dan berani secara gamblang mengemukakan segala persolan, konflik hingga problematika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Papua. Salah satunya dalam bingkai Otsus yang tidak kunjung membaik.

Bisa disimpulkan, Muridan dan LIPI juga secara tidak langsung telah menyatakan bahwa Otsus yang selama ini menjadi panji kebesaran Jakarta telah gagal. Dan mereka juga telah sedikit menyepakati bahwa Otsus gagal karena Jakarta dan pejabat Papua tidak serius menjalankan amanat Otsus itu sendiri.

Jakarta “main mata” dengan pejabat Papua untuk tidak menjalankan Otsus. Buktinya, Majelis Rakyat Papua (MRP) hadir empat tahun setelah Otsus dilucurkan. Padahal semestinya Otsus dan MRP diluncurkan bersamaan. Karena jalan Otsus, berkembangnya Papua, semua dikerahkan MRP, yang mana dikatakan sebagai lembaga representatif kultural orang asli Papua.

Untuk itu, tawaran dialog versi Muridan (LIPI) dan Pater Neles kepada Jakarta , agaknya sudah menjadi kesepakatan seluruh orang asli Papua. Karena sangat tidak mungkin, orang Papua menawarkan jalan fight untuk penyelesaiannya. Sebab bagaimana pun, orang Papua tetap menginginkan Papua sebagai tanah damai, yang walau realitasnya Tanah Papua tidak sedamai slogan yang selalu diteriakan.

Dialog Yang Bagaimana?

Tidak ada seseorang pun yang dapat membendung aspiras merdeka yang terus disuarakan rakyat Papua. Karena merdeka dan berdaulat sendiri sebagai sebuah negara merdeka adalah tujuan utama rakyat Papua semenjak dulu. Bukan sebuah perjuangan baru yang masih eksis diperjuangkan hingga kini.

Awal mula munculnya konflik antara orang Papua dan Jakarta, terjadi sejak Indonesia menguasai Papua tanggal 1 Mei 1963, serta intregrasi Papua kedalam wilayah Indonesia yang tidak sah. Kedua masalah ini memang perlu diselesaikan secara komprehensif dan menyeluruh. Dan bisa ditarik kesimpulan bahwa kedua persoalan ini menjadikan sumber konflik yang pertama di Tanah Papua antara orang asli Papua dan Jakarta .

Nah, yang jadi pertanyaan: model dialog bagaimana yang selalu para pengamat tawarkan, baik dari Pater Neles maupun kajian LIPI dalam Papua Road Map (PRM)?. Karena keterbukaan semua pihak, baik dari orang Papua maupun Jakarta tergambarkan secara penuh, jika saja format dialog dan tujuan akhir dari proses dialog itu jelas.

Satu hal yang perlu dipahami, bahwa orang Papua tidak akan pernah mau lagi untuk tetap ikut dengan negara Indonesia . Dan saya kira, format dialognya harus mengarah kesana, dalam arti menjawab ketidakpuasan rakyat Papua untuk tetap ikut dengan Negara ini.

Menurut hemat saya, kajian dari LIPI dalam PRM bukanlah model dialog yang diinginkan rakyat Papua. Sebab kebanyakan orang Papua bahkan menilai PRM adalah Otsus era baru. Dalam arti PRM tidak akan membawa Papua keluar dari ketertinggalan, bahkan sampai menyelesaikan konflik yang terjadi di Tanah Papua.
Karena sudah pasti dialog yang di tawarkan LIPI dalam PRM hanya mengarah kepada pembenahan diri menuju Papua yang aman dan terntram dalan bingkai Otsus. Padahal hal ini tidak akan pernah mungkin tercapai, karena Jakarta selalu tidak konsisten dengan segala aturan yang telah mereka tetapkan sendiri.(***)

Catatan di tengah pertanyaan


Sumber Foto:http://www.kabarindonesia.com/fotoberita/Resize%20of%20demo8.jpg


headerr

Artikel Yang Berhubungan



0 komentar:

Post a Comment

Komentar anda...