Thursday, September 10, 2009

Genocida Semakin Mengancam, Poligami Jawaban Untuk Papua

OCTHO- Bangsa rumpun Melanesia, orang asli Papua (kulit hitam dan rambut keriting) sedikit lagi akan punah dari tanahnya. Kepunahan ini bukan salah orang Papua, generasi terdahulu, bahkan bukan salah Tuhan sebagai pencipta, tetapi iming-iming kepentingan dari penjajah.

Memusnahkan etnis Melanesia (orang asli Papua) merupakan program utama dari kapitalisme (Jakarta, dkk) dimana menjajah dan menguasai rakyat dan kekayaannya. Dengan misi ini, tidak heran, sisa-sisa orang asli Papua yang hidup di tanahnya bisa dihitung dengan jari saat ini.

Tempat dimana saya tinggal, selalu menyaksikan mulusnya misi itu, dalam sehari saja bisa 12-15 orang asli Papua meninggal dunia. Itu yang di ketahui oleh saya dan teman-teman, bagaimana dengan orang asli Papua lainnya, di tempat saya maupun di tempat lain wilayah Papua yang pergi tanpa pamit, atau pergi tanpa sepengetahun semua kita. Entahlah, itu ulah pencipta sendiri yang menciptkan tanah Papua sebagai daerah yang banyak susu dan madunya .

Banyak penyebab yang bisa memberikan kepastian bahwa orang asli Papua akan musnah dari tanah airnya, mulai bejatnya mengkonsumsi minuman keras (ada cap khusus wilayah Papua), bertebaran penyakit HIV/AIDS (lebih sering pengiriman WTS yang telah teridap AIDS) serta penyebaran bahan makanan (yang di dalamnya terkandung zat-zat tertentu). Semua proses keberlangsungan misi ini mendapat perlindungan yang super ketat dari Negara dan anjing-anjing penjaganya.

Pengalaman yang pernah terjadi di Vietnam demikian halnya dengan yang sedang, akan, dan telah berlangsung di bumi Papua. Banyak pengamat mengatakan demikian, bahwa peristiwa menyakiktan yang oposisi Vietnam pernah buat untuk salah satu suku pemilik Negara ini, dan trik itulah yang kapitalisme (Jakarta, dkk) sedang tumbuh kembangkan di bumi Papua untuk orang asli Papua, suku ras melanesia hadapi.

Misi genocida (pemusnahan etnis) tetap di berlangsungkan, namunya gaungnya sengaja di redupkan dari intaian masyarakat umum, khususnya masyarakat orang asli Papua yang menjadi objek kepentingan mereka. Dan yang herannya lagi, mereka (Jakarta, dkk) menggunakan tameng pembangunan, peningkatan taraf hidup, serta perbaikan ekonomi rakyat asli Papua untuk tetap mematenkan semua misi mereka.

Kalau begini terus, kira-kira apa dan bagaimana jadinya orang asli Papua, dalam beberapa waktu (5-10 Tahun ) mendatang. Apakah orang asli Papua menikmati sebuah kehidupan sebagai anugerah pencipta? Bagaimana dengan tanah Papua yang kaya raya ini? Apakah kita harus salahkan Tuhan sebagai pencipta tunggal?


Poligami Mungkin Sebuah Jawaban?


Dalam tulisan ini, saya ingin agar kita tidak terlalu menjadi sok pendeta, ulama, nabi bahkan menjadi Tuhan. Tetapi bukan berarti melupakan TUHAN sebagai pencipta tunggal, karena hanya DIA, perintah-Nya, serta kasih anugerah-Nya kita, tanah dan bangsa Papua bisa ada di bumi cenderawasih.

Namun dalam tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan, memberitahkan, bahkan menggenapkan amanat agung-Nya, bahwa “beranak cuculah dan penuhilah bumi”. Ini sebuah himbauan, seruan, serta “paksaan” dari Tuhan kepada bangsa-bangsa di dunia, salah satunya bangsa Melanesia, orang asli Papua sendiri.

Mulai saat ini, orang asli Papua harus berumah tangga (baca seterusnya; kawin) secepatnya. Karena hanya dengan jalan ini (beranak cucu) orang Papua dan tanahnya akan terselamtkan dari ancanam genocida. Karena perlu diketahui, tanda-tanda akan punahnya orang asli Papua dari tanahnya telah begitu nampak dalam berbagai segi.

Seorang suami (kepala rumah tangga) boleh “kawin” dengan banyak wanita, terutama wanita asli Papua. Karena akan kearah mana orang Papua dan tanahnya di tentukan oleh generasi muda yang dibangkitkan melalui sebuah proses antara pria Papua dan wanita Papua tersebut.

Tetapi, dengan syarat seorang pria harus mendapat persetujuan dari seorang wanita sah yang telah lebih dulu dinikahinya. Dan selain itu, pria Papua ini harus mampu, dan memiliki pendapatan lebih yang bisa digunakan untuk membiayai kehidupan setiap genarasi Papua yang di hasilkan.

Wanita-wanita perkasa dari Papua, yang saya biasa juluki dengan kata “anggrek hitam” perlu memahami betul, bahwa tanah Papua kedepan akan dan mau di bawah kemana? Saya yakin, ketika memahami persoalan ini, anggrek-anggrek hitam perkasa dari Papua akan menerima dengan lapang dada, demi kebersamaan, perubahan, serta kesatuan.

Banyak tangisan asa yang orang asli Papua lontarkan kepada Tuhan. Banyak “gugatan” yang orang asli Papua panjatkan kepada Tuhan. Pada intinya bertanya, kenapa Tuhan begitu tega membiarkan kapitalisme dan antek-anteknya membukakan sayapnya di bumi Papua dengan agenda pemusnahan rasa Melanesia.

Mungkin saja, ketika anggrek-anggrek hitam dari Papua memahami, tangisi, serta renungkan ini, akan insaf, bahkan mungkin akan menyalahkan diri sendiri. Dan sudah pasti, anggrek-anggrek hitam dari Papua akan bertindak untuk sebuah kebutuhan, yaitu untuk sebuah kebutuhan rakyat dan tanah Papua di masa depan.

Saya yakin, anggrek-anggrek hitam dari Papua akan mengerti, memahani, serta turut berperan dalam hal ini. Dimana tidak membiarkan, menyepelakan, bahkan mengabaikan orang asli Papua musnah di atas tanah ini.

Wanita-wanita perkasa dari Papua akan mengerti betul, bahwa gagasan, serta ide ini bukan semata karena mementingkan kepentingan pria-pria Papua. Bukan juga untuk menjawab hawa nafsu para pria, yang kadang di klaim anggrek-anggrek hitam dari Papua sebagai pemanis sesaat, tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan, kebutuhan orang Papua dan tanahnya di masa mendatang.

Saya akan salut betul dengan seorang wanita Papua, yang dengan begitu kerendahan hatinya memikirkan, bahkan membayangkan apa jadinya Papua di masa depan. Tidak egois, tidak pesimis, bahkan memberikan sebuah kebebasan, tentunya kebebasan yang berguna bagi semua orang Papua.

Ide penulisan ini sebenarnya bukan dari pribadi saya, namun seorang perempuan Papua yang sungguh sangat berani dalam menggaskan sebuah kerinduan terselubung dan terdalam dari seluruh rakyat Papua. Secara pribadi, saya akui kerseriusan, kesungguhan serta tekadnya dalam melahirkan ide ini. Ide yang menyelamatkan, ide yang membangunkan, serta ide yang sungguh sangat mengubah sebuah peradaban dan sebuah ambang kematian.

Bahkan saya sempat di tanyai oleh anggrek hitam dari Papua ini, Apakah kau siap untuk Poligami? Jujur, saya secara pribadi hanya tertawa terbahak-bahak, aneh dan luar biasa juga, ada perempuan Papua sepertinya yang mempunyai ide dan gagasan begitu “liar” dalam arti ide dan gagasan yang kalau di amati sukar di terima banyak wanita Papua. Saya sungguh akui keseriusannya melahirkan sebuah gagasan ini.

Namun sepaham dengannya, bahwa poligami adalah salah satu dari sekian banyak jalan untuk menyelamatkan generasi Papua yang berada dalam ambang kepunahan. Mengisi kekosongan di bumi Papua, yang dengan paksa di kosongkan oleh Jakarta dkk, untuk sebuah kepentingan. Serta untuk menambah angka banyak orang asli Papua yang tinggal hanya sisa-sisa.

Dan untuk pria-pria Papua yang gagah dan perkasa, melambangkan, menggambarkan, serta menyatakan kuatnya tekad untuk sebuah perubahan di tanah Papua, bahwa poligami bukan berarti jalan untuk memberi sebuah kepuasan, memenuhi hawa nafsu semata, serta kepentingan batin belaka. Tetapi lebih kepada menjawab sebuah kebutuhan, kebutuhan untuk tanah dan manusia Papua di masa mendatang.

Saya yakin, banyak orang tidak akan sepaham dengan gagasan ini. Apalagi mereka yang telah didik, dibesarkan, bahkan di asuh oleh sebuah agama. Dan saya mengakui itu, dimana sudah menjadi bagian dari keputusan hidup, serta jalan yang kadang sukar untuk di belokan arahnya.

Akhir kata, apakah anggrek-angrek Papua sudah siapa? Siapa menerima gagasan ini, mengkampanyekan gagasan ini, serta mempraktekan gagasan ini. Tujuannya tidak lain, selain menyelamatkan arus genocida yang begitu merajalela dan melenyapkan orang asli Papua dari tanah kelahirannya.

Mari kita berpikir, bertindak, serta melaksanakannya. Ini sudah bagian dari ketaatan kita dalam menjalankan amanat agung yang telah di amanatkan sang pencipta. Dan ini juga sudah bagian dari ibadah kita, perbuatan yang menyelamatkan.

*Catatan dalam bentuk usulan ini boleh aja di terima, boleh juga di tolak, bukan sebuah bentuk keharusan.



headerr

Artikel Yang Berhubungan



3 comments:

  1. setuju bro... Itu memang salah satu jalan keluar, ~x( tapi sangat disayangkan hal ini juga beresiko tinggi...

    ReplyDelete
  2. tulisan yg baguz....
    tapi, sbg mc yg diciptakan dg keterbatasan, mungkin tidak smua wanita papua mau dipoligami..
    yang terlihat saat ini, banyak juga org2 papua yang su sukses ato berpendidikan tinggi lebih memilih wanita luar papua untuk menjadi pasangan hidup mereka, baru... ini bgm ya,,,???

    ReplyDelete

Komentar anda...