Friday, January 22, 2010

Dialog Nasional Tidak Jelas

OCTHO- Banyak orang berpendapat bahwa dialog nasional (baca; Jakarta-Papua) tidak jelas. Dan terkesan hanyalah “perundingan” yang memberi sebuah harapan tidak pasti untuk rakyat Papua. Dialog sendiri adalah taruhan “harga diri” antara penguasa (Jakarta) dan yang di jajah (Rakyat Papua), siapa yang mempunyai daya tawar yang kuat, sudah pasti dia yang akan menang. PBB harus di libatkan dalam dialog ini, kalau tidak, jangan harap dapat menyelesaikan konflik di Papua.

Beberapa waktu lalu dalam tulisan saya yang sebelumnya dengan judul “Quo Vadis Dialog Jakarta-Papua” telah menguraikan panjang lebar tentang arah dari dialog ini yang nantinya tidak jelas, penguraian tersebut di maksudkan agar mereka (fraksi, organ, lembaga, serta individu) yang selama ini begitu pro bahkan begitu tergiur dengan agenda dialog nasional ini dapat memberikan kepastian tentang kemana akhir dari dialog itu. Dimana menyatakan, orang Papua akan berada di posisi mana setelah dialog itu terselenggara.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui kajian yang di lakukan oleh Muridan Widjojo, dkk dalam Papua Road Map (PRM) boleh saja menyatakan bahwa dialog nasional adalah solusi akhir untuk rakyat Papua. Dan kata mereka, sudah pasti menyelesaikan berbagai persoalan di Papua (di rumuskan dalam empar persoalan pokok).

Empat permasalahan pokok, yaitu, pertama; marjinalisasi dan diskriminasi terhadap orang asli Papua, kedua; kegagalan pembangunan di Papua, ketiga; adanya kontradiksi pemahaman sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta dan yang keempat; pengalaman sejarah panjang kekerasaan politik di Papua.

Dr. Neles Tebay juga berpendat sama dengan LIPI, tapi yang berbeda hanya saja pater Tebay tidak menyinggung masalah yang paling urgent, apalagi soal integrasi Papua ke dalam NKRI melalui rekayasa PEPERA 69 yang mana telah di pastikan bahwa cacat hukum dan moral. LIPI mungkin sedikit berani untuk mengukap akar persoalan Papua dari pada pater Tebay. Keberanian dalam kajian LIPI sempat teruji dengan hadirnya salah satu buku yang menanggapi kritis ungkapan LIPI dengan judul “Integrasi Telah Selesai” dimana hasil rangkuman tulisan dari berbagai orang Papua yang selama ini begitu pro dengan Indonesia.

Penulis sempat ikut peluncuran buku ini di Gedung University Club (UC) UGM Jogja, lantai II. Yang hadir menjadi pembicara saat itu seperti Nick Messet, Djopari, serta M.Idrus dan hadir juga beberapa peniliti dari Walhi. Yang mereka bicarakan sama, dimana INDONESIA harga mati, bahkan ada diantara ketiga orang ini yang berpendapat, bahwa tidak perlu diadakan dialog Jakarta-Papua. Kesimpulan dari saya saat itu, mereka hanya bikin air tambah kabur alias ciptakan konflik di Papua dan terkesan menyalahkan orang Papua. Sudah jelas ada yang seting atau mengatur “kampanye” terselubung yang mereka lakukan untuk kepentingan mereka, dan kepentingan pihak yang sedang mereka juangkan.

Selain itu, West Papua National Coalition For Liberation (WPNCL) boleh menyatakan tekad mereka untuk mensukseskan agenda nasional, hal ini terungkap dengan beberapa kali hasil rapat maupun pertemuan besar yang diadakan oleh orang-orang kepercayaan di tubuh WPNCL sendiri, bahkan dalam pertemuan-pertemuan mereka sempat di hadiri oleh beberapa orang, salah satu diantaranya adalah Prof. Damien Kingsburry pimpinan Partai Buruh Negara Bagian Victoria, beliau juga sempat menjadi mediator dan negosiator antara Aceh dan Indonesia di Helsinki-Finlandia (pernyataan salah satu anggota Milis Komunitas Papua).

Keterlibatan WPNCL memang begitu jelas, dengan berbagai ungkapan maupun pernyaataan mereka di berbagai media masa di Papua maupun luar Papua, termasuk ungkapan yang di sampaikan oleh beberapa kaum intelektual yang selama ini menjadi “kaki tangan” mereka untuk mengkampayekan agenda ini. Coba lihat saja, di berbagai Milis, maupun berbagai tulisan selalu begitu pro dengan dialog nasional, padahal tidak jelas akhir dari dialog itu akan kemana rakyat Papua.

West Papua National Authority (WPNA) juga sama halnya dengan WPNCL, namun dalam beberapa pengamatan saya, WPNA lebih berpihak kepada terselenggaranya dialog nasional, yang mana melibat pihak internasional, dalam hal ini PBB. Dalam berbagai orasi politik, maupun pernyataan di media masa mereka menyampaikan hal itu. Memang daya tawar, atau kepastian ketika PBB di libatkan akan memberi dampak yang lebih besar, dan mungkin saja wajah orang Papua bisa terselamatkan.

Dalam beberapa waktu saya pernah memberitahukan kepada beberapa teman-teman yang begitu pro terhadap dialog Nasional tanpa melibatkan pihak ketiga (baca; PBB), apabila dialog nasional yang akan terselenggara itu jika saja mengorbankan rakyat Papua, alias dialog itu sendiri adalah Otsus era modern atau PEPERA versi II, apa jaminan kalian buat rakyat Papua yang memang menginginkan angin kebebasan? Karena ini telah menjual harga diri masyarakat kecil yang memang menginginkan sebuah kebebasan.

Saya tidak tahu, hati mereka memberikan jawaban apa, karena menurut saya dialog atau perundingan ini sendiri kita masih beraba-raba, alias sedang bermimpin agar kita bisa menang, padahal perlu kita tahu, kita tidak memiliki kekuatan yang besar untuk menang. Kalau memang demikian, bagaimana cara mempupuk kekuatan besar untuk memenangkan perundingan itu. Sampai sekarang persoalan itu yang belum pernah dipikirkan oleh mereka.

Kita perlu tahu, bahwa tujuan semula yang rakyat Papua inginkan adalah dialog harus terselenggara, namun yang harus di bicarakan adalah soal kebebasan (Papua Merdeka) bukan soal tetap ingin hidup dengan NKRI, seraya membiarkan mereka membalut luka batin rakyat Papua, yang memang terkesan hanya sesaat saja dan tentunya akan membuat orang Papua terluka dan menangis kembali. Itulah yang telah saya sampaikan, mereka yang memang begitu menggebu-gebu dukung dialog nasional, sangat berhutang budi pada rakyat jelata. Jika saja memang dialog terselenggara, dengan perjanjian untuk kehidupan babak baru dalam lingkup NKRI lagi. Ini kesimpulan saya, karena memang nantinya akan demikian.

Selain itu saya juga ingin singgung soal daya tawar, tentunya kita sudah paham berbagai kebohongan serta tipu muslihat yang selama ini di jalankan bahkan di praktekan oleh NKRI terhadap rakyat Papua di bumi cenderawasih. Sekuat apapun daya tawar kita orang Papua, sudah tentu kita tidak akan menang. Saya kira belajar dari pengalaman sangat-sangat penting, baik pengalaman PEPERA 69 maupun saat pertemuan team 100 dengan presiden B. J Habibie, walau saat itu daya tawar cukup sedikit kuat, namun tetap kita berada pada posisi yang tidak di untungkan, dan menjadi korban dari kepentingan mereka.

Mereka paham betul seluk beluk persoalan serta konflik di Papua. antek-antek (baca; intelejen) Indonesia telah paham betul bagaimana membuat Papua hancur berantakan, bahkan mereka juga paham bagaimana membuat Papua maju dan berkembang. Persoalannya saat ini, Indonesia tidak pernah menginginkan rakyat Papua maju, dan bukankan dialog itu juga bagian terpenting dari sebuah perubahan yang akan membuat orang Papua maju. Negara Indonesia adalah Negara besar dan negara yang tidak “bodoh”, mereka lebih “pintar” dari Amerika sekalipun untuk memanipulasi data, serta bicara kebohongan dimana saja mereka berada, selagi hal itu akan menyelamatkan kepentingan mereka. Dan kalau demikian, mereka akan penuh hati-hati dan pertimbangan ketika mau menyelenggarakan dialog nasional yang katanya solusi akhir untuk rakyat Papua.

Jika memang Jakarta begitu takut terhadap orang Papua, dimana ada yang beranggapan “perubahan” ini akan membangkitkan semangat mereka untuk berjuang membebaskan rakyat Papua untuk merdeka, apa kita harus masih percaya bahwa dialog adalah jalan yang memberikan angin segar bagi rakyat Papua. Jangan salah, rakyat Papua tidak pernah menginginkan sebuah “kedamaiaan atau perubahan” dalam NKRI, karena sama saja itu sebuah hal mustahil yang tidak mungkin tercapai. Kalau demikian, apa kita harus tetap dengan semangat tinggi untuk mendorong dialog nasional terselenggara?

Saya tidak menolak terselenggaranya dialog nasional, namun saya menolak dialog itu jika saja hanya memberi angin segar sesaat bagi orang Papua. Hal ini dapat saya simpulkan, karena terlalu banyak orang Papua yang mati dan berkorban untuk sebuah kebebasan, jika saja kesempatan ini di gunakana untuk tidak bicara soal kebebasan, sungguh tega hati kita, membiarkan atau melupakan segala perjuangan mereka.

Saya setuju sekali dialog nasional di adakan, jika ada pihak ketiga (PBB) dilibatkan dalam perundingan ini, jika tidak demikian, saya hanya takut, penggagas dialog serta “antek-anteknya” harus ada yang menjadi tumbal karena tetap menjadi kaki tangan penjajah untuk membunuh masyarakat kecil yang tidak berdosa. Saya hanya berharap, semoga dialog nasional itu terselenggara atas kerja sama dan partisipasi dari PBB dan dunia internasional, hal ini juga agar daya tawar orang Papua lebih kuat. Semoga.

Mungkin analisa saya tentang dialog nasional tidak begitu baik, atau bisa juga sangat-sangat buruk, karena kadang teman-teman yang begitu pro dengan dialog nasional selalu melakukan berbagai cara untuk mengedepankan tuntutan mereka agar dialog ini dapat di terima oleh siapa saja, termasuk pribadi saya yang kadang di maki habis-habisan jika berbicara banyakmemotong “kepentingan” mereka.

Saya tidak menolak dialog, namun saya hanya tidak mau melihat masyarakat saya menangis terus. Saya ingin melihat mereka tertawa, gembira bahkan menangis bahagia. Ini perjalanan panjang, berkelok, bahkan sukar, namun tekad dan komitmen akan menyatukan kita untuk sebuah perubahan. Semoga dialog nasional yang nantinya akan terselenggaran member angin segara bagi rakyat Papua. Maju terus, terus maju.

Refleksi dari hati nurani,
Sugapa, 22 Januari 2009, Pukul 10;30 wit


Sumber Tulisan:
http://www.suluhnusantara.com/mags/index.php?option=com_content&view=article&id=5482:muridjan-perlu-ada-dialog-jakarta-papua&catid=59:cricket&Itemid=358

http://muridan-papua.blogspot.com/2008/08/kampanye-papua-road-map.html

http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/dokumentasi/aceh/helsinki_ketiga050414-redirected

Sumber Foto: http://pogauokto.blogspot.com/2009/09/quo-vadis-dialog-jakarta-papua.html





headerr

Artikel Yang Berhubungan



1 comment:

  1. Saran sudah bagus, tapi pemahaman tentang Konsep Dialog masih kurang, sehingga perlu kumpul referensi yang lebih banyak lagi. Perlu diingat bahwa Dialog bukan tujuan, tapi sarana untuk mencapai tujuan. Soal mediator, tidak bisa ditentukan secara sepihak oleh orang Papua saja, tetapi harus disepakati bersama oleh RI vs Papua. Jika ade ada cara lain untuk selesaikan masalah Papua, kenapa tidak beberkan solusi dan tahapan untuk mencapai tujuan perlawanan orang Papua disini. Jadi jangan hanya memberikan kritik tanpa solusi yang jelas. Amole

    ReplyDelete

Komentar anda...