OCTHO- Pengambilan kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional di Negara ini, bisa dikatakan sebagai suatu “barang baru” yang terlalu di paksakan. “Memalukan” hal ini yang bisa kita gambarkan ketika banyak pihak, terutama dari orang tua murid yang tidak terima dengan kebijakan pemerintah pusat yang selalu “mengkebiri” peran dan kerja keras para guru di sekolah sehingga mengorbankan siswa-siswi yang tidak pernah bersalah.
Guru yang bekerja keras dalam mendidik, membina dan mengarahkan siswa hanya di jadikan tameng, dengan dalih mendongkrak mutu pendidikan di negeri ini. Yang mana, dalam penyelenggaraan Ujian Nasional, kelulusan seseorang siswa hanya di tentukan dalam hitungan tiga hari. Hak penuh dari para guru di cabut. Salah satu bukti pelanggaran HAM telah terlihat disini, ketika guru di pasungkan secara tidak berdaya.
Tujuan utama di selenggarakan Ujian Nasional sendiri sesuai dengan amanat Undang-Undang No 23 Tahun 2003, tetang Sistem Pendidikan Nasional bahwa untuk turut mendongkak mutu, kualitas dan kuantitas dari pendidikan di bumi Indonesia, yang mana jauh tertinggal di bandingkan dengan beberapa Negara lain yang ada di luar negeri.
Pemahaman dan pemikiran orang awam, apabila berpikir sesuai dengan kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia dengan menaikan standar kelulusan dengan cara penyelenggaraan Ujian Nasional. Karena, beberapa pengalaman, Ujian Nasional bukan jalan untuk mendongkrak pendidikan di negari ini. Malahan menambah luka batin, bagi sekian banyak orang terutama mereka yang hidupnya serta kekurangan.
“Ujian Nasioanal dari sisi kemampuan, memang sangat tidak memihak kepada kita para penyelanggara pendidikan yang ada di daerah Kabupaten, tetapi apa boleh buat, kita hanya penyelenggara, bukan pengambil kebijakan,” terang Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Nabire A.Sihombing, beberapa saat lalu saat di temui jurnalis media ini di ruang kerjanya.
Ujian Nasional terlalu di paksakan, ketika melihat banyak korba berjatuhan dengan ketidakmampun mereka. Cita-cita pendidikan Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa dalam hal ini, adalah generasi muda yang sedang di siapkan untuk membangun nusa dan bangsa. Namun sampai saat ini, kebijkan penyelenggaran pendidikan yang ada, tidak pernah menunjukan peningkatan kecerdasan setiap siswa-siswa. Lagi-lagi siswa jadi korban dengan kebodohan kebijakan gombal ini.
Majalah Tempo, Edisi 24-05-2008, mengkukapkan dengan jelas kegagalan Ujian Nasional mendongkrak pendidikan di Negeri ini. Malahan dengan hadirnya, UN anak-anak semakin di kucilkan dari pergaulan karena sedikit ketidaktauhan mereka. Selain itu, Ujian Nasional turut mengajarkan, bahwa militerlah penguasa tunggal, ketika anggota berbadan tegap, dengan senjata melingkar di dadanya menjaga sudut-sudut ruangan.
Tidak tahu persis, makna dan arti apa yang pemerintah berikan dengan menghadirkan para anggota di ruangan kelas. Bahkan di harian Seputar Indonesia pernah memberitakan, Densus 88 Antiteror yang bertuga menumpas teroris di libatkan untuk mengamankan Ujian Nasional. Pertanyaaannya, apakah anak-anak generasi muda yang tidak kenal apa termasuk teroris-teroris masa depan. Entahlah, pesan apa yang ingin disampaikan melalui hal itu.
Aneh, kebijkan dan keputusan memihak yang di tetapkan oleh Negara ini. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasioanl yang seharusnya berpihak dan membantu mereka, kaum terlantara yang memunyai hak hidup. Sri, salah satu siswa sekolah menengah atas yang harus mengakhiri hidupnya karena ketidakmampuannya dalam menuntaskan Ujian Nasional.
Sri tidak pernah bersalah, pemerintahlah yang bersalah dengan mengakhiri hidup. Ketika tidak ada kebijakan pemerintah terhadapa pendidikan seperti ini, sri tidak akan setega mengakhiri hidupnya. Selain sri, Robert, siswa SMA Taruan Bahkit yang mana sebelum berjuang sudah menyerah. Dengan alasan, malu juga sih, kalau siswa sudah ikut UN yang kata orang siswa lagi.
Friday, March 27, 2009
Fenomena Hadirnya Ujian Nasional
Label:
UN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Komentar anda...