OCTHO-Dalam sebuah buku yang di tulis Islah Gusmain, dengan judul "Pantat Bangsaku" banyak dibeberkan tentang kekejaman presiden Soeharto, dimana sempat menarik beberapa buku yang dikatakan mengancam posisinya sebagai presiden pada era itu.
sehingga pada era itu, tidak ada satupun media di Indonesia yang leluasa bergerak. Jakob Oetama, Goenawan Mohamad adalah beberapa orang yang selalu berurusan dengan beberapa petinggi negara karena urusan media.
Memang pada masa itu bisa dikatakan sebagai masa suramnya pers. dimana terjadi berbagai orasi yang menantang kebisuan pers. Tiba saatnya pers bernafas lega, ketika soharto jatuh dari kursi kekuasaannya. Hingga kini bisa kita lihat banyak kalangan menerbitkan buku dengan sesuka dan semaunya.
Tapi yang lagi-lagi membingungkan penulis adalah, larangan terbit bukunya saudara Sendius Wonda beberapa saat lalu. Ini menjadi pertanyaan yang membingunkan banyak pihak dan kalangan. Ada apa dengan buku tersebut?
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>><<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<
Sesuai dengan amanat pancasila yang menjadi dasar adanya negara Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa siapapun dia tidak pandang berkulit hitam atau berkulit putih boleh berargumentasi dan berpikir untuk kemanjuan daerah Indonesia yang kita cintai dan banggakan bersama ini. Dengan amanat tersebut banyak orang mulai berkarir dan berkarya untuk kemajuan negara ini. Adanya usaha mereka maka tidak heran saat ini Indonesia jauh lebih maju dibandingkan dengan 7-8 tahun lalu.
Semua karya-karya hebat yang dihasilkan tidak hanya dari satu bidang saja tetapi mencangkup semua bidang seperti bidang pendidikan yang beberapa tahun lalu Yudistira Virgus dan kawan-kawannya berhasil menyabet beberapa emas dan medali di China dalam ajang Oleimpiade Fisika Internasional. Kemudian bidang kebudayaan keberhasilan tim Pasparawi dari Kabupaten Nabire mewakili Papua ke Jawa yang sekaligus rencana akan berangkat ke luar negeri tepatnya di Austria yang sekaligus memajukan nama Indonesia terlebih khusus Papua dibidang kebudayaan yang telah lama tengelam dan terkubur.
Semua gelar dan prestasi yang dihasilkan tersebut tanpa usaha, kerja keras dan semangat juang tidak akan tercapai, tetapi ketiga hal tadi mendasarinya sehingga keberhasilan bisa mereka peroleh. Seperti Yudistira Virgus dan kawan-kawannya harus belajar sungguh-sungguh dan giat tanpa kenal lelah dibawah pimpinan Pak Yohanes Surya sehingga bisa berhasil dan meraih penghargan ditingkat Dunia. Sama halnya dengan tim Pasparawi dari Kabupaten Nabire apabila mreka tidak latihan sungguh-sungguh maka harapan dan impian mereka menjadi juara untuk mewakili daerah Papua akan gagal total.
Dengan melihat berbagai hal luar biasa dan ajaib yang diraih tidak heran banyak orang berusaha dengan sungguh-sungguh dan giat untuk menghasilkan hal-hal baru. Berlandaskan kepada ingin maju dan tidak mau tertinggal dari daerah lain membuat banyak anak-anak Papua berusaha untuk menghasilkan sesuatu hal-hal yang baru hal ini terlihat dari bagaimana kehebatan dan kelebihan yang dimilki oleh seorang putra daerah Papua dalam bidang karya tulis menulis.
Beliau adalah Sendius Wonda, keberhasilan dalam menulis buku yang berjudul “Tengelamnya Rumpun Melanesia, pertaruhan politik NKRI di Papua. Setelah empat bulan lalu buku telah disebarluasakan yang berjumlah kira-kira 1000 buah buku. Setelah terbitnya buku tersebut banyak tanggapan yang berisi pujian datang kepada Sendius Wonda karena keberhasilan mengungkap realita di balik semua fakta yang terjadi di Papua.
Namun beberapa saat lalu seluruh masyarakat, mahasiswa-mahasiswi dan pelajar-pelajar yang ada di seluruh Papua digemparkan dengan pelarangan peredaraan buku tersebut. Melihat hal seperti ini semua kalangan pasti bertanya-tanya ada apa dibalik pelarangan peredaraan buku tersebut. Ditariknya peredaraan buku tersebut mendapat banyak kritikan dan hujatan amarah yang datangnya dari berbagai pihak yang sangat menyayangkan ide, argument, dan pendapat tersebut sangat tidak dihargai dan dan seolah-olah disepelahkan oleh mereka.
Banyak alasan yang mendasari ditarikanya peredaraan buku karya Sendius Wonda. Diantaranya karena bukunya terlalu membuka kartu dan kedok kejahatan yang selama ini terjadi di bumi Papua, selain itu juga banyak mengukap kasus pengiriman para Pekerja Sexs Komersial selain itu juga mengukap fakta dan realita pelanggaran HAM yang selama ini membabi buta di bumi Papua. Buku Tengelamnya Rumpun Melanesia tersebut yang ditulis berjumlah 247 halaman. Buku tersebut juga sekaligus menyuarakan kaum tak bersuara yang selalu menjerit dan menangis ditanah kelahirannya sendiri yaitu tanah Papua.
Selain alasan diatas ada juga yang beralasan dengan adanya buku ini maka semangat nasionalisme orang Papua terutama para generasi muda Papua akan terbakar dan kalau sudah terbakar kedepan sangat susah dikendalikan lagi sehingga harus dihentikan agar semangatnya tidak terbakar. Sebenarnya alasan ini tidak dikemukakan oleh mereka tapi melihat cara-cara seperti ini bisa disimpulkan mereka takut kalau semangat nasionalsime dari para pemuda Papua terbakar. Karena mereka sendiri tahu bahwa Otonomi Khusus telah diberikan sejak 7 tahun lalu namun belum menghasilkan apa-apa dengan demikian jalan keluar yang terakhir adalah meminta untuk bebas.
Kita tidak perlu beralasan dan mengomentari semua itu kalau kenyataannya betul-betul telah terjadi dan sedang mau berkembang. Apabila memang semua itu betul-betul terjadi dan kalian sengaja mengalihkannya dengan menghentikan peredaran buku ini berati kalian memikul rasa malu yang berlipat ganda. Karena kalian telah melakukannya kemudian kalian melarangnya untuk diketahui oleh kalangan umum. Kalau saya jadi seperti kalian malu bukan?
Melihat berbagai alasan yang tidak masuk akal sehingga ditariknya peredaraan buku hasil karya Sendius Wonda mengigatkan kita kepada rezim saat Presiden Soeharto berkuasa banyak buku yang ditarik peredaraan dengan alasan terlalu mengkecam masa kepemimpinannya.
Saat buku-buku tersebut ditarik peredaraannya banyak orang memberi tanggapan bahwa kalau saja ingin untuk menanggapinya tidak usah ditarik peredaran buku tersebut tetapi kalian para pelarang peredaran buku buat sebuah buku sebuah refrensi untuk membantah ketidakbenaran itu dengan demikian disitu terlihat kejantanan kalian, aman bukan?
Kalau begitu tidak salah kalau saya mewakii para pelajar yang masih duduk dibangku pendidikan Sekolah Menengah Atas ingin mengatakan seandainya kalau tidak terima dengan perlakukan kata-kata dalam bentuk buku yang ditulis oleh Sendius Wonda buat saja sebuah buku yang menyikapi bohong atau benarnya berbagai peristiwa dan kejadian yang diungkapkan dalam buku tersebut. Dengan keberanian kalian menulis buku juga menandakan kalian bertanggung jawab terhadap berbagai peristiwa mengenaskan yang pernah kalian lakukan di Papua.
Mengapa bisa saya mengatkannya demikian supaya kalian juga bisa rasakan bagaimana suka dan dukanya menulis sebuah buku apalagi yang tebalnya 247 halaman lebih. Perlu diketahui didunia ini banyak pengkritik dan pembicara tetapi tidak semua orang bisa menuangkan dalam sebuah bentuk tulisan yang efektif.
Orang yang menulis layaknya sama dengan orang seni sebagaimana harus banyak bernalar dan yang tentunya harus giat membaca, mencari info maupun bergaul dengan banyak orang yang semuanya dijadikan bahan refrensi untuk menulis. Tetapi lain halnya dengan orang pengkrtik dan pembicara mereka tidak mendalami dan menyikapi suatu peristiwa secara detail tetapi mereka mengkritik dan menghasutnya yang semuanya akan balik membunuh mereka sendiri.
Dengan melihat gencar-gencarnya ancaman yang diberikan kepada Sendius Wonda akibat adanya peredaraan buku tersebut menyadarkan kita perlukah kita kembali ke Orde Baru Rezim Presiden Soeharto. Padahal zaman ini saat di zaman reformasi zaman yang memberikan kebebasan untuk berpikir, berargumen, maupun zaman untuk berkumpul sekaligus berserikat. Kalau masih saja ada pelarangan peredaraan buku berarti Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang menjadi pedoman untuk berkembangnya setiap pribadi manusia berarti omong kosong dan tidak benar berarti perlu untuk dikaji ulang pembuatannya.
Melihat larangan peredaraan buku yang dibuat oleh Sendius Wonda berarti sama saja telah membunuh sekian banyak generasi Papua. Hal in dikatakan sebagaimana karena sekian banyak generasi Papua yang ada belum tahu sejarah Papua dan omong kosong yang selama ini dibuat dibumi Papua oleh para pendatang yaitu mereka orang Indonesia. Selain membunuh generasi Papua pelarangan peredaraan buku juga telah membunuh bakat dan talenta yang dimiliki oleh generasi mudah yang ada di Papua.
Sebagaimana hal ini bisa dikatakan karena bisa kita lihat banyaknya buku yang dihasilkan oleh putra-putri Papua seperti Yakobus Dumupa, M. Ramandey, J.R. Djopari, DR. Benny Giay dan masih banyak lagi. Yang semua hasil karya mereka luar biasa dan tidak kalah hebatnya dengan penulis hebat dari luar.
Menyikapi pelarangan peredaraan buku karya Sendius Wonda tersebut membuat pikiran dan wawasan kita kalau mereka tidak suka kita putra daerah Papua menerbitkan buku yang mengancam keenakan dan kemewaan mereka ditanah kita. Oleh sebab itu salah satu cara yang mereka pakai adalah melarang penerbitan berbagai buku yang berbau memacu semangat nasionalisme para pemuda-pemudi Papua.
Kita juga akan bertanya kenapa buku milik putra daerah yang lainnya diterima peredaraanya sedangkan buku milki Sendius Wonda tidak diterima peredaraannya. Hal ini dengan tegas saya akan menjawab karena mereka tidak ingin diusir dari tanah Papua. Siapapun tidak bisa membantah kalau saya ingin mengatakan bahwa tanah Papua telah memberi makan kepada jutaan penduudk di Indonesia.
Hal ini terlihat dari perkataan kotor yang pernah dikeluarkan dari mulut Ali Mustopa salah seorang yang dianggap sebagai tangan kanan Presiden Soeharto dalam bukunya Yakobus Dumupa yang berjudul “Memburu Keadilan di Papua” yang mengatakan bahwa “kami (orang Indonesia) sama sekali tidak membutuhkan kalian orang Papua, yang kami butuhkan adalah tanah kalian, jadi kalau kalian ingin minta merdeka pergi saja mengemis di bulan atau mengemis di Amerika untuk minta Pulau Honolulu untuk kalian tinggal” kotor bukan perkataanya?
Oleh sebab itu kita orang Papua jangan kaget kalau banyak masuknya arus transmigrasi yang gila-gilaan, pembelian tanah dimana-mana dengan pemaksaan, banyaknya pengusaha kecil-kecilan yang gila-gilaaan untuk berdagang. Semua itu berlandaskan kepada keinginan mereka untuk menguasai tanah kita tanah Papua yang kaya akan emas dan permata. Nah kalau mereka telah menguasai seluruh sektor yang ada di Papua kemana lagi kita penduduk pribumi akan mengadu dan tinggal.
Kita selalu mengadu hal itu ke para penjabat tetapi mereka selalu mengatakan bahwa cara pandang kalian orang Papua terhadap diri kalianlah yang salah. Hal ini pernah dikemukakan oleh salah satu Kepala Bagian di Kabupaten Nabire ketika berlangsung diskusi dan seminar anak pegunungan tengah tahun lalu di gereja Efrata Karang Tumaritis.
Dengan tidak adanya tempat mengadu itulah yang membuat kita mau mengadunya dengan menulis, baik dalam bentuk buku, artikel, opini, dan lain sebagainya yang intinya agar apapun emosi, dendam, amarah, kasih sayang, maupun hujatan yang kita berikan kepada siapapun bisa kita keluarkan dan limpahkan. Tetapi kalau ada larangan begini kemana lagi kita mau melimpahkan semua itu. Kalau saja kita tidak limpahkan semua itu kita akan mati terbunuh dengan banyaknya dendam maupun amarah yanga ada tersimpan dalam diri kita.
Inti dari semua yang dituliskan dalam artikel singkat ini adalah tolong hargai dan hormati setiap hak kami. Cukup lama kalian para pendatang merampas dan membelenggu kami para putra daerah untuk bersuara. Kalian selalu menutup mulut kami secara paksa sehingga banyak korban saat ini berjatuhan, dan kamipun yang memiliki hubungan keluarga dengan mereka tidak tahu ke arah mana mereka pergi. Selain itu kami juga minta supaya hargai hak ulayat kami sebagai pemilki tanah di Papua.
Selain itu kami juga minta supaya kalian para pendatang syukurilah dengan semua jabatan dan kedudukan yang kalian jabati, karena sebagaimana kalian harus tau ditanah kalian di Jawa sana kami orang Papua sama sekali tidak pernah ngemis apalagi berjuang mati-matian untuk memangku jabatan. Kepala lurah saja didaerah kalian mana ada orang Papua yang yang pernah jabat. Semua itu kami orang Papua lakukan karena kami mengerti dan tahu diri di Posisi mana kamai berada.
Kami bukanlah orang yang jalan menjual hargai diri demi kedudukan dan jabatan. Kalian para pendatang perlu pikir jabatan apalagai yang kurang semuanya telah kalian jabati. Apakah kalian ingin menguasai tanah Papua sebagai tanah Indonesia lagi, saya katakan jangan salah Tuhan tidak pernah mengaruniakan tanah Papua untuk Orang berambut lurus seperti kalian.
Bukti besar kalian (para pendatang) menghormati dan menghargai sang pencipta adalah kalian mengharagai dan menghormati kami orang Papua yang selalu dianggap tertinggal dan terbelakang oleh mereka saudara-saudara kalian yang hidup diluar Papua. Demikian suara kecil dari kami yang bisa kami suarakan Tuhan Yesus Memberkati para pembaca sekalian.****
Tulisan ini pernah di muat di web www.voicepapua.com, n tulisan lama yang ingin untuk di publikasikan.
Sumber Gambar: www.riselam.blogspot.com
Tuesday, May 19, 2009
"Pantat Bangsaku" Anehnya, Negeri Ini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Begitu sukarkah menghasilkan buku, sama ada buku fiksyen, buku ilmiah atau buku bukan fiksyen? Buku individu yang hendak menjadi penulis tetapi ramai yang tidak berjaya, apatah lagi sebagai penulis yang dapat memberikan sumbangan yang bermakna di dalam dunia penulisan. Malah bukan menjadi rahsia lagi, ada yang masih lagi bermain dengan angan-angan. Mengapa anda hendak menadi penulis buku? Menulis buku dapat dilakukan sepenuh masa sebagai profesional dan dapat juga sebagai kerjaya sampingan.
ReplyDelete