Prolog
OCTHO- Kemana arah pendidikan dan guru di negeri ini, pertanyaan yang patut untuk dijawab. Sungguh aneh, ironis bahkan menyedihkan itu sebuah ungkapan yang pantas diberikan saat mengamati jalannya pendidikan dari tahun ke tahun. Tepat yang dikatakan Eko Prasetyo, Penulis buku “Orang Miskin dilarang Sekolah”, bahwa sekolah adalah ladang bisnis yang paling mengiurkan. Pengamat pendidikan, pengambil kebijakan, bahkan para pakar pendidikan selalu memafaatkan moment bergensi itu.
Guru-guru sangat diharapkan menjadi sapi perah yang terus menerus memerah anak murid dengan pengajaran gombal dan berbagai pungutan liar. Guru layaknya seorang tuan, serta siswa sebagai budak yang tidak ada harga dirinya. Sangat mustahil, budak dan tuan akan bersatu, apalagi makan semeja. Tuan akan memperlakukan budak semaunya. Bahkan budak itu bisa disuruh untuk mencium kakinya.
Keputusan Ujian Nasional (UN) yang telah ditetapkan kurang lebih lima (5) Tahun lalu oleh pemerintah Pusat, tentu menjadi bumerang bagi siswa. Guru hanya menjadi tameng, yang menyedihkan, guru dipaksakan untuk meluluskan siswa-siswinya dengan berbagai cara, termasuk cara-cara ilegal dan bejat sekalipun. Padahal, kualitas dan kuantitas guru tidak begitu menjanjikan sesuai dengan tuntutan yang ada dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No 20 Tahun 2003).
Buntut dari pengambilan kebijakan yang sepihak dari Pemerintah Pusat, tentu akan berdampak pada pengambilan kebijakan dari satuan pendidik disetiap kota, yang berujung pada keterbelengguan siswa sebagai generasi muda yang membutuhkan pengetahuan dan pemahaman. Siswa dan guru dibuat sama-sama kalang kabut oleh pemerintah Pusat. Tapi apa boleh kata, mereka hanya bagian terkecil dari penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, yang telah menjadi korban.
Lulus murni (baca: 100%) dengan hasil yang sangat memuaskan di setiap kota, dengan perjuangan yang sungguh di luar rasa kemanusian adalah hal yang wajar. Lihat saja, di setiap kota di Negeri ini banyak lulusan yang harus menjadi penggaguran, semua ini lantas karena tidak memiliki kecakapan hidup (Life Skill Education) hal ini sudah tentu berimbas pada bertambahnya jumlah penggaguran di negeri ini. Yang lama kelamaan dapat menimbulkan tercipatnya suatu konflik horizontal.
Jika demikian, apa yang pemerintah pusat hasilkan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional yang telah nyata-nyata kontra di Negeri ini. Sudah tentu ini menjadi pekerjaan rumah buat para pengambil kebijakan di negeri ini. Evaluasi yang mendalam terkait persoalan ini sudah tentu harus dilakukan. Karena Ujian Nasional, sudah bukan menjadi jawaban untuk merubah wajah pendidikan di negeri ini.
Lantas karena berbagai persoalan dan ketidakadilan yang berlaku di negeri ini, tentu berimbas pada ketidakpercayaan generasi muda, kalau sekolah dan pendidikan formal tentu membawah perubahan di masa depan. Keraguan para pendidik-pun demikian, karena Ujian Nasional sama sekali tidak pernah memihak kepada mereka.
Yang jadi persoalan, kalau banyak siswa-siswa dan guru-guru di negeri ini tidak betah menjalani dan menikmati pendidikan di negeri, siapa yang mau di alahkan. Apakah mau salahkan siswa-siswa yang telah nyata-nyata menjadi korban. Atau apakah harus menyalahkan para guru-guru yang hak dan kewenangannya telah nyata-nyata dilacuri oleh pemerintah pusat? Kita akan jawab bersama-sama dengan uraian di bawah ini.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>><<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<
Secara jujur, saya orang yang paling malas dengan kegiatan pulang pergi ke sekolah. Saya Kadang-kadang, bahkan hampir sering alpa, bolos, dan juga beralasan yang cukup banyak untuk tidak masuk. Saya tidak tahu, mengapa harus demikian? Padahal jarak sekolah dengan tempat tinggal saya sangat-sangat dekat (baca: 20m). Bukan berarti, saya tidak ingin mendapatkan pengetahuan di sekolah.
Setelah diperingatkan, baru kadang-kadang saya menulis sebuah surat sakit atau izin, itupun hanya alasan menutup kedok semata. Memang kata teman-teman, guru-guru, bahkan kepala sekolah mengklaimnya sebagai tindakan yang sungguh sangat “aneh”. Tapi itulah saya. Bagi saya menjadi orang aneh, adalah hal yang luar biasa. Karena La Roucefoucauld, kadang orang-orang anehlah yang membawah perubahan untuk dunia.
Saya lebih senang habisin waktu di rumah sambil internetan. Dimana mendapatkan informasi baru, sahabat baru, bahkan dapatkan sebuah dunia baru. Internet tidak pernah membelenggu, memperbudak, bahkan “membunuh” saya seperti pendidikan dan sekolah yang kadang “membunuh” dan “memperbudak”. Internet memberikan segala kebebasan untuk saya berekspresi. Baginya, apa yang dipunyainya, adalah kepunyaanku.
Awal mula saya kenal dengan dunia internet, ada sebuah nasihat yang diberikan oleh seorang guru komputer pada saya saat itu (baca: 4 tahun lalu). Dan bagi pribadi saya, nasehat ini adalah awal untuk saya melangkah, dan menjadi yang terbaik.
“dunia internet itu seperti sebuah pisau, tergantung yang mempergunakan pisau itu. Kalau pisau itu digunakan untuk hal-hal negatif, maka sangat berbahaya untuk kehidupannya. Tetapi kalau pisau itu digunakan secara baik dan cermat, maka akan memberikan sebuah manfaat yang sangat luar biasa”. Yah, memang demikian, itulah dunia internet.
Nasihat ini menjadi pelita untuk saya pribadi, bagaimana dapat menjadi orang yang serba hati-hati mempergunakan internet. Dan saya sangat senang, bisa diterima menjadi seorang sahabat dunia baru (baca: internet) yang bisa membuat dan menjawab segalanya. Saya paham, mana yang pantas untuk dipelajari, dan mana yang tidak pantas untuk dipelajari. Mana yang akan bermanfaat untuk perkembangan saya, dan mana yang akan menghancurkan hidup saya. Semua itu adalah sebuah pilihan hidup.
Selain internetan, saya juga lebih senang di rumah sambil baca buku yang dapat memotifasi dan memberikan pengetahuan kepada saya. Buku adalah jendela dunia, pernyataan ini sunguh sangat tepat. Dengan membaca buku, kita bisa mengelilingi dunia, walau hanya sebatas hayalan pengetahun belaka.
Saya selalu berpikir, perpustakaan mini yang ada di rumah sudah tentu akan menjadi guru terbaik saya. Guru yang memberikan segala informasi dan pengetahun. Perpustakaan mini itu adalah sahabat terbaiku. Sahabat yang mengajari saya tentang relitas keberadaaan dunia. Perpustakan ini sungguh telah memberikan sebuah pemahaman kepada saya, kalau datang ke sekolah bukanlah satu-satunya jalan untuk menjadi orang sukses. Sekolah bukan segalanya untuk membentuk karakter. Yah, memang semua itu sangat betul.
Saya lebih senang menjadi orang yang tidak munafik. Mempelajari dan memahami jahat dan buruknya dunia. Kehidupan haruslah demikian. Saya tidak senang dengan hal-hal jahat di dunia ini, tetapi mempelajari apa itu hal-hal jahat yang ada di dunia adalah kesenangannku. Dan buku dan internet mengajari semua akan hal itu. Dan pilihan itu ada pada kita, tindakan apa yang dapat kita lakukan dengan berbagai pengetahuan dan pemahaman itu.
Ke sekolah Itu Habisin Waktu
Saya selalu ingat, kata beberapa orang terkenal bahwa “Time Is Money” yang artinya waktu adalah uang. Pejabarannya, waktu dapat bermanfaat untuk menghasilkan sebuah uang. Termasuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat di masa depan nanti. Jadi, waktu sangat penting bukan? Hal ini sungguh menyadarkan saya tentang pentingnya mempergunakan waktu dengan baik.
Bagi saya pribadi, ke sekolah hanya akan menghabiskan segalanya. Termasuk menghabiskan waktu belajar, waktu tidur bahkan sampai pada menghabiskan waktu untuk berpikir panjang, termasuk memikirkan masa depan.
Saya lebih senang tidur, dari pada harus ke sekolah. Karena ketika saya tertidur, saya sedang memikirkan hal-hal besar apa yang akan saya buat. Tapi ketika saya ke sekolah, belum tentu saya berpikir yang besar, bahkan bukan tidak mungkin hal-hal konyol akan saya pikirkan, bahkan belum lagi kalau guru-gurunya pada konyol semua.
Habisin waktu di sekolah dengan tidak menghasilkan apa-apa bagi saya adalah kesalahan terbesar. Apa lagi, kalau waktu-waktu itu tidak di isi dengan pelajaran yang dapat membuat saya dan teman-teman pandai secara “rapot”. Apa itu pandai secara rapot? Itulah penyerapan pengetahun yang nyata, karena berbagai pengajaran dan doktrin pemerintah Pusat melalui buku teks pelajaran yang kadang dinilai sebagai ajang bisnis.
Saya selalu menyesal, kenapa waktu saya sering kali dihabiskan di sekolah tanpa mendapatkan apa-apa? Apalagi kalau teman-temannya pada bandel semua, disertai dengan gerak-gerik pencarian jati diri yang selalu berlebihan. Ini sebuah realita pada bangku pendidikan. Mungkin kata banyak orang, ini merupakan masa-masa pubertas. Masa untuk mengenal siapa dirinya.
Waktu untuk hidup, digunakan untuk mempelajari segalanya, termasuk mempelajari jahat dan buruknya dunia. Tuhan tidak pernah bersabda, bahwa matahari yang diciptakannya hanya untuk orang baik, namun orang jahat-pun mendapatkan kesempatan untuk menikmati panas teriknya matahari. Tapi yang perlu disadari, tidak menjadi pelaku kejahatan di dunia ini adalah pilihan terbaik.
Kata kasarnya, KE SEKOLAH ITU MENGHABISKAN WAKTU. Yah, memang benar, karena fakta di lapangan berbicara demikian. Jadi, alangkah baiknya belajar di rumah disertai memahami betul buruk dan jahatnya dunia ini, termasuk dunia pendidikan, dari pada menjadi penjahat sekolah, dan penikmat pendidikan yang berhasil dengan tidak memiliki kualitas Sumber daya manusia yang menjanjikan.
Kadang Guru Bersikap Konyol
Maaf kalau saya mengklaim guru-guru dengan kata konyol, karena memang fakta berbicara demikian. Saya tidak tahu, apa mereka tahu ketika mereka sedang bertindak secara konyol, atau mereka sedang bertindak mengarah kepada kekonyolan diri sendiri. Tapi pada intinya, mereka sadar kalau tindakan mereka itu sungguh konyol.
Ironis, telah disadari, tapi tidak pernah merubah diri. Membelunggu diri sendir, ini kalimat tepat untuk mereka para guru. Menjadikan diri menjadi guru yang konyol adalah pilihan hidup, dan pilihan itu tidak pernah dipilihkan oleh orang lain, namun bersumber dari keputusan diri pribadi.
Apa sebab saya klaim mereka konyol? Saya tahu, memang kesejahteraan mereka seringkali diabaikan. Tapi bukankah, keputusan untuk menjadi seorang guru, adalah suara sanubari hati yang patut dipertanggung jawabkan kepada Tuhan. Jangan jadikan profesi guru sebagai tempat pelarian yang paling aman karena tidak ada lapangan pekerjaan. Semoga tidak ada guru yang berpikir demikian. Kalau ada yang berpikir demikian, harus sadar dengan insaf, karena agama melarang seseorang untuk berdusta. (2)
Karena berbicara konteks seorang guru, berarti berbicara mengenai segala tugas, tanggung jawa, penderitaan, dan kesusahan yang akan dihadapi. Ini lebih kepada mereka, sehingga mereka selalu disebut-sebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, saya katakan yah, memang sangat tepat. Presiden bisa memerintah Negara, dokter bisa merawat pasien, pilot bisa membawah pesawat, hanya karena tangan dingin dari para guru.
Kekonyolan para guru yang pertama, sering dan sering terlambat ke sekolah. Waktu diabaikan, hal ini sudah tentu. Ketika mereka terlambat ke sekolah, otomatis siswa yang ingin mendapatkan suatu pengetahun menjadi korban. Saya tidak tahu apa pergumulan dan persoalan yang sedang dihadapi, tetapi bukankah mereka harus insaf dengan tugas utama mereka, dimana “memanusiakan manusia”, kata Paulo Freire.
Kekonyolan yang Kedua. Sering menunda wakut untuk mengajar. Sudah terlambat datang, kemudian saat siswa-siswi melaporkan tentang hal ini, sering disuruh tunggu di ruang kelas. “kalian tunggu di ruang kelas, nanti ibuguru/pakguru masuk. Kira-kira 20 Menit lagi yah” ini pernyataan yang selalu diucapkan para guru. Padahal tidak demikian, hampir 1 jam bercerita dengan teman-teman guru di kantor sampai habisin waktu mengajar, lagi-lagi siswa menjadi korban.
Kekonyolan ketiga, guru kadang bersikap otoriter. Pendidikan harus membebaskan, bukan membelenggu. Pendidikan haruslah menjadikan anak-anak sebagai individu yang menikmai kehidupan, bukan sebagai individu yang layak untuk ditawan, layaknya seorang budak. Seharusnya semua praktisi pendidikan, baik guru, kepala sekolah, sampai pada pejabat dinas pendidikan harus membaca beberapa buku yang di tulis oleh Paulo Freire, tentang pendidikan pembebasan. Karena buku-buku tersebut akan menjadi cerminan dalam mendidik dan mengarahkan siswa-siswi.
Kekonyolan yang keempat, guru selalu menjadikan dirinya Tuhan kedua, alis tidak memiliki kesalahan sama sekali. Sungguh ironis, ketika guru dengan berbagai cara biadab untuk membenarkan dirinya dari sebuah kesalahan. Anak-anak yang didik, memunyai mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan pikiran untuk berpikir, tetapi anak-anak didik selalu dianggap sebagai pribadi yang tidak berarti dengan segala kesalahan guru yang selalu dibenarkan, walaupun kenyataannya salah.
Guru selalu bertindak sebagai pribadi yang benar. Tindak lanjut dari pada kritikan atau protes yang dilakukan seorang anak terhadap guru, berimbas pada nilai rapot yang kadang jelek. “kamu boleh mengkritik saya didalam kelas saat ini, tetapi lihat saja nanti dalam nilai rapot kamu” ucapan Ini yang sering kali dikatakan oleh guru yang beranggapan sebagai Tuhan kedua. Mungkin malu kali.
Mungkin hanya beberapa kekonyolan guru yang bisa saya paparkan diatas, mewakil banyak kekonyolan guru lainnya. Tidak bisa dipungkir lagi, kadang kekonyolan ini-lah yang membuat saya dan generasi muda saat ini malas untuk pergi ke sekolah. Dan saya sadar ini adalah sebuah tindakan spontanitas yang sangat masuk diakal. Dan saya yakin, banyak anak-anak yang memiliki idealisme yang sama seperti saya, tapi saya juga bingung, apa yang membuat mereka tidak bertindak sampai saat ini. Atau mungkin, ada juga yang telah bertindak. Kalau ada, mungkin kita sepaham.
Saya dalam hal ini tidak berdiri sebagai seseorang hakim yang menghakim kesalahan para guru yang telah mengajari saya, namun hanya berdiri sebagai seseorang yang mengarahkan kepada sebuah pembetulan agar insaf dan sadar dengan perbuatan para guru yang sedikit tidak “berbudaya”. Kalian dalam segala waktu, cuaca, situasi tetap selalu menjadi pahlwan tanpa tanda jasa.
Sekolah Mencari Nilai Bagus
Saya salah satu orang yang paling benci dengan nyontek. Bahkan paling tidak suka kompromi dengan seorang guru yang ucapan katanya manis-manis dibibir untuk memperbudak pribadi saya. Mungkin ada maunya kali, kalau ada seorang guru yang bertindak demikian itu yang kadang saya pikirkan.
Mungkin kata beberapa orang saya sedikit berprestasi di luar sekolah, namun jangan kaget kalau beberapa nilai sekolah saya sedikit “bobrok”. Malu juga sih! tetapi memang kenyataan demikian, apa boleh buat. Saya insaf dengan kemampuan dan kelebihan saya, kalau tidak bisa, apa mau dipaksakan? Tetapi paling semua kita akan paham, siapa yang salah dalam konteks ini. Karena Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bukanlah solusi untuk memanusiakan manusia.
Model pendidikan di Indonesia adalah model pendidikan yang aneh. Salah satu keanehan itu bisa dilihat dari siswa-siswi yang berlomba-lomba dengan berbagai cara halal maupun tidak halal untuk mendapatkan nilai bagus. Demikian halnya dengan guru, mereka akan mengusahakan berbagai cara, halal maupun tidak halal untuk membantu siswa-siswinya agar berhasil dengan nilai tinggi.
Pendidikan di Benua Eropa (baca: Jerman, Perancis, Belanda) serta beberapa Negara maju lainnya tidak demikian. Bukankah bangsa dan siswa-siswi yang ada di Indonesia harus bercermin dari cara belajar dari Negara-negara berkembang demikian. Makanya jangan heran, kalau Negara ini (baca: Indonesia) tidak pernah berkembang dan maju.
Nyontek dikalangan siswa, adalah sebuah aktivitas yang lumrah. Lagian bagi mereka, kalau nyontek sudah tentu akan mendapatkan sebuah nilai yang bagus. Imits ini telah tertanam dari generasi ke generasi, karena model pendidikan yang harus menuntut dan memaksa seorang siswa untuk menjadi sempurna.
Ada seorang kakak kelas pernah berkata begini. “saya ini sekolah di sekolah yang sangat bermutu, ternyata pengamatan saya dalam beberapa bulan saat saya baru masuk, semua anak-anak yang ada dalam ruangan kelas memakai metode nyontek untuk mendapatkan nilai yang bagus. Saya pribadi yang tidak biasa dengan hal ini, harus ikut terjun kedunia nyontek, karena malu kalau nilai jelek terus, nanti teman-teman dorang bicara apa”. Ini katanya.
Pendidikan dengan model mencari nilai bagus, menjadikan siswa sebagai pribadi yang “tolol”. Bahkan guru dijadikan sebagai pribadi yang momok dalam satuan pendidik. Mengapa guru tidak mencari cara lain agar siswa tidak jenuh, kemudian kebiasaan suka nyontek bisa dijauhkan dari hadapan anak-anak. Saya tidak tahu apa sistem pendidikan mendesak demikian, ataukah sistem buku mata pelajaran yang harus menuntut demikian.
Tetapi setidaknya perlu dipahami, hal itu bukanlah solusi untuk menjawab mutu dan kualitas pendidikan. Baik mutu dan kualitas siswa yang menerima pelajaran, maupun guru yang memberikan pelajaran. Standar nilai bagus untuk naik kelas atau lulus, menjadikan mental siswa bobrok, bahkan tidak berbudaya..
Sekolah Mencari Ijazah
Siapapun kalau ditanya, apa guna bersekolah, maka dengan optimisnya akan menjawab untuk mencari ijasah. Yah, memang betul kita semua bersekolah untuk mencari sebuah ijasah. Yang kata beberapa orang, ijasah itu dapat bermanfaat untuk kelanjuatan karir dan profesi kita pada kehidupan masa depan.
Ijasah sendiri adalah sebuah kertas pengesahan yang dikeluarkan dinas penididkan setempat, yang mana menyatakan bahwa seorang siswa dinyatakan telah resmi selesai dari satuan jenjang pendidiakan tertentu. Baik selesai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Mendapatkan ijasah itu tidak mudah. Memang kenyataan, Karena harus melewati bangku pendidikan selama 12 Tahun, kalau ditambah lagi dengan Taman Kanak-kanak (TK) berarti hampir 14 Tahun. Tetapi yang mudah, kadang proses untuk menemukan ijasah itu, karena dilewati dengan berbagai cara-cara ilegal tadi.
Orang berpikir akhir dari pendidikan adalah ijasah, membuat mereka tertutup dengan fungsi dan makna pendidikan yang sebenarnya. Coba bayangkan, bayangan ijasah menjadikan mereka sebagai orang awam. Kadang bagi mereka, ijazah dan pengetahuan, lebih penting mendapatkan ijazah.
Sekolah seharusnya dipahami sebagai proses untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan seutuhnya, yang mana nantinya dapat berguna untuk menunjang berbagai karir kita melalui pengetahuan yang kita miliki. Sekolah identik dengan pengetahuan, maka tidak pantas ketika kita ke sekolah kemudian melakukan berbagai hal “biadab” untuk mendapatkan itu.
Karena yang ada dipikiran, hanyalah ijasah. Maka berbagai cara tidak halal yang dimaksudkan tadi akan berlangsung dalam sebuah proses pendidikan. Seharusnya sekolah di pahami sebagai tempat untuk pembentuk segala karakter, moral dan etika seorang siswa. Karakter seseorang, dapat menentukan berhasil dan tidak seseorang. Termasuk dalam karir yang diklaim hanya menggunakan sebuah ijasah.
Namun kalau mau diamati secara seksama kebanyakan sekolah di negeri tidak pernah mengedepankan pembentukan karakter, moral dan tingkah laku. Hal ini memang sukar dipahami, apa sebab demikian? Mungkin karena tidak ada penghargaan untuk mereka, atau seluruh siswa yang ada di sebuah sekolah ingin mencari jati diri, yang katanya dapat menambah kepercayaan dirinya. Ataukah, atau saya tidak tahu apa penyebabnya.
Saya pribadi selalu mencari jati diri dengan melakukan berbagai prestasi gemilang yang bisa mendapat pengakuan dari orang. Misalanya, saya sering menulis, saya sering internetan (bahkan pernah membawahkan seminar) bahkan ada beberapa pekerjaan mulia lainnya.
Tapi itulah, model mencari ijasah yang telah ditetapkan sejak lama, membuat banyak siswa-siswi yang ikut terhipnotis dengan program itu. Yang akhirnya berimbas pada kebobrokan mental, karakter siswa saat-saat ini. Tidak apa, hanya waktu yang akan menjawa semua itu. Siapa yang serius dan siapa yang hanya isen-isengan.
Epilog
Kenyataan berbicara demikian, kalau sekolah itu tidak mendidik dan membangun. Konteks awalnya tujuan sekolah memang untuk mendidik dan membangun. Ada beberapa hal yang membuat pendidikan terkatung-katung, sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan semua orang, itu satu diantaranya.
Maka perlu dipertanyakan pada diri semua kita, kira-kira penting atau tidak kita bersekolah. Karena kenyataan di lapangan menunjukan, kalau pendidikan tidak menjawab sebuah kebutuhan, tetapi kadang tambah mempersulit kehidupan.
Buat apa sekolah, kalau kenyataannya pendidikan tidak mendidik seseorang untuk menjadi seorang manusia. Pendidikan harus menjadian yang didik manusia. Bukan menjadikannya sebagai budak, bahkan sampai menjadi binatang.
Buat apa sekolah, kalau semua guru selalu dan selalu bertindak konyol. Bukankah dengan kekonyolan itu, telah turut menjadikan siswa sebagai objek yang tidak layak mendapatkan sebuah pengajaran. Bukankah ini sebuah pembodohan yang dilakukan para guru untuk tetap menjadikan siswa-siswi menjadi manusia yang tidak berhasil.
Buat apa sekolah? kalau ke sekolah hanya menghabiskan waktu. Menghabiskan waktu, sama saja dengan menyia-nyiakan kehidupan yang Tuhan Allah anugerahkan kepada manusia. Waktu harus diisi dengan berbagai hal yang dapat menunjang seseorang menjadi manusia, bukan menjadi manusia yang tidak berguna.
Buat apa sekolah? kalau ke sekolah hanya mencari nilai bagus. Apalagi kalau untuk mendapatkan nilai bagus, semua hal dilakukan, baik itu yang berbau dosa maupun tidak berbau dosa. Tuhan bisa di setankan, setan bisa di Tuhankan. Ini memang kenyataan.
Buat apa sekolah? Kalau sekolah hanya untuk mencari ijasah, yang dinilai dapat memberikan keberhasilan di masa depan. Bukankah ijasah hanyalah kertas yang dapat membuat seseorang menjadi tidak berarti, dengan ketidak mampuaannya beberapa saat kedepan.
Perenungan panjang buat semua kita. Apakah konteks fungsi utama sekolah yang sebenarnya telah nyata, ataukah hayalan semata wayang. Fungsi dan tujuan utama pendidikan harus kembali ke konteks utama, yaitu membuat manusia atau yang didik menjadi manusia yang berbudaya dan berbangsa.
Mungkin ini sebuah pekerjaan rumah buat mereka yang menetapkan sistem pendidian di Negara ini. Pekerjaan rumah buat mereka yang ikut ambil andil dalam kebijakan pendidikan yang ada. Dan pekerjaan rumah buat para guru yang sering mengajari anak-anak dengan sedikit “bobrok”. Akhirnya ini juga catatan buat anak-anak didik yang selama ini menjadi budak dari sistem pendidikan yang sangat konyol.
Kalau sistem pendidikan di negeri ini bisa dibenahi dengan menciptakan sistem yang lebih berkualitas, kenapa tidak harus? Kalau sistem pendidikan di negeri ini dirubah untuk menjadikan guru sebagai subjek yang berprestasi, kenapa tidak harus demikian. Kalau sekolah tidak mendidik dan mengajar, apa salahnya beralih kependidikan informal yang dinilai lebih berbudaya dan memberikan pemahaman yang lebih..
Mungkin hanya waktu yang akan menjawab semua itu. Karena kata Alkitab untuk segala sesuatu ada waktu. Berarti akan ada waktu dimana sistem pendidikan dibenahi ke sistem pendidikan yang lebih baik, akan ada waktu untuk para guru diperhatikan lebih serius, dan akan ada waktu juga untuk menjadikan siswa-siswi yang telah lama menjadi korban untuk menjadi penguasa, yang dapat memampukan orang lain dari generasi ke generasi.
Ini mungkin sebuah uraian yang menjadi harapan dari generasai dahulu kala bahkan generasi tahun-tahun ini, yang masih jadi korban dari system pendidikan nasional. Kita tinggal tunggu, kapan semua ini bisa berakhir. Dan kita juga tinggal tunggu, kapan waktu Tuhan.
*Catatan Kekecewaan terhadap guru dan Sistem Pendidikan Nasional
Sunday, January 17, 2010
Quo Vadis Pendidikan dan Guru
Label:
PENDIDIKAN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Komentar anda...