OCTHO- Melanjutkan tulisan Sabtu, (29/05) lalu tentang ketidaksiapan pejabat dalam membangun Kabupaten Intan Jaya. Memang benar, bahwa untuk membangun Kabupaten Intan Jaya di butuhkan peran kerja dan semua pihak, di antaranya, pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga yang ada, termasuk agama maupun adat, tapi yang paling berperang penting adalah pemerintah daerah sendiri sebagai pemegang kebijakan tertinggi.
Buntut ketidakpuasaan masyarakat pada kinerja pemerintah dan seorang pejabat sudah tentu akan menghambat pembangunan, selain itu dapat merepotkan pemerintah sendiri. Bisa kita ambil contoh, DPRD Kabupaten Intan Jaya yang belum di lantik hingga saat ini telah menimbulkan pro dan kontra antara masyarakat dan pemerintah sendiri, walaupun itu tugas KPUD sebagai lembaga penyelenggara.
Lampiasan amarah ketidakpuasaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah dan KPUD telah berbuntut pada perusakan kantor Bupati Intan Jaya pada beberapa waktu lalu, hal ini memang merupakan sebuah tantangan yang harus kita terima ketika tidak ada kerja sama yang baik antara pemerintah dan KPUD Paniai.
Ketika dewan Kabupaten Intan Jaya belum di lantik masyarakat tidak pernah memandang itu sebagai salah KPUD Paniai, tetapi mereka beranggapan bahwa pemerintah-lah yang salah. Dan terkait hal ini masing-masing kita memiliki pemahaman atau paradigm yang berbeda, tapi seringkali justru paradigma masyarakat-lah yang sering di jadikan acuan dalam memberikan sebuah peniliaan, dan hal itu nyata.
Ego pribadi dan ego lembaga kadang sering mengorbankan rakyat jelata yang tak tahu apa-apa. Perusakan kantor Bupati Intan Jaya oleh masyarakat Intan Jaya merupakan buntut kekecewaan masyarkaat terhadap segelintir orang yang tidak patuh, taat dan berpedoman pada aturan. Jika semua dengan lapang dada, membukan diri, berbicara dari hati ke hati, serta menerima sebuah kenyataan, mana mungkin hal-hal yang tidak kita inginkan dapat terjadi.
Pemerintah daerah Intan Jaya dan pejabatnya perlu bercermin diri dari peristiwa ini. Ini sudah jelas-jelas merupakan bukti ketidakmampuan dan ketidaksiapaan kita dalam menjalankan amanat masyarakat Intan Jaya untuk sebuah perubahan. Tidak ada yang perlu di sesali, semua telah terjadi, dan saatnya untuk memperjuangkan harapan itu agar dapat membuahkan hasil. Ini sebuah pekerjaan rumah yang masyarakat Intan Jaya telah berikan kepada pemerintah dan KPUD!
Tetapi dalam tulisan ini saya tidak ingin bahas tentang kinerja KPUD, namun saya hanya ingin lebih fokus kepada pemerintah daerah dan para pejabatnya dalam kinerja mereka membangun Kabupaten Intan Jaya.
Jika sebuah daerah ingin maju dan berkembang, maka ada orang-orang atau lembaga-lembaga yang perlu melakukan fungis kontrol terhadap keseriusaan dan kinerja pejabat-pejabat daerah, bukan pemerintah daerah. Semua daerah sudah tentu akan taat pada aturan yang telah di tetapkan, tetapi tidak semua pejabat-pejabat yang taat pada aturan itu. Disini lebih fokus kepada person orang atau pribadi orang itu (pejabat). Disini antara mau taat pada hati nurani dan mau taat pada keinginan pribadi.
Seorang pejabat yang tidak siap untuk memimpin sudah tentu akan merusak citra sebuah daerah. Ketidakmampuan akan melahirkan sebuah bentuk pelanggaran, yang justru mengorbankan rakyat, daerah bahkan bisa jadi korbankan keuangan darah itu. Sudah banyak contoh, karena ketikdakmampuan, maka harus berhadapan dengan hukum, ujung-ujungnya terali besi.
Selain ketidakmampuan, ada lagi yang lebih parah, memilki kemampuan, tetapi di gunakan untuk berdusat. Pejabat model ini lebih pandai bersandiwara, karena telah mengetahui segala trik-trik, jalan bahkan sampai jalur-jalur untuk “menyolong”. Ini parah sangat parah!
Awalnya korupsi bukanlah budaya orang Papua, namun, menggenaskan, sebuah kata yang pantas di ucapkan, bahwa korupsi saat ini telah menjadi budaya yang sangat lumrah di lakukan oleh seluruh pejabat di Papua. semoga tidak di Kabupaten Intan Jaya, jika ada, sudah pasti harus di usut tuntas.
Langkah awal korupsi “dicap” sebagai budaya orang Papua ketika bergulirnya dana Otsus yang sangat besar. Dana Otsus itu memang sangat besar, masih menjadi perdebatan, Jakarta memberikan dana yang besar untuk orang Papua agar Papua bisa di bangun, atau justru menciptakan orang Papua yang rusak moral dan etikanya.
Dari tahun ke tahun dana Otsus meningkat sangat signifikan semisal 2,4 trilyun (tahun 2004), 4,8 trilyun (tahun 2006), 5,3 trilyun (tahun 2007), 5,5 trilyun (tahun 2008), 5,3 trilyun (tahun 2009) dan untuk ABPD Propinsi Papua tahun 2010 membutuhkan 5,2 trilyun. Dana itu diperuntukan untuk pembiayaan berbagai sektor yang rawan dan begitu tertinggal dari daerah lainnya di Indonesia, seperti; sektor Pendidikan, sektor kesehatan, sektor perekonomian, sektor kebudayaan dan masih banya lagi. Tetapi, masih saja terjadi in-efisiensi yang berpeluang untuk dikorupsi.
Saya lebih sering berkesimpulan bahwa Otsus yang hadir sejak 9 tahun lalu di bumi Papua membuat orang Papua semakin “tidak tau diri”. Mengapa, karena hanya orang tidak tau diri saja yang bisa mengambil hak orang lain, bisa mencuri hak orang lain, bahkan menipu orang lain untuk mengambil hak mereka. Semua pejabat di Papua melakukannya, jika tidak melakukannya, kadang di sebut tidak jantan.
Banyak cara kita menilai apakah pejabat-pejabat di Intan Jaya melakukannya atau tidak. Mudah, sangat gampang jika kita ingin membuktikan hal itu. Tidak perlu memanggil Badan Pemeriksa Keuagaan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesia Coruption Watch (ICW) atau Papua Watch Coruption (PCW) karenah toh banyak ketimpangan yang mereka buat dalam menjalanakan amanat yang telah di tetapkan UU, salah satunya penundaan pelantikan DPRD Intan Jaya hingga saat. Dan perlu kita tahu, bahwa fungsi kerja dewan sangat besar, yakni memberikan pertimbangan, masukan, serta melakukan audit terhadap segala penggunaan dana. Dana kalau begitu, saat ini apakah ada lembaga yang melakukan pengawasan terhadap dana-dana yang di gunakan oleh pemerintah dan pejabat di Intan Jaya? Saya kira tak ada, pertanggung jawabannya-pun masih kabur, akan di laporkan kemana?
Tetapi ingat, saya tidak mengatakan bahwa pejabat di Intan Jaya melakukan korupsi. Saya hanya ingin mengatakan bahwa tanda-tanda bahwa korupsi itu telah ada dengan berbagai kasus, peristiwa, dan kejadiaan yang yang saya kira tidak perlu di jelaskan.
Banyak penggunaan dana yang tidak transparan. Banyak pelelangan proyek maupun tender yang tidak di lakukan sesuai prosedur. Kemudian, dalam sebuah system pemerintahan tidak pernah ada seorang pejabat (kepala dinas) yang mencari pengusaha (mitra kerja) tetapi pengusaha-lah yang mencari pemerintah, tetapi saat ini banyak pejabat Intan Jaya yang mencari pengusaha, bingung, untuk kompromi, kerja sama untuk membual atau justru kerja sama untuk membangun daerah Intan Jaya.
Jika saya menuliskan satu persatu ketimpangan itu, maka terlalu banyak, dan tidaklah muingkin saya menuliskan. Saya hanya ingin mengatakan, berbalik-lah, sudah cukup pandangan tentang ketidakmampuan itu di alamatkan kepada para pejabat sekalian. Saya tidak menjadi hakim, dan saya juga tidak ingin menuduh-nuduh, saya hanya di tugaskan membantu masyarakat kecil yang selama ini menjadi korban dari ketidaktahuaan mereka, menjadi korban dari ketidakmampuan mereka.
Tulisan ini bentuk kritik membangun sekaligus bentuk penyadaraan, agar insaf dan kembali ke jalan yang benar, sebelum semuanya terlambat dan di sesali. Dalam negara hukum, tidak ada seorangpun pejabat atau manusia yang kebal terhadap hukum. Tetapi akan lebih baik, jika pejabat atau seseorang menjadikan hukum sebagai pangliman.
Selain itu, tulisan ini juga bentuk kritik membangun, agar sama-sama memikirkan cara dan jalan terbaik untuk membangun Kabupaten Intan Jaya kedepannya. Jika ada yang tidak berkenan dalam tulisan ini, mohon di maafkan, tetapi saya akan masih tetap menulis, agar kita bisa sama-sama saling control dalam menjalankan amanat masyarakat Intan Jaya. Masing-masing kita mempunyai fungsi kerja yang berbeda, tidak perlu ada yang saling complain dengan kerja-kerja itu, kecuali saling mengingatkan untuk sebuah kemajuan bersama. Amakane!!
Sumber: koran harian Papua Post Nabire
Sunday, May 30, 2010
Ketidaksiapan Dalam Membangun Kabupaten Intan Jaya (2)
Friday, May 28, 2010
Ketidaksiapan Pejabat Membangun Kabupaten Intan Jaya (1)
OCTHO- Saat ini masyarakat Intan Jaya terlihat hidup terlantar, sudah tentu “sengaja” di biarkan terlantar agar tidak menikmati manfaat dari pemekaran. Pejabat yang nyata-nyata terlihat begitu menikmati manfaat dari pemekaran, yakni dengan kehadiran begitu banyak uang pemekaran, termasuk uang Otsus.
Bisa di simpulkan para pejabat tidak siap membangun Kabupaten Intan Jaya, karena di buat lupa dengan kehadiran banyaknya uang Otsus itu. Masyarakat yang menjadi objek dari pada pembangunan semakin di biarkan terlantar. Ini sungguh Ironis, ternyata pemekaran membawah dampak yang sangat buruk bagi masyarakat Intan Jaya!
Semua orang telah mengatahui bahwa Intan Jaya adalah sebuah daerah (gabungan beberapa distrik) yang telah di mekarkan menjadi sebuah Kabupaten. Posisinya sudah sama dengan beberapa Kabupaten di tanah Papua, termasuk Kabupaten Induk, yakni Kabupaten Paniai sendiri. Intan Jaya telah di percaya punya kemampuan untuk mengurus, mengarahkan serta mengatur dirinya sendiri, termasuk mengurus masyarakatnya.
Intan Jaya telah memiliki seorang kepala daerah atau kepala pemerintahaan yang di sebut dengan Bupati (baca; penjabat bupati). Seorang kepala daerah di damping oleh Asisten I dan Asisten II, yang keduanya menjadi perpanjangan tangan seorang Bupati, di tambah lagi dengan Sekda sebagai penanggung jawab segala administrasi di daerah tersebut.
Selain unsur pimpinan tertinggi di atas, ada juga yang membantu mereka dalam menjalankan roda pemerintahaan, yakni kepala-kepala dinas (Eselon II), Kabag-kabag (Eselon III), dan Kabid (Eselon III). Fungsi dari setiap kepala dinas, kabag dan Kabid sendiri menangani segala bidang pekerjaan yang berkaitan dengan kedinasan yang di bebankan oleh pemerintah melalui UU No 32 Tahun 2003 tentang Pemerintah Daerah.
Contoh, kepala dinas kesehatan, bertugas memperhatikan segala urusan yang berkaitan dengan kesehatan di Kabupaten Intan Jaya, kepala dinas pendidikan juga demikian, dan dinas-dinas terkait lainnya sama halnya.
Setiap pimpinan di atas memilki setiap staf yang sudah tentu di harapkan dapat bekerja sama dengan baik, agar manfaat dari pada kehadiran mereka di rasakan oleh masyarakat setempat. setiap pejabat yang telah di pilih dan memilih di harapkan dapat membawah sebuah perubahan bagi masyarakat Intan Jaya. Kenyataan saat ini tidak demikian, pejabat saat ini lebih mengabdi kepada “uang” dari pada masyarakat intan jaya.
Mungkin perlu contoh, seorang pejabat tidak akan berangkat ke Intan Jaya dari Kabupaten Nabire jika tidak ada uang SPPD. Aneh bukan, padahal Kabupaten Nabire bukanlah ibukota Kabupaten Intan Jaya. Dan memang kenyataan ini yang sering terjadi. Banyak pejabat lebih senang bahkan sangat senang tinggal di Nabire dari pada ke Kabupaten Intan Jaya yang katanya tak ada lampu penerang. Ini sungguh ironis!
Saat ini para pejabat di Kabupaten Intan Jaya sedang menikmati apa yang di namakan dengan “manfaat pemekaran”. Karena memang benar, bahwa pemekaran sudah tentu menghadirkan banyak uang. Padahal manfaat pemekaran itu harus di rasakan oleh masyarakat. Dan sebenarnya uang itu adalah uang pembangunan. Tidak ada seseorang-pun yang bisa membantah pernyataan ini, karena kenyataan memang demikian.
Pemekaran hadir di Kabupaten Intan Jaya dengan dua alasan, pertama; mempersempit rentang kendali, artinya agar masyarakat terjangkau oleh pembangunan. Kedua; memberdayakan mereka, agar menjadi tuan di atas tanah kelahiran mereka sendiri sesuai amanat UU Otsus. Nyatanya apa benar, tidak! Masyarakat sungguh-sungguh tidak pernah di berdayakan.
Pemekaran bukanlah sebuah solusi, jika yang menikmati uang-uang pembangunanan dan manfaat pemakaran adalah pejabat-pejabat local yang ada di Kabupaten Intan Jaya. Dan pemekaran juga bukanlah sebuah solusi, jika pejabat Intan Jaya lebih senang mengabdi kepada masyarkat yang bukan dari tempat asalnya.
Kita belum siap menerima pemekaran, jika pejabat Intan Jaya lebih sering berfoya-foya di atas penderitaan rakyat. Dan jangan marah juga, jika ada yang mengatakan bahwa pejabat Intan Jaya belum dewasa dalam menerima kehadiran pemekaran.
Para pejabat Intan Jaya yang terpilih dan memilih adalah figur yang di harapkan dapat membawah perubahan, perubahan bagi masyrakat Intan Jaya yang memang telah lama ingin menikmati sebuah pembangunan. Kiranya kehadiran para pejabat Intan Jaya tidak mengorbankan rakyat kecil yang ada di Intan Jaya.
Beberapa perkantoran telah di bangun Kabupaten Intan Jaya, namun sering juga tak banyak yang menghuninya (datang bekerja). Alasannya mulai beragam ketika di tanya, sedang urusan dinas keluar, sedang pertemuan luar kota, dan segala macamnya. Jika di amati, semua itu lebih menguntungkan pejabat bersangkutan.
Pejabat terpilih yang ingin mengabdi kepada masyarakat harus memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan mereka, bukan justru memperhatikan kepentingan pribadi semata. Seorang pejabat bisa hadir karena adanya masyarkat. Pemekaran juga bisa hadir karena adanya tuntutan masyrakat. Pemekaran tidak pernah hadirk karena tuntutan pejabat, kalaupun ada, hanya beberapa saja.
Masyarakat sering kali di korbankan oleh para pejabat untuk mencapai apa yang di namakan dengan pemekaran. Lihat saja, mana ada sebuah daerah yang bisa di mekarkan jika tidak ada tuntutan murni dari masyarakat setempat. Disini masyarakat perlu kritis, terutama masyrakat Intan Jaya sendiri. Jangan sampai kehadiran sebuah pemekaran justru mengorbankan masyarakat yang memang dari awal menginginkan sebuah perubahan.
Tulisan ini bentuk kritik membangun bagi para pejabat Intan Jaya yang telah lalai dengan tugas utama, yakni; mengabdi untuk masyarakat intan jaya, bukan untuk uang. Saya akan tetap menulis, biar pejabat Intan Jaya insaf dengan perbuataan tak terpuji yang mereka lakukan selama ini. Amakane!
Sumber: Koran Harian Papua Post Nabire
Thursday, May 20, 2010
Pemerintah Harus Serius Terhadap Papua
OCTHO- Langkah pemerintah Pusat untuk memberikan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) pada 9 tahun silam awalnya di anggap sebagai langkah yang tepat. Banyak orang sudah menggembar-gemborkan kehadiran UU Otsus yang katanya akan memberikan perubahan bagi orang asli Papua. Otsus di anggap sebagai “malaikat” yang akan membawah terang.
Selain itu, undang-undang Otsus merupakan bentuk penghargaan tertinggi pemerintah Indonesia kepada masyarakat, khususnya penduduk asli Papua sendiri. Dengan prinsip itu, undang-undang Otsus di harapkan mampu memberikan kesempatan, bahkan memperluas ruang partisipasi masyarakat asli Papua dalam segala bidang pembangunan.
Otsus sejatinya ditujukan untuk mengatasi masalah kesenjangan antara daerah Papua dan daerah lainnya di Indonesia. Karena selama ini bisa kita pandang, Papua daerah yang paling tertinggal dan terbelakang dari daerah lainnya di Indonesia. Selain itu, Otsus secara politis dimaknai sebagai alat penyeimbang atas seluruh persoalan dan titik kompromi politik antar Pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua dalam penyelesaian masalah Papua secara bermartabat.
Kehadiran Otsus juga di barengi dengan kucuran dana dari pemerintah Pusat yang jumlah tidak sedikit. Dana Otsus dikucurkan oleh pemerintah Indonesia triliunan rupiah. Dari tahun ke tahun meningkatnya sangat signifikan semisal 2,4 trilyun (tahun 2004), 4,8 trilyun (tahun 2006), 5,3 trilyun (tahun 2007), 5,5 trilyun (tahun 2008), 5,3 trilyun (tahun 2009) dan untuk ABPD Propinsi Papua tahun 2010 membutuhkan 5,2 trilyun. Dana itu diperuntukan untuk pembiayaan berbagai sektor yang rawan dan begitu tertinggal dari daerah lainnya di Indonesia, seperti; sektor Pendidikan, sektor kesehatan, sektor perekonomian, sektor kebudayaan dan masih banya lagi. Tetapi, masih saja terjadi in-efisiensi yang berpeluang untuk dikorupsi.
Jika dana itu di gunakan secara baik dan efisien, sudah tentu akan nampak sebuah perubahan. Dan yang menjadi pertanyaan, sekian banyak dana itu di gunakan untuk apa saja? Karena toh, kehidupan penduduk asli Papua masih sangat memprihatinkan. Disini itikad baik dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dalam mengelolah dana Otsus itu kembali di pertanyakan?
Amanat Otsus juga menghendaki agar di bentuk sebuah lembaga representasi kultural orang asli Papua yang dapat memperhatikan hak-hak adat, hak-hak hidup dan hak-hak orang asli Papua yang lainnya. Maka dengan Keputusan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2004, tertanggal, 23 Desember 2004 lahir Majelis Rakyat Papua (MRP). Dalam amanat UU No. 21 Tahun 2001 pasal ke 20 berbunyi panjang lebar mengenai tugas dan tanggung jawab yang MRP embani sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua.
Secara garis besar Tugas utama MRP dibentuk sesuai dengan amanat UU No 21 Tahun 2001 adalah dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama (pasal 1 butir ke-6). Yang mana semuanya ini mengarahkan kepada pembebasan manusia asli Papua sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia dan hakiki.
Orang asli Papua telah menaruh segala kepercayaan kepada MRP, yang mana dapat membawah segala aspirasi dan keinginan orang asli Papua untuk di sampaikan kepada pemerintah, baik pusat maupun provinsi. Dipundak MPR terdapat segala keluh kesah orang asli Papua, berarti MRP mempunya tanggung jawab moril yang begitu besar kepada rakyat Papua.
Beberapa masukan, pertimbangan serta keputusan yang MRP berikan kepada pemerintah kadang kala di abaikan, hal ini sudah tentu menurunkan tingkat kepercayaan rakyat Papua kepada MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. bahkan ada kalangan yang meneriakan agar MRP di bubarkan, hal ini wajar, karena selama ini MRP di anggap tidak “bertaring” kepada pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua.
Dengan melihat ketertinggalan, ketidakadilan, serta ketidakberhpihakan pemerintah pusat maupun provinsi kepada orang asli Papua, maka MRP dengan segala niat baiknya mengacu pada amanat UU Otsus melahirkan sebuah keputusan dengan Nomor: 14/MRP/2009 tentang penetapan orang asli Papua sebagai syarat khusus dalam penentuan bakal calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di tanah Papua. Ini sebuah langkah baik yang sudah tentu akan mengangkat harkat, derajat dan martabat orang asli Papua, sekaligus merupakan sebuah bentuk pemberdayaan anak-anak asli Papua diatas tanah kelahiran mereka sendiri.
Pemerintah Provinsi, dalam hal ini Gubernur Provinsi Papua sebagai kepala daerah sekaligus Pembina politik di tanah Papua sudah harus mendukungnya. Dan bila perlu ikut memperjuangkannya hingga ke pemerintah pusat. Karena jika SK MRP No 14 tidak di penuhi dalam bentuk sebuah Perdasus, sudah tentu akan melahirkan bentuk kekecewaan yang besar di kalangan penduduk asli Papua. Selain itu arus imigrasi baik yang resmi maupun tidak resmi akan membuat orang asli Papua tersingkir, bisa jadi akan menjadi minoritas di atas tanah ini.
Lahirnya SK MRP No.14 ini untuk menjawab amanat Otsus, dimana orang asli Papua dapat menjadi tuan di atas tanah kelahirannya sendiri. SK MRP No.14 ini tidak jatuh dari langit, bahkan SK ini juga bukan untuk menjawab kepentingan segelintir orang, tetapi in merupakan sebuah jawaban untuk jutaan rakyat Papua yang bergumul dan berdoa di tanah ini. SK MRP No.14 juga lahir karena bentuk pergumulan panjang seluruh rakyat asli Papua.
Kami sangat berharap pemerintah provinsi maupun pusat dapat memperhatikan hak-hak kami, dimana menjadi tuan di atas tanah sendiri. semoga!
Sunday, May 16, 2010
Pemerintah DIminta SIkapi Serius SK MRP No.14
Orang asli Papua di buat betul-betul tidak berdaya di atas tanah kelahirannya sendiri. SK MRP No.14 tahun 2009 adalah jati diri orang asli Papua yang sedang di perjuangkan, jika jakarta tidak mengakomodirnya, orang Papua sudah tentu akan ancam "pisah". TUntutan yang harus di penuhi!
OCTHO – Inisiatif pemerintah Pusat untuk memberikan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) pada 9 tahun silam awalnya di anggap sebagai langkah yang tepat. Banyak orang sudah menggembar-gemborkan kehadiran UU Otsus yang katanya akan memberikan perubahan bagi orang asli Papua. Otsus di anggap sebagai “malaikat” yang akan membawah terang.
Selain itu, undang-undang Otsus merupakan bentuk penghargaan tertinggi pemerintah Indonesia kepada masyarakat, khususnya penduduk asli Papua sendiri. Dengan prinsip itu, undang-undang Otsus di harapkan mampu memberikan kesempatan, bahkan memperluas ruang partisipasi masyarakat asli Papua dalam segala bidang pembangunan.
Otsus sejatinya ditujukan untuk mengatasi masalah kesenjangan antara daerah Papua dan daerah lainnya di Indonesia. Karena selama ini bisa kita pandang, Papua daerah yang paling tertinggal dan terbelakang dari daerah lainnya di Indonesia. Selain itu, Otsus secara politis dimaknai sebagai alat penyeimbang atas seluruh persoalan dan titik kompromi politik antar Pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua dalam penyelesaian masalah Papua secara bermartabat.
Kehadiran Otsus juga di barengi dengan kucuran dana dari pemerintah Pusat yang jumlah tidak sedikit. Dana Otsus dikucurkan oleh pemerintah Indonesia triliunan rupiah. Dari tahun ke tahun meningkatnya sangat signifikan semisal 2,4 trilyun (tahun 2004), 4,8 trilyun (tahun 2006), 5,3 trilyun (tahun 2007), 5,5 trilyun (tahun 2008), 5,3 trilyun (tahun 2009) dan untuk ABPD Propinsi Papua tahun 2010 membutuhkan 5,2 trilyun. Dana itu diperuntukan untuk pembiayaan berbagai sektor yang rawan dan begitu tertinggal dari daerah lainnya di Indonesia, seperti; sektor Pendidikan, sektor kesehatan, sektor perekonomian, sektor kebudayaan dan masih banya lagi. Tetapi, masih saja terjadi in-efisiensi yang berpeluang untuk dikorupsi.
Jika dana itu di gunakan secara baik dan efisien, sudah tentu akan nampak sebuah perubahan. Dan yang menjadi pertanyaan, sekian banyak dana itu di gunakan untuk apa saja? Karena toh, kehidupan penduduk asli Papua masih sangat memprihatinkan. Disini itikad baik dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dalam mengelolah dana Otsus itu kembali di pertanyakan?
Amanat Otsus juga menghendaki agar di bentuk sebuah lembaga representasi kultural orang asli Papua yang dapat memperhatikan hak-hak adat, hak-hak hidup dan hak-hak orang asli Papua yang lainnya. Maka dengan Keputusan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2004, tertanggal, 23 Desember 2004 lahir Majelis Rakyat Papua (MRP). Dalam amanat UU No. 21 Tahun 2001 pasal ke 20 berbunyi panjang lebar mengenai tugas dan tanggung jawab yang MRP embani sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua.
Secara garis besar Tugas utama MRP dibentuk sesuai dengan amanat UU No 21 Tahun 2001 adalah dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama (pasal 1 butir ke-6). Yang mana semuanya ini mengarahkan kepada pembebasan manusia asli Papua sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia dan hakiki.
Orang asli Papua telah menaruh segala kepercayaan kepada MRP, yang mana dapat membawah segala aspirasi dan keinginan orang asli Papua untuk di sampaikan kepada pemerintah, baik pusat maupun provinsi. Dipundak MPR terdapat segala keluh kesah orang asli Papua, berarti MRP mempunya tanggung jawab moril yang begitu besar kepada rakyat Papua.
Beberapa masukan, pertimbangan serta keputusan yang MRP berikan kepada pemerintah kadang kala di abaikan, hal ini sudah tentu menurunkan tingkat kepercayaan rakyat Papua kepada MRP sebagai lembaga representasi kultural orang asli Papua. bahkan ada kalangan yang meneriakan agar MRP di bubarkan, hal ini wajar, karena selama ini MRP di anggap tidak “bertaring” kepada pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua.
Dengan melihat ketertinggalan, ketidakadilan, serta ketidakberhpihakan pemerintah pusat maupun provinsi kepada orang asli Papua, maka MRP dengan segala niat baiknya mengacu pada amanat UU Otsus melahirkan sebuah keputusan dengan Nomor: 14/MRP/2009 tentang penetapan orang asli Papua sebagai syarat khusus dalam penentuan bakal calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di tanah Papua. Ini sebuah langkah baik yang sudah tentu akan mengangkat harkat, derajat dan martabat orang asli Papua, sekaligus merupakan sebuah bentuk pemberdayaan anak-anak asli Papua diatas tanah kelahiran mereka sendiri.
Pemerintah Provinsi, dalam hal ini Gubernur Provinsi Papua sebagai kepala daerah sekaligus Pembina politik di tanah Papua sudah harus mendukungnya. Dan bila perlu ikut memperjuangkannya hingga ke pemerintah pusat. Karena jika SK MRP No 14 tidak di penuhi dalam bentuk sebuah Perdasus, sudah tentu akan melahirkan bentuk kekecewaan yang besar di kalangan penduduk asli Papua. Selain itu arus imigrasi baik yang resmi maupun tidak resmi akan membuat orang asli Papua tersingkir, bisa jadi akan menjadi minoritas di atas tanah ini.
Lahirnya SK MRP No.14 ini untuk menjawab amanat Otsus, dimana orang asli Papua dapat menjadi tuan di atas tanah kelahirannya sendiri. SK MRP No.14 ini tidak jatuh dari langit, bahkan SK ini juga bukan untuk menjawab kepentingan segelintir orang, tetapi in merupakan sebuah jawaban untuk jutaan rakyat Papua yang bergumul dan berdoa di tanah ini. SK MRP No.14 juga lahir karena bentuk pergumulan panjang seluruh rakyat asli Papua.
Dengan menyadari pentingnya di terapkan SK MRP No.14, sekaligus dengan pembuatan perdasus yang berkaitan dengan ini, kami dari Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu, yang mana merupakan gabungan masyarakat sipil yang peduli terhadap segala bentuk persoalan di tanah Papua, beridiri terdepan untuk ikut sama-sama dengan MRP bahkan DPRP memperjuangkan hingga keputusan ini bisa di akomodir oleh pemerintah pusat, kami juga dengan segala kerendahan hati, akan mendatangi Gubernur Provinsi agar bersedia ikut sepakat dan bersama-sama memperjuangkan SK MRP No.14 hingga ke pemerintah pusat di Jakarta.
Bukti kepedulian kami juga akan di buktikan dengan demo masa yang akan secara besaran-besaran menduduki kantor Gubenur selama 3 hari, sejak hari selasa tanggal 18 hingga hari kamis tanggal 20 besok. Kami melakukan aksi masa ini karena kami sangat prihatin dengan seorang Gubernur yang notabenen orang asli Papua, namun tidak bisa mengakomodir kepentingan orang asli Papua.
Dengan himbauan sekaligus siaran pers ini juga kami mengajak seluruh komponen rakyat Papua dimanapun berada, terutama di sekitar kota Jayapura untuk ikut berpartisipasi dalam aksi demo besar-besaran ke kantor Gubernur pada hasi selasa besok hingga selesai. Ini bentuk tuntutan kita kepada seorang Gubernur, agar memperhatikan apa yang menjadi kerinduan luhur masyarakat asli Papua.
Untuk Mahasiswa/I dimana-pun berada, agar ikut sama-sama memperjuangkan SK MRP No.14 untuk di setujui oleh Gubernur dan hingga Gubernur bersedia melakakan pembicaraan dengan pemerintah pusat di Jakarta. Sudah saatnya kita berjuang agar harga diri orang Papua bisa di tegakan secara bermartabat dan adil. Keadilan, keberpihakan, dan penghargaan tertinggi kepada orang asli Papua adalah sebuah kebutuhan mendasar yang harus diberikan. (***)
Jayapura, 16 Mei 2010
Sumber gambar ist.
Saturday, May 15, 2010
Bucthar Tabuni : Kami Akan Kembalikan Merah Putih
OCTHO – Buctar Tabuni, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sekaligus salah satu tahanan Politik di Papua mengatakan bahwa mereka akan mengembalikan bendera merah putih kepada Negara kesatuan republic Indonesia, jika Negara tidak memperhatikan hak-hak adat rakyat Papua, termasuk ha-hak politik.
“Kami akan mengembalikan merah putih kepada Negara Indonesia, jika mereka tidak memperhatikan haki-hak adat dan hak-hak politik kami,” jelas bucthar di hadapan Menteri Hukum dan HAM, kemarin (Sabtu/05) di LP Abepura, Jayapura.
Pernyataan Bucthar di dasarkan pada kenyataan, dimana persoalan politik dan hak asasi manusia orang asli Papua tidak pernah di perhatikan oleh Negara Indonesia. “Negara harus memperhatikan seluruh tahanan politik yang ada di tanah Papua, sebab kami juga mempunyai hak dan kewenangan untuk hidup,”urainya.
Sementara itu Menteri Hukum dan HAM, Patrlalis Akbar mengatakan bahwa apa yang di sampaikan oleh Buctar Tabuni akan menjadi perhatian utama mereka. “Kami akan memperhatikan apa yang di katakan oleh saudara Buctar,”jelasnya.
Menteri Hukum dan HAM juga mengatakan bahwa kunjungan mereka juga untuk memperhatikan segala aspirasi dan keluhan yang di sampaikan oleh para tahanan di lembaga permasyarakatan Abepura.
“Kami akan memperhatikan apa yang menjadi keluhan, kebutuhan, dan aspirasi para tahanan di Lapas Abepura,” urainya saat memberikan penjelasan. (op)
Sumber: Tabloid Jubi Online
Friday, May 14, 2010
Mahasiswa Uncen Palang Kampus Sambil Berdemo
Kampus Uncen milik orang asli Papua, sudah tentu kesempatan untuk mendapatkan pendidikan juga harus di berikan kepada mereka . Kenyataan ini mengalami kendaia, tuntutan mahasiswa cuma satu, kembalikan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan.
OCTHO- Mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) Papua berdemo ke kampus sekaligus mereka memalang kampus mereka, terkait penerimaan mahasiswa baru di kampus Uncen yang menurut mereka lebih di dominasi oleh orang non-Papua, Jumat (14/05) kemarin.
Benyamin Gurik, Kordinator aksi mengatakan bahwa kampus Uncen adalah kampus orang asli Papua, oleh karena itu penerimaan mahasiswa baru harus lebih berpihak kepada anak-anak aslis Papua itu sendiri. “Kampus ini milik orang asli Papua, oleh karena itu penerimaannya harus berpihak kepada orang asli Papua,“ tegasnya.
Lebih lanjut menurut Gurik, visi dan misi Uncen sudah jelas, bahwa ingin memberdayakan anak-anak asli Papua, oleh karena itu harus di wujud nyatakan komitmen itu.
Gurik juga mengatakan bahwa, sistem penerimaan mahasiswa baru yang bersifat online tidaklah memihak kepada orang asli Papua, karena tidak banyak orang asli Papua yang paham akan dunia teknologi, dalam hal ini dunia internet. Selain itu juga banyak orang asli Papua yang hidupnya di daerah-daerah pedalaman, pesisir dan pegunungan, sudah tentu tidak terdapat fasilitas internet di sana.
Kebijakan kampus yang membuka pendaftaran mahasiswa baru dengan system Online sudah tidak relevan, dan tidak pas untuk anak-anak asli Papua, kami kira manajemen kampus memahani persoalan ini, pungkas mereka saat menyampaikan pendapatnya.
Setelah secara bergantian masa menyampaikan orasi, akhirnya mereka diterima oleh pembantu rektor satu, Festus Simbiak bersama dengan beberapa dekan fakultas di ruang Auditorium. Dalam arahanya pembantu rector satu mengatakan bahwa tuntutan yang di sampaikan oleh mahasiswa akan di bicarakan dengan pihak kampus, dalam hal ini kepada rektor juga.
“Kami sudah tentu akan mengakomodir tuntutan ini, nanti kita akan lihat sama-sama di akhir pengumuman. Tungguh saja hingga ada hasil yang jelas,” urainya menjelaskan.
Setelah pembantu rector satu menjelaskan terkait tuntutan mereka, dengan tentang masa membubarkan diri. “Kami akan kawal dan tunggu sampai ada hasil penerimaan mahasiswa yang di umumkan secara resmi,” tegas salah satu pendemo kepada media ini. (oP)
Thursday, May 13, 2010
Pedagang Asli Papua Harus Diperhatikan
OCTHO- Kurang lebih 9 tahun lamanya pedagang asli Papua, LSM dan pihak gereja yang tergabung dalam Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP) berjuang untuk mendapatkan fasilitas pasar. Tuntutannya hanya satu, pemerintah segera realisasikan pembangunan pasar dan fasilitasnya bagi pedagang asli Papua. Tuntutan dalam bentuk demo ini pernah mereka layangkan ke Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakila Rakyat Daerah (DPRD) Kota Jayapura, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan terakhir sampai juga ke Kantor Gubernur Provinsi Papua, Gedung Negara, di Dok II Jayapura.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua telah hadir cukup lama, namun wajah dan roh dari pada UU ini sama sekali tidak menyentuh pedagang asli Papua. Amanat Otsus berbicara banyak tentang pemberdayaan orang asli Papua di atas tanah leluhur mereka sendiri, namun apa kata, sampai saat ini hal itu tidak pernah di jalankan oleh pemerintah.
Pemerintah selama ini beranggapan bahwa tuntutan pedagang asli Papua untuk mendapatkan fasilitas pasar adalah tuntutan yang biasa-biasa saja, padahal tidak, ini sebuah tuntutan yang lahir dari sanubari hati, dimana ingin menunjukan bahwa pedagang asli Papua mampu dan dapat bersaing secara sehat dengan para pedagang non-Papua.
Sebuah kenyataan yang menggenaskan, saat ini semua sektor perekonomian dan pasar di kuasai oleh penduduk non-Papua. Kehadiran mereka telah menyingkirkan penduduk asli secara tidak langsung, di tambah lagi dengan kepercayaan pemerintah daerah maupun provinsi yang berlebihan pada mereka. Pedagang asli Papua di buat betul-betul tidak berdaya. Menjadi pertanyaan, inikah wajah Otonomi Khusus yang sebenarnya?
Harus kita akui, ketika melihat ekonomi pasar di kuasi oleh penduduk non-Papua, sebenarnya kesalahan utama terletak pada pemerintah daerah maupun provinsi yang tidak pernah “berani” mempercayakan pedagang asli Papua untuk maju, mandiri serta bersaing secara sehat dengan pedagang non-Papua. Pejabat birokrasi yang berhubungan langsung dengan pemberdayaan ekonomi lebih pintar membual dari pada menepati janjinya.
Mengapa pembangunan pasar dan fasilitas yang lebih baik perlu untuk pedagang asli Papua, sudah tentu semua untuk mengakomodir kepentingan pedagang asli Papua yang selama ini terpinggirkan di atas tanah leluhur mereka. Banyak di antara mereka yang telah menjadi korban, beberepa di antara telah meninggal dunia, mereka seperti; Ibu Ice Kayame, Maria Yogi, Ibu Numberi dan masih ada beberap lagi yang belum kami data secara jelas. Identitas dari pada rakyat Papua harus ada, sehingga sudah tentu konsep dan pembangunan pasar harus mengarah kepada identitas orang asli Papua itu sendiri.
Konsep dan jenis pasar yang telah di usulkan sendiri harus ada 5 lantai. Lantai 1-2 untuk menjual berbagai bahan makanan yang berjenis basah, seperti; lauk pauk, sayur mayur, buah-buah, singkong, ubi, keladi, dll. Sedangkan lantai 3-4 untuk tempat menjual berbagai aksesoris, benda-benda antic, seni budaya, seni ukir, baju batik dan kerajianan tangan ala Papua, dan lantai yang terakhir adalah untuk sebuah kantor, ruang koperasi, serta tempat pendidikan untuk anak-anak usia dini.
Pemerintah memunyai hak, memunyai kewenangan, serta memunyai kapasitas tertinggi untuk kemajuan ekonomi di Papua, amanat Otsus memberi jaminan soal itu. Jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah pusat masih berwenang, itu tidak-lah benar. Selama ini pemerintah tidur soal pekerjaan mulia ini, pekerjaan memberdayakan ekonom atau pedagang asli Papua sendiri.
Yang menjadi pertanyaan saat ini, kemana orang-orang Papua yang pintar, pandai serta bergelar tinggi-tinggi, yang katanya mempunyai konsep yang bagus untuk pembangunan dan pemberdayaan rakyat Papua? Bukankah banyak dari antara mereka yang telah “terselip” masuk di struktur pemerintahan (birokrasi). Jangan sampai, ada imits dari masyarakat luas, bahwa segala “kelebihan” itu di pakai untuk membual, berbohong untuk korupsi, menjarah, bahkan sampai merampok uang rakyat kecil.
Pemerintah harus insaf dan memberikan perhatian yang penting terhadap tuntutan ini, tuntutan ini lahir dari tangisan, kerinduan, serta sebuah harapana, dimana pedagang asli Papua dapat maju dan berkembang di atas tanah leluhur mereka sendiri. Mungkin sudah saatnya pemerintah membangun sebuah kepercayaan, salah satunya dengan cepat realisasikan janji-janji yang pernah di kumandangkan saat pemilihan kepala daerah di langsungkan beberapa tahun silam.
Aksi demo yang di lakukan dari tahun ke tahun oleh pedagang asli Papua, akhirnya telah sedikit membuahkan hasil, dimana saat Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, S.H saat menerima masa pada tanggal 15 September 2009 lalu di Gedung Negara, Dok II Jayapura, yang mana mengatakan dengan jelas bahwa akan segera memfasilitasi agar pembangunan pasar bagi pedagang asli Papua segera di realisasikan.
Tindak lanjut dari pada pernyataan itu, maka kami tetap menuntut terus, agar janji dari pada gubernur Papua segera di realisasikan. Hal ini juga agar kepercayaan public kepada seorang pimpinan di daerah Papua tidak begitu saja menurun. Semoga aspirasi, harapan dan keinginan pedagang asli Papua ini secepatnya di realisasikan.
Jayapura, 15 Mei 2010
Sumber gambar: kompas cetak
Wednesday, May 12, 2010
Catatan Seminar Publik Pro dan Kontra Integrasi Papua Kedalam NKRI
Kalangan rakyat Papua menyatakan bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI belum selesai, tentu hal ini bersebarangan dengan pendapat segelintir orang Papua yang menyatakan, bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI sudah selesai. Siapa benar dan siapa salah??
Pendahuluan
OCTHO- Melalui sebuah wadah pergerakan anak-anak muda Papua yang begitu peduili dengan persoalan di tanah Papua, yakni; Komite Nasional Papua Barat (KNPB) baru saja di selenggarakan seminar public sehari yang bertemakan “Pro dan Kontra Integrasi Papua Kedalam wilayah NKRI”. Sudah tentu ini merupakan sebuah batu loncatan, dimana dengan berani mampu menghadirkan mereka yang selama ini begitu pro dan kontra terhadap integrasi Papua ke dalam wilayah NRKI.
Para pembicara yang hadir sekaligus memberikan materinya dalam seminar public kali ini sangat beragam, mulai dari yang pro seperti; Nicolas Messet (Tokoh Papua) dan Jimmy Demianus Ijie (Wakil Ketua DPR Papua Barat dan yang kontra seperti; Edison Waromi, S.H (Presiden Eksekutif WPNA) dan Pdt. Socrates Sofyan Yoman, S.Th (Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Papua).
Selain itu, hadir pula Laos Kalvin Rumayom, S.Sos salah satu staf pengjar di Universitas Cenderawasih, yang memberikan pandangannya mengenai hubungan Internasional dan Hukum Internasional. Tampak hadir sebagai moderator seminar public, Matius Murib, dari Komnas HAM untuk wilayah Papua. Dan hadir juga para wartawan berbagai media local dan nasional. Sedangkan public yang mengikuti seminar kali ini di perkirakan 400-an orang.
Pro dan Kontra
Antara yang pro dan kontra tidak akan pernah bertemu, apalagi jika kedua-duanya memiliki kepentingan tertentu, di tambah dengan egonya yang berlebihan. Kedua kalangan ini memilki paradigma yang berbeda terhadap persoalan dan konflik di Papua. Perbedaan ini sudah tentu harus di satukan, dan penulis sendiri tidak yakin, dengan seminar seperti ini akan mempersatukan kedua pandangan tersebut.
Kalangan yang telah menyatakan integrasi telah selesai sering mengemukakan pendapat mereka, bahwa NKRI adalah harga mati. Kalangan ini lebih setuju, jika membangun Papua dalam amanat Otsus. Mereka lebih setuju merdeka internal orang Papua, seperti bebas mendapat pendidikan, bebas dari sakit penyakit, bebas dan korupsi, dan lain sebagainya.
Dilain kesempatan, mereka juga sering menerbitkan beberapa paper, essay dan juga buku, diantaranya adalah salah satu buku yang di terbitkan oleh Pusat Studi Nusantara, dengan Judul “Integrasi Sudah Selesai, Komentar Kritis Atas Papua Road Map”. Dalam buku ini beberapa orang Papua menjadi penulis, seperti Jimmy Demianus Ijie (Wakil Ketua DPR Papu Barat), Julian Yap Marey (Mantan Tokoh OPM), J.R.G Djopari (staf pengajar di Jakarta, sekalgus mantan duta besar Indonesia untuk PNG) dan masih ada beberapa anak muda lainnya yang begitu pro terhadap integrasi.
Dalam buku kecil itu, kebetulan saat itu penulis sempat menghadiri launching buku di Universitas Gadja Mada (UGM), UTC, Lantai II, Yogjakarta, mereka menyatakan dengan jelas, integrasi adalah sebuah persoalan yang tidak perlu di bicarakan, karena toh, Papua sudah final ikut dengan NKRI. Selain itu, Integrasi Papua terbukti tidak bermasalah, dengan kompromi politik yang di lakukan oleh beberapa demokrat Papua dan Jakarta untuk menghadirkan Otsus di Papua.
Sedangkan kalangan yang menyatakan bahwa Integrasi belum selesai selalu mengatakan bahwa Papua Merdeka adalah harga mati, mereka masih bersikeras bahwa pelaksanaan PEPERA tahun 1969 tidak demokratis, dan selain itu berlangsung di bahwa ancaman, todongan Militer Indonesia. Sudah tentu ini sudah melanggar HAM dan konvensi internasional, tentang hak-hak untuk menentukan nasib sendiri. Terbukti, hanya 1025 orang saja yang di pilih oleh pemerintah Jakarta, bukan di pilih oleh orang Papua.
Menurut mereka, Integrasi Papua ke dalam NKRI yang tidak final, dan hal ini juga pernah di teriakan oleh segelintir orang yang saat ini sedang meneriakan bahwa integrasi Papua ke dalam sudah final. Dan kenapa mereka berbalik arah, mungkin uang, jabatan, kedudukan, bahwa nama baik, membuat mereka harus berbalik arah. Untuk mendukung opini mereka, kembali sebuah buku di terbitkan, dengan Judul “Integrasi Belum Selesai, Komentar Kritis Atas Papua Road Map” penulisnya hanya seseorang, yakni Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Papua, Pdt. Socrates Sofyan Yoman.
Dalam launching buku tersebut, Yoman mengatakan dengan jelas integrasi Papua ke dalam NKRI belum selesai, dan menimbulkan banyak masalah yang sudah tentu mengorbankan rakyat Papua. Gereja sebagai pelindung dan pengayom domba-domba yang sedang dan akan punah, sekiranya perlu memberikan perhatian. Dokumen-dokumen penting dari PBB, dan beberapa Negara yang pernah ikut menangani masalah Papua menjadi bukti kuat Yoman untuk menulis buku tersebut. Kehadiran buku tersebut juga bentuk komentar kritis terhadap buku Papua Road Map, yang di terbitkan oleh lembaga penelitian Indonesia.
Pro Integrasi
Integrasi tanah Papua ke dalam NKRI telah final, dan tidak perlu di bicarakan, saat ini yang kita pikir bagaimana membangun Papua yang lebih baik ke depannya. Mungkin kalimat diatas yang sering di ungkapkan oleh beberapa orang Papua yang begitu pro dengan NKRI atau pro dengan Integrasi.
“Saat integrasinya Papua ke dalam NKRI, sudah merupakan keputusan final yang di ambil oleh beberapa petinggi beberapa Negara yang pernah ada di Papua, New York Agrement hanya bentuk akal-akalan agar orang Papua dapat memercayai tekad dan keseriusan Amerika untuk menyelesaikan masalah Papua,” tegas Nicolas Messet, salah satu pemateri dalam seminar public kemarin, Selasa (11/05).
Menurut Messet juga, sekarang sudah saat orang Papua bangkit dan bukan membicarakan integrasi lagi, tetapi membicarakan Otonomi Khusus, agar kedepannya kehidupan kita lebih baik lagi. “Otsus adalah solusi final dimana suatu wujud kompromi politik antara Jakarta dan Papua dalam menjawab tuntutan merdeka, dan tekad pemerintah dalam mempertahankan integrasi wilayah NKRI” imbuh messet.
Messet juga bersikeras bahwa tidak ada Negara di dunia ini yang ingin membantu Papua, khususnya membicarakan isu referendum atau merdeka, PBB juga demikian. “Mereka hanya akan bersedia membantu, jika isu HAM, kesehatan, kelaparan, sakit penyakit, pemanasan global dan lain sebagainya yang ada di Papua. G-20 lebih menaruh perhatian mereka pada isu-isu di atas, bukan soal referendum seperti tuntutan rakyat Papua,” pungkas Messet.
Messet juga mengatakan bahwa sejak dirinya berkeliling ke beberapa Negara Asia Pasific, tidak ada yang memberikan respon baik terhadap kemerdekaan bahkan dukungan mereka untuk Papua Merdeka, ini menandakan isu referendum bukanlah isu utama di dunia internasional, khususnya kalangan Negara Asia Pasifik.
“Hasil kongres Papua II pada tahun 2000 telah menghasilkan kompromi politik, resolusinya telah lahir OtonomI Khusus, oleh karena itu tidak perlu kita perdebatkan lagi soal integrasi Papua, mari kita pikir Otsus, dimana membangun Papua yang lebih baik,” tegas Messet.
Sementara itu Jimmy Demianus Ijie bependapat senada dengan Messet soal integrasi Papua. yang menurutnya, bahwa integrasi Papua adalah final, dan tidak perlu untuk di bicarakan lagi. “Papua sah bagian dari NKRI,” tegasnya lantang.
Saya sangat pesimis Papua akan Merdeka, dan karena itu saya mendukung integrasi Papua ke dalam NKRI, seraya berbalik untuk membangun Papua dalam bingkai dan amanat Otsus. “Pesimis saya muncul atas sebuah realitas yang selama ini terjadi di tanah Papua dan Papua Barat. Kita masih sering mengkotak-kotakan kita sendiri, dan saat itu pula, persatuan tidak akan pernah tercapai. Saya pesimis Papua bisa merdeka,” jelasnya.
Orang Papua saat ini butuh bersatu, jika tidak jangan pernah bermimpi untuk sebuah perubahan. “Teman-teman yang masih bertahan pada prinsipnya silakan jalan, saya tetap mendukung, namun saya pribadi sangat pesimis dengan perjuangan rakyat Papua. Pergerakan anak muda di era ini lebih baik dari pada pergerakan anak-anak muda dulu,” urainya menjelaskan.
Kontra Integrasi
Edison Waromi, Presiden West Papua National Autority (WPNA) yang menjadi salah satu pemateri dalam seminar public ini mengatakan bahwa integras belum selesai dan tidak sah. Oleh karena itu persoalan ini patut di bicarakan kembali. “Integrasi tidak selesai karena dalam prosesnya banyak ketimpangan,” tegasnya.
“Orang Papua terus menuntut pemerintah Indonesia untuk membicarakan sola integrasi, karena proses inilah yang telah mengorbankan rakyat Papua. Dan akar masalahnya sebenarnya terletak pada proses ini. kami menjadi korban dari kepentingan Negara Indonesia dan Negara barat,” tambahnya.
Edison juga mengatakan bahwa, dalam sumpah pemuda yang menjadi awal lahirnya pemuda Indonesia tidak pernah ada orang Papua dan tidak ada juga keterwakilan pemuda Papua di sana. Ini harus menjadi perhatikan kita bersama, jangan asal-asal mengatakan bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI adalah sudah final, tegasnya menjelaskan.
Dalam New York Agrement pada pasal 20 menjelaskan bahwa satu orang satu suara, bukan satu orang mewakili beberapa orang, apalagi menggunakan sistem musyawarah. Tapi hal ini yang di putarbalikan pemerintah Indonesia, dimana memilih beberapa orang Papua saja untuk menyarakan hak-hak hampir 800 ribu orang Papua saat pepera berlangsung.
“Untuk menyelesaikan masalah dan konflik di Papua bukan melalui Otsus, tetapi melalui sebuah dialog internasional. Dialog antara pihak-pihak yang pernah terlibat di Papua, seperti Amerika, Belanda bahkan PBB sendiri,” urainya.
Sementara itu pemateri berikutnya, Socrates Sofyan Yoman yang juga Ketua Persekutuan Gereja-gereja Baptis di tanah Papua menjelaskan soal integrasi yang tidak selesai dari perspektif gereja. “Gereja punya tugas melindungi, mengayomi dan menyelematkan domba-domba yang akan punah dari tanah Papua,” jelasnya.
Stigma separatis yang di berikan oleh pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua adalah senjata ampuh untuk memusnahkan orang Papua. Kami bukan pemberontak, bahkan kita tidak pernah membuat keributan, justru pemerintah Indonesia-lah yang datang bikin rebut di daerah kami.
“Dengan tegas saya minta kepada pemerintah Indonesia untuk stop memberikan label separatis kepada rakyat Papua, kami manusia beradab yang tahu diri. Justru kalian yang tidak tahu diri. Jangan ada satupun domba di Papua di korbankan demi menyelamatkan kepentingan Negara di tanah Papua, ini tidak boleh terjadi, jelas Yoman geram.
Yoman yang juga telah menulis Sembilan buah buku, dan beberapa di antaranya telah di sita pengadilan negeri juga menjelaskan bahwa gereja Tuhan di Papua bertugas untuk membicarakan karya penyelematan Tuhan, sekaligus menjaga domba-dombanya dari terkaman singa-singa lapar. “Gereja Tuhan harus membicarakan tentang kebebasan, karena Tuhan datang ke dunia untuk memberikan kebebasan kepada siapa saja,” terangnya.
Banyak gereja tabuh membicarakan tentang Papua, mungkin karena mereka takut tidak dapat dana Otonomi Khusus dari pemerintah, justru ini yang salah. Pribadi saya gereja harus betul-betul menjadi pelita yang dapat menyinari dunia, bukan menyinari lingkungan gerejanya saja. “Kalau ada hamba Tuhan yang takut bicara tentang Papua, sudah bisa di tebak, dia ingin jatah dana Otonomi Khusus dari pemerintah,” imbuhnya di sambut tertawa pada hadirin.
Integrasi belum selesai, dan gereja bertugas penting untuk ikut ambil bagian dalam membicarakan proses ketimpangan itu. Akhirinya menjelaskan.
Penutup
Mendukung atau tidaknya Integrasi adalah hal yang wajar. Setiap orang mempunyai pandangan, pemahaman serta pendapat yang berbeda. Tapi, yang di sayangkan, jangan karena sebuah kepentingan, justru mengorbankan rakyat Papua yang tidak berdosa.
Segelintir orang Papua memandang integrasi sudah final, jika iya, kenapa awal mula saat berada pada posisi yang tidak menentu, ikut memperjuangkan suara ini, yang gaungnya-pun di kampanyekan ke Negara-negara barat dan Asia Pasifik sana. Dan ketika merasa hidup serba kekuarangan dengan pekerjaan mulia itu, langsung berbalik arah, sambil merangkul musuh, inikan seperti sebuah lelucon.
Uang, jabatan, kedudukan dan nama baik sudah tentu mempengaruhi beberapa orang Papua yang dulunya lantang berteriak untuk Papua Merdeka untuk kembali ke dalam pangkuan NKRI. Hal ini sangat jelas dan nyata. Coba lihat saja, mereka yang mendukung pro akan integrasi pada umumnya berada pada level atau tingkat hidup yang sangat menyenangkan.
Kita harus melihat suara masyarakat akar rumput yang belum tersentuh oleh pembangunan, dan itu sudah tentu menjadi ukuran untuk membenarkan, kira-kira integrasi telah selesai atau belum selesai. Membangun wacana integrasi telah selesai atas dasar kita memiliki koneksi yang luas dengan Jakarta adalah hal yang paling konyol dan sudah tentu akan berbuntut pada konflik internal orang Papua.
Sebaiknya tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain, apalagi khayalak umum yang masih sangat awam soal retreorika dan kepentingan. Sepengetahuan mereka, ini yang benar dan ini yang salah, mereka tidak tau istilah “abu-abu” atau juga istilah “hitam-putih”.
Untuk yang begitu pro dengan integrasi, jangan sekali-kali membohongi hati nurani, karena sampai kapanpun hati nurani tidak bisa di bohongi. Kebenaran itu mutlak, tidak ada benar setengah, tidak ada benar 80% dan juga tidak ada benar 10%. Kami masyarakat akar rumput tidak pantas menghakimi, karena hanya Tuhan yang patut menghakimi umat manusia.
Dan untuk yang begitu kontra dengan dialog, tetap berjuang, dan tetaplah bersuara, jika sanubari hati mengatakan demikian. masyarakat akar rumput yang selama ini menjadi korban penjajahan dunia internasional dan pemerintah Indonesia tetap menantikan sebuah solusi, solusi yang paten, solusi yang membebaskan. Tuhan bangsa Papua selalu ada di pihak kita, di pihak yang benar. Selamat merefleksikan.
Oktovianus Pogau, seorang Jurnalis yang tinggal di Jayapura. Dapat di hubungi melalui emailnya: oktovianus_pogau@yahoo.co.id dan weblog http://pogauokto.blogspot.com
Monday, May 10, 2010
Pujian Atas Kebesaran TUHAN
Tuhan itu besar, sangat besar. Tidak ada yang sebesar dirinya. Tidak ada yang sehebat dirinya.
OCTHO- Kau telah menuntun aku, tuntun aku sampai jalan yang memang benar-benar terang. Engkau tidak pernah menghitung dosa dan kesalahan aku, engkau juga tidak pernah menghitung segala pelanggaran aku, engkau selalu merangkul aku, merangkul untuk menjadi manusia yang dapat membawah sebuah perubahan.
Sekarang aku telah engkau pimpin, engkau telah pimpin sampai pada tingkat yang sangat tidak pernah aku sadari. Kalau di pikir, apalah arti diriku, orang tidak berguna, tidak berdaya, dari latar belakang keluarga yng sungguh miskin, bahkan tidak punya apa-apa, apalagi mereka engkau telah panggil.
Saya tahu, dengan kejadian itu, engkau mengajari aku untuk lebih mandiri, memandang dunia sebagai sebuah ladang pengembangan diri, sudah tentu harus melibatkan engkau, sudah tentu harus melalui bantuan tanganmu, engkau luar biasa, engkau sungguh luar biasa, semua engkau lakukan tepat pada waktunya, kadang sukar di bayangkan…
Aku bukan seorang penjabat Negara, sehingga harus di kenal, aku juga bukan seorang anak yang berasal dari kerajaan, jadi sangat tidak pantas di kenal. Namun aku bersyukur, aku di kenal oleh mereka. Ini semua berkat kau ada dalam hidupku, berkat kau ada dalam darah dagingku, berkat kau adalah dalam pikiranku, dan berkat kau ada dalam perkataanku, dan yang terakhir adalah berkat kau adalah dalam segala tulisanku…
KAU adalah TUHAN, TUHAN adalah TUHAN. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang dapat menyamai kebeasaran, keagungan, dan kehebatanmu, engkau adalah RAJA, segala raja. TUHAN segala Tuhan, bapa segala bape. Engkau sungguh sangat luar biasa, dan itu terbukti sangat luar biasa. Engkau sangat di kagumi, karena segala karya penciptaanMU…..
Kadang kami susah membayangkan kehebatan, kebesaran, serta keagunganmu, sungguh, engkau TUHAN yang sangat suci, TUHAN yang sungguh mulia, sangat sungguh mulia. Tidak pernah terbayang, ketika kau rela mati, MATI untuk tebus segala dosa dan salah manusia.
Kami sadari, semua yang kami lakukan, semua yang kami kerjakan, dan semua yang kami korbankan tidak akan sebanding dengan segala karya penciptaanmu.
TIDAK PERNAH kubayangkan, kau membuat semua ini tepat pada waktunya, kadang manusia sukar membayangkan semua karya peciptaan itu. Ini sebuah anugerah TERBESAR yang adak dalam dunia, ada dalam segala hayatan dan ingatan Kita.
Sekarang saya sedang melangkah, melangkah untuk sebuah kebutuhan, kebutuhan rakyat Papua, kebutuhan tanah air. Hanya engkau yang mampu, hanya engkau yang sangat-sangat mampu, hanya engkau yang dapat, dapat memastikan, dapat menghendaki, dan dapat menyatakan semua rencana itu. Saya menyerahkan segalanya, segala keputusan, segala rancangan, dan segala kebutuhan ke dalam pintu baitmu, saya sangat percaya, percaya akan engkau. Percaya akan segala kemampuan yang kau buat.
Besok akan tiba di Jayapura, besok akan bertemu siapa saja, mereka bisa jadi setan, bahkan bisa jadi malaikat. Aku tidak punya indera keenam untuk membedakan semua itu, aku tidak mampu membedakan semua itu. Engkau mampu, engkau mempu menentukan, dan engkau mampu membedakan, bantu akau, tolonglah aku, aku ingin kau yang menjadi pribadi dalam hidupku.
Terima kasih TUHAN, terima kasih, kau memang hebat, dan sangat2 hebat.
Bandara Internasional, Soekarno Hatta, Jakarta.
Sabtu, 08 Mei 2010, Pukul 20:34 wib
Wednesday, May 05, 2010
Cabut Undang-Undang yang dapat Mempidanakan Kritik
OCTHO- Pemerintah Indonesia harus mencabut sejumlah undang-undang yang memberi peluang gugatan pidana kepada para aktivis, wartawan, konsumen dan lain-lain yang mengkritik penjabat publik dan tokoh masyarakat, ungkap Human Rigths Watch dalam laporan terbaru yang di terbitkan kemarin, Selasa (04/05).
Laporan 91 halaman dengan judul “Kritik Menuai Pidana; Konsekuensi Hak Asasi Manusia dari Pasal Pencemaran Nama Baik di Indonesia,” mendokumentasikan berbagai kejadian di mana pasal-pasal pencemaran nama baik, fitnah dan penghinaan di gunakan untuk membungkam kritik terbuka.
Elaine Person, selaku wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch mengatakan bahwa gugatan pencemaran nama baik merupakan senjata ampuh bagi orang-orang yang ingin membungkam kritik di Indonesia.
“Seharusnya pemerintah memberikan dukungan kepada para pengukap fakta dan menjamin kebebasan terhadap mereka yang mengemukakan pendapat secara damai, bukan malah menghukumnya,” ungkap Elaine.
Lebih lanjut menurut Elaine, proses penyedikan dan pengadilan atas gugatan pencemaran nama baik dapat menimbulkan dampak yang merusak bagi mereka yang di tuduh melakukannya. “Hukuman penjara membuat orang harus berpikir dua kali sebelum menyerukan protes terhadap korupsi dan berbagai penyimpangan kekuasaan” tambah Elaine.
Elaine juga mengatakan, bahwa “Undang-undang pencemaran nama baik merusakan demokrasi, supermasi hukum, dan kebebasan berekspersi di Indonesia,” Ujarnya. “Seharusnya pemerintah tidak memenjarakan mereka yang cukup berani mengukapkan pikiran dan pendapat.”
Dengan demikian, Human Rights Watch mendesak Indonesia mencabut undang-undang pencemaran nama baik, menggantinya dengan hukum pencemaran perdata guna mengakomodasi kebebasan berekspresi dari pembatasan tak perlu. Sementara itu, para penjabat dilarang mengajukan tuntutan pidana terkait kritik yang di nilai mencemarkan nama baik mereka dalam kapasitasnya sebagai penjabat resmi, tegas Human Rights Watch.
Beberapa orang yang di panggil terkait pengaduan pencemaran nama baik, seperti Prita Mulyasari, karena mengirim surat elektronik kepada kolegenya yang mengeluh layanan medis yang dia terima. Bersihar lubis, wartawan senior di vonis melakukan pencemaran nama baik dan di jatuhi hukuman percobaan karena menulis kolom opini yang mengkritik keputusan kejaksaan agung melarang buku pelajaran sejarah di edarkan ke sekolah-sekolah. Dan masih banyak lagi. (op)
Saturday, May 01, 2010
Mahasiswi Asal Kaimana Ditemukan Sudah Tak Bernyawa
OCTHO- Salah satu Mahasiswi asal Kabupaten Kaimana, Elisabeth Jesika Isir (25) yang telah menyelesaikan pendidikan strata satu, dan sedang mengambil kursus Bahasa Inggris dan Komputer di kota studi Yogyakarta di temukan sudah tak bernyawa lagi, Sabtu (01/05) kemarin.
Mayat korban di temukan di daerah Timoho, APMD dekat rel kereta api dengan posisi badan tengkurap serta sudah tak bernyawa lagi. Tempat temuan mayat adalah lokasi yang sering dilalui korban ketika pulang dari tempat kursus menuju tempat tinggalnya. “Kami menemukan mayat dengan posisi tengkurap dan tak bernyawa,” kata teman-teman korban via telepon seluler kepada media ini tadi malam.
Lebih lanjut menurut mereka, kemungkinanan korban di pukuli dengan benda tajam hingga memar di sekujur tubuhnya, terutama kepala dan perut korban. “Ada memar di sekujur tubuh korban, kami duga korban di pukuli pakai benda tajam hingga meninggal,” tambah mereka menjelaskan.
Setelah menemukan mayat tersebut, korban langsung di bawah ke Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta untuk di otopsi. Hingga saat ini mereka masih menunggu hasil visum dari dokter terkait penyebab meninggalnya korban . “Kami sedang menunggu hasil visum yang akan keluar pada hari senin besok,” kata mereka.
Ketika di singgung mengenai kemungkinan adanya tabrakan kereta api, di bantah tegas oleh teman-teman korban. “Kami sangat tidak percaya korban kena tabrak kereta api, itu omong kosong. Sudah jelas-jelas korban di pukuli hingga memar dan meninggal,” jelas mereka dengan nada kesal.
Menurut mereka, pemerintah DIY dan Kapolda DIY harus bertanggung jawab terhadap kasus ini, karena sudah ada banyak kasus yang pernah terjadi, namun tidak ada penyelesaiaannya. “Kami minta aparat penegak hukum dan pemerintah daerah memberikan perhatian terhadap kasus ini, karena ini bukan yang pertama kali terjadi, tetapi sudah berulang-ulang terjadi, dan korbannya anak-anak Papua yang sedang menempuh pendidikan,” tegas mereka.
Sampai saat ini mayat korban masih di semayamkan di Asrama Kamasan, Jln. Tarumanegara. Keluarga korban, teman-teman dan kenalan korban masih berkumpul untuk melihat korban untuk yang terakhir kalinya. Rencananya korban akan di berangkatkan ke daerah asal pada hari senin (03/05) besok. (op)
Foto ilustrasi