OCTHO- Diatas tanah leluhur mereka sendiri, rakyat Papua tidak pernah merasa hidup nyaman. Selalu saja ada teror, intimidasi, bahkan sampai pada pembunuhaan. Peristiwa-peristiwa seperti ini di lakukan oleh aparat Militer Indonesia secara teranga-terangaan, maupun secara tersembunyi, semua di lakukan untuk memusnahkan orang asli Papua. Ini menandakan bahwa negara tidak pernah menerima dan mengakui rakyat Papua.
Insiden penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian (KP3 Bandar Udara Wamena) pada tanggal 4 September 2010 lalu, di Kabupaten Wamena merupakaan bukti nyata. Peristiwa ini menewaskan satu orang warga sipil dan beberapa lagi mengalami luka-luka berat. Mereka adalah anggota PETAPA di Wamena. Ini merupakaan tindakan tidak terpuji, sekaligus merupakaan murni tindakan kejahataan manusia (pelanggaran HAM berat) yang di lakukan aparat Militer Indonesia.
Sebelum terjadi penembakan di Wamena, beberapa waktu lalu juga terjadi penembakan oleh anggota Brimob Detasemen C Manokwari di Provinsi Papua Barat terhadap warga sipil setempat. Peristiwa ini menyebabkan dua warga sipil tewas, dan satu mengalami luka-luka kritis. Aparat Militer di tanah Papua memang sangat jahat dan kejam.
Insiden penembakan di Wamena bermula dari penyitaan topi PETAPA (penjaga tanah adat Papua), dan sejumlah uang Rp 40.000.000, yang berujung pada korban nyawa manusia yang tak berdosa. Berawal dari adu mulut antara masyarakat dan aparat kepolisiaan, dan pengejaran oleh polisi, dan akhirnya terjadi penembakan tersebut. Hal ini di lakukan tanpa tembakan peringataan, maupun berusaha menggunakan cara-cara damai. Dalam peristiwa ini Ismail Lokobal (34) meninggal seketika, karena tiga peluru bersarang di dadanya. Kemudian Amos Wetipo (42) tertembak di kepala, Frans Lokobal (36) tertembak di bagiaan pinggang. Tragedi ini berlangsung pukul 08.00 Wit.
Insiden penembakan masyarakat Papua adalah benar dan sesuai dengan pernyataan Ali Murtopo pada tahun 1967 yang mengatakan bahwa “Kami tidak membutukan manusia Papua, tetapi kami hanya butu kekayaan alam yang ada di tanah Papua, kalian orang Papua minta kepada Amerika untuk carikan tempat lain untuk merdeka”. Maka Sejak kehadiran Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 hingga sekarang, pemerintah datang bukan sebagai sebuah Negara yang bisa melindungi, memberdayakan dan membanguna masyarakat adat Papua, tetapi datang sebagai penjajah yang membunuh dan memusnahkan orang asli Papua.
Akhirnya creeping genocide (pemusnahan etnis secara merangkak perlahan) sedang terjadi. Kami akan menjadi minoritas dan punah diatas tanah-air kami. Indikator-indikator terjadinya creeping genocide antara lain: masyarakat asli Papua dibunuh oleh senjata api, senjata tajam, senjata tumpul, senjata cair (minuman keras), senjata virus (HIV/AIDS), penyakit malaria dan lainnya, kemungkinan adanya pembunuhan akibat rekayasa kriminal (kriminalisasi) termasuk pembunuhan karakter;
Orang asli Papua juga saat ini merasa menjadi minoritas di atas tanah kelahiran mereka sendiri. Kita lihat saja secara demografi populasi rakyat bangsa Papua tidak berkembang secara signifikan, baik dari kualitas maupun kuantitas. Hal itu dapat dibuktikan, bahwa pada tahun 1969 populasi orang asli Papua berjumlah ± 800.000 jiwa, sekarang pada tahun 2010 berjumlah ± 1,5 juta jiwa. Jika di bandingkan dengan Papua Timur ( Papua Neuw Guinea ) yang sama ras pada tahun 1969 populasi berjumlah ± 900.000 jiwa sekarang populasi berjumlah ± 7 juta jiwa kurung waktu yang sama.
Undang-undang Otonomi Khusus, Undang-undang otonomi daerah (Otda) dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku di Tanah Papua sejak tahun 1969 sampai sekarang (tahun 2010) tidak dapat menjamin masa depan hak hidup rakyat bangsa Papua. Rakyat bangsa Papua Barat populasinya secara demografi semakin termarjinalkan menjadi minoritas dan cenderung menuju kepunahan akibat creeping genocide.
Maka kami koalisi mahasiswa peduli pelanggaran HAM Papua atas insiden penembakan 4 Oktobor 2010 dan secara umum atas pelanggaran HAM yang di lakukan Negara di tanah Papua meminta agar;
1. Negara Indonesia (SBY-Boediono) bertanggung jawab penuh atas insiden penembakan tiga orang masyarakat adat di lembah Baliem, Kabupaten Wamena, Papua.
2. Kami menuntut otak-otak pelaku skenario untuk di tangkap dan di adili, di antaranya Kapolda Kapolda Papua, Irjen Polisi Bekto Suprarto dan Kapolres Jayawijaya, Kombes Pol I Gade Sumerta.
3. Kami menuntut Negara Indonesia untuk menghentikan segala kekerasan, baik; intmidasi, teror dan pembunuhaan yang dilakukan oleh TNI/Polri di seluruh tanah Papua.
4. Segera cabut status Daerah Operasi Militer (DOM) yang masih di berlangsungkan di seluruh tanah Papua.
5. Lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional maupun Nasional segera melakukan investigasi secara khusus atas penembakan di Wamena, dan secara menyeluruh di tanah Papua.
Demikiaan pernyataan sikap dan tuntutan kami, atas perhatian dan kerja sama, kami mengucapkan banyak terima kasih.
Kordinator Umum Aksi
Vincentsius Lokobal
Tuesday, October 12, 2010
Negara Indonesia Bertanggung Jawab Atas Insiden Penembakan Warga sipil di Baliem, Wamena
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Komentar anda...