OCTHO- SALAH satu tugas pokok Presiden dan Wakil Presiden Indonesia adalah menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Biasanya, ancaman dari dalam negara sendiri lebih punya dampak besar, ketimbang ancaman dari negara luar. Dan kadang kala, ancaman dari negara luar justru semakin nampak, ketika negara membiarkan sebuah konflik tumbuh dalam suatu wilayah negara sendiri, tanpa di carikan bentuk penyelesaianya.
Papua merupakan salah satu wilayah yang memberikan ancaman serius bagi keutuhaan negara Indonesia sejak wilayah ini berintegrasi di tahun 1969 melalui proses penentuan pendapat rakyat.
Ia juga selalua mempengaruhi beberapa negara luar untuk menekan pemerintah Indonesia ketika konflik yang terjadi di daerahnya tidak pernah di selesaikan secara bijaksana.
Lihat saja, Amerika Serikat, Australia, Vanuatu dan beberapa negara di kawasan Asia Pasifik akan lantang bersuara ketika terjadi berbagai konflik di Papua, terutama masalah pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang terus-menerus terjadi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boedino punya tugas utama untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di tanah Papua. Konflik ini harus di selesaikan secara adil, damai dan bermartabat seperti yang di lakukan di Aceh.
UU Otsus Papua
Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) telah diberlakukan selama sembilan tahun lamanya. Namun, manfaat langsung dari kehadiran Otsus tidak dirasakan oleh sebagian besar rakyat Papua. Bahkan ada juga yang menyimpulkan Otsus telah gagal.
Kecewa dengan implementasi Otsus, sudah tiga kali sejak di berlakukan Otsus rakyat Papua long march puluhan kilometer dari Abepura menuju kantor DPR Papua di Jayapura. Mereka mengembalikan UU ini kepada wakil rakyat di DPR Papua. Mereka juga meminta segera di teruskan kepada pemerintah pusat di Jakarta. (The Jakarta Post, 07/08/2010)
Tentunya, dana Otsus yang tiap tahunnya meningkat secara signifikan, semisal 2,4 trilyun (tahun 2004), 4,8 trilyun (tahun 2006), 5,3 trilyun (tahun 2007), 5,5 trilyun (tahun 2008), 5,3 trilyun (tahun 2009), 5,2 trilyun (tahun 2010) dan untuk ABPD Propinsi Papua tahun 201I membutuhkan 5,8 trilyun, juga tak bisa memberikan jaminan bahwa konflik di Papua akan berakhir.
Bahkan, sebagian kalangan beranggapan UU Otsus justru menimbulkan masalah baru di tanah Papua. Masalahnya, bagaimana ia menciptkan birokrasi pemerintah yang kian korup. Ini tentu akan menimbulkan konflik horizontal antara sesama orang Papua sendiri.
Karena itu, UU Otsus Papua tidak bisa dianggap sebagai solusi akhir untuk menyelesaikan konflik di tanah Papua.
Kunjungan SBY
Kunjungan SBY dan beberapa Menteri ke Jayapura, Papua beberapa hari lalu tentu tak bisa menghentikan konflik yang terjadi. Malahan, setelah kunjungan tersebut menambah beberapa catatan konflik baru.
Beberapa insiden yang terjadi terjadi setelah kunjugan SBY, seperti; penembakan yang terjadi di Kampung Nafri, Jayapura, dimana menewaskan satu orang warga sipil dan empat orang luka parah.
Beberapa hari berikutnya, sekelompok orang yang di duga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) mengibarkan bendera bintang Kejora sebagai simbol bendera bangsa Papua, di Puncak Jaya, Papua.
Kemudian ada lagi aksi demo rakyat Papua melalui Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Dewan Adat Papua (DAP); intinya mereka meminta pemerintah Indonesia membuka ruang dialog untuk membicarakan masalah Papua secara adil, damai dan bermartabat.
Sekecil apapun kemungkinan lepasnya Papua dari NKRI tentu tak bisa di anggap remeh. Lepasnya Timor Leste di tahun 1999 melalui proses referendum merupakan pelajaran berharga bagi pemerintah Indonesia, terutama Presiden SBY sebagai kepala negara saat ini.
Ia harus lebih bijaksana dalam mengatasi konflik yang terjadi di Papua. Jika tidak, tentu akan berdampak pada keutuhan NKRI yang selalu di cita-citakan.
Dialog
Sepulang dari Papua, presiden SBY bersama beberapa menteri langsung membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua. Tujuan tidak jauh berbeda dengan Instruksi Presiden No. 7 tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di tanah Papua yang di keluarkan tiga tahun lalu.
Tapi, apakah pembentukan lembaga ini akan turut membantu menyelesaikan konflik di tanah Papua? Penulis sangat pesimis. Malahan bisa menambah konflik baru di birokrasi pemerintahaan.
Misalkan, Inpres No. 7 tahun 2007 tidak berjalan maksimal karena tumpang tindih dengan sebuah perundangan sebelumnya, yakni; UU No.21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Dan bukankah pembentukan lembaga ini juga bertentangan lagi dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua yang telah di undang-undangkan lebih dulu?
Konflik di Papua hanya dapat di selesaikan jika SBY-Boediono membuka diri untuk menyelenggarakan dialog yang bermartabat antara pemerintah dengan rakyat Papua.
Apapun model dialog itu, yang penting SBY-Boediono sebagai kepala dan wakil kepala negara harus mendorong agar proses ini bisa terlaksana. Jika tidak, konflik Papua merupakan bom waktu bagi keutuhaan negara Indonesia, yang kapan saja bisa meletus.
Akar dari pada konflik di Papua harus dipangkas lebih dulu, sebelum memangkas konflik-konflik lain yang berkaitan dengan implementasi UU Otsus Papua serta percepatan pembangunan di wilayah paling timur Indonesia ini.
*Oktovianus Pogau adalah freelance journalist, tinggal di Jakarta
Naskah ini dalam bahasa Inggris telah di muat di koran The Jakarta Globe
Sumber gambar google.
Thursday, January 06, 2011
SBY-Boediono Harus Atasi Konflik Papua
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Komentar anda...