OCTHO- Indonesia adalah Negara demokrasi yang sangat menjunjung tinggi hak menyampaikan pendapat, tetapi teori itu untuk Papua tidak pernah di relevankan, bukannya tidak bisa di relevankan, tetapi mereka (Militer) selalu mencari keuntungan dengan tidak merelevankan hal itu.
Penyampaian pendapat di Papua, tanah yang kaya raya ini selalu di jaga dengan segala macam cara. Pembunuhan, intimidasi, terror, bahkan sampai pemusnahan adalah jalan keluar untuk membunuh semangat demokrasi itu. Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai sebuah demokrasi rakyatnya. Maka ini menjadi pertanyaan untuk kita, bangsa ini (red, Indonesia) besar atau sebuah bangsa yang kecil.
Hal ini di ungkapkan Ellya Alexander Tebay, Seorang Aktivis Kemanusiaan untuk Papua, dalam Jumpa Pers yang di adakan Koalisis Hak-Hak Sipil Rakyat Papua Barat Kabupaten Nabire di seputaran Pantai MAF, Rabu (25/02) lalu.
Senjata dan kekerasan adalah jawaban untuk menyelesaikan masalah Papua Barat. Selama ini omong kosong kalau selalu menyelesaikan masalah Papua dengan pendekatan persuasive. Kalau-pun ada, itu hanya karena mereka tidak ingin kebobrokannya di ketahui oleh bangsa lain di Negara luar.
Terkait penangkapan Bucthar Tabuni dan Saby Sambom, itu bukan merupakan perlawanan mereka terhadap aparat keamanan. Itu hanyalah ekspresi mereka, dalam mendukung penyelenggaraan Internasional For West Papua (IPWP) di London-Inggris. Dan saya rasa, itu hanya sebuah alasan belaka yang mereka (militer) pakai untuk menjerat dan tetap membunuh orang Papua. Yang ujung-ujungnya membunuh semangat nasionalisme orang Papua untuk menuntut merdeka,” pungkas Tebay.
Kemudian lebih jauh lagi, tebay Menambahkan bahwa itu hanya sebuah alasan atau reteorika yang di gunakan aparat kepolisian untuk tetap menjajah dan membelenggu orang Papua. Karena sampai kapan-pun yang namanya hukum tidak pernah berpihak kepada orang Papua. Keadilan untuk tidak pernah memihak kepada orang Papua. Hukum bisa di beli kok, bagaimana mau memihak kepada orang Papua.
Selain itu, kalau mau berbicara jauh tentang hukum, bagaimana dengan kasus meninggalnya Opius Tabuni, saat hari pribumi Internasional di Wamena beberapa saat lalu. Aparat kepolisian punya peran untuk mengukapkan kasus ini sampai ke akar-akarnya. Bagaimana dorang pu cara kerja kha, kok sampai sekarang belum juga di selesaikan. Saya bingung, kepolisian mau membuat orang Papua hidup damai atau mau menghancurkan orang Papua.
Saat Opinus Tabuni meninggal, aparat tidak sibuk dengan penuntasannya. Saat bucthar tabuni dan sabby sambon sedang di tahan di LP Abepura karena aksi damai yang mereka buat 16 Oktober lalu, aparat sibuk sana-sini bagai malaikat yang akan membebaskan orang Papua. Dengan demikian, pada kesimpulan akhirnya bisa kita ambil sendiri. Polda Papua bekerja sungguh-sungguh untuk menjaga kestabilan Papua, ataukah mereka bekerja setengah hati dengan tujuan tertentu.
Jadi kalau mau berbicara jauh tentang hukum, selesaikan dulu kasus yang satu, dalam hal ini kasus meniggalnya Opius Tabuni di wamena, baru kemudia melangkah lagi ke kasus yang lainnya. Agar hal ini bisa di terima oleh seluruh rakyat Papua. Karena kepercayaan rakyat Papua terhadap aparat dalam beberapa tahun belakangan ini telah sirna. Untuk mengembalikan kepercayaan itu, harus ada kerja nyata dalam keberpihakan kepada rakyat Papua yang aparat lakukan.
Sembagi mengakhiri, ellya menambahkan bahwa pada intinya harus paham dengan hukum yang telah mereka buat. “Hukum yang ada di Negara ini, bukan rakyat kecil yang buat, tetapi yang buat adalah aparat dan penegak hukum, jadi tolong pahami dan patuhi semua peraturan hukum yang telah kalian buat. Karena memalukan, melanggara aturan dan hukum yang telah dibuat sendiri,” urai ellya mantap. (oktovianus pogau)
Thursday, February 26, 2009
Ellya Tebay : Demokrasi di Papua Bermoncong Senjata
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Komentar anda...